Terjemah dan Syarah Hadits Arbain Nawawi Ke 6 Tentang Halal Haram Yang Sudah Jelas
الحديث السادس
عن أبي عبدالله النعمان بن بشير رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول " إن الحلال بين و الحرام بين , وبينهما مشتبهات قد لا يعلمهن كثير من الناس , فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه , ومن وقع في الشبهات فقد وقع في الحرام , كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه , ألا وأن لكل ملك حمى , ألا وإن حمى الله محارمه , إلا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله , وإذا فسدت فسد الجسد كله , ألا وهي القلب
Terjemahan:
Dari Abu 'Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma berkata,"Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang Halal itu terang dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada kasus yang samar-samar, kebanyakan insan tidak mengetahuinya, maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang kurang jelas itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam wilayah kurang jelas maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram, menyerupai penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja mempunyai larangan dan ingatlah bahwa larangan Alloh apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging bila ia baik maka oke seluruh jasadnya dan bila ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu ialah hati”.
[Bukhari no. 52, Muslim no. 1599]
Kajian Hadits Arbain ke 6 Bersama Ustadz Abdul Somad, LC. MA
Penjelasan:
Hadits ini merupakan salah satu pokok syari’at Islam. Abu Dawud As Sijistani berkata, “Islam bersumber pada empat (4) hadits.” Dia sebutkan diantaranya ialah hadits ini. Para ulama telah setuju atas keagungan dan banyaknya manfaat hadits ini.
Kalimat, “Sesungguhnya yang Halal itu terang dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada kasus yang samar-samar” maksudnya segala sesuatu terbagi kepada tiga macam hokum. Sesuatu yang ditegaskan halalnya oleh Allah, maka dia ialah halal, menyerupai firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5 : 5),”Aku Halalkan bagi kau hal-hal yang baik dan masakan (sembelihan) jago kitab halal bagi kamu” dan firman-Nya dalam (QS. An-Nisaa 4:24), “Dan dihalalkan bagi kau selain dari yang tersebut itu” dan lain-lainnya. Adapun yang Allah nyatakan dengan tegas haramnya, maka dia menjadi haram, menyerupai firman Allah dalam (QS. An-Nisaa’ 4:23), “Diharamkan bagi kau (menikahi) ibu-ibu kamu, bawah umur wanita kau …..” dan firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5:96), “Diharamkan bagi kau memburu binatang didarat selama kau ihram”. Juga diharamkan perbuatan keji yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Setiap perbuatan yang Allah mengancamnya dengan eksekusi tertentuatau siksaan atau bahaya keras, maka perbuatan itu haram.
Adapun yang syubhat (samar) yaitu setiap hal yang dalilnya masih dalam pembicaraan atau pertentangan, maka menjauhi perbuatan semacam itu termasuk wara’. Para Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian syubhat yang diisyaratkan oleh Rasulullah . Pada hadits tersebut, sebagian Ulama beropini bahwa hal semacam itu haram hukumnya menurut sabda Rasulullah, “barangsiapa menjaga dirinya dari yang kurang jelas itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”. Barangsiapa tidak menyelamatkan agama dan kehormatannya, berarti dia telah terjerumus kedalam perbuatan haram. Sebagian yang lain beropini bahwa hal yang syubhat itu hukumnya halal dengan bantalan an sabda Rasulullah, “seperti penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang” kalimat ini mengatakan bahwa syubhat itu halal, tetapi meninggalkan yang syubhat ialah sifat yang wara’. Sebagian lain lagi berkata bahwa syubhat yang tersebut pada hadits ini tidak sanggup dikatakan halal atau haram, lantaran Rasulullah menempatkannya diantara halal dan haram, oleh lantaran itu kita menentukan membisu saja, dan hal itu termasuk sifat wara’ juga.
Dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadits dari ‘Aisyah, ia berkata : “Sa’ad bin Abu Waqash dan ‘Abd bin Zam’ah mengadu kepada Rasulullah wacana seorang anak laki-laki. Sa’ad berkata : Wahai Rasulullah anak pria ini ialah anak saudara laki-lakiku.’Utbah bin Abu Waqash. Ia (‘Utbah) mengaku bahwa anak pria itu ialah anaknya. Lihatlah kemiripannya” sedangkan ‘Abd bin Zam’ah berkata; “ Wahai Rasulullah, Ia ialah saudara laki-lakiku, Ia dilahirkan ditempat tidur ayahku oleh budak wanita milik ayahku”, kemudian Rasulullah memperhatikan wajah anak itu (dan melihat kemiripannya dengan ‘Utbah) maka dia Rasulullah bersabda : “Anak pria ini untukmu wahai ‘Abd bin Zam’ah, anak itu milik pria yang menjadi suami wanita yang melahirkannya dan bagi orang yang berzina hukumannya rajam. Dan wahai Saudah, berhijablah kau dari anak pria ini” semenjak ketika itu Saudah tidak pernah melihat anak pria itu untuk seterusnya.
