Kamis, 13 September 2018

Iman, Amanah Dan Rasa Aman

Puasa diwajibkan kepada orang yang beriman. Tidak hanya puasa, ibadah umumnya diwajibkan kepada orang yang beriman. Perintah berwudu’, perintah salat, ber-Islam secara kaffah, menjaga diri dari hal-hal yang menjerumuskan ke dalam neraka, semua itu diperintahkan kepada orang beriman. Bahkan, dalam urusan muamalah menyerupai perintah mencatat hutang-piutang yang disebutkan dalam ayat terpanjang dalam Quran yaitu orang yang beriman.

Bagaimana Kita Memaknai Iman?
Iman dalam bahasa arab berasal dari akar kata amana. Terdiri atas tiga aksara alif/ hamzah, mim dan nun. Ada dua makna dasar kata ini yaitu pembenaran dan ketenangan hati. Orang beriman secara bahasa berarti orang yang membenarkan. Orang yang beriman secara bahasa berarti orang yang hatinya tenang dan tenteram alasannya yaitu keimanannya.
Ulama mendefinisikan iman berbeda-beda. Ada minimal tiga komponen yang terdapat dalam iman menurut definisi yang umum dan terkenal dipakai. Komponen pertama, Atashdiqu bil Qolbi, pembenaran dalam hati. Sejalan dengan makna dasarnya di atas bahwa iman yaitu pembenaran ihwal yang diimani itu dalam hati. Komponen Kedua, al-Iqraru billisani, pernyataan keimanan dengan ucapan. Ketiga, al-Amalu bil Arkan atau biljawarih, pernyataan dan pembenaran iman itu diwujudkan berupa perbuatan, perlakuan yang biasa disebut amal kebajikan.

Puasa yang kita lakukan yaitu perwujudan dari pembenaran terhadap perintah syara’. Salat yang kita lakukan juga yaitu bukti kita membenarkan adanya Allah yang menurunkan syariat salat. Mencatat hutang-piutang dalam urusan muamalah—sebagai ibadah yang jarang kita lakukan dan mungkin dalam hal ini hanya “diamalkan” oleh perbankan, koperasi, atau bahkan pihak rentenir—juga merupakan perwujudan keimanan.
Pendek kata, mengamalkan Islam secara totalitas, sempurna, kaffah, tanpaknya hanya sanggup dilakukan dengan iman. Ibadah itu hanya sanggup dilakukan oleh orang beriman. Ya Ayyuhallazina Amanu Udkhulu fissilmi kaffah. Hai orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara sempurna. Bahkan dalam ayat lain yang diperintah bertakwa itu orang yang beriman. Karena takwa itu ndak sanggup dilakukan kecuali oleh orang beriman. Ya Ayyhullazina amanu ittaqu rabbakum. Inna zalzalatis’sa’ati syai’un Azhimun. Ya Ayyhullazina amanu ittaqullaha wal tanzhur nafsun maa qaddamat li ghad.

Apa Hubungan Iman dengan Amanah dan Rasa Aman
Kembali kepada makna dasar iman yang kita sebutkan sebelumnya. Kata ini berasal dari akar kata amana. Kata lain yang juga berasal dari kata ini di antaranya yaitu amanah dan aman.

Dalam sebuah hadis Riwayat Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnadnya dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ، وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَه, tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memenuhi janjinya. Sanad hadis ini ada yang menilainya shahih dan ada yang menilai dhoif alasannya yaitu terdapat Abu Hilal Al-Rasibiy yang dinilai dha’if dan Qatadah bin Di’amah yagn dinilai sebagai mudallis. Ada bayak syahid dan tabi’ bagi hadis ini, umunya menyebut لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ tanpa وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَه.
Poin yang ingin kita sampaikan bahwa ada keterkaitan iman dengan aspek sosial seorang yang menyatakan dirinya mukmin. Dalam konteks amanah, orang beriman yaitu orang yang amanah. Muhammad sebelum menjadi Nabi dan Rasul digelari dengan al-Amin, seorang yang amanah, jujur dan sanggup dipercaya. Benang merah makna iman di atas yaitu adanya pembenaran terhadap apa yang diimani itu sehingga memunculkan rasa tenang, nyaman bagi orang yang memberi amanah.

