Rabu, 12 September 2018

Bukan Baju Lebaran Biasa

Bukan Baju Lebaran Biasa

Kita sudah hingga di penghujung Ramadhan. Setelah ini Insya Allah kita akan berhari raya. Kita salat Idul Fithri dan bersilaturahim dengan sesama muslim. Di antara tradisi tahunan bagi dominan ummat Islam di negeri kita ini yakni beraya atau berlebaran dengan pakaian baru.

Baju gres untuk lebaran tidak hanya diminati oleh anak-anak, tapi orang cukup umur pun ikut dengan tradisi menggunakan baju gres untuk hari lebaran. Tidak hanya baju, tapi juga celana, bantalan kaki. Bahkan pakaian pergi salat Id menyerupai sarung, baju gunting cina dan kopiah juga diperbarui.

Lihatlah ke pasar, atau sentra perbelanjaan. Ummat Islam tumpah ruah di sana. Tidak jarang diskon besar-besaran disengaja oleh pihak toko. Walaupun bahwasanya mereka sudah mempersiapkan stok untuk dihabiskan pada masa sebelum lebaran. Untuk inilah mungkin di antara alasan mengapa lebaran harus pakai pemberian yang disebut THR.

Tidak ada yang salah dengan tradisi berpakaian gres di hari raya. Jika dengan baju gres yang indah dan higienis itu kita bisa berhari raya, maka ada nilai pahala yang kita dapatkan. Karena Islam sangat menyayangi keindahan. Dengan semangat berbelanja lebaran ternyata bisa mendongkrak ekonomi masyarakat terutama para pedagang. Mereka rela tidak mudik demi berjualan menjelang lebaran. Karena bagi mereka berjualan sebelum lebaran yakni "hari raya"-nya para pedagang.

Namun sebagian kita ummat Islam masih terpaku memaknai pakaian hari raya dengan pakaian fisik dan jasmani tanpa memaknainya dengan pakaian rohani. Dalam bahasa Arab, pakaian biasa disebut dengan  (لباس) libas. Kata ini pernah disebutkan Allah dalam Surah Al-A'raf ayat 26

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu yakni sebahagian dari gejala kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.

Allah menyebutkan pakaian yang paling baik yakni takwa. Maka menjadi penting bagi setiap orang yang telah menyediakan pakaian gres untuk lebaran untuk juga menyiapkan pakaian takwa bagi dirinya. Pakaian takwa itulah yang senantiasa di pakai baik ketika lebaran maupun di luar lebaran. Bagi yang belum sempat membeli pakaian gres untum lebaran, tidak usah bersedih. Karena sebaik-baik pakaian yang Allah sebut dalam Quran yakni takwa.

Kita yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan didasari kepercayaan dan penuh keihklasan tentunya yang paling pantas diwisuda di hari raya dengan sebutan/ yudisium takwa. Ujung ayat perintah puasa menyebutkan لعلكم تتقون (agar kau menjadi langsung yang bertakwa).

Kenakanlah pakaian terindahmu untuk jasmanimu di hari raya, tapi jangan lupakan pakaian rohanimu. Karena sesungguhnya kau bukanlah makhluk yang hanya dikenal dengan fisik dan jasmanimu, tapi lebih dari itu kau yakni makhluk yang dilebihkan atas makhluk yang lain berupa rohani. Maka beri juga pakaian takwa untuk rohanimu.

Selamat (menyambut) Idul Fitri. Semoga ibadah dan amal saleh kita diterima Allah. Semoga Allah ampuni dosa-dosa kita. Kami sekeluarga juga mohon maaf kepada semua jamaah dan pembaca semua atas segala salah dan khilaf. Semoga kita benar-benar menjadi langsung yang bertakwa. Aamiin. Takengon, 29 Ramadhan 1439 H. Wassalamu Alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.

Bismillah

Bismillah

 Dalam sebuah hadis Baginda Rasulullah bersabda
كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه ببسم الله الرحمن الرحيم فهو أبتر 
Setiap masalah penting yang tidak dimulai dengan "bismillahirrahmanirrahim" maka masalah tersebut terputus (H.R. Abu Dawud, An-Nasa'i, Ibn Majah dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah) juga ditemukan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal)

Sanad hadis di atas dinilai dhaif oleh dominan ulama. Namun, ada juga yang menilai derajat hadis ini hasan di antaranya An-Nawawi dan Ibn Hajar. Abdul Aziz bin Baz menyampaikan hasan lighairihi.
Terlepas dari hadis di atas, dalam hadis lain ada banyak tawaran memulai sesuatu dengan nama Allah. Ketika mau tidur, kita membaca  doa bismika Allahumma ahya wa amutu. Ketika kita keluar rumah, kita berserah diri kepada Allah dengan membaca  Bismillahi tawakkaltu ala Allahi la haula wala quwwata illah billahi. Ketika memulai makan, kita membaca Bismillah. Bahkan kalau kita lupa, tetap dianjurkan membaca Bismillahi awwaluhu wa akhiruhu. Hewan yang zatnya dihalalkan Allah menyerupai ayam, kambing dan sapi tetap tidak halal kalau disembelih tanpa menyebut nama Allah. Bahkan dikala hendak bekerjasama suami istri, diperintahkan berdoa Bismillahi Allahumma janibna al-syaithani. 

Begitu pentingnya memulai sesuatu dengan nama Allah, maka kita mulai bahan pengajian subuh kita dengan bismillah. Izinkan saya mengulang kaji ihwal makna bismillah. Lafal bismillah terdiri atas tiga kata yaitu bi, ismi, dan Allah. Kita temukan terjemahannya dalam Quran "dengan nama Allah".

Dalam makna "bi" tersirat ada makna "mulai". Ketika kita membaca bismillah setiap memulai kegiatan dan pekerjaan kita,  maka berarti "kita mulai pekerjaan kita dengan nama Allah". Makna lain yang juga tersirat dari kata "bi" yaitu "kekuasaan, izin dan dukungan Allah".

Ketika kita mulai pengajian ini dengan bismillah,  itu artinya pengajian ini sanggup terealisasi atas izin dan dukungan Allah. Allah-lah yang berkuasa mengakibatkan sesuatu perbuatan terwujud. Kita tidur tadi malam kemudian dikembalikan Allah ruh kita. Kita berangkat menuju masjid untuk menunaikan salat terjadi atas izin Allah. Apapun yang kita lakukan semuanya terjadi atas kekuasaan dan dukungan Allah.

Kata "ism" biasa diterjemahkan dengan "nama". Kata ini berasal dari akar kata السمو (assumuwwu) yang berarti "tinggi". Langit disebut dengan السماء (al-sama') alasannya ketinggiannya. Ada juga yang menyampaikan berasal dari kata السمة (assimatu) yang berarti tanda. 


