Kamis, 20 September 2018

Sedekah Sebagai Penderas Rezeki

Sedekah Sebagai Penderas Rezeki



Harta yang ada di tangan kita adalah titipan Allah. Harta titipan Allah harus digunakan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pemilik supaya memberikan manfaat pada kita baik selama hidup di dunia ataupun setelah meninggal. Salah satu caranya adalah dengan bersedekah. Betulkah sedekah bisa menderaskan rezeki?

Sedekah ibarat memberi "pinjaman pada Allah". Perhatikan ayat ini " Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan rezekinya di jalan Allah maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepadaNyalah kamu dikembalikan" (Q.S.Al Baqarah: 245). Kalau Allah yang meminjam harusnya masuk kategori "saham unggulan" karena berasal dari Zat yang Maha Kaya. Jika Allah yang meminjam pengembaliannya pasti jauh lebih besar dari apa yang dipinjamkan. Begitu pula Allah bisa mengambil apa yang menjadi milikNya dengan serta merta.



  • Sedekah melapangkan jalan rezeki. Bagi yang merasa sedang seret rezekinya bacalah ayat ini "...Dan barangsiapa yang sedang disempitkan rezekinya, maka hendaknya ia menafkahkan sebagian rezeki yang Allah berikan padanya" (Q.S.At-Thalaq : 7). Bagi otak kita yang terbatas pasti tidak bisa memahami, bagaimana mungkin saat kondisi keuangan susah diharuskan bersedekah untuk memancing rezeki datang kembali dalam jumlah lebih banyak. Bukankah bersedekah artinya mengeluarkan uang, sementara untuk memenuhi kebutuhan saja susah? Disinilah perlunya kewajiban Muslim untuk mempercayai janji Allah, janji yang tidak pernah ingkar. Jika bersedekah, sekecil apapun akan di balas olehNya.
  • Sedekah membawa rezeki yang berlipat 700 kali. Perhatikan janji Allah pada ayat ini "Perumpaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang mengeluarkan nafkahnya di jalan Allah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tipa butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunianya) lagi Maha Mengetahui" (Al Baqarah : 261). Kalau dilihat dari kacamata bisnis, inilah bisnis yang paling menguntungkan dan bebas rugi. Kalau bisnis dengan manusia pasti tetap ada potensi rugi, meskipun besar untungnya tapi tidak akan bisa menyaingi Zat yang Maha Memberi.

  • Sedekah mendekatkan surga sebagaimana pada ayat berikut " Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (yaitu) orang-orang yang menafkahkan  (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan" (Q.S.Al Imran : 133-134). Tidak ada rezeki terbesar yang diperoleh oleh setiap Muslim selain surga. Sedekah termasuk amal soleh yang akan menuntun kita menggapai surga Insya Allah.
  • Sedekah akan kembali pada kita. "Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah)  maka pahalanya itu untuk kamu sendiri dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan mencari keridhaan Allah, dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedangkan kamu sedikitpun tidak akan dirugikan "(Q.S.Al Baqarah : 272). Kalau kita bersedekah dengan harta yang baik , yang diperoleh secara halal di jalan yang diridhoi Allah maka pahalanya akan kembali kepada kita. Pahala yang kita peroleh bisa saja berupa rezeki yang berlipat, kesehatan dan keselamatan dari bencana.
  • Didoakan malaikat setiap hari. Tiada sehari pun sekalian hamba memasuki suatu pagi kecuali ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari keduanya berdoa "ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang menafkahkan hartanya". Sementara yang lain berdoa "ya Allah, berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan hartanya (HR Bukhari dan Muslim). Maukah kita didoakan malaikat setiap hari? Bayangkan betapa indahnya hidup jika di awali dengan sedekah sambil diiringi doa malaikat, maka sepanjang hari akan menjadi berkah dan dirahmati Allah SWT.

Bersegeralah bersedekah karena sedekah bisa menjadi penolak bala, penyubur pahala dan melipatgandakan rezeki. Wallahu alam bish shawab
Hadits Arbain Nawawi Ke 6 Ihwal Halal Haram Yang Sudah Jelas

Hadits Arbain Nawawi Ke 6 Ihwal Halal Haram Yang Sudah Jelas

Terjemah dan Syarah Hadits Arbain Nawawi Ke 6 Tentang Halal Haram Yang Sudah Jelas

الحديث السادس

عن أبي عبدالله النعمان بن بشير رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول " إن الحلال بين و الحرام بين , وبينهما مشتبهات قد لا يعلمهن كثير من الناس , فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه , ومن وقع في الشبهات فقد وقع في الحرام , كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه , ألا وأن لكل ملك حمى , ألا وإن حمى الله محارمه , إلا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله , وإذا فسدت فسد الجسد كله , ألا وهي القلب
Terjemahan:
Dari Abu 'Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma berkata,"Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang Halal itu terang dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada kasus yang samar-samar, kebanyakan insan tidak mengetahuinya, maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang kurang jelas itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam wilayah kurang jelas maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram, menyerupai penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja mempunyai larangan dan ingatlah bahwa larangan Alloh apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging bila ia baik maka oke seluruh jasadnya dan bila ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu ialah hati”.

[Bukhari no. 52, Muslim no. 1599] 


Kajian Hadits Arbain ke 6 Bersama Ustadz Abdul Somad, LC. MA




Terjemah dan Syarah Hadits Arbain Nawawi Ke  Hadits Arbain Nawawi Ke 6 Ihwal Halal Haram Yang Sudah Jelas


Penjelasan:
Hadits ini merupakan salah satu pokok syari’at Islam. Abu Dawud As Sijistani berkata, “Islam bersumber pada empat (4) hadits.” Dia sebutkan diantaranya ialah hadits ini. Para ulama telah setuju atas keagungan dan banyaknya manfaat hadits ini.

Kalimat, “Sesungguhnya yang Halal itu terang dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada kasus yang samar-samar” maksudnya segala sesuatu terbagi kepada tiga macam hokum. Sesuatu yang ditegaskan halalnya oleh Allah, maka dia ialah halal, menyerupai firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5 : 5),”Aku Halalkan bagi kau hal-hal yang baik dan masakan (sembelihan) jago kitab halal bagi kamu” dan firman-Nya dalam (QS. An-Nisaa 4:24), “Dan dihalalkan bagi kau selain dari yang tersebut itu” dan lain-lainnya. Adapun yang Allah nyatakan dengan tegas haramnya, maka dia menjadi haram, menyerupai firman Allah dalam (QS. An-Nisaa’ 4:23), “Diharamkan bagi kau (menikahi) ibu-ibu kamu, bawah umur wanita kau …..” dan firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5:96), “Diharamkan bagi kau memburu binatang didarat selama kau ihram”. Juga diharamkan perbuatan keji yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Setiap perbuatan yang Allah mengancamnya dengan eksekusi tertentuatau siksaan atau bahaya keras, maka perbuatan itu haram.