Rasulullah telah menetapkan bahwa anak itu menjadi hak suami dari wanita yang melahirkannya, secara formal anak pria itu menjadi anak Zam’ah. ‘Abd bin Zam’ah ialah saudara pria Saudah, istri Rasulullah , lantaran Saudah putrid Zam’ah. Ketetapan semacam ini menurut suatu dugaan yang besar lengan berkuasa bukan suatu kepastian. Kemudian Rasulullah menyuruh Saudah untuk berhijab dari anak pria itu lantaran adanya syubhat dalam persoalan itu. Kaprikornus tindakan ini bersifat kehati-hatian. Hal itu termasuk perbuatan takut kepada Allah SWT, alasannya ialah bila memang niscaya dalam pandangan Rasulullah anak pria itu ialah anak Zam’ah, tentulah Rasulullah tidak menyuruh Saudah berhijab dari saudara laki-lakinya yang lain, yaitu ‘Abd bin Zam’ah dan saudaranya yang lain.
Pada Hadits ‘Adi bin Hatim, ia berkata : “Wahai Rasulullah, saya melepas anjing saya dengan ucapan Bismillah untuk berburu, kemudian saya dapati ada anjing lain yang melaksanakan perburuan” Rasulullah bersabda, “Janganlah kau makan (hewan buruan yang kau dapat) lantaran yang kau sebutkan Bismillah hanyalah anjingmu saja, sedang anjing yang lain tidak”. Rasulullah memberi pedoman semacam ini dalam persoalan syubhat lantaran dia khawatir bila anjing yang menerkam binatang buruan tersebut ialah anjing yang dilepas tanpa menyebut Bismillah. Kaprikornus seakan-akan binatang itu disembelih dengan cara diluar aturan Allah. Allah berfirman, “Sesungguhnya hal itu ialah perbuatan fasiq” (QS. Al-An’am 6:121)
Dalam pedoman ini Rasulullah mengatakan sifat kehati-hatian terhadap hal-hal yang masih samar wacana halal atau haramnya, lantaran sebab-sebab yang masih belum jelas. Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah , “Tinggalkanlah sesuatu yang mencurigai kau untuk berpegang pada sesuatu yang tidak mencurigai kamu”
Sebagian Ulama berpendapat, syubhat itu ada tiga macam :
1. Sesuatu yang sudah diketahui haramnya oleh insan tetapi orang itu ragu apakah masih haram hukumnya atau tidak. à contohnya makan daging binatang yang tidak niscaya cara penyembelihannya, maka daging semacam ini haram hukumnya kecuali terbukti dengan yakin telah disembelih (sesuai aturan Allah). Dasar dari perilaku ini ialah hadits ‘Adi bin Hatim menyerupai tersebut diatas.
2. Sesuatu yang halal tetapi masih diragukan kehalalannya, à menyerupai seorang pria yang punya istri namun ia ragu-ragu, apakah dia telah menjatuhkan thalaq kepada istrinya atau belum, ataukah istrinya seorang wanita budak atau sudah dimerdekakan. Hal menyerupai ini hukumnya mubah sampai diketahui kepastian haramnya, dasarnya ialah hadits ‘Abdullah bin Zaid yang ragu-ragu wacana hadats, padahal sebelumnya ia yakin telah bersuci.
3. Seseorang ragu-ragu wacana sesuatu dan tidak tahu apakah hal itu haram atau halal, dan kedua kemungkinan ini bisa terjadi sedangkan tidak ada petunjuk yang menguatkan salah satunya. Hal semacam ini sebaiknya dihindari, sebagaimana Rasulullah pernah melakukannya pada masalah sebuah kurma yang jatuh yang dia temukan dirumahnya, kemudian Rasulullah bersabda : “Kalau saya tidak takut kurma ini dari barang zakat, tentulah saya telah memakannya”
Adapun orang yang mengambil perilaku hati-hati yang berlebihan, menyerupai tidak memakai air bekas yang masih suci lantaran khawatir terkena najis, atau tidak mau sholat disuatu tempat yang higienis lantaran khawatir ada bekas air kencing yang sudah kering, mencuci pakaian lantaran khawatir pakaiannya terkena najis yang tidak diketahuinya dan sebagainya, perilaku semacam ini tidak perlu diikuti, alasannya ialah kehati-hatian yang hiperbola tanda adanya halusinasi dan bisikan setan, lantaran dalam persoalan tersebut tidak ada persoalan syubhat sedikitpun. Wallahu a’lam.
