Minggu, 16 September 2018

Bahaya Bermuka Dua

Bahaya Bermuka Dua


Sedang ekspresi dominan di pemberitaan media ada kendaraan beroda empat bermuka dua di Kota Bandung. Mobil ini memang mempunyai tampilan muka dua. Tidak ada penggalan belakang kendaraan beroda empat ini. Jika dilihat di belakangnya tampak juga penggalan muka atau penggalan depan kendaraan beroda empat ini. Tidak terang kendaraan beroda empat ini maju atau mundur lantaran penggalan belakang dan depannya sama. Kondisi menyerupai itu membahayakan bagi pengemudi lainnya. Mobil ini kesudahannya ditilang oleh pihak berwajib. 

Demikian juga halnya dengan manusia. Jika ada insan bermuka dua, tentunya akan membahayakan bagi lingkungan sekitarnya. Orang menyerupai ini bagai musuh dalam selimut. Menohok mitra seiring, menggunting dalam lipatan. Serigala berbulu domba, musang berbulu ayam. Atau apapun istilah yang digunakan untuk orang yang bermuka dua. Ketika Sang muka dua berhadapan dengan dua pihak yang berbeda ia akan memberikan hal yang berbeda. Ketika bertemu dengan orang beriman, ia akan katakan kami beriman. Tapi saat bertemu dengan orang yang tidak beriman, ia menyampaikan bahwa ia bersama golongan orang yang tidak beriman. Dia hanya mengolok-olok orang beriman saja. Sesungguhnya olok-olok dan budi anyir yang mereka lakukan yaitu menipu diri mereka sendiri. Bahkan Allah menyebutkan tidak beruntung perniagaan mereka. 

Dalam al-Qur'an Allah sebutkan fenomena orang bermuka dua ini dengan istilah orang munafik. Firman Allah surat al-Baqarah ayat 14 hingga 16 Allah sebutkan demikian
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ ءَامَنُوا قَالُوا ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ
Dan bila mereka berjumpa dengan orang beriman, mereka berkata, ”Kami telah beriman.” Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka berkata, ”Sesungguhnya kami bersama kalian, kami hanya berolok-olok.” Allah akan (membalas) usikan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan. Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. 

Ayat di atas yaitu penggalan dari tiga golongan insan dalam konteks keimanan yang terdapat dalam penggalan awal surah al-Baqarah. Pada ayat 1 hingga 5 surah al-Baqarah ini menceritakan ihwal golongan orang-orang yang beriman. Orang-orang yang berimanlah yang akan mendapat petunjuk dari Allah. Ayat 6 dan 7 menceritakan ihwal orang yang kafir sebagai kebalikan orang yang beriman. Nah, ayat 8 hingga 22 bercerita ihwal orang munafik.
Mulai dari ayat delapan Allah berfirman. Di antara insan ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," pada hal mereka itu bahu-membahu bukan orang-orang yang beriman. Ucapan kepercayaan itu hanya di verbal mereka saja. Pernyataan kepercayaan itu tidak berasal dari diri terdalam mereka. Dengan pernyataan kepercayaan palsu mereka itu, mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Hal itu mereka lakukan lantaran dalam hati mereka ada penyakit. yaitu penyakit nifak kemudian ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.

Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kau menciptakan kerusakan di muka bumi." yaitu dengan menghasut orang-orang kafir untuk memusuhi dan menentang orang-orang beriman. Mereka mengingkarinya. Bahkan mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." Padahal kata Allah Ingatlah, bahu-membahu mereka itulah orang-orang yang menciptakan kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.

Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kau sebagaimana orang-orang lain telah beriman." Mereka menjawab: "Akankah kami beriman sebagaimana orang-orang telah beriman  yang justru mereka anggap sebagai orang yang kurang arif ?" Ingatlah, bahu-membahu merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu.

Dan di lain kesempatan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman." Lalu bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok." Allah akan (membalas) usikan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. 

Lalu Allah umpamakan mereka orang-orang munafik itu seperti orang yang menyalakan api, maka sesudah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak sanggup melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar), atau menyerupai (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, lantaran (mendengar suara) petir,sebab takut akan mati. Dan Allah mencakup orang-orang yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, pasti Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.

Dalam hadis Rasulullah juga menjelaskan tanda orang munafik.
otzimjrVTpstkXzRXQyZgVpmOcpAqhcCACLcBGAs Bahaya Bermuka Dua
Dari Abu Hurairah Ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; kalau berkata ia bohong, kalau berjanji ia mengingkari, dan kalau dipercaya ia berkhianat.” (Muttafaqun ‘alaih. Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari hadis Abdullah bin Am’r disebutkan, Apabila ia bertengkar ia berbuat licik’). HR. Al-Bukhari no.33, 34 dan Muslim no. 58, 59.

Tiga hal di atas perlu menjadi perhatian bagi kita. Berbicara harus jujur, tidak boleh bohong. Berjanji harus ditepati, tidak boleh diingkari. Amanah harus dijalankan, tidak boleh dikhianati. Jika tidak, jatuhlah kita pada sifat orang munafik.

