Kita patut gembira dengan semarak keagamaan secara global akhir-akhir ini. Bahkan, kita patut bersyukur dengan syiar agama berupa kemegahan dan keindahan masjid dan mushalla di sekitar tempat tinggal kita. Namun, kita juga patut cemas dengan praktek pengamalan keseharian di lingkungan tempat tinggal kita. Di antaranya terkait shalat berjama’ah di masjid yang tidak penuh satu shaf. Tidak banyak masyarakat yang shalat di masjid. Kalaupun ada hanya orang tua-tua saja. Kalaupun agak ramai, itu mungkin hanya maghrib. Empat waktu yang lain, hanya diisi oleh generasi bau tanah saja.
Kita mungkin berhusnuzhon bahwa siang dan sore hari masyarakat kita beraktifitas di tempat yang berbeda sehingga tidak shalat berjama’ah di lingkungan tempat tinggalnya. Mari kita lihat juga di waktu Magrib, Isya dan Shubuh. Tepat kiranya apa yang disampaikan oleh Buya Hamka bahwa bila ingin melihat kaum muslimin, lihatlah ketika hari raya. Namun, bila ingin melihat orang mukmin, lihatlah waktu shubuh di masjid.
Agak kita perkecil standar mengukurnya, mari lihat kondisi ketika shalat Jum’at. Dari jumlah penduduk suatu kampung, berapa persentase jumlah generasi muda dibandingkan orang tua? Berapa persentase anak usia sekolah dibandingkan dengan bapak-bapaknya? Atau bila mau lihat data Badan Pusat Statistik, berapa persentase generasi muda dibandingkan bapak-bapak atau kakek-kakek yang sudah tua? Pertanyaan kita, mana generasi muda yang akan kita harapkan menjadi generasi penerus kita ke depan, generasi yang akan jadi pemimpin kampung halamannya, pemimpin ummat dan pemimpin tempat ini. Kita patut khawatir meninggalkan generasi yang lemah di masa yang akan datang. Lemah akidah, lemah ibadah, lemah akhlak, lemah ekonomi, lemah dalam kepemimpinan dan lain-lain. Pendek kata, lemah dalam segala hal. Istilah lain yang mungkin juga sempurna dipakai yakni generasi yang krisis dalam banyak sekali bidang.
Patut kita renungkan Firman Allah surat al-Nisa/4 ayat 9
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا(9)
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka bawah umur yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh lantaran itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (Q.S. al-Nisa/4: 9)
Dalam ayat lain Allah menyuruh kita orang yang beriman untuk memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok. Hari esok dalam pengertian di dunia dan hari esok dalam pengertian kehidupan akhirat.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ(18)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Dan bertakwalah kepada Allah, sebetulnya Allah Maha Mengetahui apa yang kau kerjakan. (Q.S. al-Haysr/ 59: 18)
Bagaimana Caranya?
1. Mulai pendidikan dari rumah tangga
Ayat sembilan surah al-Nisa’ di atas menyebut istilah dzurriyah yang biasa diterjemahkan dengan anak-anak. Tanggung jawab mendidik bawah umur yakni tanggung jawab orang tua, bukan tanggung jawab guru di sekolah. Maka mulailah mendidik sebuah generasi dari ketika mereka masih anak-anak. Tanggung jawab pertama yakni tanggung jawab orang tua. "hai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka" begitu perintah Allah dalam surah al-Tahrim. Nabi mengatakan "setiap kau yakni pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawabnnya terhadap apa yang di pimpinnya". Jika setiap keluarga telah berhasil mendidik anggota keluarganya dengan menanamkan pedoman agama, maka tidak tidak mungkin satu kampung penduduknya yakni penduduk yang beriman. Demikian juga halnya satu kecamatan, kabupaten bahkan negara sekalipun. K.H. Abdullah Gimnastiar pernah menyampai rumus tiga M. Di antaranya, mulai dari hal terkecil. Keluarga yakni organisasi terkecil untuk membentuk generasi yang cinta mesjid.