Baca Juga:
Allah, Tuhan dan The God

Menurut Al-Thabathaba'i, nama ditujukan untuk dua tujuan. Pertama untuk mengekalkan sesuatu. Ketika nama seorang tokoh dijadikan sebagai nama jalan misalnya, diperlukan biar tokoh itu abadi dalam ingatan manusia. Hampir setiap kota memakai nama duo proklamator Soekarno-Hatta. Harapan dari penamaan itu yaitu biar keduanya tetap dikenang oleh setiap orang. Kedua, dengan nama sesuatu diperlukan memperoleh berkat/sifat terpuji. Ketika seseorang memberi nama anaknya dengan Muhammad misalnya, diperlukan biar anak meneladani sifat terpuji Nabi Muhammad Saw.

Al-Maraghi menyampaikan bahwa orang Arab pra-Islam biasa memulai pekerjaan mereka dengan nama berhala. Mereka biasa menyebut bismil lata, bismil uza. Bangsa-bangsa lain memulai pekerjaan mereka dengan nama raja mereka. Mereka menyebutkan nama berhala yang mereka agungkan dengan tujuan meninggikan berhalanya sekaligus berharap mendapat berkah yang akan diberikan oleh berhala yang mereka agungkan itu.

Selaku orang beriman, maka sepatutnya kita memulai segala perbuatan baik yang kita lakukan dengan ucapan bismillah. Orang yang mengucapkan bismillah berarti meninggikan Allah. Dalam konteks tauhid, memulai pekerjaan dengan menyebut nama Allah berarti kita yakin dan percaya bahwa perbuatan dan pekerjaan yang kita lakukan hanya sanggup terwujud atas izin dan dukungan Allah.

Semoga dengan ucapan bismillah kita berharap nilai pekerjaan itu abadi dan pekerjaan yang kita lakukan diberkahi oleh Allah. Jika pekerjaan tidak dimulai dengan menyebut bismillah, maka keberlanjutan dan berkah dari pekerjaan sulit diharapkan. Hadis di atas yang kita sampaikan di awal kajian ini paling tidak juga menyebutkan hal itu.
____
Disampaikan pertama kali dalam pengajian subuh di Masjid Taqwa Muhammadiyah Aceh Tengah pada hari Kamis, 24 Sya'ban 1439 H/ 10 Mei 2018

Selasa, 11 September 2018

Puasa Sepanjang Masa

Puasa Sepanjang Masa

Ramadan gres saja berlalu meninggalkan kita. Entah kita masih berkesempatan untuk bertemu dan ikut ambil bab dengan rangkaian ibadanya di tahun-tahun berikutnya atau tidak. Bagi setiap mukmin yang mengecap betapa nikmat dan indahnya Ibadah puasa di bulan Ramadan, ada ibadah puasa lain yang dapat dilakukan yaitu berpuasa enam hari di bulan Syawal.

Rasulullah, melalui hadis dari Abu Ayyub Al-Anshoriy menyebutkan

Hadis ini di-ikhraj-kan oleh banyak andal hadis yaitu Ahmad (5/417 nomor 23580), 'Abd ibn Hamid (h. 104, nomor 228), Muslim (2/822 nomor 1164), Abu Dawud (2/324 nomor 2433), At-Tirmizi (3/132 nomor 759), Al-Nasai dalam Sunan Al-Kubra (2/163 nomor 2862), Ibn Majah (1/547 nomor 1716) dan Ibn Hibban (8/396 nomor 3634).

Apa Maksud Puasa Addahri (Sepanjang Masa)?

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ"

Siapa yang berpuasa bulan rahmat kemudian dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka bagaikan telah berpuasa sepanjang masa.

Apa yang dimaksud dengan puasa addahri? Yaitu bagaikan puasa setahun penuh atau sepanjang masa. Ulama menjelaskan bagaimana maksud dapat puasa setahun penuh? Karena setiap kebaikan diganjari dengan sepuluh kali lipatnya. Puasa bulan rahmat sebulan dikali sepuluh berarti 10 bulan. Puasa 6 hari berarti 60 hari setara dengan hitungan dua bulan. Ini hitung-hitungan dua belas bulan setahun.

Begitu besarnya ganjaran dari ibadah ini maka betapa ruginya orang yang tidak mau ikut ambil bab dengan ibadah ini. Hukum puasa Syawal ialah sunat. Berpahala melaksanakannya, rugi bila tidak melaksanakannya. Namun, meninggalkannya tidak dihitung dosa.

Bagaimana Cara Melaksanakannya?
Imam al- Nawawi dalam Kitab syarah shahih Muslim mengatakan, cara utama dalam melakukan puasa Syawal ialah dengan pribadi berpuasa sehari setelah idul fitri. Namun bila tidak pribadi setelah hari idul fitri, tetap dianggap memenuhi maksud puasa Syawal. Kendatipun puasanya di pertengahan atau di selesai Syawal.


Mengambil Peringatan Dari Program Peringatan Nuzul Alquran

Mengambil Peringatan Dari Program Peringatan Nuzul Alquran

Sebelum Alquran diturunkan,  kondisi masyarakat Arab ketika itu berada dalam masa jahiliah. Jahiliah tidak dipahami dalam pengertian bodoh dan bodoh dalam ilmu dan peradaban. Buktinya bangsa Arab waktu itu telah mengenal ilmu perbintangan dan pertukaran trend yang mereka gunakan untuk keperluan perdagangan ekspor impor (رحلة للشتاء والصيف). Jahilah dipahami sebagai kondisi bodoh dan bodoh dalam perkara tauhid.

Satu teladan bentuk jahiliahnya masyarakat Arab waktu itu sebagaimana diceritakan oleh Umar ibn Khatab. Jika ingat masa itu sanggup menangis dan sanggup tertawa. Umar menangis bila ingat bagaimana dia membunuh anak perempuannya dengan menguburnya hidup-hidup. Umar tertawa geli bila ingat pernah memakan tuhan yang dibentuk dari gandum. Ada berhala yang dibentuk dari gandum. Berhala itu disembah. Namun ketika trend paceklik tiba tuhan tadi dimakan. Meskipun kebenaran riwayat terkait Umar yang mengubur anak ini diperselisihkan oleh ulama, namun tradisi jahiliah mengubur anak wanita hidup-hidup itu dibenarkan ulama ada di Arab walau bukan dilakukan oleh suku Quraisy.Itulah di antara citra jahiliah. 

Dalam keadaan jahiliyah menyerupai itu Nabi Muhammad mengasingkan diri di gua Hirak. Di sanalah ia mendapatkan wahyu untuk pertama kalinya. Iqra'!.Ayat ini tidak berbunyi Iqra'il Qur'an atau Iqra'ul Qur'an!. Tapi hanya Iqra'! Hebatnya wahyu pertama ini memerintahkan untuk membaca tanpa menyebutkan objek apa yang dibaca. Ketika suatu perintah muncul tanpa menyebutkan objek tertentu yang diperintahkan--dalam perkara ayat ini membaca--dipahami bahwa objek yang diperintahkan itu bersifat luas dan tidak terbatas.
Perintah membaca ini tidak hanya dimaknai dengan membaca ayat-ayat Allah yang tertulis, tapi juga membaca ayat-ayat Allah yang tidak tertulis, termasuk membaca alam semesta. "Alam terkembang dijadikan guru" begitu di antara pepatah populer. Perintah membaca sanggup dipahami sebagai pintu gerbang ilmu pengetahuan dan peradaban. Perintah membaca di ayat ini juga dipahami dengan membaca masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Perintah membaca tantangan, peluang dan harapan. Pendek kata, bacalah semua yang ada dan sanggup dibaca.