Di zaman Rasulullah, ada orang yang dikenal ketokohannya lantaran kemunafikannya yaitu Abdullah bin Ubay bin Salul. Di hadapan Nabi Muhammad ia berusaha menampakkan keimanan dan  ikut beribadah bersama Nabi dan para sobat yang lain. Di belakang Nabi Muhammad Saw. ia berusaha menghancurkan pamor dan popularitas Nabi Muhammad Saw. Dia berusaha menciptakan propaganda semoga orang memusuhi Nabi Muhammad Saw. Dia menghasut orang semoga tidak mau ikut berjihad pada insiden perang Uhud. Dia juga pernah menciptakan dan mengembangkan informasi bohong (hoax) ihwal istri Nabi Muhammad yaitu Aisyah. Dibuatnya informasi Aisyah berselingkuh dengan sobat Nabi Shafwan bin Muaththil. Padahal tidak demikian adanya. Hal ini diabadikan Allah dalam surah An-Nur ayat 11.

Dalam surat al-Taubah ayat 80 Allah katakan "Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kau mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kau memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu yaitu lantaran mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik."

Setelah insiden maut Abdullah bin Ubay bin Salul, Nabi Muhammad Saw. dihentikan oleh Allah untuk menshalatkan mayat orang munafik. Demikian disebutkan dalam surah al-Taubah ayat 84 “Dan janganlah kau sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kau bangkit (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam Keadaan fasik. Ini terjadi pada tahun 9 Hijriah. Semenjak itu Nabi Muhammad Saw. tidak pernah lagi menyolatkan mayat orang munafik.

Itulah di antara hukuman yang pernah ada terjadi bagi orang munafik. Sedangkan di alam abadi kelak mereka akan ditempatkan oleh Allah di neraka penggalan paling bawahnya. Dalam bahasa popoler kita kenal dengan istilah di kerak-kerak neraka. Dibakar di neraka saja sudah sangat tidak terperikan panasnya, apalagi di penggalan kerak-keraknya. Begitu firman Allah Surah al-Nisa ayat 145 menginformasikan
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
Sesungguhnya orang munafik ditempatkan di daerah paling bawah neraka. Kamu tidak akan pernah mendapat seorangpun penolong bagi mereka.

Semoga kita termasuk golongan yang beriman dan terhindar dari golongan kafir dan juga munafik. aamiin.
_____

Disampaikan pertama kali pada khutbah Jum'at 02 Jumadil Ula 1439 H/ 19 Januari 2017 M di Masjid al-Muslim Jalan Lintang Takengon Aceh Tengah

Sabtu, 15 September 2018

Mempersiapkan Generasi Yang Cinta Masjid Semenjak Dini

Mempersiapkan Generasi Yang Cinta Masjid Semenjak Dini

Kita patut gembira dengan semarak keagamaan secara global akhir-akhir ini. Bahkan, kita patut bersyukur dengan syiar agama berupa kemegahan dan keindahan masjid dan mushalla di sekitar tempat tinggal kita.  Namun, kita juga patut cemas dengan praktek pengamalan keseharian di lingkungan tempat tinggal kita. Di antaranya terkait shalat berjama’ah di masjid yang tidak penuh satu shaf. Tidak banyak masyarakat yang shalat di masjid. Kalaupun ada hanya orang tua-tua saja. Kalaupun agak ramai, itu mungkin hanya maghrib. Empat waktu yang lain, hanya diisi oleh generasi bau tanah saja.

Kita mungkin berhusnuzhon bahwa siang dan sore hari masyarakat kita beraktifitas di tempat yang berbeda sehingga tidak shalat berjama’ah di lingkungan tempat tinggalnya. Mari kita lihat juga di waktu Magrib, Isya dan Shubuh. Tepat kiranya apa yang disampaikan oleh Buya Hamka bahwa bila ingin melihat kaum muslimin, lihatlah ketika hari raya. Namun, bila ingin melihat orang mukmin, lihatlah waktu shubuh di masjid.

Agak kita perkecil standar mengukurnya, mari lihat kondisi ketika shalat Jum’at. Dari jumlah penduduk suatu kampung, berapa persentase jumlah generasi muda dibandingkan orang tua? Berapa persentase anak usia sekolah dibandingkan dengan bapak-bapaknya? Atau bila mau lihat data Badan Pusat Statistik, berapa persentase generasi muda dibandingkan bapak-bapak atau kakek-kakek yang sudah tua?  Pertanyaan kita, mana generasi muda yang akan kita harapkan menjadi generasi penerus kita ke depan, generasi yang akan jadi pemimpin kampung halamannya, pemimpin ummat dan pemimpin tempat ini. Kita patut khawatir meninggalkan generasi yang lemah di masa yang akan datang. Lemah akidah, lemah ibadah, lemah akhlak, lemah ekonomi, lemah dalam kepemimpinan dan lain-lain. Pendek kata, lemah dalam segala hal. Istilah lain yang mungkin juga sempurna dipakai yakni generasi yang krisis dalam banyak sekali bidang. 

