 
 
  
  
  Kaum muslimin yang semoga dimuliakan oleh Allah ta’ala, salah satu  rukun kepercayaan yang wajib diimani oleh setiap muslim ialah beriman kepada  takdir baik maupun buruk.
 
 Perlu diketahui bahwa beriman kepada takdir ada empat tingkatan :
 
  Beriman kepada ilmu Allah yang ajali sebelum segala sesuatu itu ada. Di  antaranya seseorang harus beriman bahwa amal perbuatannya telah  diketahui (diilmui) oleh Allah sebelum dia melakukannya.
 
 Mengimani bahwa Allah telah menulis takdir di Lauhul Mahfuzh.
 Mengimani masyi’ah (kehendak Allah) bahwa segala sesuatu yang terjadi ialah lantaran kehendak-Nya.
 
  Mengimani bahwa Allah telah membuat segala sesuatu. Allah ialah  Pencipta satu-satunya dan selain-Nya ialah makhluk termasuk juga amalan  manusia.
 
 Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas ialah firman Allah ta’ala
 
  Apakah kau tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa  saja yang ada di langit dan di bumi?; sebenarnya yang demikian itu  terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian  itu amat gampang bagi Allah. (QS Al-Hajj ayat 70)
 
 Kemudian dalil dari tingkatan ketiga di atas ialah firman Allah
 
  Dan kau tidak sanggup menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila  dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (QS At Takwir ayat 29)
 
 Sedangkan untuk tingkatan keempat, dalilnya ialah firman Allah
 
 Padahal Allah-lah yang membuat kau dan apa yang kau perbuat itu”. QS. Ash-Shaffaat ayat 96
 
 Macam-Macam Takdir
 
 Takdir umum meliputi segala yang ada.
  Takdir ini dicatat di Lauhul Mahfuzh. Dan Allah telah mencatat takdir  segala sesuatu sampai hari kiamat. Takdir ini umum bagi seluruh makhluk.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
  “Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah ialah qalam (pena).  Allah berfirman kepada qalam tersebut, “Tulislah”. Kemudian qalam  berkata, “Wahai Rabbku, apa yang akan saya tulis?” Allah berfirman,  “Tulislah takdir segala sesuatu yang terjadi sampai hari kiamat.” (HR.  Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if  Sunan Abi Daud).
 
 Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum.
  Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana terdapat pada hadits Ibnu Mas’ud,  di mana janin yang sudah ditiupkan ruh di dalam rahim ibunya akan  ditetapkan mengenai 4 hal:
 
 1. Rizki
 2. Ajal
 3. Amal dan
 4. Sengsara atau berbahagia.
 
 Takdir Tahunan yaitu takdir yang ditetapkan pada malam lailatul qadar mengenai insiden dalam setahun. Allah ta’ala berfirman,
 
 “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan ayat 4).
 
  Ibnu Abbas mengatakan, “Pada malam lailatul qadar, ditulis pada ummul  kitab segala kebaikan, keburukan, rizki dan kematian yang terjadi dalam  setahun.” (Lihat Ma’alimut Tanzil, Tafsir Al Baghowi)
 
 Seorang  muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan terperinci ini.  Barangsiapa yang mengingkari sedikit saja dari keduanya, maka dia tidak  beriman kepada takdir. Dan berarti dia telah mengingkari salah satu  rukun kepercayaan yang wajib diimani.
 
 1. Salah Dalam Menyikapi Takdir
 
 Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang mengingkari takdir dan ada pula yang terlalu hiperbola dalam menetapkannya.
 
  Yang pertama ini dikenal dengan Qodariyyah. Dan di dalamnya ada dua  kelompok lagi. Kelompok pertama ialah yang paling ekstrem. Mereka  mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu dan mengingkari pula apa  yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh. Mereka menyampaikan bahwa Allah  memerintah dan melarang, namun Allah tidak mengetahui siapa yang taat  dan berbuat maksiat. Perkara ini gres saja diketahui, tidak didahului  oleh ilmu Allah dan takdirnya. Namun kelompok menyerupai ini sudah musnah  dan tidak ada lagi.
 
 Kelompok kedua ialah yang memutuskan ilmu  Allah, namun meniadakan masuknya perbuatan hamba pada takdir Allah.  Mereka menganggap bahwa perbuatan hamba ialah makhluk yang bangkit  sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak pula menghendakinya.  Inilah madzhab mu’tazilah.
 