Alquran Sebagai Petunjuk Bagi Manusia
Ayat yang dibacakan oleh Qori di awal acara kita tadi (شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ) menyampaikan bahwa Alquran ialah sebagai petunjuk bagi insan secara umum. Ayat ini tidak membedakan jenis manusianya menyerupai apa, apakah manusianya seorang muslim atau kafir, apakah manusianya seorang yang taat atau seorang pendosa, apakah bawah umur atau orang cukup umur atau orang tua. Ayat ini tidak menyebutkan dengan batasan siapa insan yang akan menerima petunjuk dari Allah. Artinya, bahwa petunjuk Alquran itu ialah berlaku bagi semua orang, tanpa dibedakan apa pun latar belakangnya.

Kita kutip kembali penggalan kisah Umar bin Khatab dalam konteks hidayah Islam yang diterimanya sebelum Islam. Dikisahkan bahwa Umar yang belum Islam menerima hidayah doktrin ketika membaca Alquran yang diambilnya dari adiknya.

Umar yang sangat benci dengan Islam dan berencana membunuh Nabi Muhammad. Betapa marahnya Umar ketika mendengar adik wanita yang dicintainya ternyata beriman dengan aliran yang dibawa oleh Muhammad. Umar tidak jadi pergi membunuh Nabi Muhammad dan berbalik arah menuju ke rumah adiknya. Sesampai di rumah adiknya, didapati adiknya sedang membaca sesuatu yang belakangan diketahui Umar ialah Alquran. Pendek kata, Umar menerima hidayah sehabis membaca potongan ayat Alquran dan meyakini bahwa apa yang dibacanya bukanlah perkataan manusia, tapi sesuatu yang indah dan berasal dari Zat Yang Maha Agung.

Sebagian kita mungkin juga tahu bahwa ada orang yang sanggup hidayah Islam sehabis mengalami banyak sekali lika-liku kehidupan. Ada yang sanggup hidayah Islam di penjara. Ada yang sanggup hidayah sehabis berlumuran dosa sebelumnya. Ada yang sanggup hidayah sehabis kehilangan keluarga, harta benda, jabatan dan lain sebagainya. Ada juga yang sanggup hidayah Islam tanpa melalui itu semua. Alquran petunjuk bagi semua manusia.

Alquran Sebagai Petunjuk Bagi Orang Yang Bertakwa
Dalam ayat yang lain, Q.S. Albaqarah ayat 2 hingga 5 disebutkan bahwa Alquran ialah sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa. Jika disandingkan ayat ini dengan ayat dalam Albaqarah ayat 185 di atas, tampaknya terdapat pernyataan yang bertolak belakang. Satu ayat menyampaikan hidayah itu bagi semua manusia. Ayat lain menyampaikan hidayah itu diperuntukkan bagi orang yang bertakwa.

Buya Hamka menyampaikan betul bahwa Alquran sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa. Betul juga pernyataan ayat yang menyampaikan bahwa Alquran sebagai petunjuk bagi insan keseluruhannya tanpa dibedakan dia insan bertakwa atau tidak bertakwa. Hanya saja, bagi orang yang bertakwa Alquran ialah petunjuk bagaikan jalan tol yang bebas hambatan. Tidak demikian halnya dengan insan lain yang tidak bertakwa. Mereka sanggup saja mendapatkan petunjuk sehabis melalui banyak sekali hambatan, rintangan, tantangan berupa kemudian lampu merah, kemacetan dan mungkin jalan yang rusak. Bahkan ada yang mengalami kecelakaan di jalan raya. Beda halnya dengan jalan tol, jalan ini bebas macet, tanpa lampu merah dan jalannya tidak rusak.

Demikianlah halnya keberadaan Alquran sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa. Ia ialah petunjuk yang akan didapatkan dengan cepat tanpa melalui banyak rintangan dan hambatan. Tidak perlu bergelimang dosa dulu gres menerima petunjuk. Andai bergelimang dosa dalam keadaan belum menerima petunjuk, dalam ketika yang sama yang bersangkutan meninggal dunia, maka mati dalam keadaan berdosa. Maka penting bagi kita memberi peringatan kepada diri kita semoga berusaha menjadi langsung yang bertakwa semoga cepat sanggup petunjuk.

Siapa mereka yang disebut sebagai orang yang bertakwa? Puasa yang kita lakukan alasannya ialah doktrin dan keikhlasan insya Allah akan berbuah takwa. Kita akan keluar menjadi langsung yang bertakwa. La'allakum tattaqun, demikian suara ujung ayat perintah puasa dalam surah Albaqarah tersebut.

Dalam Surah Albaqarah ayat 3 hingga ayat 5 disebutkan paling tidak ada lima kategori langsung bertakwa yang akan mendapatkan hidayah Alquran. Yaitu orang yang beriman dengan yang gaib, mendirikan salat, bersedekah dengan harta yang telah diberikan Allah kepada dirinya, beriman dengan kitab suci yang Allah turunkan, percaya akan adanya akhirat. Ditegaskan pada ujung ayat kelima surah ini, merekalah yang beroleh petunjuk dari Allah dan kelima golongan itu juga disebut sebagai orang yang beruntung.

"Peringatan" dari Peringatan Acara Nuzul Alquran
Setiap tahun diadakan program peringatan/ memperingati nuzul Alquran. Pertanyaannya ialah dari setiap tahun program peringatan itu, sudahkan kita memberi peringatan kepada diri kita masing-masing tentang  bagaimana meraih petunjuk dari Alquran itu? Sudahkah kita memberi peringatan kepada diri kita perihal pentingnya membaca Alquran? Bagi yang belum lancar membaca Alquran, sudahkan dibentuk peringatan tegas bagi diri kita perihal ruginya orang yang tidak sanggup membaca Alquran. Bagi yang jarang membaca Alquran. sudahkan mengambil peringatan semoga intensitas membaca Alquran ditingkatkan. Lebih lanjut, sudahkah kita memberi peringatan kepada diri kita bagaimana caranya menjadikan Alquran sebagai petunjuk. Bagaimana mungkin akan meraih petunjuk Alquran dengan jalur tol, bila tidak berinteraksi dengan Alquran.

____
Disarikan dari penyampaian ceramah Nuzul AlQuran di Masjid Nurul Iman Burni Bius Kec. Silih Nara Kab. Aceh Tengah pada malam 19 Ramadhan 1439 H/ 3 Juni 2018
Mengambil Peringatan Dari Program Peringatan Nuzul Alquran

Mengambil Peringatan Dari Program Peringatan Nuzul Alquran

Sebelum Alquran diturunkan,  kondisi masyarakat Arab ketika itu berada dalam masa jahiliah. Jahiliah tidak dipahami dalam pengertian bodoh dan bodoh dalam ilmu dan peradaban. Buktinya bangsa Arab waktu itu telah mengenal ilmu perbintangan dan pertukaran trend yang mereka gunakan untuk keperluan perdagangan ekspor impor (رحلة للشتاء والصيف). Jahilah dipahami sebagai kondisi bodoh dan bodoh dalam perkara tauhid.