Patut kita renungkan Firman Allah surat al-Nisa/4 ayat 9
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا(9)
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka bawah umur yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh lantaran itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (Q.S. al-Nisa/4: 9)

Dalam ayat lain Allah menyuruh kita orang yang beriman untuk memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok. Hari esok dalam pengertian di dunia dan hari esok dalam pengertian kehidupan akhirat.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ(18)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Dan bertakwalah kepada Allah, sebetulnya Allah Maha Mengetahui apa yang kau kerjakan. (Q.S. al-Haysr/ 59: 18)

Bagaimana Caranya?
1.    Mulai pendidikan dari rumah tangga
Ayat sembilan surah al-Nisa’ di atas menyebut istilah dzurriyah yang biasa diterjemahkan dengan anak-anak. Tanggung jawab mendidik bawah umur yakni tanggung jawab orang tua, bukan tanggung jawab guru di sekolah. Maka mulailah mendidik sebuah generasi dari ketika mereka masih anak-anak. Tanggung jawab pertama yakni tanggung jawab orang tua. "hai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka" begitu perintah Allah dalam surah al-Tahrim. Nabi mengatakan "setiap kau yakni pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawabnnya terhadap apa yang di pimpinnya". Jika setiap keluarga telah berhasil mendidik anggota keluarganya dengan menanamkan pedoman agama, maka tidak tidak mungkin satu kampung penduduknya yakni penduduk yang beriman. Demikian juga halnya satu kecamatan, kabupaten bahkan negara sekalipun. K.H. Abdullah Gimnastiar pernah menyampai rumus tiga M. Di antaranya, mulai dari hal terkecil. Keluarga yakni organisasi terkecil untuk membentuk generasi yang cinta mesjid.

2.    Mari ajak bawah umur kita untuk cinta ke masjid semenjak dini
Melanjutkan pendidikan di rumah tangga, maka kewajiban Ayah untuk mengajak dan membawa anak-anaknya ke masjid. Ayah pergi ke masjid juga membawa anak-anaknya. Tidak sempurna alasan kasihan kepada anak lantaran suhu yang hambar di malam dan waktu shubuh. Karena dinginnya angin malam di waktu Isya dan Shubuh hari belum seberapa dibandingkan panasnya api neraka. Ayah jangan pergi ke masjid sendiri. Ayah menjadi pola yang baik bagi anaknya. Bukan sebaliknya, menyuruh anak ke masjid tapi ayahnya tidak ke masjid. Harusnya menyerupai filosofi orang memandikan kuda, kuda dan tuannya sama-sama masuk ke air. Bukan menyerupai orang memandikan monyet. Tuannya menceburkan kera ke sungai, namun tuannya tidak masuk ke dalam air.

3.    Mari jadikan masjid sebagai tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi bawah umur dan generasi muda
Pernahkah kita bertanya mengapa bawah umur muda kita lebih nyaman di cafe, warung kopi, warnet, tempat nongkrong dan tempat berkumpulnya bawah umur muda lainnya. Mereka betah berlama-lama di warung kopi lantaran mereka merasa nyaman di sana. Maka tidak salah juga bila ada masjid yang menyediakan wifi gratis sehingga generasi zaman now mau ngumpul dan nongkrong di masjid. Ada baiknya juga masjid menyediakan perpustakaan dan taman bacaan sehingga anak muda berkunjung ke masjid. Jangan hingga ada bawah umur yang dihardik, diusir dan dikasari di madjid. Karena hal itu akan menjadikan bekas ketidaknyamanan bagi mereka sehingga menganggap masjid yakni tempat yang tidak ramah terhadap mereka.

4.    Mari kita jadikan masjid sebagai sentra acara masyarakat
Tidak hanya sebagai sentra acara keagamaan, tapi banyak sekali acara bisa dipusatkan di masjid sehingga masjid menjadi sentra acara kampung. Ketika tiba waktu shalat, maka masyarakat yang mengikuti acara di masjid tentunya akan ikut shalat berjamaah. Sebagai contoh, masjid bisa ramai ketika ada shalat mayit di masjid. Namun tentunya tidak sempurna kiranya kita berharap harus ada yang meninggal dunia setiap waktu shalat supaya shalat lima waktu selalu ramai di madjid.

Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: pertama, Imam yang adil, kedua seorang cowok yang tumbuh remaja dalam beribadah kepada Allah, ketiga seorang yang hatinya bergantung ke masjid, keempat dua orang yang saling menyayangi di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, kelima seorang pria yang diajak berzina oleh seorang perempuan yang memiliki kedudukan lagi cantik, kemudian ia berkata, ‘Sesungguhnya saya takut kepada Allah. keenam seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah kemudian ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, dan ketujuh seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sepi kemudian ia meneteskan air matanya.
Alhamdulillah. Kita telah berhasil membangun madjid yang bagus dan megah. Namun membangun masjid tidak hanya membangun fisiknya, tapi juga membangun isinya. Dengan segenap kemampuan kita, mari kita persiapkan pembangunan isi masjid. Kita jadikan masjid sebagai sentra acara kita. Pengurus masjid juga sebaiknya memikirkan pembangunan mental spiritual, tidak hanya fokus membangun fisik masjid. Sehingga sesudah berlalunya generasi tua, masih ada generasi selanjutnya yang akan memakmurkan masjid.