 Kebalikan dari Qodariyyah ialah  kelompok yang hiperbola dalam memutuskan takdir sehingga hamba  seakan-akan dipaksa tanpa memiliki kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama  sekali. Mereka menyampaikan sebenarnya hamba itu dipaksa untuk menuruti  takdir. Oleh lantaran itu, kelompok ini dikenal dengan Jabariyyah.
 
  Keyakinan dua kelompok di atas ialah keyakinan yang salah sebagaimana  ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya ialah firman Allah,
 
  “(yaitu) bagi siapa di antara kau yang mau menempuh jalan yang lurus.  Dan kau tidak sanggup menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila  dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” QS. At Takwir ayat 28-29
 
  Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua kelompok  di atas. Pada ayat, “(yaitu) bagi siapa di antara kau yang mau menempuh  jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk jabariyyah lantaran pada ayat  ini Allah memutuskan adanya kehendak (pilihan) bagi hamba. Kaprikornus insan  tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri. Kemudian pada ayat  selanjutnya, “Dan kau tidak sanggup menghendaki (menempuh jalan itu)  kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” merupakan  bantahan untuk qodariyyah yang menyampaikan bahwa kehendak insan itu  bangkit sendiri dan diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung  pada kehendak Allah. Ini perkataan yang salah lantaran pada ayat tersebut,  Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.
 
 2. Keyakinan yang Benar Dalam Mengimani Takdir
 
  Keyakinan yang benar ialah bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat,  kekufuran dan kerusakan terjadi dengan ketetapan Allah lantaran tidak ada  pencipta selain Dia. Semua perbuatan hamba yang baik maupun yang jelek  ialah termasuk makhluk Allah. Dan hamba tidaklah dipaksa dalam setiap  yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang menentukan untuk melakukannya.
 
  As Safariny mengatakan, “Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama  terdahulu (salaf) dan Ahlus Sunnah yang hakiki ialah meyakini bahwa  Allah membuat kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba. Dan hambalah  yang menjadi pelaku perbuatan yang dia lakukan secara hakiki. Dan Allah  menyebabkan hamba sebagai pelakunya, sebagaimana firman-Nya (yang  artinya),
 
 “Dan kau tidak sanggup menghendaki (menempuh jalan  itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” QS. At  Takwir ayat 29
 
 Maka dalam ayat ini Allah memutuskan kehendak  hamba dan Allah mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak terjadi  kecuali dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih oleh  Ahlus Sunnah.”
 
 Sebagian orang ada yang salah paham dalam  memahami takdir. Mereka menyangka bahwa seseorang yang mengimani takdir  itu hanya pasrah tanpa melaksanakan alasannya ialah sama sekali. Contohnya ialah  seseorang yang meninggalkan istrinya berhari-hari untuk berdakwah keluar  kota. Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun harta untuk kehidupan  istri dan anaknya. Lalu dia mengatakan, “Saya pasrah, biarkan Allah  yang akan memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini ialah suatu kesalahan  dalam memahami takdir.
 
 Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita  untuk mengimani takdir-Nya, di samping itu Allah juga memerintahkan  kita untuk mengambil alasannya ialah dan melarang kita bermalas-malasan. Apabila  kita telah mengambil sebab, namun kita mendapat hasil yang  sebaliknya, maka kita dilarang berputus asa dan bersedih lantaran hal  ini sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah. Oleh lantaran itu, Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
 “Bersemangatlah dalam  hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan janganlah  malas. Apabila kau tertimpa sesuatu, janganlah kau berkata:  ‘Seandainya saya berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’,  tetapi katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah  ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya)  lantaran ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim)
 
 3. Buah Beriman Kepada Takdir
 
  Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah ialah  hati menjadi hening dan tidak pernah risau dalam menjalani hidup ini.  Seseorang yang mengetahui bahwa petaka itu ialah takdir Allah, maka  dia yakin bahwa hal itu niscaya terjadi dan mustahil seseorang pun  lari darinya.
 