Kalimat, “kebanyakan insan tidak mengetahuinya” maksudnya tidak mengetahui wacana halal dan haramnya, atau orang yang mengetahui hal syubhat tersebut didalam dirinya masih tetap menghadapi keraguan antara dua hal tersebut, bila ia mengetahui bahu-membahu atau kepastiannya, maka keraguannya menjadi hilang sehingga hukumnya niscaya halal atau haram. Hal ini mengatakan bahwa persoalan syubhat mempunyai hokum tersendiri yang diterangkan oleh syari’at sehingga sebagian orang ada yang berhasil mengetahui hukumnya dengan benar.
Kailmat, “maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang kurang jelas itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya” maksudnya menjaga dari kasus yang syubhat.
Kalimat, “barangsiapa terjerumus dalam wilayah kurang jelas maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram” hal ini sanggup terjadi dalam dua hal :
1. Orang yang tidak bertaqwa kepada Allah dan tidak memperdulikan kasus syubhat maka hal semacam itu akan menjerumuskannya kedalam kasus haram, atau lantaran perilaku sembrononya menciptakan dia berani melaksanakan hal yang haram, menyerupai kata sebagian orang : “Dosa-dosa kecil sanggup mendorong perbuatan dosa besar dan dosa besar mendorong pada kekafiran”
2. Orang yang sering melaksanakan kasus syubhat berarti telah menzhalimi hatinya, lantaran hilangnya cahaya ilmu dan sifat wara’ kedalam hatinya, sehingga tanpa disadari dia telah terjerumus kedalam kasus haram. Terkadang hal menyerupai itu menimbulkan perbuatan dosa bila mengakibatkan pelanggaran syari’at.
Rasulullah bersabda : “seperti penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya” ini ialah kalimat perumpamaan bagi orang-orang yang melanggar larangan-larangan Allah. Dahulu orang arab biasa menciptakan pagar biar binatang peliharaannya tidak masuk ke tempat terlarang dan menciptakan bahaya kepada siapapun yang mendekati tempat terlarang tersebut. Orang yang takut mendapat eksekusi dari penguasa akan menjauhkan gembalaannya dari tempat tersebut, lantaran kalau mendekati wilayah itu biasanya terjerumus. Dan terkadang penggembala hanya seorang diri sampai tidak bisa mengawasi seluruh binatang gembalaannya. Untuk kehati-hatian maka ia menciptakan pagar biar gembalaannya tidak mendekati wilayah terlarang sehingga terhindar dari hukuman. Begitu juga dengan larangan Allah menyerupai membunuh, mencuri, riba, minum khamr, qadzaf, menggunjing, mengadu domba dan sebagainya ialah hal-hal yang tidak patut didekati lantaran khawatir terjerumus dalam perbuatan itu.
Kalimat, “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging bila ia baik maka oke seluruh jasadnya” yang dimaksud ialah hati, betapa pentingnya daging ini walaupun bentuknya kecil, daging ini disebut Al-Qalb (hati) yang merupakan anggota badan yang paling terhormat, lantaran ditempat inilah terjadi perubahan gagasan, sebagian penyair bersenandung, “Tidak dinamakan hati kecuali lantaran menjadi tempat terjadinya perubahan gagasan, lantaran itu waspadalah terhadap hati dari perubahannya”
Allah menyebutkan bahwa insan dan binatang mempunyai hati yang menjadi pengatur kebaikan-kebaikan yang diinginkan. Hewan dan insan dalam segala jenisnya bisa melihat yang baik dan buruk, kemudian Allah mengistimewakan insan dengan karunia logika disamping dikaruniai hati sehingga berbeda dari hewan. Allah berfirman, “Tidakkah mereka mau berkelana dimuka bumi lantaran mereka mempunyai hati untuk berpikir, atau pendengaran untuk mendengar…” (QS. Al-Hajj 22:46). Allah telah melengkapi dengan anggota badan lainnya yang dijadikan tunduk dan patuh kepada akal. Apa yang sudah dipertimbangkan akal, anggota badan tinggal melaksanakan keputusan logika itu, bila akalnya baik maka perbuatannya baik, bila akalnya jelek, perbuatannya juga jelek.
