Jumat, 23 Maret 2012

Seafood Segar di Sydney Fish Market

Seafood Segar di Sydney Fish Market

Suasana piknik akhir pekan di luar Sydney Fish Market
Orang Aussie gemar sekali makan seafood. Tentu saja, tempat terbaik untuk mendapatkan makanan laut yang paling segar adalah Pasar Ikan.

Konon, Sydney Fish Market adalah pasar ikan terbesar kedua di dunia setelah Tsukiji, pasar ikan di Tokyo, Jepang. Saya sih kurang percaya :p Tapi mungkin karena tidak menjelajah seluruh pasar ikan ini ya, hanya bagian toko dan restorannya saja. Mungkin kalau ikut tur untuk melihat pelelangan ikan di pagi hari, baru akan tahu seberapa besar Sydney Fish Market ini.

Cara terbaik untuk menuju ke Pasar Ikan adalah naik trem atau light rail dari stasiun Central, Paddy's Market atau Darling Harbour dan turun di halte Sydney Fish Market. Dari halte tinggal naik tangga menuju jalan raya dan menyeberang. Sudah dua kali ini saya memanfaatkan trem untuk ke Sydney Fish Market. Di hari Minggu, keluarga yang membawa anak-anak cukup membayar AU$2,50 per orang untuk naik kendaraan umum seharian, termasuk trem ini. Bagi pecinta seafood, mengunjungi Sydney Fish Market ini wajib dimasukkan dalam itinerary.

Begitu memasuki kawasan pasar, ada aroma khas ikan dan udara yang asin, namun tidak terlalu menyengat. Di depan pasar ada tempat parkir luas dan kafe-kafe yang menyediakan masakan laut (tentu saja!) di sekelilingnya. Pada akhir pekan, suasana di pasar ikan ini ramai sekali. Pasar ini tidak hanya melayani pembelian hewan laut dalam partai besar, namun juga melayani eceran dan bahkan dianggap sebagai sarana rekreasi oleh warga Sydney. Begitu masuk, toko-toko hewan laut segar berjajar rapi menjajakan tangkapan mereka hari ini. Harganya hanya sedikit lebih murah daripada toko ikan di supermarket, tapi kesegarannyalah yang menjadi nilai plus. Meski murah, saya tidak berbelanja ikan mentah di sini karena terus terang saja, nggak bisa dan nggak biasa memasak ikan-ikanan :)

Selain toko ikan segar, ada juga toko ikan yang menjadi satu dengan restoran. Pengunjung bisa duduk dan makan di meja-meja kecil ala warung yang ditaruh di depan toko. Kalau berkunjung ke sini di akhir pekan, siap-siap aja antri tempat duduk dan antri mendapatkan makanan. Saya kurang suka duduk berempetan di warung yang ada di dalam pasar ini karena rasanya sumpek dan tentu saja masih ada bau ikan segarnya. Herannya, tetap banyak tuh yang mau antri beli dan antri mendapatkan meja di sini. Mungkin seafood-nya memang enak dan murah ya.

Yang merasa sumpek di dalam pasar, bisa beli makanan di restoran dan mencari tempat terbuka di belakang. Di sini, menghadap ke Blackwattle Bay dengan latar belakang jembatan ANzac, ada tempat piknik dari rumput buatan dan ada bangku-bangku piknik di sepanjang dermaganya. Kalau datang pagi-pagi, kita bisa memilih duduk di bawah atau di bangku sambil menikmati makanan laut segar. Menjelang jam makan siang, tempat ini sudah penuh dengan para pecinta seafood. Makan seafood segar di tempat terbuka memang enak, tapi siap-siap saja diganggu oleh burung-burung bangau dan camar yang ikut mencari makan siang :)

ikan segar hasil tangkapan hari ini

Ketika mengunjungi pasar ikan ini kedua kalinya, kami datang terlalu siang dan sudah tidak mendapat tempat lagi, baik di luar maupun di dalam. Akhirnya kami memilih makan di Doyles, restoran paling keren (dan paling mahal) yang letaknya di pojokan pasar ikan ini. Tempatnya nyaman, tidak terlalu sumpek dan tidak bau, dan bisa duduk di luar kalau mau. Gapapa deh coba-coba yang mahalan sedikit, sekali ini aja :) Doyles sudah menjadi restoran seafood legendaris di Sydney. Cabang utama restoran Doyles di di Watson Bay buka sejak tahun 1885 dan sudah melayani warga Sydney sampai lima generasi.