___

*) Materi ini pertama kali disampaikan ketika Khutbah Jum'at di Masjid Kenawat Aceh Tengah 24 Rabi'ul Akhir 1439 H/12 Januari 2018 M

Jumat, 14 September 2018

Mengambil Peringatan Dari Peringatan Isra Mikraj

Mengambil Peringatan Dari Peringatan Isra Mikraj

Peristiwa Isra Mikraj diyakini oleh setiap muslim kebenarannya. Quran dan hadis shahih juga menginformasikannya. Tepat pada tanggal 27 Rajab setahun sebelum insiden Hijrah, Nabi Muhammad Saw. diperjalankan oleh Allah Swt. dan diberi perintah Salat.

Sekarang, setiap tahun umat Islam memperingati insiden Isra Mikraj dengan aneka macam kegiatan. Hampir di setiap masjid dan musala diadakan rangkaian acara peringatan Isra Mikraj. Berbeda masa dan tempat, berbeda pula bentuk program peringatan Isra Mikraj itu. Di sebagian daerah peringatan Isra Mikraj diadakan dengan mengadakan ceramah agama di masjid atau musala. Di simpulan ceramah, diadakan acara makan-makan snack atau camilan anggun kering. 

Zaman saya mengaji di surau sewaktu kecil, jikalau sudah tiba tanggal 27 Rajab acara berguru mengaji diganti dengan acara dongeng perihal insiden Isra Mikraj. Yang menariknya bagi anak seusia saya waktu itu yakni peringatan hari besar Islam selalu diadakan dengan membawa nasi ke surau. Setelah selesai dongeng Isra' Mikraj, diadakan kuis perihal isi cerita. Setelah itu gres diadakan makan bersama. Dibukalah nasi yang biasa dibungkus dengan daun pisang itu. Biasanya sambal glamor kami waktu itu yakni telur rebus yang sudah dikupas kulitnya digoreng kemudian dilumuri cabe merah goreng. Saat menuliskan ini, terasa bagi saya bagaimana aroma khas nasi bungkus daun pisang yang berisi sambal telur cabe merah itu.


Bagi anak SD seusia saya waktu itu, peringatan Isra Mikraj, tidak memberi peringatan apa-apa selain rangkaian dongeng insiden Isra Mikraj dan nikmatnya makan nasi bungkus di surau. Kami tahu dongeng Nabi Muhammad Saw. naik Burak. Beliau disuguhi semangkuk arak dan susu. Beliau bertemu para nabi di setiap tingkatan langit, Gambaran Sidratul muntaha yang digambarkan daunnya sebesar indera pendengaran gajah. Perintah salat lima puluh waktu kemudian disarankan oleh Nabi Musa As. untuk minta dikurangi hingga bolak-balik Nabi Muhammad minta dikurangi alhasil menjadi lima waktu. Itu saja.

Begitu setiap tahunnya program peringatan Isra Mikraj diadakan. Bagi sebagian orang, program peringatan (atau memperingati) Isra Mikraj itu tidak memberi PERINGATAN (WARNING) apapun kepada dirinya. Melalui peringatan isra mikraj tahun ini, mari kita beri PERINGATAN kepada diri kita masing-masing.

Peringatan Pertama: Ingatkan Diri Kita Untuk Membenahi Ibadah Salat Kita
Bagi Kita yang salatnya masih bukan alasannya yakni Allah, peringatkan diri kita perihal harusnya nrimo dalam beribadah. Bagi kita yang salatnya belum punya ilmu, mari kita tambah ilmu kita perihal salat. Bagi kita yang bacaan salatnya belum sempurna tajwidnya, mari peringatkan diri kita untuk berguru bacaan salat yang benar secara ilmu tajwid sehingga benar bacaan dan maknanya.

Bagi kita yang salatnya masih bolong-bolong, peringatkan diri kita supaya salatnya tidak lagi bolong-bolong. Bagi kita yang salatnya tidak di awal waktu, mari peringatkan diri kita untuk salat di awal waktu. Bagi kita yang salatnya cepat dan tidak ada tuma'ninah, peringatkan diri kita supaya salatnya ada tuma'ninahBagi kita yang salatnya belum khusyuk, mari peringatkan diri kita supaya salatnya khusyuk.
Bagi kita yang belum mau pergi berjamaah ke masjid, mari peringatkan diri kita untuk salat berjamaah di masjid. Bagi kita yang belum mengajak anaknya ikut serta salat ke masjid, mari kita bawa dan biasakan anak kita salat di masjid. Bagi kita yang biasa mengejar dan bahkan mendahului imam dalam salat, peringatkan diri kita supaya mengikut imam dan tidak mengejar atau mendahuluinya. Bagi kita yang belum berzikir sehabis salat, peringatkan diri kita supaya berzikir sehabis salat. Bagi kita yang belum membiasakan salat sunat rawatib, peringatkan diri kita perihal keutamaan salat rawatib. Bagi kita yang masuk dan keluar masjid tanpa berdoa' peringatkan diri kita supaya membaca doa.