Adapun yang syubhat (samar) yaitu setiap hal yang dalilnya masih dalam pembicaraan atau pertentangan, maka menjauhi perbuatan semacam itu termasuk wara’. Para Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian syubhat yang diisyaratkan oleh Rasulullah . Pada hadits tersebut, sebagian Ulama beropini bahwa hal semacam itu haram hukumnya menurut sabda Rasulullah, “barangsiapa menjaga dirinya dari yang kurang jelas itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”. Barangsiapa tidak menyelamatkan agama dan kehormatannya, berarti dia telah terjerumus kedalam perbuatan haram. Sebagian yang lain beropini bahwa hal yang syubhat itu hukumnya halal dengan bantalan an sabda Rasulullah, “seperti penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang” kalimat ini mengatakan bahwa syubhat itu halal, tetapi meninggalkan yang syubhat ialah sifat yang wara’. Sebagian lain lagi berkata bahwa syubhat yang tersebut pada hadits ini tidak sanggup dikatakan halal atau haram, lantaran Rasulullah menempatkannya diantara halal dan haram, oleh lantaran itu kita menentukan membisu saja, dan hal itu termasuk sifat wara’ juga.

Dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadits dari ‘Aisyah, ia berkata : “Sa’ad bin Abu Waqash dan ‘Abd bin Zam’ah mengadu kepada Rasulullah wacana seorang anak laki-laki. Sa’ad berkata : Wahai Rasulullah anak pria ini ialah anak saudara laki-lakiku.’Utbah bin Abu Waqash. Ia (‘Utbah) mengaku bahwa anak pria itu ialah anaknya. Lihatlah kemiripannya” sedangkan ‘Abd bin Zam’ah berkata; “ Wahai Rasulullah, Ia ialah saudara laki-lakiku, Ia dilahirkan ditempat tidur ayahku oleh budak wanita milik ayahku”, kemudian Rasulullah memperhatikan wajah anak itu (dan melihat kemiripannya dengan ‘Utbah) maka dia Rasulullah bersabda : “Anak pria ini untukmu wahai ‘Abd bin Zam’ah, anak itu milik pria yang menjadi suami wanita yang melahirkannya dan bagi orang yang berzina hukumannya rajam. Dan wahai Saudah, berhijablah kau dari anak pria ini” semenjak ketika itu Saudah tidak pernah melihat anak pria itu untuk seterusnya.

Rasulullah telah menetapkan bahwa anak itu menjadi hak suami dari wanita yang melahirkannya, secara formal anak pria itu menjadi anak Zam’ah. ‘Abd bin Zam’ah ialah saudara pria Saudah, istri Rasulullah , lantaran Saudah putrid Zam’ah. Ketetapan semacam ini menurut suatu dugaan yang besar lengan berkuasa bukan suatu kepastian. Kemudian Rasulullah menyuruh Saudah untuk berhijab dari anak pria itu lantaran adanya syubhat dalam persoalan itu. Kaprikornus tindakan ini bersifat kehati-hatian. Hal itu termasuk perbuatan takut kepada Allah SWT, alasannya ialah bila memang niscaya dalam pandangan Rasulullah anak pria itu ialah anak Zam’ah, tentulah Rasulullah tidak menyuruh Saudah berhijab dari saudara laki-lakinya yang lain, yaitu ‘Abd bin Zam’ah dan saudaranya yang lain.

Pada Hadits ‘Adi bin Hatim, ia berkata : “Wahai Rasulullah, saya melepas anjing saya dengan ucapan Bismillah untuk berburu, kemudian saya dapati ada anjing lain yang melaksanakan perburuan” Rasulullah bersabda, “Janganlah kau makan (hewan buruan yang kau dapat) lantaran yang kau sebutkan Bismillah hanyalah anjingmu saja, sedang anjing yang lain tidak”. Rasulullah memberi pedoman semacam ini dalam persoalan syubhat lantaran dia khawatir bila anjing yang menerkam binatang buruan tersebut ialah anjing yang dilepas tanpa menyebut Bismillah. Kaprikornus seakan-akan binatang itu disembelih dengan cara diluar aturan Allah. Allah berfirman, “Sesungguhnya hal itu ialah perbuatan fasiq” (QS. Al-An’am 6:121)
Dalam pedoman ini Rasulullah mengatakan sifat kehati-hatian terhadap hal-hal yang masih samar wacana halal atau haramnya, lantaran sebab-sebab yang masih belum jelas. Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah , “Tinggalkanlah sesuatu yang mencurigai kau untuk berpegang pada sesuatu yang tidak mencurigai kamu”
Sebagian Ulama berpendapat, syubhat itu ada tiga macam :
1. Sesuatu yang sudah diketahui haramnya oleh insan tetapi orang itu ragu apakah masih haram hukumnya atau tidak. à contohnya makan daging binatang yang tidak niscaya cara penyembelihannya, maka daging semacam ini haram hukumnya kecuali terbukti dengan yakin telah disembelih (sesuai aturan Allah). Dasar dari perilaku ini ialah hadits ‘Adi bin Hatim menyerupai tersebut diatas.
2. Sesuatu yang halal tetapi masih diragukan kehalalannya, à menyerupai seorang pria yang punya istri namun ia ragu-ragu, apakah dia telah menjatuhkan thalaq kepada istrinya atau belum, ataukah istrinya seorang wanita budak atau sudah dimerdekakan. Hal menyerupai ini hukumnya mubah sampai diketahui kepastian haramnya, dasarnya ialah hadits ‘Abdullah bin Zaid yang ragu-ragu wacana hadats, padahal sebelumnya ia yakin telah bersuci.
3. Seseorang ragu-ragu wacana sesuatu dan tidak tahu apakah hal itu haram atau halal, dan kedua kemungkinan ini bisa terjadi sedangkan tidak ada petunjuk yang menguatkan salah satunya. Hal semacam ini sebaiknya dihindari, sebagaimana Rasulullah pernah melakukannya pada masalah sebuah kurma yang jatuh yang dia temukan dirumahnya, kemudian Rasulullah bersabda : “Kalau saya tidak takut kurma ini dari barang zakat, tentulah saya telah memakannya”
Adapun orang yang mengambil perilaku hati-hati yang berlebihan, menyerupai tidak memakai air bekas yang masih suci lantaran khawatir terkena najis, atau tidak mau sholat disuatu tempat yang higienis lantaran khawatir ada bekas air kencing yang sudah kering, mencuci pakaian lantaran khawatir pakaiannya terkena najis yang tidak diketahuinya dan sebagainya, perilaku semacam ini tidak perlu diikuti, alasannya ialah kehati-hatian yang hiperbola tanda adanya halusinasi dan bisikan setan, lantaran dalam persoalan tersebut tidak ada persoalan syubhat sedikitpun. Wallahu a’lam.