 Dari Ubadah bin Shomit, ia pernah menyampaikan  pada anaknya, “Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah sampai engkau  beriman kepada takdir yang baik maupun yang jelek dan engkau harus  mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu  dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu. Saya mendengar  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takdir itu demikian.  Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak beriman menyerupai ini, maka dia  akan masuk neraka.” (Shohih. Lihat Silsilah Ash Shohihah no. 2439)
 
  Maka apabila seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia  akan menyikapi segala petaka yang ada dengan tenang. Hal ini niscaya  berbeda dengan orang yang tidak beriman pada takdir dengan benar, yang  sudah barang tentu akan merasa duka dan gelisah dalam menghadapi  musibah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk sabar dalam menghadapi  segala cobaan yang merupakan takdir Allah. 
 
 
 
 
 
 
  
  
  Kaum muslimin yang semoga dimuliakan oleh Allah ta’ala, salah satu  rukun kepercayaan yang wajib diimani oleh setiap muslim ialah beriman kepada  takdir baik maupun buruk.
 
 Perlu diketahui bahwa beriman kepada takdir ada empat tingkatan :
 
  Beriman kepada ilmu Allah yang ajali sebelum segala sesuatu itu ada. Di  antaranya seseorang harus beriman bahwa amal perbuatannya telah  diketahui (diilmui) oleh Allah sebelum dia melakukannya.
 
 Mengimani bahwa Allah telah menulis takdir di Lauhul Mahfuzh.
 Mengimani masyi’ah (kehendak Allah) bahwa segala sesuatu yang terjadi ialah lantaran kehendak-Nya.
 
  Mengimani bahwa Allah telah membuat segala sesuatu. Allah ialah  Pencipta satu-satunya dan selain-Nya ialah makhluk termasuk juga amalan  manusia.
 
 Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas ialah firman Allah ta’ala
 
  Apakah kau tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa  saja yang ada di langit dan di bumi?; sebenarnya yang demikian itu  terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian  itu amat gampang bagi Allah. (QS Al-Hajj ayat 70)
 
 Kemudian dalil dari tingkatan ketiga di atas ialah firman Allah
 
  Dan kau tidak sanggup menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila  dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (QS At Takwir ayat 29)
 
 Sedangkan untuk tingkatan keempat, dalilnya ialah firman Allah
 
 Padahal Allah-lah yang membuat kau dan apa yang kau perbuat itu”. QS. Ash-Shaffaat ayat 96
 
 Macam-Macam Takdir
 
 Takdir umum meliputi segala yang ada.
  Takdir ini dicatat di Lauhul Mahfuzh. Dan Allah telah mencatat takdir  segala sesuatu sampai hari kiamat. Takdir ini umum bagi seluruh makhluk.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
  “Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah ialah qalam (pena).  Allah berfirman kepada qalam tersebut, “Tulislah”. Kemudian qalam  berkata, “Wahai Rabbku, apa yang akan saya tulis?” Allah berfirman,  “Tulislah takdir segala sesuatu yang terjadi sampai hari kiamat.” (HR.  Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if  Sunan Abi Daud).
 
 Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum.
  Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana terdapat pada hadits Ibnu Mas’ud,  di mana janin yang sudah ditiupkan ruh di dalam rahim ibunya akan  ditetapkan mengenai 4 hal:
 
 1. Rizki
 2. Ajal
 3. Amal dan
 4. Sengsara atau berbahagia.
 
 Takdir Tahunan yaitu takdir yang ditetapkan pada malam lailatul qadar mengenai insiden dalam setahun. Allah ta’ala berfirman,
 
 “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan ayat 4).
 
  Ibnu Abbas mengatakan, “Pada malam lailatul qadar, ditulis pada ummul  kitab segala kebaikan, keburukan, rizki dan kematian yang terjadi dalam  setahun.” (Lihat Ma’alimut Tanzil, Tafsir Al Baghowi)
 
 Seorang  muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan terperinci ini.  Barangsiapa yang mengingkari sedikit saja dari keduanya, maka dia tidak  beriman kepada takdir. Dan berarti dia telah mengingkari salah satu  rukun kepercayaan yang wajib diimani.
 
 1. Salah Dalam Menyikapi Takdir
 
 Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang mengingkari takdir dan ada pula yang terlalu hiperbola dalam menetapkannya.
 