Peringatan Kedua: Ingatkan Diri Kita Untuk Meninggalkan Hal-hal Yang Dilarang dan Kurang Baik
Mungkin ada sebagian kita yang salatnya sudah benar dan dilakukan secara ikhlas, tapi masih belum besar lengan berkuasa secara konkret kepada diri dan lingkungannya. Mari peringatkan diri kita perihal itu.

Peringatkan juga diri kita yang tidak baik dengan saudara, tetangga, dan teman-teman. Peringatkan juga diri kita yang masih melaksanakan dosa-dosa kecil. Peringatkan juga diri kita yang masih menzalimi saudaranya. Peringatkan juga diri kita yang masih memotong gaji, honor, jasa, sertifikasi saudaranya. Peringatkan juga diri kita yang masih mendapatkan suap. Peringatkan juga diri kita yang masih mendapatkan gratifikasi. Peringatkan juga diri kita yang masih mengumpat dan mencela. Peringatkan juga diri kita yang masih berburuk sangka kepada orang lain. Peringatkan juga diri kita yang tidak mau memaafkan kesalahan orang lain.

Sampai hal-hal terkecil misalnya, terkait parkir kita di masjid. Peringatkan diri kita yang parkirnya di sekitar masjid masih belum rapi dan bahkan menghambat kelancaran jalan orang lain. Peringatkan juga diri kita untuk menyusun sendal di daerah parkir sandal. Peringatkan diri kita perihal egoisnya kita yang masih membawa sendal ke daerah berwuduk. Peringatkan diri kita yang wuduknya masih boros penggunaan air. Peringatkan diri kita yang membaca bacaan salat dengan bunyi agak keras sehingga mengganggu kekhusyukan jamaah di samping kita. Peringatkan diri kita perihal keegoisan kita tersebut. Padahal salat kita sudah benar.

Peringatan Ketiga: Ingatkan Diri Kita Agar Tetap Beramal Shaleh
Orang yang salat mestinya rajin, ulet berusaha dan bekerja dan bersedekah shaleh lainnya. Ada ayat Quran yang berisi kesepakatan Allah bagi orang beriman dan bersedekah shaleh akan menerima kehidupan yang lebih baik dan ganjaran yang juga lebih baik dari amal yang dikerjakannya. Itulah di antara bentuk ke-Mahakaya-an Allah.

Bagi kita yang setelah salat masih bermalas-malasan, peringatkan diri kita perihal lafal azan "marilah salat dan marilah menuju keberuntungan/ kemenangan". Peringatkan juga diri kita perihal bertebaran di muka bumi setelah melaksanakan salat. Peringatkan juga diri kita yang hanya fokus beribadah salat, tapi melupakan ibadah lainnya. Peringatkan juga diri kita yang tidak mau berinfak dan bersedekah.

Tentunya ada banyak peringatan yang sanggup kita berikan kepada diri kita supaya semakin hari semakin meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah dan penghambaan diri kita kepada Allah.


_______

Dibuat untuk disampaikan pada:
Khutbah jumat tanggal 26 Rajab 1439 H/ 13 April 2018 di Masjid Kenawat Kec. Lut Tawar, Pengajian Muhammadiyah Kota Takengon pada hari yang sama.
Arisan Ikatan Keluarga Bayur Aceh Tengah di Tetunjung pada hari Sabtu 14 April 2018
Khutbah Jum'at tanggal 04 Sya'ban 1439 H/ 20 April 2018 di Masjid Al-Abrar Kec. Kebayakan.

Kamis, 13 September 2018

Iman, Amanah Dan Rasa Aman

Iman, Amanah Dan Rasa Aman

Puasa diwajibkan kepada orang yang beriman. Tidak hanya puasa, ibadah umumnya diwajibkan kepada orang yang beriman. Perintah berwudu’, perintah salat, ber-Islam secara kaffah, menjaga diri dari hal-hal yang menjerumuskan ke dalam neraka, semua itu diperintahkan kepada orang beriman. Bahkan, dalam urusan muamalah menyerupai perintah mencatat hutang-piutang yang disebutkan dalam ayat terpanjang dalam Quran yaitu orang yang beriman.