Kalimat, “kebanyakan insan tidak mengetahuinya” maksudnya tidak mengetahui wacana halal dan haramnya, atau orang yang mengetahui hal syubhat tersebut didalam dirinya masih tetap menghadapi keraguan antara dua hal tersebut, bila ia mengetahui bahu-membahu atau kepastiannya, maka keraguannya menjadi hilang sehingga hukumnya niscaya halal atau haram. Hal ini mengatakan bahwa persoalan syubhat mempunyai hokum tersendiri yang diterangkan oleh syari’at sehingga sebagian orang ada yang berhasil mengetahui hukumnya dengan benar.

Kailmat, “maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang kurang jelas itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya” maksudnya menjaga dari kasus yang syubhat.
Kalimat, “barangsiapa terjerumus dalam wilayah kurang jelas maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram” hal ini sanggup terjadi dalam dua hal :
1. Orang yang tidak bertaqwa kepada Allah dan tidak memperdulikan kasus syubhat maka hal semacam itu akan menjerumuskannya kedalam kasus haram, atau lantaran perilaku sembrononya menciptakan dia berani melaksanakan hal yang haram, menyerupai kata sebagian orang : “Dosa-dosa kecil sanggup mendorong perbuatan dosa besar dan dosa besar mendorong pada kekafiran”
2. Orang yang sering melaksanakan kasus syubhat berarti telah menzhalimi hatinya, lantaran hilangnya cahaya ilmu dan sifat wara’ kedalam hatinya, sehingga tanpa disadari dia telah terjerumus kedalam kasus haram. Terkadang hal menyerupai itu menimbulkan perbuatan dosa bila mengakibatkan pelanggaran syari’at.

Rasulullah bersabda : “seperti penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya” ini ialah kalimat perumpamaan bagi orang-orang yang melanggar larangan-larangan Allah. Dahulu orang arab biasa menciptakan pagar biar binatang peliharaannya tidak masuk ke tempat terlarang dan menciptakan bahaya kepada siapapun yang mendekati tempat terlarang tersebut. Orang yang takut mendapat eksekusi dari penguasa akan menjauhkan gembalaannya dari tempat tersebut, lantaran kalau mendekati wilayah itu biasanya terjerumus. Dan terkadang penggembala hanya seorang diri sampai tidak bisa mengawasi seluruh binatang gembalaannya. Untuk kehati-hatian maka ia menciptakan pagar biar gembalaannya tidak mendekati wilayah terlarang sehingga terhindar dari hukuman. Begitu juga dengan larangan Allah menyerupai membunuh, mencuri, riba, minum khamr, qadzaf, menggunjing, mengadu domba dan sebagainya ialah hal-hal yang tidak patut didekati lantaran khawatir terjerumus dalam perbuatan itu.

Kalimat, “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging bila ia baik maka oke seluruh jasadnya” yang dimaksud ialah hati, betapa pentingnya daging ini walaupun bentuknya kecil, daging ini disebut Al-Qalb (hati) yang merupakan anggota badan yang paling terhormat, lantaran ditempat inilah terjadi perubahan gagasan, sebagian penyair bersenandung, “Tidak dinamakan hati kecuali lantaran menjadi tempat terjadinya perubahan gagasan, lantaran itu waspadalah terhadap hati dari perubahannya”
Allah menyebutkan bahwa insan dan binatang mempunyai hati yang menjadi pengatur kebaikan-kebaikan yang diinginkan. Hewan dan insan dalam segala jenisnya bisa melihat yang baik dan buruk, kemudian Allah mengistimewakan insan dengan karunia logika disamping dikaruniai hati sehingga berbeda dari hewan. Allah berfirman, “Tidakkah mereka mau berkelana dimuka bumi lantaran mereka mempunyai hati untuk berpikir, atau pendengaran untuk mendengar…” (QS. Al-Hajj 22:46). Allah telah melengkapi dengan anggota badan lainnya yang dijadikan tunduk dan patuh kepada akal. Apa yang sudah dipertimbangkan akal, anggota badan tinggal melaksanakan keputusan logika itu, bila akalnya baik maka perbuatannya baik, bila akalnya jelek, perbuatannya juga jelek.
Bila kita telah memahami hal diatas, maka kita bisa menangkap dengan terang sabda Rasulullah , “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging bila ia baik maka oke seluruh jasadnya dan bila ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu ialah hati”.
Kita memohon kepada Allah semoga Dia menimbulkan hati kita yang buruk menjadi baik, wahai Tuhan pemutar balik hati, teguhkanlah hati kami pada agama-Mu, wahai Tuhan pengendali hati, arahkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.

Selasa, 18 September 2018

Hadits Arbain Nawawi Ke 8 Perihal Memerangi Insan Ingkar

Hadits Arbain Nawawi Ke 8 Perihal Memerangi Insan Ingkar

Terjemah dan Syarah Hadits Arbain Nawawi Ke 8 Tentang Memerangi Manusia Ingkar

الحديث الثامن

عن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال " أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة , فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام وحسابهم على الله تعالى
Terjemahan:
Dari Ibnu 'Umar radhiallahu 'anhuma, bahwasanya Rasulullah telah bersabda : "Aku diperintah untuk memerangi insan hingga ia mengucapkan laa ilaaha illallaah, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Barangsiapa telah mengucapkannya, maka ia telah memelihara harta dan jiwanya dari saya kecuali lantaran alasan yang hak dan kelak perhitungannya terserah kepada Allah Ta'ala".

[Bukhari no. 25, Muslim no. 22] 


Penjelasan Hadits Arba'in ke 8 Tentang Memerangi Manusia Ingkar - Oleh Ustadz Abdul Somad, LC. MA




Terjemah dan Syarah Hadits Arbain Nawawi Ke  Hadits Arbain Nawawi Ke 8 Perihal Memerangi Insan Ingkar


Penjelasan:

Hadits ini amat berharga dan termasuk salah satu prinsip Islam. Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Anas, Rasulullah bersabda : “Sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad yaitu hamba dan rasul-Nya, menghadap kepada kiblat kita, memakan sembelihan kita dan melaksanakan shalat kita. Jika mereka melaksanakan hal itu, maka darah mereka dan harta mereka haram kita sentuh kecuali lantaran hak. Bagi mereka hak sebagaimana yang diperoleh kaum muslim dam mereka memikul kewajiban sebagaimana yang menjadi kewajiban kaum muslimin”.

Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah disebutkan sabda dia : “Sampai mereka bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah dan beriman kepadaku dan apa yang saya bawa“.

Hal ini sesuai dengan kandungan Hadits riwayat dari ‘Umar diatas.

Tentang maksud hadits ini para ulama mengartikannya menurut sejarah, yaitu tatkala Rasulullah wafat dan Abu Bakar Ash Shiddiq diangkat sebagai khalifah untuk menggantikannya, sebagian dari orang Arab menjadi kafir. Abu Bakar bertekad untuk memerangi mereka sekalipun di antara mereka ada yang tidak kafir tetapi menolak membayar zakat. Abu Bakar kemudian mengemukakan alasan perbuatannya itu, tetapi ‘Umar berkata kepadanya : “Bagaimana engkau akan memerangi insan sedangkan mereka mengucapakan laa ilaaha illallaah dan Rasulullah bersabda : “Aku diperintah untuk memerangi insan hingga ia mengucapkan laa ilaaha illallaah ... dan kelak perhitungannya terserah kepada Allah Ta’ala”. Abu Bakar kemudian menjawab : “Sesungguhnya zakat itu yaitu kewajiban yang bersifat kebendaan”. Lalu katanya : “Demi Allah, jika mereka merintangiku untuk mengambil seutas tali unta yang mereka dahulu serahkan sebagai zakat kepada Rasulullah pasti saya perangi mereka lantaran penolakannya itu”.Maka kemudian Umar mengikuti jejak Abu Bakar untuk memerangi kaum tersebut.

Kalimat "Aku diperintah untuk memerangi insan hingga ia mengucapkan laa ilaaha illallaah, dan barangsiapa telah mengucapkannya, maka ia telah memelihara harta dan jiwanya dari saya kecuali lantaran alasan yang hak dan kelak perhitungannya terserah kepada Allah”. Khatabi dan lain-lain bekata : “Yang dimaksud oleh Hadits ini ialah kaum penyembah berhala dan kaum Musyrik Arab serta orang yang tidak beriman, bukan golongan Ahli kitab dan mereka yang mengakui keesaan Allah”. Untuk terpeliharanya orang-orang semacam itu tidak cukup dengan mengucapkan laa ilaaha illallaah saja, lantaran sebelumnya mereka sudah menyampaikan kalimat tersebut semasa masih sebagai orang kafir dan hal itu sudah menjadi keimanannya. Tersebut juga didalam hadits lain kalimat “dan bahwasanya saya yaitu rasul Allah, mereka melaksanakan shalat, dan mengeluarkan zakat”.

Syaikh Muhyidin An Nawawi berkata : “Di samping mengucapkan hal semacam ini ia juga harus mengimani semua aliran yang dibawa Rasulullah menyerupai tersebut pada riwayat lain dari Abu Hurairah, yaitu kalimat, “sampai mereka bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah, beriman kepadaku dan apasaja yang saya bawa”
Kalimat, “Dan perhitungannya terserah kepada Allah” maksudnya ialah wacana hal-hal yang mereka rahasiakan atau mereka sembunyikan, bukan meninggalkan perbuatan-perbuatan lahiriah yang wajib. Demikian disebutkan oleh khathabi. Khathabi berkata : Orang yang secara lahiriah menyatakan keislamannya, sedang hatinya menyimpan kekafiran, secara formal keislamannya diterima” ini yaitu pendapat sebagian besar ulama. Imam Malik berkata : “Tobat orang yang secara lahiriah menyatakan keislaman tetapi menyimpan kekafiran dalam hatinya (zindiq) tidak diterima” ini juga merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad.

Kalimat, “aku diperintah memerangi insan hingga mereka bersaksi tidak ada ilahi kecuali Allah dan mereka beriman kepadaku dan apa yang saya bawa” menjadi alasan yang tegas dari mazhab salaf bahwa insan apabila meyakini islam dengan sungguh-sungguh tanpa sedikitpun keraguan, maka hal itu sudah cukup bagi dirinya. Dia tidak perlu mempelajari aneka macam dalil hebat ilmu kalam dan mengenal Allah dengan dalil-dalil semacam itu. Hal ini berbeda dengan mereka yang beropini bahwa orang tersebut wajib mempelajari dalil-dalil semacam itu dan dijadikannya sebagai syarat masuk Islam. Pendapat ini terang sekali kesalahannya, alasannya yaitu yang dimaksud oleh hadits diatas, adanya keyakinan yang sungguh-sungguh dalam diri seseorang. Hal ini sudah sanggup terpenuhi tanpa harus mempelajari dalil-dalil semacam itu, alasannya yaitu Rasulullah mencukupkan dengan mempercayai aliran apa saja yang dia bawa tanpa mensyaratkan mengetahui dalil-dalilnya. Didalam hal ini terdapat beberapa hadits shahih yang jumlah sanadnya mencapai derajat mutawatir dan bernilai pengetahuan yang pasti. Wallahu a’lam

Rabu, 12 September 2018

Bukan Baju Lebaran Biasa

Bukan Baju Lebaran Biasa

Kita sudah hingga di penghujung Ramadhan. Setelah ini Insya Allah kita akan berhari raya. Kita salat Idul Fithri dan bersilaturahim dengan sesama muslim. Di antara tradisi tahunan bagi dominan ummat Islam di negeri kita ini yakni beraya atau berlebaran dengan pakaian baru.

Baju gres untuk lebaran tidak hanya diminati oleh anak-anak, tapi orang cukup umur pun ikut dengan tradisi menggunakan baju gres untuk hari lebaran. Tidak hanya baju, tapi juga celana, bantalan kaki. Bahkan pakaian pergi salat Id menyerupai sarung, baju gunting cina dan kopiah juga diperbarui.

Lihatlah ke pasar, atau sentra perbelanjaan. Ummat Islam tumpah ruah di sana. Tidak jarang diskon besar-besaran disengaja oleh pihak toko. Walaupun bahwasanya mereka sudah mempersiapkan stok untuk dihabiskan pada masa sebelum lebaran. Untuk inilah mungkin di antara alasan mengapa lebaran harus pakai pemberian yang disebut THR.