Bila kita telah memahami hal diatas, maka kita bisa menangkap dengan terang sabda Rasulullah , “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging bila ia baik maka oke seluruh jasadnya dan bila ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu ialah hati”.
Kita memohon kepada Allah semoga Dia menimbulkan hati kita yang buruk menjadi baik, wahai Tuhan pemutar balik hati, teguhkanlah hati kami pada agama-Mu, wahai Tuhan pengendali hati, arahkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.
Kalimat, “Sesungguhnya yang Halal itu terang dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada kasus yang samar-samar” maksudnya segala sesuatu terbagi kepada tiga macam hokum. Sesuatu yang ditegaskan halalnya oleh Allah, maka dia ialah halal, menyerupai firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5 : 5),”Aku Halalkan bagi kau hal-hal yang baik dan masakan (sembelihan) jago kitab halal bagi kamu” dan firman-Nya dalam (QS. An-Nisaa 4:24), “Dan dihalalkan bagi kau selain dari yang tersebut itu” dan lain-lainnya. Adapun yang Allah nyatakan dengan tegas haramnya, maka dia menjadi haram, menyerupai firman Allah dalam (QS. An-Nisaa’ 4:23), “Diharamkan bagi kau (menikahi) ibu-ibu kamu, bawah umur wanita kau …..” dan firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5:96), “Diharamkan bagi kau memburu binatang didarat selama kau ihram”. Juga diharamkan perbuatan keji yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Setiap perbuatan yang Allah mengancamnya dengan eksekusi tertentuatau siksaan atau bahaya keras, maka perbuatan itu haram.
Adapun yang syubhat (samar) yaitu setiap hal yang dalilnya masih dalam pembicaraan atau pertentangan, maka menjauhi perbuatan semacam itu termasuk wara’. Para Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian syubhat yang diisyaratkan oleh Rasulullah . Pada hadits tersebut, sebagian Ulama beropini bahwa hal semacam itu haram hukumnya menurut sabda Rasulullah, “barangsiapa menjaga dirinya dari yang kurang jelas itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”. Barangsiapa tidak menyelamatkan agama dan kehormatannya, berarti dia telah terjerumus kedalam perbuatan haram. Sebagian yang lain beropini bahwa hal yang syubhat itu hukumnya halal dengan bantalan an sabda Rasulullah, “seperti penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang” kalimat ini mengatakan bahwa syubhat itu halal, tetapi meninggalkan yang syubhat ialah sifat yang wara’. Sebagian lain lagi berkata bahwa syubhat yang tersebut pada hadits ini tidak sanggup dikatakan halal atau haram, lantaran Rasulullah menempatkannya diantara halal dan haram, oleh lantaran itu kita menentukan membisu saja, dan hal itu termasuk sifat wara’ juga.
Dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadits dari ‘Aisyah, ia berkata : “Sa’ad bin Abu Waqash dan ‘Abd bin Zam’ah mengadu kepada Rasulullah wacana seorang anak laki-laki. Sa’ad berkata : Wahai Rasulullah anak pria ini ialah anak saudara laki-lakiku.’Utbah bin Abu Waqash. Ia (‘Utbah) mengaku bahwa anak pria itu ialah anaknya. Lihatlah kemiripannya” sedangkan ‘Abd bin Zam’ah berkata; “ Wahai Rasulullah, Ia ialah saudara laki-lakiku, Ia dilahirkan ditempat tidur ayahku oleh budak wanita milik ayahku”, kemudian Rasulullah memperhatikan wajah anak itu (dan melihat kemiripannya dengan ‘Utbah) maka dia Rasulullah bersabda : “Anak pria ini untukmu wahai ‘Abd bin Zam’ah, anak itu milik pria yang menjadi suami wanita yang melahirkannya dan bagi orang yang berzina hukumannya rajam. Dan wahai Saudah, berhijablah kau dari anak pria ini” semenjak ketika itu Saudah tidak pernah melihat anak pria itu untuk seterusnya.