  Yang pertama ini dikenal dengan Qodariyyah. Dan di dalamnya ada dua  kelompok lagi. Kelompok pertama ialah yang paling ekstrem. Mereka  mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu dan mengingkari pula apa  yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh. Mereka menyampaikan bahwa Allah  memerintah dan melarang, namun Allah tidak mengetahui siapa yang taat  dan berbuat maksiat. Perkara ini gres saja diketahui, tidak didahului  oleh ilmu Allah dan takdirnya. Namun kelompok menyerupai ini sudah musnah  dan tidak ada lagi.
 
 Kelompok kedua ialah yang memutuskan ilmu  Allah, namun meniadakan masuknya perbuatan hamba pada takdir Allah.  Mereka menganggap bahwa perbuatan hamba ialah makhluk yang bangkit  sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak pula menghendakinya.  Inilah madzhab mu’tazilah.
 
 Kebalikan dari Qodariyyah ialah  kelompok yang hiperbola dalam memutuskan takdir sehingga hamba  seakan-akan dipaksa tanpa memiliki kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama  sekali. Mereka menyampaikan sebenarnya hamba itu dipaksa untuk menuruti  takdir. Oleh lantaran itu, kelompok ini dikenal dengan Jabariyyah.
 
  Keyakinan dua kelompok di atas ialah keyakinan yang salah sebagaimana  ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya ialah firman Allah,
 
  “(yaitu) bagi siapa di antara kau yang mau menempuh jalan yang lurus.  Dan kau tidak sanggup menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila  dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” QS. At Takwir ayat 28-29
 
  Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua kelompok  di atas. Pada ayat, “(yaitu) bagi siapa di antara kau yang mau menempuh  jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk jabariyyah lantaran pada ayat  ini Allah memutuskan adanya kehendak (pilihan) bagi hamba. Kaprikornus insan  tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri. Kemudian pada ayat  selanjutnya, “Dan kau tidak sanggup menghendaki (menempuh jalan itu)  kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” merupakan  bantahan untuk qodariyyah yang menyampaikan bahwa kehendak insan itu  bangkit sendiri dan diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung  pada kehendak Allah. Ini perkataan yang salah lantaran pada ayat tersebut,  Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.
 
 2. Keyakinan yang Benar Dalam Mengimani Takdir
 
  Keyakinan yang benar ialah bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat,  kekufuran dan kerusakan terjadi dengan ketetapan Allah lantaran tidak ada  pencipta selain Dia. Semua perbuatan hamba yang baik maupun yang jelek  ialah termasuk makhluk Allah. Dan hamba tidaklah dipaksa dalam setiap  yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang menentukan untuk melakukannya.
 
  As Safariny mengatakan, “Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama  terdahulu (salaf) dan Ahlus Sunnah yang hakiki ialah meyakini bahwa  Allah membuat kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba. Dan hambalah  yang menjadi pelaku perbuatan yang dia lakukan secara hakiki. Dan Allah  menyebabkan hamba sebagai pelakunya, sebagaimana firman-Nya (yang  artinya),
 
 “Dan kau tidak sanggup menghendaki (menempuh jalan  itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” QS. At  Takwir ayat 29
 
 Maka dalam ayat ini Allah memutuskan kehendak  hamba dan Allah mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak terjadi  kecuali dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih oleh  Ahlus Sunnah.”
 
 Sebagian orang ada yang salah paham dalam  memahami takdir. Mereka menyangka bahwa seseorang yang mengimani takdir  itu hanya pasrah tanpa melaksanakan alasannya ialah sama sekali. Contohnya ialah  seseorang yang meninggalkan istrinya berhari-hari untuk berdakwah keluar  kota. Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun harta untuk kehidupan  istri dan anaknya. Lalu dia mengatakan, “Saya pasrah, biarkan Allah  yang akan memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini ialah suatu kesalahan  dalam memahami takdir.
 
 Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita  untuk mengimani takdir-Nya, di samping itu Allah juga memerintahkan  kita untuk mengambil alasannya ialah dan melarang kita bermalas-malasan. Apabila  kita telah mengambil sebab, namun kita mendapat hasil yang  sebaliknya, maka kita dilarang berputus asa dan bersedih lantaran hal  ini sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah. Oleh lantaran itu, Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
 “Bersemangatlah dalam  hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan janganlah  malas. Apabila kau tertimpa sesuatu, janganlah kau berkata:  ‘Seandainya saya berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’,  tetapi katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah  ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya)  lantaran ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim)
 
 3. Buah Beriman Kepada Takdir
 
  Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah ialah  hati menjadi hening dan tidak pernah risau dalam menjalani hidup ini.  Seseorang yang mengetahui bahwa petaka itu ialah takdir Allah, maka  dia yakin bahwa hal itu niscaya terjadi dan mustahil seseorang pun  lari darinya.
 
 Dari Ubadah bin Shomit, ia pernah menyampaikan  pada anaknya, “Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah sampai engkau  beriman kepada takdir yang baik maupun yang jelek dan engkau harus  mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu  dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu. Saya mendengar  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takdir itu demikian.  Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak beriman menyerupai ini, maka dia  akan masuk neraka.” (Shohih. Lihat Silsilah Ash Shohihah no. 2439)
 
  Maka apabila seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia  akan menyikapi segala petaka yang ada dengan tenang. Hal ini niscaya  berbeda dengan orang yang tidak beriman pada takdir dengan benar, yang  sudah barang tentu akan merasa duka dan gelisah dalam menghadapi  musibah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk sabar dalam menghadapi  segala cobaan yang merupakan takdir Allah. 
 
 
 
 
              
          
          
        
          
        
 
 
  
   Sebuah kisah seorang cowok berumur 15tahun. Seorang cowok  darah biru kaya raya,ia telah ditinggalkan mati oleh ayahnya dan  memperoleh harta warisan yang sangat banyak.
 
 Pada suatu hari ia  mengikuti majelis pengajian yang diadakan oleh Syekh berjulukan Abdul  Wahid.Di dalam majelis itu ada seorang penerima pengajian yang membacakan  Al Qur'an, ayat 111 surat At-Taubah: "Sesungguhnya Allah telah membeli diri orang mukminin, jiwa dan harta mereka dengan bayaran jannah (surga)".
  Lalu cowok tadi berkata : "Ya Abdul Wahid, sungguh Allah telah membeli  dari kaum mukminin jiwa dan harta mereka, dan akan dibayar dengan  jannah? Jawabku, "Ya, benar hai anakku tercinta," Lalu ia berkata, "Ya,  Abdul Wahid, saksikanlah bahwa saya telah menjual diri dan hartaku untuk  menerima jannah!"
 
 Maka saya katakan kepadanya, "Sesungguhnya  tajamnya pedang itu berat dihadapi, dan kau masih anak-anak, dan saya  khawatir kalau-kalau kau tidak tabah, tidak sabar sehingga mereka tidak  berpengaruh melanjutkan usaha itu." Pemuda itu menjawab,"Aku menjual diri  kepada Allah untuk menerima Jannah, kemudian lemah?? Saksikanlah sekali  lagi bahwa saya telah menjual diriku kepada Allah." Karena itu kami  merasa malu, anak kecil sanggup berbuat demikian, sedang kami tidak, maka  cowok itu segera menyedekahkan semua hartanya kecuali kuda dan  pedangnya, dan sekedar harta untuk bekalnya.
 
 Dan dikala telah  tiba masa keberangkatan pasukan, maka dialah yang pertama-tama tiba dan  mengucapkan,"Assalaamu`alaika ya Abdul Wahid". Jawabku,"Wa`alaikum salam  warahmatullahi wabarakatuh, biar Allah menunjukkan laba dalam  jualanmu".
 
 Kemudian dalam perjalanan maka cowok itu selalu  puasa di waktu siang dan bangkit malam dan menjaga kami di waktu malam,  dan melayani keperluan-keperluan kami di waktu siang, bahkan ia  merangkap memelihara ternak kami sehingga sampailah kita diperbatasan  Negeri Rum.
 
 Tiba-tiba pada suatu hari ia tiba terburu-buru  sambil berseru, “Alangkah rinduku pada Al-Aina Al-Mardhiyah .. !!",  sehingga banyak orang menyangka mungkin ia terganggu ingatannya.
 