Tidak ada yang salah dengan tradisi berpakaian gres di hari raya. Jika dengan baju gres yang indah dan higienis itu kita bisa berhari raya, maka ada nilai pahala yang kita dapatkan. Karena Islam sangat menyayangi keindahan. Dengan semangat berbelanja lebaran ternyata bisa mendongkrak ekonomi masyarakat terutama para pedagang. Mereka rela tidak mudik demi berjualan menjelang lebaran. Karena bagi mereka berjualan sebelum lebaran yakni "hari raya"-nya para pedagang.

Namun sebagian kita ummat Islam masih terpaku memaknai pakaian hari raya dengan pakaian fisik dan jasmani tanpa memaknainya dengan pakaian rohani. Dalam bahasa Arab, pakaian biasa disebut dengan  (لباس) libas. Kata ini pernah disebutkan Allah dalam Surah Al-A'raf ayat 26

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu yakni sebahagian dari gejala kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.

Allah menyebutkan pakaian yang paling baik yakni takwa. Maka menjadi penting bagi setiap orang yang telah menyediakan pakaian gres untuk lebaran untuk juga menyiapkan pakaian takwa bagi dirinya. Pakaian takwa itulah yang senantiasa di pakai baik ketika lebaran maupun di luar lebaran. Bagi yang belum sempat membeli pakaian gres untum lebaran, tidak usah bersedih. Karena sebaik-baik pakaian yang Allah sebut dalam Quran yakni takwa.

Kita yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan didasari kepercayaan dan penuh keihklasan tentunya yang paling pantas diwisuda di hari raya dengan sebutan/ yudisium takwa. Ujung ayat perintah puasa menyebutkan لعلكم تتقون (agar kau menjadi langsung yang bertakwa).

Kenakanlah pakaian terindahmu untuk jasmanimu di hari raya, tapi jangan lupakan pakaian rohanimu. Karena sesungguhnya kau bukanlah makhluk yang hanya dikenal dengan fisik dan jasmanimu, tapi lebih dari itu kau yakni makhluk yang dilebihkan atas makhluk yang lain berupa rohani. Maka beri juga pakaian takwa untuk rohanimu.

Selamat (menyambut) Idul Fitri. Semoga ibadah dan amal saleh kita diterima Allah. Semoga Allah ampuni dosa-dosa kita. Kami sekeluarga juga mohon maaf kepada semua jamaah dan pembaca semua atas segala salah dan khilaf. Semoga kita benar-benar menjadi langsung yang bertakwa. Aamiin. Takengon, 29 Ramadhan 1439 H. Wassalamu Alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.

Selasa, 11 September 2018

Puasa Sepanjang Masa

Puasa Sepanjang Masa

Ramadan gres saja berlalu meninggalkan kita. Entah kita masih berkesempatan untuk bertemu dan ikut ambil bab dengan rangkaian ibadanya di tahun-tahun berikutnya atau tidak. Bagi setiap mukmin yang mengecap betapa nikmat dan indahnya Ibadah puasa di bulan Ramadan, ada ibadah puasa lain yang dapat dilakukan yaitu berpuasa enam hari di bulan Syawal.

Rasulullah, melalui hadis dari Abu Ayyub Al-Anshoriy menyebutkan

Hadis ini di-ikhraj-kan oleh banyak andal hadis yaitu Ahmad (5/417 nomor 23580), 'Abd ibn Hamid (h. 104, nomor 228), Muslim (2/822 nomor 1164), Abu Dawud (2/324 nomor 2433), At-Tirmizi (3/132 nomor 759), Al-Nasai dalam Sunan Al-Kubra (2/163 nomor 2862), Ibn Majah (1/547 nomor 1716) dan Ibn Hibban (8/396 nomor 3634).

Apa Maksud Puasa Addahri (Sepanjang Masa)?

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ"

Siapa yang berpuasa bulan rahmat kemudian dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka bagaikan telah berpuasa sepanjang masa.

Apa yang dimaksud dengan puasa addahri? Yaitu bagaikan puasa setahun penuh atau sepanjang masa. Ulama menjelaskan bagaimana maksud dapat puasa setahun penuh? Karena setiap kebaikan diganjari dengan sepuluh kali lipatnya. Puasa bulan rahmat sebulan dikali sepuluh berarti 10 bulan. Puasa 6 hari berarti 60 hari setara dengan hitungan dua bulan. Ini hitung-hitungan dua belas bulan setahun.

Begitu besarnya ganjaran dari ibadah ini maka betapa ruginya orang yang tidak mau ikut ambil bab dengan ibadah ini. Hukum puasa Syawal ialah sunat. Berpahala melaksanakannya, rugi bila tidak melaksanakannya. Namun, meninggalkannya tidak dihitung dosa.

Bagaimana Cara Melaksanakannya?
Imam al- Nawawi dalam Kitab syarah shahih Muslim mengatakan, cara utama dalam melakukan puasa Syawal ialah dengan pribadi berpuasa sehari setelah idul fitri. Namun bila tidak pribadi setelah hari idul fitri, tetap dianggap memenuhi maksud puasa Syawal. Kendatipun puasanya di pertengahan atau di selesai Syawal.


Hukum Syirik

Hukum Syirik

Tahukah anda apa itu sihir dan bagaimana pandangan islam perihal sihir? Mari kita baca artikel berikut ini:
          Firman Allah Subhanahu wata’ala :
]ولقد علموا لمن اشتراه ما له في الآخرة من خلاق[
“Demi Allah, sebenarnya orang-orang Yahudi itu telah meyakini bahwa barang siapa yang menukar (kitab Allah) dengan sihir itu, maka tidak akan mendapat pecahan (keuntungan) di akhirat” (QS. Al Baqarah, 102).
]يؤمنون بالجبت والطاغوت[
“Dan mereka beriman kepada Jibt dan Thoghut” (QS. An nisa’, 51).
           Menurut penafsiran Umar bin Khothob Radhiallahu’anhu : Jibt ialah sihir, sedangkan Thoghut ialah syetan.
          Sedangkan Jabir Radhiallahu’anhu berkata : Thoghut ialah para tukang ramal yang didatangi syetan, yang ada pada setiap kabilah.
           Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
"اجتنبوا السبع الموبقات، قالوا : يا رسول الله وما هن، قال : الشرك بالله، والسحر، وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق، وأكل الربا، وأكل مال اليتيم، والتولي يوم الزحف، وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات".
          “Jauhilah tujuh kasus yang membawa kehancuran !, para sobat bertanya : “Apakah ketujuh kasus itu ya Rasulullah ?”, dia menjawab :” yaitu syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasannya yang dibenarkan oleh agama, makan riba, makan harta anak yatim, membelot dari peperangan, menuduh zina terhadap perempuan yang terjaga dirinya dari perbuatan dosa dan tidak memikirkan untuk melaksanakan dosa, dan beriman kepada Allah” (HR. Bukhori dan Muslim).
           Diriwayatkan dari Jundub bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda dalam hadits marfu’ :
"حد الساحر ضربة بالسيف " رواه الترمذي،  وقال : الصحيح أنه موقوف.
          “Hukuman bagi tukang sihir ialah dipenggal lehernya dengan pedang” (HR. Imam Turmudzi, dan ia berkata : pendapat yang benar ini perkataan sahabat).
          Dalam shoheh Bukhori, dari Bajalah bin Abdah, ia berkata : “Umar bin Khothob telah mewajibkan untuk membunuh setiap tukang sihir, baik pria maupun perempuan, maka kami telah membunuh tiga tukang sihir.”
          Dan dalam shoheh Bukhori juga, Hafsah, ra. telah memerintahkan untuk membunuh budak perempuannya yang telah menyihirnya, maka dibunuhlah ia, dan begitu juga riwayat yang shoheh dari Jundub.
          Imam Ahmad berkata : “Diriwayatkan dalam hadits shoheh, bahwa sanksi mati terhadap tukang sihir ini telah dilakukan oleh tiga orang sobat Nabi (Umar, Hafsah dan Jundub).