Rasulullah telah menetapkan bahwa anak itu menjadi hak suami dari wanita yang melahirkannya, secara formal anak pria itu menjadi anak Zam’ah. ‘Abd bin Zam’ah ialah saudara pria Saudah, istri Rasulullah , lantaran Saudah putrid Zam’ah. Ketetapan semacam ini menurut suatu dugaan yang besar lengan berkuasa bukan suatu kepastian. Kemudian Rasulullah menyuruh Saudah untuk berhijab dari anak pria itu lantaran adanya syubhat dalam persoalan itu. Kaprikornus tindakan ini bersifat kehati-hatian. Hal itu termasuk perbuatan takut kepada Allah SWT, alasannya ialah bila memang niscaya dalam pandangan Rasulullah anak pria itu ialah anak Zam’ah, tentulah Rasulullah tidak menyuruh Saudah berhijab dari saudara laki-lakinya yang lain, yaitu ‘Abd bin Zam’ah dan saudaranya yang lain.
Pada Hadits ‘Adi bin Hatim, ia berkata : “Wahai Rasulullah, saya melepas anjing saya dengan ucapan Bismillah untuk berburu, kemudian saya dapati ada anjing lain yang melaksanakan perburuan” Rasulullah bersabda, “Janganlah kau makan (hewan buruan yang kau dapat) lantaran yang kau sebutkan Bismillah hanyalah anjingmu saja, sedang anjing yang lain tidak”. Rasulullah memberi pedoman semacam ini dalam persoalan syubhat lantaran dia khawatir bila anjing yang menerkam binatang buruan tersebut ialah anjing yang dilepas tanpa menyebut Bismillah. Kaprikornus seakan-akan binatang itu disembelih dengan cara diluar aturan Allah. Allah berfirman, “Sesungguhnya hal itu ialah perbuatan fasiq” (QS. Al-An’am 6:121)
Dalam pedoman ini Rasulullah mengatakan sifat kehati-hatian terhadap hal-hal yang masih samar wacana halal atau haramnya, lantaran sebab-sebab yang masih belum jelas. Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah , “Tinggalkanlah sesuatu yang mencurigai kau untuk berpegang pada sesuatu yang tidak mencurigai kamu”
Sebagian Ulama berpendapat, syubhat itu ada tiga macam :
1. Sesuatu yang sudah diketahui haramnya oleh insan tetapi orang itu ragu apakah masih haram hukumnya atau tidak. à contohnya makan daging binatang yang tidak niscaya cara penyembelihannya, maka daging semacam ini haram hukumnya kecuali terbukti dengan yakin telah disembelih (sesuai aturan Allah). Dasar dari perilaku ini ialah hadits ‘Adi bin Hatim menyerupai tersebut diatas.
2. Sesuatu yang halal tetapi masih diragukan kehalalannya, à menyerupai seorang pria yang punya istri namun ia ragu-ragu, apakah dia telah menjatuhkan thalaq kepada istrinya atau belum, ataukah istrinya seorang wanita budak atau sudah dimerdekakan. Hal menyerupai ini hukumnya mubah sampai diketahui kepastian haramnya, dasarnya ialah hadits ‘Abdullah bin Zaid yang ragu-ragu wacana hadats, padahal sebelumnya ia yakin telah bersuci.
3. Seseorang ragu-ragu wacana sesuatu dan tidak tahu apakah hal itu haram atau halal, dan kedua kemungkinan ini bisa terjadi sedangkan tidak ada petunjuk yang menguatkan salah satunya. Hal semacam ini sebaiknya dihindari, sebagaimana Rasulullah pernah melakukannya pada masalah sebuah kurma yang jatuh yang dia temukan dirumahnya, kemudian Rasulullah bersabda : “Kalau saya tidak takut kurma ini dari barang zakat, tentulah saya telah memakannya”
Adapun orang yang mengambil perilaku hati-hati yang berlebihan, menyerupai tidak memakai air bekas yang masih suci lantaran khawatir terkena najis, atau tidak mau sholat disuatu tempat yang higienis lantaran khawatir ada bekas air kencing yang sudah kering, mencuci pakaian lantaran khawatir pakaiannya terkena najis yang tidak diketahuinya dan sebagainya, perilaku semacam ini tidak perlu diikuti, alasannya ialah kehati-hatian yang hiperbola tanda adanya halusinasi dan bisikan setan, lantaran dalam persoalan tersebut tidak ada persoalan syubhat sedikitpun. Wallahu a’lam.