Menu andalan Doyles adalah Seafood Platter mereka yang harganya AU$ 105. Tentu saja pilihan ini tidak terjangkau di kantong kami, hiks. Isi dari Seafood Platter ini lengkap banget, segala macam makanan laut andalan mereka yang dimasak panas maupun dingin: Lobster Mornay, King Prawns, Crab, Oysters, Smoked Salmon, Calamari Rings, Prawn Cutlets, Fish & Chips. Kami cuma bisa mengucap 'wow' dan menelan ludah ketika pelayan membawakan sepiring besar seafood ini ke... meja sebelah kami :p Setelah menghitung-hitung uang di kantong, kami memesan dua macam menu: B.B.Q Seafood Plate (w Calamari, Prawns, Scallops, Fish & Chips) dan Western Australian Lobster Mornay & Chips. Total habis AU$ 47. Minumnya cukup air keran :)

The Precils makan dengan lahap, mungkin karena sejak tadi menahan lapar menunggu pesanan kami datang. Saya yang jarang makan di restoran tidak bisa membandingkan rasa seafood ala Aussie di Doyles ini dengan masakan dari restoran lain. Hanya saja saya membayangkan dengan harga segitu, berapa orang yang bisa saya traktir di warung Ikan Bakar Galunggung, langganan kami di Malang, Jawa Timur. Ikan bakar kecap dan sambal terasi dari Indonesia jauh lebih nikmat sebenarnya daripada masakan ini. Tapi sementara di Sydney, mari kita nikmati saja kesegaran ikan hasil tangkapan hari ini.

~ The Emak

Rabu, 21 Maret 2012

Happy 80th Anniversary, Sydney Harbour Bridge!

Happy 80th Anniversary, Sydney Harbour Bridge!

Anak-anak mendapat balon gratis di perayaan ini
Masih segagah ketika diresmikan tahun 1932, Jembatan Sydney Harbour yang menjadi ikon kota Sydney ini berulang tahun yang ke-80. Warga Sydney yang tidak melewatkan kesempatan untuk berpesta, menggelar piknik di taman 'bawah jembatan' untuk merayakan ulang tahun The Coathanger ini.

Minggu pagi yang mendung dan gerimis sempat menyurutkan niat kami untuk ikut berpesta merayakan ulang tahun si jembatan bersama warga Sydney lainnya. Untungnya cuaca mulai membaik di siang hari, matahari pun mulai nampak menggeser awan-awan kelabu. Kami naik kereta dari suburb menuju stasiun Milson Point, stasiun di utara Sydney Harbour yang paling dekat dengan lokasi Bradfield Park, tempat acara ini berlangsung. Di hari Minggu, keluarga yang membawa anak-anak cukup membayar AU$ 2,50 per orang untuk naik semua jenis transportasi umum di Sydney, seharian penuh. Jadi rugi kalau nggak keluar rumah :)

Agak memalukan sebenarnya, kami yang sudah lima tahun tinggal di Sydney belum pernah secara sengaja main-main ke Bradfield Park. Biasanya mainnya di bagian selatan pelabuhan. Taman Bradfield ini cukup luas, asyik untuk menggelar tikar dan piknik bersama keluarga, atau sekedar duduk bengong menikmati pemandangan Sydney Harbour dan dua ikonnya: Bridge dan Opera House.
Model mengenakan baju vintage
Acara gratis yang digelar pemkot Sydney ini temanya Vintage atau segala sesuatu yang berbau kuno. Ada pameran mobil kuno dan bis zaman bahuela dari Sydney Bus Museum (ya, sampai ada museum-nya segala!), fashion show baju-baju vintage dan dansa-dansi dengan lagu-lagu nostalgia (nadanya persis dengan lagu-lagu zaman penjajahan Belanda dulu). Di acara ini disarankan membawa makanan untuk piknik, tapi ada juga beberapa stand makanan siap saji. Untuk anak-anak, ada permainan Jumping Castle, lukis wajah (face painting) dan balon berbagai bentuk. Semuanya gratis, tinggal antri dengan rapi. Untuk Emak nih, ada gratisan juga berupa kumpulan kartupos dengan gambar foto-foto kuno ketika jembatan ini dibangun. The Emak jelas nggak mau ketinggalan, langsung mengambil dua bungkus :p

Kami menghabiskan waktu dengan makan siang bekal dari rumah, ditemani angin kencang yang menerpa dari tepi pelabuhan. Mewah banget bisa makan siang dengan memandang Sydney Opera House dari kejauhan, meskipun duduknya beralas tikar, hehe. Kenyang makan, Little A pengen dilukis wajahnya. Kami ikut mengantri di tenda yang menawarkan face painting. Lumayan lama ngantrinya, tapi gakpapa karena tertib. Little A minta dilukis kupu-kupu pelangi di wajah, dan senyumnya terus mengembang setelah melihat lukisan cantik wajahnya dari cermin. Selanjutnya, The Precils dan teman-temannya melihat-lihat dan naik bis kuno. Ada tiga bis yang dipamerkan di sini, semuanya model bis tingkat, seperti double decker di London sana.