Bagaimana Kita Memaknai Iman?
Iman dalam bahasa arab berasal dari akar kata amana. Terdiri atas tiga aksara alif/ hamzah, mim dan nun. Ada dua makna dasar kata ini yaitu pembenaran dan ketenangan hati. Orang beriman secara bahasa berarti orang yang membenarkan. Orang yang beriman secara bahasa berarti orang yang hatinya tenang dan tenteram alasannya yaitu keimanannya.
Ulama mendefinisikan iman berbeda-beda. Ada minimal tiga komponen yang terdapat dalam iman menurut definisi yang umum dan terkenal dipakai. Komponen pertama, Atashdiqu bil Qolbi, pembenaran dalam hati. Sejalan dengan makna dasarnya di atas bahwa iman yaitu pembenaran ihwal yang diimani itu dalam hati. Komponen Kedua, al-Iqraru billisani, pernyataan keimanan dengan ucapan. Ketiga, al-Amalu bil Arkan atau biljawarih, pernyataan dan pembenaran iman itu diwujudkan berupa perbuatan, perlakuan yang biasa disebut amal kebajikan.

Puasa yang kita lakukan yaitu perwujudan dari pembenaran terhadap perintah syara’. Salat yang kita lakukan juga yaitu bukti kita membenarkan adanya Allah yang menurunkan syariat salat. Mencatat hutang-piutang dalam urusan muamalah—sebagai ibadah yang jarang kita lakukan dan mungkin dalam hal ini hanya “diamalkan” oleh perbankan, koperasi, atau bahkan pihak rentenir—juga merupakan perwujudan keimanan.
Pendek kata, mengamalkan Islam secara totalitas, sempurna, kaffah, tanpaknya hanya sanggup dilakukan dengan iman. Ibadah itu hanya sanggup dilakukan oleh orang beriman. Ya Ayyuhallazina Amanu Udkhulu fissilmi kaffah. Hai orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara sempurna. Bahkan dalam ayat lain yang diperintah bertakwa itu orang yang beriman. Karena takwa itu ndak sanggup dilakukan kecuali oleh orang beriman. Ya Ayyhullazina amanu ittaqu rabbakum. Inna zalzalatis’sa’ati syai’un Azhimun. Ya Ayyhullazina amanu ittaqullaha wal tanzhur nafsun maa qaddamat li ghad.

Apa Hubungan Iman dengan Amanah dan Rasa Aman
Kembali kepada makna dasar iman yang kita sebutkan sebelumnya. Kata ini berasal dari akar kata amana. Kata lain yang juga berasal dari kata ini di antaranya yaitu amanah dan aman.

Dalam sebuah hadis Riwayat Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnadnya dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ، وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَه, tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memenuhi janjinya. Sanad hadis ini ada yang menilainya shahih dan ada yang menilai dhoif alasannya yaitu terdapat Abu Hilal Al-Rasibiy yang dinilai dha’if dan Qatadah bin Di’amah yagn dinilai sebagai mudallis. Ada bayak syahid dan tabi’ bagi hadis ini, umunya menyebut لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ tanpa وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَه.
Poin yang ingin kita sampaikan bahwa ada keterkaitan iman dengan aspek sosial seorang yang menyatakan dirinya mukmin. Dalam konteks amanah, orang beriman yaitu orang yang amanah. Muhammad sebelum menjadi Nabi dan Rasul digelari dengan al-Amin, seorang yang amanah, jujur dan sanggup dipercaya. Benang merah makna iman di atas yaitu adanya pembenaran terhadap apa yang diimani itu sehingga memunculkan rasa tenang, nyaman bagi orang yang memberi amanah.

Kita yang diberi amanah yaitu orang yang beriman. Ketika kita menjalankan amanah—amanah kepemimpinan, jabatan, kepercayaan sebagai pengurus sesuatu dan lain-lain apa pun bentuknya amanah itu—kita jalankan dengan baik, maka muncul rasa nyaman dan tenang serta adanya kepercayaan bagi orang lain yang menawarkan amanah itu kepada kita.
Dalam konteks puasa, mukmin yang berpuasa seyogyanya yaitu orang yang terpercaya dan menandakan kepada orang lain bahwa beliau layak diberi kepercayaan

Selanjutnya kaitan iman, amanah dengan rasa kondusif yang akhir-akhir ini mulai terusik. Dalam hadis Muttafaqun Alaihi dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
"واللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، واللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ،"قِيلَ: منْ يارسولَ اللَّهِ؟ قَالَ:"الَّذي: لاَ يأْمنُ جارُهُ بَوَائِقَهُ،"
Tidak tepat keimanan seseorang yang tetangganya tidak kondusif dari tingkah lakunya. Rasa kondusif dalam kehidupan bermasyarakat juga merupakan perwujudan dari keimanan. Ibadah ritual kepada Allah belumlah merupakan bentuk totalitas keimanan. Betul ibadah shalat dan puasa yang kita lakukan yaitu perwujudan keimanan, tapi itu saja belum cukup menandakan kita sepenuhnya beriman jikalau tetangga kita masih belum kondusif dari tingkah polah dan tindak tanduk kita.