  Maka saya sambut ia,"Wahai anakku tercinta, siapakah Al-Aina  Al-Mardhiyah?" jawabnya, "Aku tadi tertidur sebentar, tiba-tiba saya  mimpi ada orang tiba kepadaku dan berkata, "Mari saya bawa kau kepada  Al-Aina Al-Mardhiyah," kemudian saya dibawa ke suatu kebun di tepi sungai  yang airnya jernih segar, dan di sana banyak gadis-gadis manis yang  lengkap dengan tambahan yang tidak sanggup saya katakan.Dan dikala melihat  kepadaku, mereka merasa besar hati dan berkata, "Itulah suami Al-Aina  Al-Mardhiyah, maka saya ucapkan,"Assalamu`alaikum apakah disini kawasan  Al-Aina Al-Mardhiyah?".Mereka menjawab,"Kami hamba dan pelayan, teruslah  berjalan ke depan."
 
 Kemudian saya teruskan perjalanan tiba-tiba  bertemu dengan sungai susu yang tidak berubah rasanya ditengah-tengah  kebun(taman),juga dikelilingi gadis-gadis sangat cantik, dan dikala  mereka melihatku,langsung berkata, "Demi Allah itulah suami Al-Aina  Al-Mardhiyah telah tiba, kemudian saya salam, "Assalamu`alaikum, apakah ada  diantara kau Al-Aina Al-Mardhiyah?" kemudian mereka berkata, "Kami hanya  hamba dan
 pelayan-pelayannya, silahkan maju terus.".
 
  Tiba-tiba saya bertemu dengan sungai anggur disuatu lembah yang juga  dipakai sebagai kawasan bersuka ria gadis-gadis yang sangat manis  molek, sehingga saya lupa kecantikan gadis-gadis sebelumnya. Akupun  mengucapkan, "Assalamu`alaikum, apakah ada diantara kalian Al-Aina  Al-Mardhiyah?". "Tidak, kami hanya hamba dan pelayannya, teruskan jalan  ke depan," jawab mereka.
 
 Tiba-tiba saya bertemu dengan sungai  madu dan kebunnya yang penuh dengan gadis-gadis cantik, yang  kecantikannya bagaikan cahaya, maka saya ucapkan, "Assalamu`alaikum,  apakah di sini ada Al-Aina Al-Mardhiyah?".Mereka menjawab, "Ya  Waliyallah, kami hamba dan pelayannya,majulah terus."
 
 Dan  dikala saya berjalan tiba-tiba saya bertemu kemah dari permata yang  berlubang, dan di muka kemah itu ada gadis penjaga pintu yang sangat  manis dan lengkap dengan perhiasannya. Maka dikala ia melihatku, ia  besar hati dan segera berseru, wahai Al-Aina Al-Mardhiyah, inilah suamimu  telah datang, maka pribadi saya mendekat ke kemah itu. Tiba-tiba ia  sedang duduk diatas kawasan tidur emas yang
 bertaburkan permata yaqut dan berlian,dan dikala melihatnya benar-benar saya terpesona lantaran kecantikannya.
 
  Lalu ia menyambut saya dengan kalimat, "Marhaban bin Waliyir rahman,  sudah hampir (dekat) pertemuan kita." Maka saya pribadi akan  mendekapnya, tetapi ia berkata, "Sabarlah dahulu, belum masanya, lantaran  kau masih hidup di dunia, tetapi malam ini kau berbuka puasa disini,  Insya Allah."
 
 Kemudian saya bangkit dari tidurku itu, hai Abdul  Wahid,dan rasa-rasanya saya tidak sabar lagi.Abdul Wahid berkata,”Maka  belum final ia melanjutkan ceritanya tiba-tiba terlihat pasukan musuh,  maka kami pergi menyerangnya bahu-membahu cowok itu, dan saya  perhatikan ia telah membunuh sembilan orang kafir, maka segera saya pergi  melihatnya, tiba-tiba ia tersenyum dengan berlumur darah sehingga ia  meninggal dunia (Rahimahullah)."
 
 Dikutip dari : Abu Laits As Samarqandi, Tanbihul Ghofilin hal 1004-1009
 
 Dan (di dalam nirwana itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli, (Al Qur'an, Surat 56 : 22)
  Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi  manis - cantik.Bidadari-bidadari yang jelita, putih higienis dipingit  dalam rumah.
 Mereka tidak pernah disentuh oleh insan sebelum mereka dan tidak pula oleh jin.
 (Al Qur'an, Surat 55 : 70,72,74)