Saya selalu terkesan oleh keseriusan pemkot Sydney merawat apa yang mereka punyai: jembatan, mobil, bis, dll. Tidak hanya serius merawat, mereka (pemerintah dan warganya) bangga setengah mati dengan ikon dan properti yang dimiliki kotanya. Saking bangganya, selalu ada perayaan ulang tahun untuk Jembatan ini, paling tidak dalam lima tahunan. Saya jadi membandingkan perlakuan kita terhadap Jembatan hasil karya anak bangsa: Ampera dan Suramadu, misalnya. Adakah perayaan ulang tahun untuk ikon kota Surabaya dan Palembang ini? Apakah daerah sekitar jembatan dirawat sebagai ruang publik agar menjadi kebanggaan warga?

Bis tingkat kuno yg dipamerkan. Foto oleh Radityo Widiatmojo.
Mumpung sudah ada di sebelah Utara harbour, kami sekalian ingin berjalan kaki menyeberangi jembatan ini kembali ke Selatan. Ini juga satu hal (gratis) yang belum sempat kami lakukan dalam lima tahun tinggal di Sydney. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak mencoba sama sekali. Di sisi jembatan ini ada jalur khusus untuk pejalan kaki. Jalur pedestrian yang lumayan lebar ini, sekitar dua setengah meter nyaman dan aman digunakan, baik untuk dewasa atau anak-anak. Bahkan, stroller atau pram juga bisa digunakan di sini. Untuk memulai menyeberang dari utara ke selatan, kita perlu naik tangga dari dekat stasiun Milson Point. Ikuti petunjuk jalur Cahill Walk, nama trek menyeberang Sydney Harbour Bridge ini.

Ketika memulai naik ke badan jembatan, Little A masih sangat bersemangat dan belum ada tanda-tanda capek. Dia berlarian di jalur pejalan kaki dan menerobos orang-orang yang lewat. Sesekali kami menepi untuk melihat pemandangan dari atas. Jalur pejalan kaki ini aman, terpisah dari jalur mobil, kereta dan sepeda. Ada pagar besi setinggi dua meter di dua sisi demi keamanan, tapi ada celah di ketinggian mata kita (ehm, mata orang bule maksudnya) yang cukup lebar untuk menyorongkan lensa kamera ke luar, sehingga kita bisa memotret keindahan Sydney Harbour (berikut Opera House) dari atas. Di atas jembatan, kami berpapasan dengan beberapa orang yang jogging, lengkap dengan pakaian olahraga dan aksesoris iPod mereka. Banyak juga keluarga dengan anak-anak yang berjalan-jalan santai sambil sesekali berhenti untuk memotret. Belum sampai di tengah jembatan, Little A capek dan meminta duduk di stroller. Untung kami bawa stroller, kalau nggak, harus menggendong anak umur 3 tahun ini.

Bagi yang ingin melihat pemandangan harbour dari atas lagi, bisa mencoba Pylon Lookout di sisi selatan jembatan. Tiket masuknya AU$11 untuk dewasa dan AU$4 untuk anak-anak. Selain gardu pandang, ada juga museum mini dengan display sejarah dibangunnya jembatan ini. Bagi petualang sejati (dan berdompet tebal), sebaiknya mencoba Bridge Climbing, mendaki jembatan ini sampai benar-benar ada di atas. Perlu waktu sekitar tiga jam mulai dari persiapan, naik dan turun lagi. Jangan lupa, siapkan sekitar AU$200-an per orang. Big A ingin sekali mencoba mendaki jembatan ini, tapi saya selalu bilang, "Nabung dulu ya." :)

Trek Cahill Walk ini berakhir di daerah The Rock, perkampungan pertama Sydney di sebelah selatan pelabuhan. Stopwatch Big A berhenti pada angka 30. Lumayan capek juga setengah jam berjalan kaki menyeberangi jembatan ini. Little A yang duduk manis di stroller-nya senyam-senyum melihat kami menghela napas.