Satu teladan bentuk jahiliahnya masyarakat Arab waktu itu sebagaimana diceritakan oleh Umar ibn Khatab. Jika ingat masa itu sanggup menangis dan sanggup tertawa. Umar menangis bila ingat bagaimana dia membunuh anak perempuannya dengan menguburnya hidup-hidup. Umar tertawa geli bila ingat pernah memakan tuhan yang dibentuk dari gandum. Ada berhala yang dibentuk dari gandum. Berhala itu disembah. Namun ketika trend paceklik tiba tuhan tadi dimakan. Meskipun kebenaran riwayat terkait Umar yang mengubur anak ini diperselisihkan oleh ulama, namun tradisi jahiliah mengubur anak wanita hidup-hidup itu dibenarkan ulama ada di Arab walau bukan dilakukan oleh suku Quraisy.Itulah di antara citra jahiliah. 

Dalam keadaan jahiliyah menyerupai itu Nabi Muhammad mengasingkan diri di gua Hirak. Di sanalah ia mendapatkan wahyu untuk pertama kalinya. Iqra'!.Ayat ini tidak berbunyi Iqra'il Qur'an atau Iqra'ul Qur'an!. Tapi hanya Iqra'! Hebatnya wahyu pertama ini memerintahkan untuk membaca tanpa menyebutkan objek apa yang dibaca. Ketika suatu perintah muncul tanpa menyebutkan objek tertentu yang diperintahkan--dalam perkara ayat ini membaca--dipahami bahwa objek yang diperintahkan itu bersifat luas dan tidak terbatas.
Perintah membaca ini tidak hanya dimaknai dengan membaca ayat-ayat Allah yang tertulis, tapi juga membaca ayat-ayat Allah yang tidak tertulis, termasuk membaca alam semesta. "Alam terkembang dijadikan guru" begitu di antara pepatah populer. Perintah membaca sanggup dipahami sebagai pintu gerbang ilmu pengetahuan dan peradaban. Perintah membaca di ayat ini juga dipahami dengan membaca masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Perintah membaca tantangan, peluang dan harapan. Pendek kata, bacalah semua yang ada dan sanggup dibaca.

Alquran Sebagai Petunjuk Bagi Manusia
Ayat yang dibacakan oleh Qori di awal acara kita tadi (شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ) menyampaikan bahwa Alquran ialah sebagai petunjuk bagi insan secara umum. Ayat ini tidak membedakan jenis manusianya menyerupai apa, apakah manusianya seorang muslim atau kafir, apakah manusianya seorang yang taat atau seorang pendosa, apakah bawah umur atau orang cukup umur atau orang tua. Ayat ini tidak menyebutkan dengan batasan siapa insan yang akan menerima petunjuk dari Allah. Artinya, bahwa petunjuk Alquran itu ialah berlaku bagi semua orang, tanpa dibedakan apa pun latar belakangnya.

Kita kutip kembali penggalan kisah Umar bin Khatab dalam konteks hidayah Islam yang diterimanya sebelum Islam. Dikisahkan bahwa Umar yang belum Islam menerima hidayah doktrin ketika membaca Alquran yang diambilnya dari adiknya.

Umar yang sangat benci dengan Islam dan berencana membunuh Nabi Muhammad. Betapa marahnya Umar ketika mendengar adik wanita yang dicintainya ternyata beriman dengan aliran yang dibawa oleh Muhammad. Umar tidak jadi pergi membunuh Nabi Muhammad dan berbalik arah menuju ke rumah adiknya. Sesampai di rumah adiknya, didapati adiknya sedang membaca sesuatu yang belakangan diketahui Umar ialah Alquran. Pendek kata, Umar menerima hidayah sehabis membaca potongan ayat Alquran dan meyakini bahwa apa yang dibacanya bukanlah perkataan manusia, tapi sesuatu yang indah dan berasal dari Zat Yang Maha Agung.

Sebagian kita mungkin juga tahu bahwa ada orang yang sanggup hidayah Islam sehabis mengalami banyak sekali lika-liku kehidupan. Ada yang sanggup hidayah Islam di penjara. Ada yang sanggup hidayah sehabis berlumuran dosa sebelumnya. Ada yang sanggup hidayah sehabis kehilangan keluarga, harta benda, jabatan dan lain sebagainya. Ada juga yang sanggup hidayah Islam tanpa melalui itu semua. Alquran petunjuk bagi semua manusia.

Alquran Sebagai Petunjuk Bagi Orang Yang Bertakwa
Dalam ayat yang lain, Q.S. Albaqarah ayat 2 hingga 5 disebutkan bahwa Alquran ialah sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa. Jika disandingkan ayat ini dengan ayat dalam Albaqarah ayat 185 di atas, tampaknya terdapat pernyataan yang bertolak belakang. Satu ayat menyampaikan hidayah itu bagi semua manusia. Ayat lain menyampaikan hidayah itu diperuntukkan bagi orang yang bertakwa.

Buya Hamka menyampaikan betul bahwa Alquran sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa. Betul juga pernyataan ayat yang menyampaikan bahwa Alquran sebagai petunjuk bagi insan keseluruhannya tanpa dibedakan dia insan bertakwa atau tidak bertakwa. Hanya saja, bagi orang yang bertakwa Alquran ialah petunjuk bagaikan jalan tol yang bebas hambatan. Tidak demikian halnya dengan insan lain yang tidak bertakwa. Mereka sanggup saja mendapatkan petunjuk sehabis melalui banyak sekali hambatan, rintangan, tantangan berupa kemudian lampu merah, kemacetan dan mungkin jalan yang rusak. Bahkan ada yang mengalami kecelakaan di jalan raya. Beda halnya dengan jalan tol, jalan ini bebas macet, tanpa lampu merah dan jalannya tidak rusak.

Demikianlah halnya keberadaan Alquran sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa. Ia ialah petunjuk yang akan didapatkan dengan cepat tanpa melalui banyak rintangan dan hambatan. Tidak perlu bergelimang dosa dulu gres menerima petunjuk. Andai bergelimang dosa dalam keadaan belum menerima petunjuk, dalam ketika yang sama yang bersangkutan meninggal dunia, maka mati dalam keadaan berdosa. Maka penting bagi kita memberi peringatan kepada diri kita semoga berusaha menjadi langsung yang bertakwa semoga cepat sanggup petunjuk.

Siapa mereka yang disebut sebagai orang yang bertakwa? Puasa yang kita lakukan alasannya ialah doktrin dan keikhlasan insya Allah akan berbuah takwa. Kita akan keluar menjadi langsung yang bertakwa. La'allakum tattaqun, demikian suara ujung ayat perintah puasa dalam surah Albaqarah tersebut.