Kalimat, “kebanyakan insan tidak mengetahuinya” maksudnya tidak mengetahui wacana halal dan haramnya, atau orang yang mengetahui hal syubhat tersebut didalam dirinya masih tetap menghadapi keraguan antara dua hal tersebut, bila ia mengetahui bahu-membahu atau kepastiannya, maka keraguannya menjadi hilang sehingga hukumnya niscaya halal atau haram. Hal ini mengatakan bahwa persoalan syubhat mempunyai hokum tersendiri yang diterangkan oleh syari’at sehingga sebagian orang ada yang berhasil mengetahui hukumnya dengan benar.
Kailmat, “maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang kurang jelas itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya” maksudnya menjaga dari kasus yang syubhat.
Kalimat, “barangsiapa terjerumus dalam wilayah kurang jelas maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram” hal ini sanggup terjadi dalam dua hal :
1. Orang yang tidak bertaqwa kepada Allah dan tidak memperdulikan kasus syubhat maka hal semacam itu akan menjerumuskannya kedalam kasus haram, atau lantaran perilaku sembrononya menciptakan dia berani melaksanakan hal yang haram, menyerupai kata sebagian orang : “Dosa-dosa kecil sanggup mendorong perbuatan dosa besar dan dosa besar mendorong pada kekafiran”
2. Orang yang sering melaksanakan kasus syubhat berarti telah menzhalimi hatinya, lantaran hilangnya cahaya ilmu dan sifat wara’ kedalam hatinya, sehingga tanpa disadari dia telah terjerumus kedalam kasus haram. Terkadang hal menyerupai itu menimbulkan perbuatan dosa bila mengakibatkan pelanggaran syari’at.
Rasulullah bersabda : “seperti penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya” ini ialah kalimat perumpamaan bagi orang-orang yang melanggar larangan-larangan Allah. Dahulu orang arab biasa menciptakan pagar biar binatang peliharaannya tidak masuk ke tempat terlarang dan menciptakan bahaya kepada siapapun yang mendekati tempat terlarang tersebut. Orang yang takut mendapat eksekusi dari penguasa akan menjauhkan gembalaannya dari tempat tersebut, lantaran kalau mendekati wilayah itu biasanya terjerumus. Dan terkadang penggembala hanya seorang diri sampai tidak bisa mengawasi seluruh binatang gembalaannya. Untuk kehati-hatian maka ia menciptakan pagar biar gembalaannya tidak mendekati wilayah terlarang sehingga terhindar dari hukuman. Begitu juga dengan larangan Allah menyerupai membunuh, mencuri, riba, minum khamr, qadzaf, menggunjing, mengadu domba dan sebagainya ialah hal-hal yang tidak patut didekati lantaran khawatir terjerumus dalam perbuatan itu.
Kalimat, “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging bila ia baik maka oke seluruh jasadnya” yang dimaksud ialah hati, betapa pentingnya daging ini walaupun bentuknya kecil, daging ini disebut Al-Qalb (hati) yang merupakan anggota badan yang paling terhormat, lantaran ditempat inilah terjadi perubahan gagasan, sebagian penyair bersenandung, “Tidak dinamakan hati kecuali lantaran menjadi tempat terjadinya perubahan gagasan, lantaran itu waspadalah terhadap hati dari perubahannya”
Allah menyebutkan bahwa insan dan binatang mempunyai hati yang menjadi pengatur kebaikan-kebaikan yang diinginkan. Hewan dan insan dalam segala jenisnya bisa melihat yang baik dan buruk, kemudian Allah mengistimewakan insan dengan karunia logika disamping dikaruniai hati sehingga berbeda dari hewan. Allah berfirman, “Tidakkah mereka mau berkelana dimuka bumi lantaran mereka mempunyai hati untuk berpikir, atau pendengaran untuk mendengar…” (QS. Al-Hajj 22:46). Allah telah melengkapi dengan anggota badan lainnya yang dijadikan tunduk dan patuh kepada akal. Apa yang sudah dipertimbangkan akal, anggota badan tinggal melaksanakan keputusan logika itu, bila akalnya baik maka perbuatannya baik, bila akalnya jelek, perbuatannya juga jelek.
Bila kita telah memahami hal diatas, maka kita bisa menangkap dengan terang sabda Rasulullah , “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging bila ia baik maka oke seluruh jasadnya dan bila ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu ialah hati”.
Kita memohon kepada Allah semoga Dia menimbulkan hati kita yang buruk menjadi baik, wahai Tuhan pemutar balik hati, teguhkanlah hati kami pada agama-Mu, wahai Tuhan pengendali hati, arahkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.
0 komentar
Posting Komentar