         Kandungan pecahan ini :
1.      Penjelasan perihal ayat yang terdapat dalam surat Al Baqarah ([1]).
2.      Penjelasan perihal ayat yang terdapat dalam surat An Nisa’([2]).
3.      Penjelasan perihal makna Jibt dan Thoghut, serta perbedaan antara keduanya.
4.      Thoghut itu kadang kala dari jenis Jin, dan kadang kala dari jenis manusia.
5.      Mengetahui tujuh kasus yang sanggup menimbulkan kehancuran, yang tidak boleh secara khusus oleh Nabi.
6.      Tukang sihir itu kafir.
7.      Tukang sihir itu dieksekusi mati tanpa diminta taubat lebih dahulu.
8.      Jika praktek sihir itu telah ada dikalangan kaum muslimin pada masa Umar, bisa dibayangkan bagaimana pada masa sesudahnya ?.


([1])   Ayat pertama mengatakan bahwa sihir haram hukumnya, dan pelakunya kafir, disamping mengandung bahaya berat bagi orang yang berpaling dari kitab Allah, dan mengamalkan amalan yang tidak bersumber darinya.
([2])  Ayat kedua mengatakan bahwa ada diantara umat ini yang beriman kepada sihir (Jibt), sebagaimana hebat kitab beriman kepadanya, lantaran Rasulullah telah menegaskan bahwa akan ada diantara umat ini yang mengikuti (dan meniru) umat-umat sebelumnya.

Senin, 10 September 2018

Kembali Ke Fitrah, Kembali Menjalankan Pedoman Agama

Kembali Ke Fitrah, Kembali Menjalankan Pedoman Agama

Dalam suasana Syawal masih relevan kiranya kita bahas wacana fitrah. Bagaimana kaitannya dengan kembali kepada fitrah (idul Fithri)?. Kita kaji Firman Allah Surah Al-Rum ayat 30

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui. (Q.S. al-Rum/ 30: 30)
Ayat ini merupakan perintah kepada Nabi Muhammad dan juga kepada kita umat beliau untuk menghadapkan wajah, dalam artian diri dan segenap jiwa raga kita, kepada al-Din dalam keadaan lurus. Menghadapkan segenap jiwa raga itu dihentikan tidak lurus. Harus benar-benar lurus keseluruhannya. Seumpama kita bangun di hadapan seseorang di arah barat, maka dihentikan menghadapkan kepala ke barat kemudian dada menghadap ke utara atau sebaliknya. Maka dihentikan dalam keadaan menghadap kepada al-Din ini, dalam dikala yang bersamaan juga menghadap ke hal lain selain al-Din ini. Oleh kesannya diperintahkan menghadapkan dan mengarahkan semua perhatian dengan lurus kepada agama yang disyariatkan. Artinya menghadap secara totalitas.

Selanjutnya Allah memerintahkan kita untuk tetap mempertahankan fitrah Allah yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. Dalam potongan ayat ini ditemukan kata fithrah. Ibnu Manzhur, dalam kamus Lisanul Arab menyebutkan kata fitrah berarti sesuatu pengetahuan wacana Tuhan yang diciptakan oleh Allah bagi manusia. Ia berasal dari kata fathara yang berarti penciptaan awal yang belum ada pola sebelumnya. Di antaranya firman Allah dalam surat Fathir ayat 1 menyebutkan الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ  (segala puji bagi Allah sebagai pencipta lagit dan bumi). Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa ia tidak mengetahui makna fathir al-samawati wa al-ardhi sampai pada suatu hari melihat dua orang arab bertengkar wacana kepemilikan sumur. Salah seorang dari mereka menyebutkan ana fathartuha (saya yang pertama membuatnya). 

Poin yang ingin saya sampaikan dari pernyataan Ibnu Manzhur ini ialah bahwa fithrah ialah sesuatu yang sengaja diciptakan oleh Allah kemudian diberikan kepada insan sebagai bekal bagi insan untuk hingga mengenal Allah atau untuk bertauhid. Sejalan dengan pendapat di atas, Al-Raghib al-Ashfahaniy dalam kitab ­Mufradat-nya menyebutkan bahwa fitrah ialah pengetahuan keimanan yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia. Sampai di sini kita pahami bahwa fitrah (fithrah) adalah potensi dasar yang diberikan oleh Allah bagi setiap insan untuk bertauhid dan mengenal agama dengan baik.

Lalu Allah sebutkan tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Fitrah itu tetap ada bagi setiap manusia. Fitrah yang Allah berikan itu tidak akan berubah. Quraish Shihab menyebutkan bahwa sekelas Firaun yang mengaku sebagai ilahi sekalipun di selesai hayatnya memunculkan akreditasi yang terlambat dengan menyampaikan “aku beriman dengan Tuhannya Musa dan Harun”. Pengakuan itu berdasarkan Quraish Shihab ialah fitrah beragama yang tetap itu.