Contoh lain hadis nabi yang megatakan iman kepada Allah dan hari simpulan disyaratkan dengan bertutur kata yang baik, memuliakan tetangga dan tamu.
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر ، فليقل خيرا أو ليصمت ، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر ، فليكرم جاره ، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر ، فليكرم ضيفه
Hadis lain juga menyebutkan

لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحبه لنفسه
Mencintai orang lain menyerupai menyayangi diri kita sendiri. Hadis ini menyerukan kepada kita supaya kita punya standar yang sama, tidak standar ganda dalam memperlakukan orang lain. Filosofi cubit tangan sendiri. Jika sakit terasa oleh kita, maka sakit juga berarti kalau kita cubit orang lain. Jika tidak mau diganggu oleh orang lain, maka jangan ganggu orang lain. Untuk mewujudkan keamanan dan ketenteraman mesti didasari dengan iman. Tidak tepat iman seorang mukmin jikalau belum menyayangi hal lain sebagaimana beliau menyayangi dirinya atau apa yang ada pada dirinya sendiri.

Dalam konteks rasa kondusif yang akhir-akhir ini mulai terusik, maka sanggup dikatakan bahwa perbuatan apa pun yang mengancam rasa kondusif sejatinya tidak dilakukan oleh seorang yang mengaku dirinya sebagai mukmin.
Allah menyebut satu di antara namanya dalam surah al-Hasyr sebagai almu’min, pemberi rasa aman. Jika seorang mukmin yang benar-menar meneladani Allah dalam sifatnya al-mukmin, maka seyogyanya setiap langsung mukmin mewujudkan rasa kondusif dan nyaman di mana pun ia berada. Karena perwujudan rasa kondusif bagi dirinya, orang lain dan lingkungannya yaitu bab dari bukti keimanan seseorang. Belum tepat iman seseorang jikalau belum menawarkan rasa aman, nyaman, tenteram dan kedamaian bagai semua.

_____
Dibuat untuk disampaikan pertama kali dalam pengajian bulan berkat di Mesjid Kota Takengon pada hari Senin 13 Ramadhan 1439 H/ 28 Mei 2018 M
Iman, Amanah Dan Rasa Aman

Iman, Amanah Dan Rasa Aman

Puasa diwajibkan kepada orang yang beriman. Tidak hanya puasa, ibadah umumnya diwajibkan kepada orang yang beriman. Perintah berwudu’, perintah salat, ber-Islam secara kaffah, menjaga diri dari hal-hal yang menjerumuskan ke dalam neraka, semua itu diperintahkan kepada orang beriman. Bahkan, dalam urusan muamalah menyerupai perintah mencatat hutang-piutang yang disebutkan dalam ayat terpanjang dalam Quran yaitu orang yang beriman.

Bagaimana Kita Memaknai Iman?
Iman dalam bahasa arab berasal dari akar kata amana. Terdiri atas tiga aksara alif/ hamzah, mim dan nun. Ada dua makna dasar kata ini yaitu pembenaran dan ketenangan hati. Orang beriman secara bahasa berarti orang yang membenarkan. Orang yang beriman secara bahasa berarti orang yang hatinya tenang dan tenteram alasannya yaitu keimanannya.
Ulama mendefinisikan iman berbeda-beda. Ada minimal tiga komponen yang terdapat dalam iman menurut definisi yang umum dan terkenal dipakai. Komponen pertama, Atashdiqu bil Qolbi, pembenaran dalam hati. Sejalan dengan makna dasarnya di atas bahwa iman yaitu pembenaran ihwal yang diimani itu dalam hati. Komponen Kedua, al-Iqraru billisani, pernyataan keimanan dengan ucapan. Ketiga, al-Amalu bil Arkan atau biljawarih, pernyataan dan pembenaran iman itu diwujudkan berupa perbuatan, perlakuan yang biasa disebut amal kebajikan.

Puasa yang kita lakukan yaitu perwujudan dari pembenaran terhadap perintah syara’. Salat yang kita lakukan juga yaitu bukti kita membenarkan adanya Allah yang menurunkan syariat salat. Mencatat hutang-piutang dalam urusan muamalah—sebagai ibadah yang jarang kita lakukan dan mungkin dalam hal ini hanya “diamalkan” oleh perbankan, koperasi, atau bahkan pihak rentenir—juga merupakan perwujudan keimanan.
Pendek kata, mengamalkan Islam secara totalitas, sempurna, kaffah, tanpaknya hanya sanggup dilakukan dengan iman. Ibadah itu hanya sanggup dilakukan oleh orang beriman. Ya Ayyuhallazina Amanu Udkhulu fissilmi kaffah. Hai orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara sempurna. Bahkan dalam ayat lain yang diperintah bertakwa itu orang yang beriman. Karena takwa itu ndak sanggup dilakukan kecuali oleh orang beriman. Ya Ayyhullazina amanu ittaqu rabbakum. Inna zalzalatis’sa’ati syai’un Azhimun. Ya Ayyhullazina amanu ittaqullaha wal tanzhur nafsun maa qaddamat li ghad.