Dalam Surah Albaqarah ayat 3 hingga ayat 5 disebutkan paling tidak ada lima kategori langsung bertakwa yang akan mendapatkan hidayah Alquran. Yaitu orang yang beriman dengan yang gaib, mendirikan salat, bersedekah dengan harta yang telah diberikan Allah kepada dirinya, beriman dengan kitab suci yang Allah turunkan, percaya akan adanya akhirat. Ditegaskan pada ujung ayat kelima surah ini, merekalah yang beroleh petunjuk dari Allah dan kelima golongan itu juga disebut sebagai orang yang beruntung.

"Peringatan" dari Peringatan Acara Nuzul Alquran
Setiap tahun diadakan program peringatan/ memperingati nuzul Alquran. Pertanyaannya ialah dari setiap tahun program peringatan itu, sudahkan kita memberi peringatan kepada diri kita masing-masing tentang  bagaimana meraih petunjuk dari Alquran itu? Sudahkah kita memberi peringatan kepada diri kita perihal pentingnya membaca Alquran? Bagi yang belum lancar membaca Alquran, sudahkan dibentuk peringatan tegas bagi diri kita perihal ruginya orang yang tidak sanggup membaca Alquran. Bagi yang jarang membaca Alquran. sudahkan mengambil peringatan semoga intensitas membaca Alquran ditingkatkan. Lebih lanjut, sudahkah kita memberi peringatan kepada diri kita bagaimana caranya menjadikan Alquran sebagai petunjuk. Bagaimana mungkin akan meraih petunjuk Alquran dengan jalur tol, bila tidak berinteraksi dengan Alquran.

____
Disarikan dari penyampaian ceramah Nuzul AlQuran di Masjid Nurul Iman Burni Bius Kec. Silih Nara Kab. Aceh Tengah pada malam 19 Ramadhan 1439 H/ 3 Juni 2018

Senin, 10 September 2018

Kembali Ke Fitrah, Kembali Menjalankan Pedoman Agama

Kembali Ke Fitrah, Kembali Menjalankan Pedoman Agama

Dalam suasana Syawal masih relevan kiranya kita bahas wacana fitrah. Bagaimana kaitannya dengan kembali kepada fitrah (idul Fithri)?. Kita kaji Firman Allah Surah Al-Rum ayat 30

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui. (Q.S. al-Rum/ 30: 30)
Ayat ini merupakan perintah kepada Nabi Muhammad dan juga kepada kita umat beliau untuk menghadapkan wajah, dalam artian diri dan segenap jiwa raga kita, kepada al-Din dalam keadaan lurus. Menghadapkan segenap jiwa raga itu dihentikan tidak lurus. Harus benar-benar lurus keseluruhannya. Seumpama kita bangun di hadapan seseorang di arah barat, maka dihentikan menghadapkan kepala ke barat kemudian dada menghadap ke utara atau sebaliknya. Maka dihentikan dalam keadaan menghadap kepada al-Din ini, dalam dikala yang bersamaan juga menghadap ke hal lain selain al-Din ini. Oleh kesannya diperintahkan menghadapkan dan mengarahkan semua perhatian dengan lurus kepada agama yang disyariatkan. Artinya menghadap secara totalitas.

Selanjutnya Allah memerintahkan kita untuk tetap mempertahankan fitrah Allah yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. Dalam potongan ayat ini ditemukan kata fithrah. Ibnu Manzhur, dalam kamus Lisanul Arab menyebutkan kata fitrah berarti sesuatu pengetahuan wacana Tuhan yang diciptakan oleh Allah bagi manusia. Ia berasal dari kata fathara yang berarti penciptaan awal yang belum ada pola sebelumnya. Di antaranya firman Allah dalam surat Fathir ayat 1 menyebutkan الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ  (segala puji bagi Allah sebagai pencipta lagit dan bumi). Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa ia tidak mengetahui makna fathir al-samawati wa al-ardhi sampai pada suatu hari melihat dua orang arab bertengkar wacana kepemilikan sumur. Salah seorang dari mereka menyebutkan ana fathartuha (saya yang pertama membuatnya). 

Poin yang ingin saya sampaikan dari pernyataan Ibnu Manzhur ini ialah bahwa fithrah ialah sesuatu yang sengaja diciptakan oleh Allah kemudian diberikan kepada insan sebagai bekal bagi insan untuk hingga mengenal Allah atau untuk bertauhid. Sejalan dengan pendapat di atas, Al-Raghib al-Ashfahaniy dalam kitab ­Mufradat-nya menyebutkan bahwa fitrah ialah pengetahuan keimanan yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia. Sampai di sini kita pahami bahwa fitrah (fithrah) adalah potensi dasar yang diberikan oleh Allah bagi setiap insan untuk bertauhid dan mengenal agama dengan baik.

Lalu Allah sebutkan tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Fitrah itu tetap ada bagi setiap manusia. Fitrah yang Allah berikan itu tidak akan berubah. Quraish Shihab menyebutkan bahwa sekelas Firaun yang mengaku sebagai ilahi sekalipun di selesai hayatnya memunculkan akreditasi yang terlambat dengan menyampaikan “aku beriman dengan Tuhannya Musa dan Harun”. Pengakuan itu berdasarkan Quraish Shihab ialah fitrah beragama yang tetap itu.

Lalu muncul pertanyaan bagaimana dengan orang yang ternyata kini kita temukan tidak beragama dengan agama yang lurus? Nabi sebutkan dalam hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah sebagaimana dikutip al-Suyuthi:

وأخرج البخاري ومسلم وابن المنذر وابن أبي حاتم وابن مردويه عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم " ما من مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء ؟ " ثم يقول أبو هريرة رضي الله عنه : اقرأوا ان شئتم فطرة الله التي فطر عليها لا تبديل لخلق الله لذلك الدين القيم
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Ibn Munzhir, Ibn Hatim dan Ibn Mardawaih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak satupun bayi yang terlahir ke dunia ini kecuali atas dasar fitrah. Lalu kedua orang tuanya yang menjadikannya menganut agama yahudi, nashrani atau majusi. Seperti halnya hewan yang lahir sempurna. Apakah kau menemukan ada anggota badannya yang terpotong, kecuali kalau kau yang memotongnya?.” Kemudian Abu Hurairah berkata: bacalah fithratallahi (ayat 30 surat al-Rum).

Dalam hadis ini disebutkan bahwa tidak satu pun bayi yang terlahir ke dunia ini kecuali atas dasar fitrah. Lalu kedua orang tuanya, dalam hal ini sebagai lingkungan terdekat bagi seorang bayi, yang menjadikannya menganut agama Yahudi, Kristen atau Majusi. Orang bau tanah ialah lingkungan pertama yang mengakibatkan anak sanggup menjauhi fitrahnya. Tidak hanya orang tua. Lingkungan, sekolah, kawan, bahkan masyarakat juga besar lengan berkuasa dalam membuat anak akan tetap pada fitrahnya atau menjauhi fitrahnya.

Melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa adanya fitrah keagamaan yang perlu dipertahankan oleh manusia. Bukankah awal ayat ini merupakan perintah untuk mempertahankan dan meningkatkan apa yang selama ini telah dilakukan oleh Rasul Saw., yakni menghadapkan wajah ke agama yang benar? Bukankah itu yang dinamai oleh ayat ini sebagai fitrah? Bukankah itu yang ditunjukkannya sebagai agama yang benar? Jika demikian, ayat ini berbicara wacana fitrah keagamaan.

Ayat di atas mempersamakan antara fitrah dengan agama yang benar, sebagaimana dipahami dari lanjutan ayat yang menyatakan “itulah agama yang lurus”. Jika pernyataan ini dikaitkan dengan pernyataan sebelumnya  bahwa Alllah yang telah membuat insan atas fitrah itu, ini berarti bahwa agama yang benar atau agama Islam ialah agama yang sesuai dengan fitrah itu. Juga dipahami bahwa fitrah beragama akan membawa insan kepada agama yang lurus. Ketika ada orang yang tidak beragama sesuai dengan agama yang lurus (al-Din al-Qayyim), itu alasannya ialah ia telah lari menghindar dari fitrahnya. Sebagaimana disebutkan oleh hadis di atas.

Sebagai bukti bahwa adanya fitrah beragama atau fitrah ketauhidan yang diberikan kepada insan ialah dengan adanya kesaksian insan pada dikala sebelum ia dilahirkan ke atas bumi ini. Kesaksian itu ialah menyatakan bahwa Allah sebagai rabb (Tuhan). Bagi kita umat Islam, warta wacana “perjanjian” kesaksian kita dengan Allah itu diinformasikan Allah dalam Surah al-A’raf ayat 172

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan belum dewasa Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) semoga di hari selesai zaman kau tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) ialah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Q.S. al-A'raf/ 7: 172)

Terkait klarifikasi ayat ini kita bahas pada pertemuan yang lain In Sya’a Allah.

Lalu Bagaimana Kaitan Fitrah Dengan Idul Fitri?

Idul fitri ialah hari kemenangan alasannya ialah kita telah mengisi siang dan malam hari Ramadhan dengan puasa dan ibadah sunnah lainnya dengan keyakinan dan ikhlas. Sebagai ganjarannya, Allah ampuni dosa kita yang telah berlalu. Itulah kemenangan yang kita rayakan dengan bertakbir membesarkan Allah, bertahlil mengesakan Allah serta bertahmid memuji Allah.

Idul Fitri atau kembali fitrah idealnya juga ialah kita kembali kepada fitrah bertauhid kita, fitrah kita beragama dan menjalankan aliran agama. Idul fitri ialah kembali menjalankan aliran agama. Idul fitri bukanlah kita yang telah menjalankan aliran agama selama bulan Ramadhan, kemudian kita lupakan aliran itu selepas Ramadhan. Baru akan kembali melakukan aliran agama pada bulan Ramadhan yang akan datang. Ini sejatinya bukanlah Idul Fitri.

Karena fitrah ialah potensi dasar yang diberikan oleh Allah bagi setiap insan untuk bertauhid dan mengenal agama dan selanjutnya sanggup menjalankan agama dengan baik, maka kembali kepada fitrah tentunya kembali melakukan ibadah wajib dan sunnah yang sudah dilaksanakan di bulan Ramadhan. Orang yang telah beridul Fitri tentunya kembali shalat ke masjid, kembali mengaji, berinfak dan berderma, kembali mengikuti pengajian, kembali berpuasa dengan puasa sunnah. Pendek kata, orang yang telah beridul fitri ialah orang yang kembali menegakkan agama dalam dirinya. Bukan malah meninggalkan agama, apalagi malah kembali ke kubangan dosa dan maksiat lagi. Tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui. Bunyi ujung ayat 30 surah al-Rum ini.

Hadanallahu wa iyyakum. Billahi taufiq walhidayah, warridho walinayah.  

___
Disampaikan pertama kali untuk pengajian subuh di Masjid Taqwa Muhammadiyah Aceh Tengah pada hari Kamis tanggal 14 Syawal 1439 H/ 28 Juni 2018 M
Kembali Fitri Jangan Kembali Berdosa Lagi

Kembali Fitri Jangan Kembali Berdosa Lagi

Taqabbalallahu minna wa minkum. Wa ja'alana minal 'aidin walfaizin.

Selamat untuk kita semua yang telah berpuasa dengan dogma dan nrimo lantaran Allah. Karena hari ini kita telah mendapat komitmen Allah berupa ampunan dari dosa yang telah berlalu. Sehingga hari ini kita disebut kembali kepada kondisi tanpa dosa sebagaimana layaknya seorang bayi yang gres lahir, suci tanpa dosa, Idul fitri.

Sebagian juga menyebutkan, selamat berhari raya. Selamat merayakan kemenangan. Menang bukan lantaran kita telah bebas dan merdeka dari rasa haus dan lapar yang kita lalui selama satu bulan. Kita menang alasannya sudah berhasil melawan musuh terbesar yang ada dalam diri kita, yaitu keinginan/ nafsu.

Namun sangat disayangkan. Masih ada di antara sebagian kita yang merayakan kemenangan dengan cara yang tidak tepat. Di beberapa kawasan kemenangan dirayakan dengan letupan mercun dan hiasan kembang api yang sejatinya bukan tradisi Islam. Uang THR dipakai untuk hal mubazir pembeli mercun dan kembang api yang harganya luar biasa mahalnya.

Dulu mungkin ada program hiburan di kampung yang digagas dan dipersiapkan dengan baik oleh para perjaka pemudi kampung. Ada pertunjukkan drama. Juga ada pentas seni tari yang diisi oleh bawah umur sekolah. Ada juga pertandingan bola kaki. Lomba balap karung dan permainan tradisional lainnya. Bahkan juga ada buayan ka[li]liang, ibarat wahana bianglala. Uniknya ia tidak digerakkan oleh mesin, tapi diputar bersama memakai tenaga para pemuda. Uang THR tetap berputar dan beredar di kampung.

Perubahan zaman terjadi dengan cepat. Tradisi usang itu sudah susah ditemukan. Yang ada kini kita temukan hiburan dan pasar malam yang acaranya digagas bukan lagi oleh perjaka kampung. Tapi, ini yakni bisnis yang tiba dari luar kampung. Uang THR sudah beredar luas hingga ke tangan pengusaha pasar malam.

Ada juga masyarakat berpesta merayan idul fitri dengan dentuman musik hingar-bingar. Menampilkan penyanyi yang tidak menutup aurat. Lalu program itu ditonton oleh masyarakat umum. Bergabung menontonnya ayah, anak, mamak dan kemenakan. Hilang rasa malu. Hilang basa basi, hilang raso jo pareso.