Lalu muncul pertanyaan bagaimana dengan orang yang ternyata kini kita temukan tidak beragama dengan agama yang lurus? Nabi sebutkan dalam hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah sebagaimana dikutip al-Suyuthi:

وأخرج البخاري ومسلم وابن المنذر وابن أبي حاتم وابن مردويه عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم " ما من مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء ؟ " ثم يقول أبو هريرة رضي الله عنه : اقرأوا ان شئتم فطرة الله التي فطر عليها لا تبديل لخلق الله لذلك الدين القيم
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Ibn Munzhir, Ibn Hatim dan Ibn Mardawaih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak satupun bayi yang terlahir ke dunia ini kecuali atas dasar fitrah. Lalu kedua orang tuanya yang menjadikannya menganut agama yahudi, nashrani atau majusi. Seperti halnya hewan yang lahir sempurna. Apakah kau menemukan ada anggota badannya yang terpotong, kecuali kalau kau yang memotongnya?.” Kemudian Abu Hurairah berkata: bacalah fithratallahi (ayat 30 surat al-Rum).

Dalam hadis ini disebutkan bahwa tidak satu pun bayi yang terlahir ke dunia ini kecuali atas dasar fitrah. Lalu kedua orang tuanya, dalam hal ini sebagai lingkungan terdekat bagi seorang bayi, yang menjadikannya menganut agama Yahudi, Kristen atau Majusi. Orang bau tanah ialah lingkungan pertama yang mengakibatkan anak sanggup menjauhi fitrahnya. Tidak hanya orang tua. Lingkungan, sekolah, kawan, bahkan masyarakat juga besar lengan berkuasa dalam membuat anak akan tetap pada fitrahnya atau menjauhi fitrahnya.

Melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa adanya fitrah keagamaan yang perlu dipertahankan oleh manusia. Bukankah awal ayat ini merupakan perintah untuk mempertahankan dan meningkatkan apa yang selama ini telah dilakukan oleh Rasul Saw., yakni menghadapkan wajah ke agama yang benar? Bukankah itu yang dinamai oleh ayat ini sebagai fitrah? Bukankah itu yang ditunjukkannya sebagai agama yang benar? Jika demikian, ayat ini berbicara wacana fitrah keagamaan.

Ayat di atas mempersamakan antara fitrah dengan agama yang benar, sebagaimana dipahami dari lanjutan ayat yang menyatakan “itulah agama yang lurus”. Jika pernyataan ini dikaitkan dengan pernyataan sebelumnya  bahwa Alllah yang telah membuat insan atas fitrah itu, ini berarti bahwa agama yang benar atau agama Islam ialah agama yang sesuai dengan fitrah itu. Juga dipahami bahwa fitrah beragama akan membawa insan kepada agama yang lurus. Ketika ada orang yang tidak beragama sesuai dengan agama yang lurus (al-Din al-Qayyim), itu alasannya ialah ia telah lari menghindar dari fitrahnya. Sebagaimana disebutkan oleh hadis di atas.

Sebagai bukti bahwa adanya fitrah beragama atau fitrah ketauhidan yang diberikan kepada insan ialah dengan adanya kesaksian insan pada dikala sebelum ia dilahirkan ke atas bumi ini. Kesaksian itu ialah menyatakan bahwa Allah sebagai rabb (Tuhan). Bagi kita umat Islam, warta wacana “perjanjian” kesaksian kita dengan Allah itu diinformasikan Allah dalam Surah al-A’raf ayat 172

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan belum dewasa Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) semoga di hari selesai zaman kau tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) ialah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Q.S. al-A'raf/ 7: 172)

Terkait klarifikasi ayat ini kita bahas pada pertemuan yang lain In Sya’a Allah.

Lalu Bagaimana Kaitan Fitrah Dengan Idul Fitri?

Idul fitri ialah hari kemenangan alasannya ialah kita telah mengisi siang dan malam hari Ramadhan dengan puasa dan ibadah sunnah lainnya dengan keyakinan dan ikhlas. Sebagai ganjarannya, Allah ampuni dosa kita yang telah berlalu. Itulah kemenangan yang kita rayakan dengan bertakbir membesarkan Allah, bertahlil mengesakan Allah serta bertahmid memuji Allah.

Idul Fitri atau kembali fitrah idealnya juga ialah kita kembali kepada fitrah bertauhid kita, fitrah kita beragama dan menjalankan aliran agama. Idul fitri ialah kembali menjalankan aliran agama. Idul fitri bukanlah kita yang telah menjalankan aliran agama selama bulan Ramadhan, kemudian kita lupakan aliran itu selepas Ramadhan. Baru akan kembali melakukan aliran agama pada bulan Ramadhan yang akan datang. Ini sejatinya bukanlah Idul Fitri.

Karena fitrah ialah potensi dasar yang diberikan oleh Allah bagi setiap insan untuk bertauhid dan mengenal agama dan selanjutnya sanggup menjalankan agama dengan baik, maka kembali kepada fitrah tentunya kembali melakukan ibadah wajib dan sunnah yang sudah dilaksanakan di bulan Ramadhan. Orang yang telah beridul Fitri tentunya kembali shalat ke masjid, kembali mengaji, berinfak dan berderma, kembali mengikuti pengajian, kembali berpuasa dengan puasa sunnah. Pendek kata, orang yang telah beridul fitri ialah orang yang kembali menegakkan agama dalam dirinya. Bukan malah meninggalkan agama, apalagi malah kembali ke kubangan dosa dan maksiat lagi. Tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui. Bunyi ujung ayat 30 surah al-Rum ini.

Hadanallahu wa iyyakum. Billahi taufiq walhidayah, warridho walinayah.  

___
Disampaikan pertama kali untuk pengajian subuh di Masjid Taqwa Muhammadiyah Aceh Tengah pada hari Kamis tanggal 14 Syawal 1439 H/ 28 Juni 2018 M
Kembali Fitri Jangan Kembali Berdosa Lagi

Kembali Fitri Jangan Kembali Berdosa Lagi

Taqabbalallahu minna wa minkum. Wa ja'alana minal 'aidin walfaizin.

Selamat untuk kita semua yang telah berpuasa dengan dogma dan nrimo lantaran Allah. Karena hari ini kita telah mendapat komitmen Allah berupa ampunan dari dosa yang telah berlalu. Sehingga hari ini kita disebut kembali kepada kondisi tanpa dosa sebagaimana layaknya seorang bayi yang gres lahir, suci tanpa dosa, Idul fitri.

Sebagian juga menyebutkan, selamat berhari raya. Selamat merayakan kemenangan. Menang bukan lantaran kita telah bebas dan merdeka dari rasa haus dan lapar yang kita lalui selama satu bulan. Kita menang alasannya sudah berhasil melawan musuh terbesar yang ada dalam diri kita, yaitu keinginan/ nafsu.