Apa Hubungan Iman dengan Amanah dan Rasa Aman
Kembali kepada makna dasar iman yang kita sebutkan sebelumnya. Kata ini berasal dari akar kata amana. Kata lain yang juga berasal dari kata ini di antaranya yaitu amanah dan aman.

Dalam sebuah hadis Riwayat Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnadnya dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ، وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَه, tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memenuhi janjinya. Sanad hadis ini ada yang menilainya shahih dan ada yang menilai dhoif alasannya yaitu terdapat Abu Hilal Al-Rasibiy yang dinilai dha’if dan Qatadah bin Di’amah yagn dinilai sebagai mudallis. Ada bayak syahid dan tabi’ bagi hadis ini, umunya menyebut لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ tanpa وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَه.
Poin yang ingin kita sampaikan bahwa ada keterkaitan iman dengan aspek sosial seorang yang menyatakan dirinya mukmin. Dalam konteks amanah, orang beriman yaitu orang yang amanah. Muhammad sebelum menjadi Nabi dan Rasul digelari dengan al-Amin, seorang yang amanah, jujur dan sanggup dipercaya. Benang merah makna iman di atas yaitu adanya pembenaran terhadap apa yang diimani itu sehingga memunculkan rasa tenang, nyaman bagi orang yang memberi amanah.

Kita yang diberi amanah yaitu orang yang beriman. Ketika kita menjalankan amanah—amanah kepemimpinan, jabatan, kepercayaan sebagai pengurus sesuatu dan lain-lain apa pun bentuknya amanah itu—kita jalankan dengan baik, maka muncul rasa nyaman dan tenang serta adanya kepercayaan bagi orang lain yang menawarkan amanah itu kepada kita.
Dalam konteks puasa, mukmin yang berpuasa seyogyanya yaitu orang yang terpercaya dan menandakan kepada orang lain bahwa beliau layak diberi kepercayaan

Selanjutnya kaitan iman, amanah dengan rasa kondusif yang akhir-akhir ini mulai terusik. Dalam hadis Muttafaqun Alaihi dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
"واللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، واللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ،"قِيلَ: منْ يارسولَ اللَّهِ؟ قَالَ:"الَّذي: لاَ يأْمنُ جارُهُ بَوَائِقَهُ،"
Tidak tepat keimanan seseorang yang tetangganya tidak kondusif dari tingkah lakunya. Rasa kondusif dalam kehidupan bermasyarakat juga merupakan perwujudan dari keimanan. Ibadah ritual kepada Allah belumlah merupakan bentuk totalitas keimanan. Betul ibadah shalat dan puasa yang kita lakukan yaitu perwujudan keimanan, tapi itu saja belum cukup menandakan kita sepenuhnya beriman jikalau tetangga kita masih belum kondusif dari tingkah polah dan tindak tanduk kita.

Contoh lain hadis nabi yang megatakan iman kepada Allah dan hari simpulan disyaratkan dengan bertutur kata yang baik, memuliakan tetangga dan tamu.
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر ، فليقل خيرا أو ليصمت ، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر ، فليكرم جاره ، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر ، فليكرم ضيفه
Hadis lain juga menyebutkan

لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحبه لنفسه
Mencintai orang lain menyerupai menyayangi diri kita sendiri. Hadis ini menyerukan kepada kita supaya kita punya standar yang sama, tidak standar ganda dalam memperlakukan orang lain. Filosofi cubit tangan sendiri. Jika sakit terasa oleh kita, maka sakit juga berarti kalau kita cubit orang lain. Jika tidak mau diganggu oleh orang lain, maka jangan ganggu orang lain. Untuk mewujudkan keamanan dan ketenteraman mesti didasari dengan iman. Tidak tepat iman seorang mukmin jikalau belum menyayangi hal lain sebagaimana beliau menyayangi dirinya atau apa yang ada pada dirinya sendiri.

Dalam konteks rasa kondusif yang akhir-akhir ini mulai terusik, maka sanggup dikatakan bahwa perbuatan apa pun yang mengancam rasa kondusif sejatinya tidak dilakukan oleh seorang yang mengaku dirinya sebagai mukmin.
Allah menyebut satu di antara namanya dalam surah al-Hasyr sebagai almu’min, pemberi rasa aman. Jika seorang mukmin yang benar-menar meneladani Allah dalam sifatnya al-mukmin, maka seyogyanya setiap langsung mukmin mewujudkan rasa kondusif dan nyaman di mana pun ia berada. Karena perwujudan rasa kondusif bagi dirinya, orang lain dan lingkungannya yaitu bab dari bukti keimanan seseorang. Belum tepat iman seseorang jikalau belum menawarkan rasa aman, nyaman, tenteram dan kedamaian bagai semua.

_____
Dibuat untuk disampaikan pertama kali dalam pengajian bulan berkat di Mesjid Kota Takengon pada hari Senin 13 Ramadhan 1439 H/ 28 Mei 2018 M