Puasa ialah menahan diri dari makan dan minum dari terbit fajar sehingga terbenamnya matahari.
Hukum Puasa
1. Hukum puasa terbahagi kepada tiga yaitu :
2. Puasa pada bulan Ramadhan. ( Wajib )
3. Puasa pada hari-hari tertentu. ( Sunnah )
4. Puasa pada hari-hari yang dihentikan berpuasa. ( Haram )
Syarat Wajib Puasa
1. Beragama Islam 2. Baligh (telah mencapai umur dewasa) 3. Berakal 4. Berupaya untuk mengerjakannya. 5. Sehat 6. Tidak musafir
Syarat Wajibnya Penunaian Puasa
Syarat wajib penunaian puasa, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa. Syarat yang dimaksud yakni sebagai berikut.
1. Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
2. Menetap, tidak dalam keadaan bersafar. Dalil kedua syarat ini yakni firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185). Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa dikala itu, barulah mereka qodho’ berdasarkan komitmen para ulama. Namun jikalau mereka tetap berpuasa dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap sah.
3. Suci dari haidh dan nifas. Dalilnya yakni hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits tersebut adalah,
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan perempuan yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kau dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi saya hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” Berdasarkan komitmen para ulama pula, perempuan yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya.
Rukun Puasa
Berdasarkan komitmen para ulama, rukun puasa yakni menahan diri dari aneka macam pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).
Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
إِنَّمَا ذَاكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ
“Yang dimaksud yakni terangnya siang dari gelapnya malam”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan menyerupai itu pada ‘Adi bin Hatim alasannya yakni sebelumnya ia mengambil dua benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia pun menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim.
Wajib Berniat Sebelum Fajar
Dalilnya yakni hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”
Syarat ini yakni syarat puasa wajib berdasarkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam yakni mulai dari karam matahari hingga terbit fajar.
Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat sehabis terbit fajar berdasarkan lebih banyak didominasi ulama. Hal ini sanggup dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil problem ini yakni hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah berkata,
دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.
“Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kau memiliki makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian dia tiba lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka dia pun berkata, “Bawalah kemari, gotong royong dari tadi pagi tadi saya berpuasa.”
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini yakni dalil bagi lebih banyak didominasi ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.” Di sini disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum niat belum melaksanakan pembatal puasa. Jika ia sudah melaksanakan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya.
Niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masing-masing hari bangun sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at dalam shalat.
Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan. Jadi, tidak boleh seseorang berniat dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika besok tanggal 1 Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1 Ramadhan, saya niatkan puasa sunnah”. Niat semacam ini tidak dibolehkan alasannya yakni ia tidak menegaskan niat puasanya. Niat itu pun harus dikhususkan (dita’yin) untuk puasa Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya.
Sunat Berpuasa 1. Bersahur walaupun sedikit kuliner atau minuman 2. Melambatkan bersahur 3. Meninggalkan perkataan atau perbuatan keji 4. Segera berbuka sehabis masuknya waktu berbuka 5. Mendahulukan berbuka daripada sembahyang Maghrib 6. Berbuka dengan buah tamar, jikalau tidak ada dengan air 7. Membaca doa berbuka puasa Hal yang membatalkan Puasa 1. Memasukkan sesuatu ke dalam rongga badan 2. Muntah dengan sengaja 3. Bersetubuh atau mengeluarkan mani dengan sengaja 4. kedatangan haid atau nifas 5. Melahirkan anak atau keguguran 6. Gila walaupun sekejap 7. Mabuk ataupun pengsan sepanjang hari 8. Murtad atau keluar daripada agama Islam Hari yang Disunatkan Berpuasa 1. Hari Senin dan Kamis 2. Hari putih (setiap 13, 14, dan 15 hari dalam bulan Islam) 3. Hari Arafah (9 Zulhijjah) bagi orang yang tidak mengerjakan haji 4. Enam hari dalam bulan Syawal Hari yang diharamkan Berpuasa 1. Hari raya Idul Fitri (1 Syawal) 2. Hari raya Idul Adha (10 Zulhijjah) 3. Hari Tasrik (11, 12, dan 13 Zulhijjah)