2. Mari ajak bawah umur kita untuk cinta ke masjid semenjak dini
Melanjutkan pendidikan di rumah tangga, maka kewajiban Ayah untuk mengajak dan membawa anak-anaknya ke masjid. Ayah pergi ke masjid juga membawa anak-anaknya. Tidak sempurna alasan kasihan kepada anak lantaran suhu yang hambar di malam dan waktu shubuh. Karena dinginnya angin malam di waktu Isya dan Shubuh hari belum seberapa dibandingkan panasnya api neraka. Ayah jangan pergi ke masjid sendiri. Ayah menjadi pola yang baik bagi anaknya. Bukan sebaliknya, menyuruh anak ke masjid tapi ayahnya tidak ke masjid. Harusnya menyerupai filosofi orang memandikan kuda, kuda dan tuannya sama-sama masuk ke air. Bukan menyerupai orang memandikan monyet. Tuannya menceburkan kera ke sungai, namun tuannya tidak masuk ke dalam air.
3. Mari jadikan masjid sebagai tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi bawah umur dan generasi muda
Pernahkah kita bertanya mengapa bawah umur muda kita lebih nyaman di cafe, warung kopi, warnet, tempat nongkrong dan tempat berkumpulnya bawah umur muda lainnya. Mereka betah berlama-lama di warung kopi lantaran mereka merasa nyaman di sana. Maka tidak salah juga bila ada masjid yang menyediakan wifi gratis sehingga generasi zaman now mau ngumpul dan nongkrong di masjid. Ada baiknya juga masjid menyediakan perpustakaan dan taman bacaan sehingga anak muda berkunjung ke masjid. Jangan hingga ada bawah umur yang dihardik, diusir dan dikasari di madjid. Karena hal itu akan menjadikan bekas ketidaknyamanan bagi mereka sehingga menganggap masjid yakni tempat yang tidak ramah terhadap mereka.
4. Mari kita jadikan masjid sebagai sentra acara masyarakat
Tidak hanya sebagai sentra acara keagamaan, tapi banyak sekali acara bisa dipusatkan di masjid sehingga masjid menjadi sentra acara kampung. Ketika tiba waktu shalat, maka masyarakat yang mengikuti acara di masjid tentunya akan ikut shalat berjamaah. Sebagai contoh, masjid bisa ramai ketika ada shalat mayit di masjid. Namun tentunya tidak sempurna kiranya kita berharap harus ada yang meninggal dunia setiap waktu shalat supaya shalat lima waktu selalu ramai di madjid.
Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda
Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: pertama, Imam yang adil, kedua seorang cowok yang tumbuh remaja dalam beribadah kepada Allah, ketiga seorang yang hatinya bergantung ke masjid, keempat dua orang yang saling menyayangi di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, kelima seorang pria yang diajak berzina oleh seorang perempuan yang memiliki kedudukan lagi cantik, kemudian ia berkata, ‘Sesungguhnya saya takut kepada Allah. keenam seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah kemudian ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, dan ketujuh seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sepi kemudian ia meneteskan air matanya.
Alhamdulillah. Kita telah berhasil membangun madjid yang bagus dan megah. Namun membangun masjid tidak hanya membangun fisiknya, tapi juga membangun isinya. Dengan segenap kemampuan kita, mari kita persiapkan pembangunan isi masjid. Kita jadikan masjid sebagai sentra acara kita. Pengurus masjid juga sebaiknya memikirkan pembangunan mental spiritual, tidak hanya fokus membangun fisik masjid. Sehingga sesudah berlalunya generasi tua, masih ada generasi selanjutnya yang akan memakmurkan masjid.
___
*) Materi ini pertama kali disampaikan ketika Khutbah Jum'at di Masjid Kenawat Aceh Tengah 24 Rabi'ul Akhir 1439 H/12 Januari 2018 M
___
*) Materi ini pertama kali disampaikan ketika Khutbah Jum'at di Masjid Kenawat Aceh Tengah 24 Rabi'ul Akhir 1439 H/12 Januari 2018 M
0 komentar
Posting Komentar