Kita yang diberi amanah yaitu orang yang beriman. Ketika kita menjalankan amanah—amanah kepemimpinan, jabatan, kepercayaan sebagai pengurus sesuatu dan lain-lain apa pun bentuknya amanah itu—kita jalankan dengan baik, maka muncul rasa nyaman dan tenang serta adanya kepercayaan bagi orang lain yang menawarkan amanah itu kepada kita.
Dalam konteks puasa, mukmin yang berpuasa seyogyanya yaitu orang yang terpercaya dan menandakan kepada orang lain bahwa beliau layak diberi kepercayaan

Selanjutnya kaitan iman, amanah dengan rasa kondusif yang akhir-akhir ini mulai terusik. Dalam hadis Muttafaqun Alaihi dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
"واللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، واللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ،"قِيلَ: منْ يارسولَ اللَّهِ؟ قَالَ:"الَّذي: لاَ يأْمنُ جارُهُ بَوَائِقَهُ،"
Tidak tepat keimanan seseorang yang tetangganya tidak kondusif dari tingkah lakunya. Rasa kondusif dalam kehidupan bermasyarakat juga merupakan perwujudan dari keimanan. Ibadah ritual kepada Allah belumlah merupakan bentuk totalitas keimanan. Betul ibadah shalat dan puasa yang kita lakukan yaitu perwujudan keimanan, tapi itu saja belum cukup menandakan kita sepenuhnya beriman jikalau tetangga kita masih belum kondusif dari tingkah polah dan tindak tanduk kita.

Contoh lain hadis nabi yang megatakan iman kepada Allah dan hari simpulan disyaratkan dengan bertutur kata yang baik, memuliakan tetangga dan tamu.
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر ، فليقل خيرا أو ليصمت ، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر ، فليكرم جاره ، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر ، فليكرم ضيفه
Hadis lain juga menyebutkan

لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحبه لنفسه
Mencintai orang lain menyerupai menyayangi diri kita sendiri. Hadis ini menyerukan kepada kita supaya kita punya standar yang sama, tidak standar ganda dalam memperlakukan orang lain. Filosofi cubit tangan sendiri. Jika sakit terasa oleh kita, maka sakit juga berarti kalau kita cubit orang lain. Jika tidak mau diganggu oleh orang lain, maka jangan ganggu orang lain. Untuk mewujudkan keamanan dan ketenteraman mesti didasari dengan iman. Tidak tepat iman seorang mukmin jikalau belum menyayangi hal lain sebagaimana beliau menyayangi dirinya atau apa yang ada pada dirinya sendiri.

Dalam konteks rasa kondusif yang akhir-akhir ini mulai terusik, maka sanggup dikatakan bahwa perbuatan apa pun yang mengancam rasa kondusif sejatinya tidak dilakukan oleh seorang yang mengaku dirinya sebagai mukmin.
Allah menyebut satu di antara namanya dalam surah al-Hasyr sebagai almu’min, pemberi rasa aman. Jika seorang mukmin yang benar-menar meneladani Allah dalam sifatnya al-mukmin, maka seyogyanya setiap langsung mukmin mewujudkan rasa kondusif dan nyaman di mana pun ia berada. Karena perwujudan rasa kondusif bagi dirinya, orang lain dan lingkungannya yaitu bab dari bukti keimanan seseorang. Belum tepat iman seseorang jikalau belum menawarkan rasa aman, nyaman, tenteram dan kedamaian bagai semua.

_____
Dibuat untuk disampaikan pertama kali dalam pengajian bulan berkat di Mesjid Kota Takengon pada hari Senin 13 Ramadhan 1439 H/ 28 Mei 2018 M

0 komentar

Posting Komentar