Tidak jarang, program hiburan itu dikunjungi oleh pemuda-pemudi dari luar kampung. Terkadang juga terdengar kerusuhan kecil berupa pertengkaran pemuda. Tapi ini tidak sering terjadi. Tidak diketahui juga apa penyebabnya. Entah lantaran bersenggolan ketika berjoget. Atau lantaran mereka lupa diri disebabkan efek minuman memabukkan. Tidak ada yang tahu niscaya apa penyebabnya. Informasi niscaya juga susah didapat. Yang ada hanya sisa botol bekas minuman keras di lokasi acara.

Ada juga yang mengikat hiburan musik ini dengan program 'amal' menggalang dana dengan program lelang kue, lelang singgang ayam atau bahkan lelang kambing guling. Acara ini juga memanfaatkan momen para perantau pulang kampung. Dana yang terkumpul biasanya diperuntukkan untuk pembangunan kampung, minimal membangun posko pemuda.

Kembali ke topik pembicaraan. Idul fitri bukanlah hari merayakan kemenangan nafsu yang sudah dipuasakan sebulan penuh. Idul fitri juga bukan hari raya untuk berpesta dengan melupakan silaturahim dan kekeluargaan. Idul fitri bukanlah hari kemenangan dengan melupakan ibadah yang sudah dilatih dan dibiasakan sebulan penuh. Idul fitri yakni hari raya membesarkan Allah (wa li tukabbirullah).

Idul fitri yakni hari raya kembali kepada kondisi fitri, kembali kepada kondisi suci. Bukan kembali lagi berdosa dan kembali ke kubangan maksiat lagi. Idul fitri yakni bagaimana rasanya keluar dari masa karantina dan pelatihan. Maka usaha yang sungguh berat bergotong-royong bukan pada ketika latihan, tapi setelah latihan.

Idul fitri yakni layaknya waktu awal bagi para siswa, santri dan mahasiswa kembali ke masyarakat setelah menamatkan pendidikannya. Idul fitri bagaikan masa awal mempraktekkan ilmu dan training yang sudah didapat di dingklik pendidikan.

Contoh yang sering disampaikan oleh buya dan tengku di mesjid dan musalla ketika ceramah yakni bagaimana ayam yang gres dibeli dikenalkan pada kandangnya. Biasanya dalam masa tiga hari seekor ayam dikurung dalam kandangnya. Setelah itu jikalau dilepas, ia akan kembali ke kandangnya pada senja harinya.

Contoh lain bagaimana seekor beruk yang diajar dan dilatih memetik kelapa. Setelah selesai pelatihannya, beruk dihadapkan pada kenyataan memetik kelapa yang sesungguhnya. Berpindah dari satu pohon ke pohon berikutnya untuk melakukan tugasnya memetik kelapa. Ia tetap patuh dan tunduk pada arahan tuannya. Walau terkadang ada godaan dan kendala yang dilaluinya ibarat bertemu sarang semut atau bahkan hewan berbisa.

Kita selaku makhluk terpelajar tentu mustahil sama ibarat ayam dan beruk dalam pola di atas. Kita yang sudah dilatih sebulan mengendalikan hawa nafsu tentunya jauh lebih cerdas dari dua pola di atas. Kita yang sudah melatih diri kita salat ke masjid selama bulan berkat hendaknya tidak melupakan jalan ke masjid. Kita sudah melatih diri kita untuk salat malam selama Ramadan. Tentunya juga kita lanjutkan praktek latihan sebulan itu setelah Ramadan. Kita juga sudah latihan berinfak dan bersedekah selama Ramadan. Hendaknya juga melanjutkan tradisi itu setelah Ramadan. Kita yang sudah tadarus dan membaca Quran bahkan hingga khatam, hendaknya tidak berhenti membacanya di luar Ramadan.

Terkadang kita merasa iba lantaran bulan berkat hanya sebagai pemberhentian sementara dari dosa bagi sebagian orang. Kita juga duka ketika melihat masjid musalla hanya berisi di bulan Ramadan. Kita harusnya aib lantaran ibadah kita masih bersifat musiman.

Kita patutnya menangis jikalau ternyata sesudah 'Idul Fitri (kembali suci) kita menjadi 'Idul Ma'ashi atau 'Idul 'Ishyani (kembali berdosa lagi). Semoga tidak ada lagi saudara kita yang kembali berjudi, mabuk dan mencuri setelah Ramadan. Semoga tidak ada lagi perbuatan curang dan riba dalam jual beli pasca Ramadan. Semoga tidak ada lagi praktek suap, memotong hak orang lain dan korupsi mulai Syawal ini. Aamiin.

Kita bermohon kepada Allah supaya menjadi hamba yang istiqamah beriman dan bersedekah serta menghindari perbuatan dosa. Selamat Idul Fitri. Semoga Allah terima ibadah dan amal soleh kita. Semoga Allah ampuni dosa-dosa kita, sihingga benar-benar menjadi hamba yang kembali suci dan tetap suci hingga final hidup nanti. Aamiin.

#idmubarak
Kembali Ke Fitrah, Kembali Menjalankan Pedoman Agama

Kembali Ke Fitrah, Kembali Menjalankan Pedoman Agama

Dalam suasana Syawal masih relevan kiranya kita bahas wacana fitrah. Bagaimana kaitannya dengan kembali kepada fitrah (idul Fithri)?. Kita kaji Firman Allah Surah Al-Rum ayat 30

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui. (Q.S. al-Rum/ 30: 30)
Ayat ini merupakan perintah kepada Nabi Muhammad dan juga kepada kita umat beliau untuk menghadapkan wajah, dalam artian diri dan segenap jiwa raga kita, kepada al-Din dalam keadaan lurus. Menghadapkan segenap jiwa raga itu dihentikan tidak lurus. Harus benar-benar lurus keseluruhannya. Seumpama kita bangun di hadapan seseorang di arah barat, maka dihentikan menghadapkan kepala ke barat kemudian dada menghadap ke utara atau sebaliknya. Maka dihentikan dalam keadaan menghadap kepada al-Din ini, dalam dikala yang bersamaan juga menghadap ke hal lain selain al-Din ini. Oleh kesannya diperintahkan menghadapkan dan mengarahkan semua perhatian dengan lurus kepada agama yang disyariatkan. Artinya menghadap secara totalitas.

Selanjutnya Allah memerintahkan kita untuk tetap mempertahankan fitrah Allah yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. Dalam potongan ayat ini ditemukan kata fithrah. Ibnu Manzhur, dalam kamus Lisanul Arab menyebutkan kata fitrah berarti sesuatu pengetahuan wacana Tuhan yang diciptakan oleh Allah bagi manusia. Ia berasal dari kata fathara yang berarti penciptaan awal yang belum ada pola sebelumnya. Di antaranya firman Allah dalam surat Fathir ayat 1 menyebutkan الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ  (segala puji bagi Allah sebagai pencipta lagit dan bumi). Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa ia tidak mengetahui makna fathir al-samawati wa al-ardhi sampai pada suatu hari melihat dua orang arab bertengkar wacana kepemilikan sumur. Salah seorang dari mereka menyebutkan ana fathartuha (saya yang pertama membuatnya). 