Namun sangat disayangkan. Masih ada di antara sebagian kita yang merayakan kemenangan dengan cara yang tidak tepat. Di beberapa kawasan kemenangan dirayakan dengan letupan mercun dan hiasan kembang api yang sejatinya bukan tradisi Islam. Uang THR dipakai untuk hal mubazir pembeli mercun dan kembang api yang harganya luar biasa mahalnya.

Dulu mungkin ada program hiburan di kampung yang digagas dan dipersiapkan dengan baik oleh para perjaka pemudi kampung. Ada pertunjukkan drama. Juga ada pentas seni tari yang diisi oleh bawah umur sekolah. Ada juga pertandingan bola kaki. Lomba balap karung dan permainan tradisional lainnya. Bahkan juga ada buayan ka[li]liang, ibarat wahana bianglala. Uniknya ia tidak digerakkan oleh mesin, tapi diputar bersama memakai tenaga para pemuda. Uang THR tetap berputar dan beredar di kampung.

Perubahan zaman terjadi dengan cepat. Tradisi usang itu sudah susah ditemukan. Yang ada kini kita temukan hiburan dan pasar malam yang acaranya digagas bukan lagi oleh perjaka kampung. Tapi, ini yakni bisnis yang tiba dari luar kampung. Uang THR sudah beredar luas hingga ke tangan pengusaha pasar malam.

Ada juga masyarakat berpesta merayan idul fitri dengan dentuman musik hingar-bingar. Menampilkan penyanyi yang tidak menutup aurat. Lalu program itu ditonton oleh masyarakat umum. Bergabung menontonnya ayah, anak, mamak dan kemenakan. Hilang rasa malu. Hilang basa basi, hilang raso jo pareso.

Tidak jarang, program hiburan itu dikunjungi oleh pemuda-pemudi dari luar kampung. Terkadang juga terdengar kerusuhan kecil berupa pertengkaran pemuda. Tapi ini tidak sering terjadi. Tidak diketahui juga apa penyebabnya. Entah lantaran bersenggolan ketika berjoget. Atau lantaran mereka lupa diri disebabkan efek minuman memabukkan. Tidak ada yang tahu niscaya apa penyebabnya. Informasi niscaya juga susah didapat. Yang ada hanya sisa botol bekas minuman keras di lokasi acara.

Ada juga yang mengikat hiburan musik ini dengan program 'amal' menggalang dana dengan program lelang kue, lelang singgang ayam atau bahkan lelang kambing guling. Acara ini juga memanfaatkan momen para perantau pulang kampung. Dana yang terkumpul biasanya diperuntukkan untuk pembangunan kampung, minimal membangun posko pemuda.

Kembali ke topik pembicaraan. Idul fitri bukanlah hari merayakan kemenangan nafsu yang sudah dipuasakan sebulan penuh. Idul fitri juga bukan hari raya untuk berpesta dengan melupakan silaturahim dan kekeluargaan. Idul fitri bukanlah hari kemenangan dengan melupakan ibadah yang sudah dilatih dan dibiasakan sebulan penuh. Idul fitri yakni hari raya membesarkan Allah (wa li tukabbirullah).

Idul fitri yakni hari raya kembali kepada kondisi fitri, kembali kepada kondisi suci. Bukan kembali lagi berdosa dan kembali ke kubangan maksiat lagi. Idul fitri yakni bagaimana rasanya keluar dari masa karantina dan pelatihan. Maka usaha yang sungguh berat bergotong-royong bukan pada ketika latihan, tapi setelah latihan.

Idul fitri yakni layaknya waktu awal bagi para siswa, santri dan mahasiswa kembali ke masyarakat setelah menamatkan pendidikannya. Idul fitri bagaikan masa awal mempraktekkan ilmu dan training yang sudah didapat di dingklik pendidikan.

Contoh yang sering disampaikan oleh buya dan tengku di mesjid dan musalla ketika ceramah yakni bagaimana ayam yang gres dibeli dikenalkan pada kandangnya. Biasanya dalam masa tiga hari seekor ayam dikurung dalam kandangnya. Setelah itu jikalau dilepas, ia akan kembali ke kandangnya pada senja harinya.

Contoh lain bagaimana seekor beruk yang diajar dan dilatih memetik kelapa. Setelah selesai pelatihannya, beruk dihadapkan pada kenyataan memetik kelapa yang sesungguhnya. Berpindah dari satu pohon ke pohon berikutnya untuk melakukan tugasnya memetik kelapa. Ia tetap patuh dan tunduk pada arahan tuannya. Walau terkadang ada godaan dan kendala yang dilaluinya ibarat bertemu sarang semut atau bahkan hewan berbisa.

Kita selaku makhluk terpelajar tentu mustahil sama ibarat ayam dan beruk dalam pola di atas. Kita yang sudah dilatih sebulan mengendalikan hawa nafsu tentunya jauh lebih cerdas dari dua pola di atas. Kita yang sudah melatih diri kita salat ke masjid selama bulan berkat hendaknya tidak melupakan jalan ke masjid. Kita sudah melatih diri kita untuk salat malam selama Ramadan. Tentunya juga kita lanjutkan praktek latihan sebulan itu setelah Ramadan. Kita juga sudah latihan berinfak dan bersedekah selama Ramadan. Hendaknya juga melanjutkan tradisi itu setelah Ramadan. Kita yang sudah tadarus dan membaca Quran bahkan hingga khatam, hendaknya tidak berhenti membacanya di luar Ramadan.

Terkadang kita merasa iba lantaran bulan berkat hanya sebagai pemberhentian sementara dari dosa bagi sebagian orang. Kita juga duka ketika melihat masjid musalla hanya berisi di bulan Ramadan. Kita harusnya aib lantaran ibadah kita masih bersifat musiman.

Kita patutnya menangis jikalau ternyata sesudah 'Idul Fitri (kembali suci) kita menjadi 'Idul Ma'ashi atau 'Idul 'Ishyani (kembali berdosa lagi). Semoga tidak ada lagi saudara kita yang kembali berjudi, mabuk dan mencuri setelah Ramadan. Semoga tidak ada lagi perbuatan curang dan riba dalam jual beli pasca Ramadan. Semoga tidak ada lagi praktek suap, memotong hak orang lain dan korupsi mulai Syawal ini. Aamiin.

Kita bermohon kepada Allah supaya menjadi hamba yang istiqamah beriman dan bersedekah serta menghindari perbuatan dosa. Selamat Idul Fitri. Semoga Allah terima ibadah dan amal soleh kita. Semoga Allah ampuni dosa-dosa kita, sihingga benar-benar menjadi hamba yang kembali suci dan tetap suci hingga final hidup nanti. Aamiin.

#idmubarak