Poin yang ingin saya sampaikan dari pernyataan Ibnu Manzhur ini ialah bahwa fithrah ialah sesuatu yang sengaja diciptakan oleh Allah kemudian diberikan kepada insan sebagai bekal bagi insan untuk hingga mengenal Allah atau untuk bertauhid. Sejalan dengan pendapat di atas, Al-Raghib al-Ashfahaniy dalam kitab ­Mufradat-nya menyebutkan bahwa fitrah ialah pengetahuan keimanan yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia. Sampai di sini kita pahami bahwa fitrah (fithrah) adalah potensi dasar yang diberikan oleh Allah bagi setiap insan untuk bertauhid dan mengenal agama dengan baik.

Lalu Allah sebutkan tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Fitrah itu tetap ada bagi setiap manusia. Fitrah yang Allah berikan itu tidak akan berubah. Quraish Shihab menyebutkan bahwa sekelas Firaun yang mengaku sebagai ilahi sekalipun di selesai hayatnya memunculkan akreditasi yang terlambat dengan menyampaikan “aku beriman dengan Tuhannya Musa dan Harun”. Pengakuan itu berdasarkan Quraish Shihab ialah fitrah beragama yang tetap itu.

Lalu muncul pertanyaan bagaimana dengan orang yang ternyata kini kita temukan tidak beragama dengan agama yang lurus? Nabi sebutkan dalam hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah sebagaimana dikutip al-Suyuthi:

وأخرج البخاري ومسلم وابن المنذر وابن أبي حاتم وابن مردويه عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم " ما من مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء ؟ " ثم يقول أبو هريرة رضي الله عنه : اقرأوا ان شئتم فطرة الله التي فطر عليها لا تبديل لخلق الله لذلك الدين القيم
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Ibn Munzhir, Ibn Hatim dan Ibn Mardawaih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak satupun bayi yang terlahir ke dunia ini kecuali atas dasar fitrah. Lalu kedua orang tuanya yang menjadikannya menganut agama yahudi, nashrani atau majusi. Seperti halnya hewan yang lahir sempurna. Apakah kau menemukan ada anggota badannya yang terpotong, kecuali kalau kau yang memotongnya?.” Kemudian Abu Hurairah berkata: bacalah fithratallahi (ayat 30 surat al-Rum).

Dalam hadis ini disebutkan bahwa tidak satu pun bayi yang terlahir ke dunia ini kecuali atas dasar fitrah. Lalu kedua orang tuanya, dalam hal ini sebagai lingkungan terdekat bagi seorang bayi, yang menjadikannya menganut agama Yahudi, Kristen atau Majusi. Orang bau tanah ialah lingkungan pertama yang mengakibatkan anak sanggup menjauhi fitrahnya. Tidak hanya orang tua. Lingkungan, sekolah, kawan, bahkan masyarakat juga besar lengan berkuasa dalam membuat anak akan tetap pada fitrahnya atau menjauhi fitrahnya.

Melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa adanya fitrah keagamaan yang perlu dipertahankan oleh manusia. Bukankah awal ayat ini merupakan perintah untuk mempertahankan dan meningkatkan apa yang selama ini telah dilakukan oleh Rasul Saw., yakni menghadapkan wajah ke agama yang benar? Bukankah itu yang dinamai oleh ayat ini sebagai fitrah? Bukankah itu yang ditunjukkannya sebagai agama yang benar? Jika demikian, ayat ini berbicara wacana fitrah keagamaan.

Ayat di atas mempersamakan antara fitrah dengan agama yang benar, sebagaimana dipahami dari lanjutan ayat yang menyatakan “itulah agama yang lurus”. Jika pernyataan ini dikaitkan dengan pernyataan sebelumnya  bahwa Alllah yang telah membuat insan atas fitrah itu, ini berarti bahwa agama yang benar atau agama Islam ialah agama yang sesuai dengan fitrah itu. Juga dipahami bahwa fitrah beragama akan membawa insan kepada agama yang lurus. Ketika ada orang yang tidak beragama sesuai dengan agama yang lurus (al-Din al-Qayyim), itu alasannya ialah ia telah lari menghindar dari fitrahnya. Sebagaimana disebutkan oleh hadis di atas.

Sebagai bukti bahwa adanya fitrah beragama atau fitrah ketauhidan yang diberikan kepada insan ialah dengan adanya kesaksian insan pada dikala sebelum ia dilahirkan ke atas bumi ini. Kesaksian itu ialah menyatakan bahwa Allah sebagai rabb (Tuhan). Bagi kita umat Islam, warta wacana “perjanjian” kesaksian kita dengan Allah itu diinformasikan Allah dalam Surah al-A’raf ayat 172

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan belum dewasa Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) semoga di hari selesai zaman kau tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) ialah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Q.S. al-A'raf/ 7: 172)

Terkait klarifikasi ayat ini kita bahas pada pertemuan yang lain In Sya’a Allah.

Lalu Bagaimana Kaitan Fitrah Dengan Idul Fitri?

Idul fitri ialah hari kemenangan alasannya ialah kita telah mengisi siang dan malam hari Ramadhan dengan puasa dan ibadah sunnah lainnya dengan keyakinan dan ikhlas. Sebagai ganjarannya, Allah ampuni dosa kita yang telah berlalu. Itulah kemenangan yang kita rayakan dengan bertakbir membesarkan Allah, bertahlil mengesakan Allah serta bertahmid memuji Allah.

Idul Fitri atau kembali fitrah idealnya juga ialah kita kembali kepada fitrah bertauhid kita, fitrah kita beragama dan menjalankan aliran agama. Idul fitri ialah kembali menjalankan aliran agama. Idul fitri bukanlah kita yang telah menjalankan aliran agama selama bulan Ramadhan, kemudian kita lupakan aliran itu selepas Ramadhan. Baru akan kembali melakukan aliran agama pada bulan Ramadhan yang akan datang. Ini sejatinya bukanlah Idul Fitri.

Karena fitrah ialah potensi dasar yang diberikan oleh Allah bagi setiap insan untuk bertauhid dan mengenal agama dan selanjutnya sanggup menjalankan agama dengan baik, maka kembali kepada fitrah tentunya kembali melakukan ibadah wajib dan sunnah yang sudah dilaksanakan di bulan Ramadhan. Orang yang telah beridul Fitri tentunya kembali shalat ke masjid, kembali mengaji, berinfak dan berderma, kembali mengikuti pengajian, kembali berpuasa dengan puasa sunnah. Pendek kata, orang yang telah beridul fitri ialah orang yang kembali menegakkan agama dalam dirinya. Bukan malah meninggalkan agama, apalagi malah kembali ke kubangan dosa dan maksiat lagi. Tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui. Bunyi ujung ayat 30 surah al-Rum ini.

Hadanallahu wa iyyakum. Billahi taufiq walhidayah, warridho walinayah.  

___
Disampaikan pertama kali untuk pengajian subuh di Masjid Taqwa Muhammadiyah Aceh Tengah pada hari Kamis tanggal 14 Syawal 1439 H/ 28 Juni 2018 M