Big A menyeberang jembatan ditemani iPod-nya
Pemandangan dari atas jembatan. Foto oleh Radityo Widiatmojo.
~ The Emak

Rabu, 14 Maret 2012

Camping Ala Aussie

Camping Ala Aussie

Tenda kami di Sydney Lakeside Holiday Park
Di Australia, camping tidak hanya dilakukan oleh Pramuka saja, tapi sudah menjadi gaya hidup keluarga. Berkemah menjadi pilihan hemat untuk mengisi akhir pekan dan liburan sekolah.

Kami pertama kali berkemah bersama delapan keluarga teman-teman ngaji The Precils. Waktu itu kami mencari-cari tempat berkemah di beberapa Taman Nasional di sekitar Sydney. Ternyata semua spot berkemah di bulan Januari sudah penuh. Kata resepsionis, kalau ingin berkemah di musim liburan sekolah (Desember-Januari) harus booking jauh-jauh hari. Akhirnya kami menemukan tempat berkemah di Holiday Park untuk awal bulan Februari, ketika liburan sekolah sudah berakhir. Kemah dua malam di akhir pekan ini cukup berkesan bagi The Precils dan kami, orang tuanya :)

Ada dua macam pilihan tempat berkemah di Australia: di Taman Nasional dan di Holiday Park. Untuk mendapatkan pengalaman kemah yang lebih otentik, bener-bener di tengah hutan, Taman Nasional adalah pilihan terbaik. Fasilitas camping di Taman Nasional beragam, dan biasanya lebih terbatas daripada di Holiday Park. Ada yang hanya menyediakan tempat berkemah, toilet, kamar mandi dan unit untuk barbekyu. Tapi ada juga yang fasilitasnya sudah cukup lengkap termasuk colokan listrik, kamar mandi dengan air panas dan fasilitas memasak. Tarif menginap per malam bervariasi, sekitar AU$ 7 untuk dewasa dan AU$ 5 untuk anak-anak. Untuk memesan tempat, biasanya harus menelpon langsung ke ranger/petugas taman nasional tersebut. Klik di sini untuk melihat daftar 220 bumi perkemahan di Taman Nasional NSW.

Matahari pagi di bumi perkemahan
Emak-Emak ngopi dan ngeteh. Anak-anak mana ya? :)
Bagi camper pemula, lebih mudah mencoba berkemah di Holiday Park atau kadang disebut juga Caravan Park/Tourist Park. Di Australia, ada ratusan Holiday Park yang tersebar di tiap daerah untuk traveler yang ingin berkemah atau bermalam di caravan. Holiday Park ini juga menyediakan kabin sederhana yang biasanya lebih murah tarifnya daripada motel atau hotel. Ketika road trip di pulau selatan New Zealand, kami dua kali menginap di kabin Holiday Park. Di Australia, cara paling mudah untuk mencari Holiday Park adalah dengan melihat website Big4 yang merupakan jaringan Holiday Park terbesar.

Fasilitas standar Holiday Park adalah kamar mandi, toilet, dapur, laundry, taman bermain dan tempat barbekyu untuk umum. Kadang ada juga Holiday Park 'mewah' yang ada kolam renangnya. Fasilitas umum ini digunakan bergantian untuk yang berkemah maupun yang membawa caravan atau yang menyewa kabin sederhana tanpa kamar mandi. Saya yang biasanya alergi sharing kamar mandi dan toilet, ketika camping tidak merasa keberatan lagi. Karena sudah bukan musim liburan, Holiday Park lumayan sepi, sehingga saya tidak harus antri kamar mandi. Semua fasilitas sangat bersih dan nyaman digunakan. Judulnya saja yang 'camping', tapi kami tetap bisa mandi air panas dengan nyaman seperti di rumah :p Bahkan ada kamar mandi khusus dengan bath tub untuk anak-anak. Little A senang banget bisa mandi di sini.

kamar mandinya luas, bersih dan nyaman
Kami, delapan keluarga mendapatkan spot berkemah di Sydney Lakeside Holiday Park, di daerah Narrabeen, kira-kira satu jam bermobil dari tengah kota Sydney ke arah utara. Holiday Park ini kami pilih karena lokasinya yang dekat dengan danau dan pantai, sehingga The Precils nanti bisa main-main air. Ketika memesan tempat berkemah jauh-jauh hari, kami belum tahu ramalan cuaca untuk hari itu. Jadi pasrah dan berdoa saja semoga cuaca cerah dan tidak hujan. Ternyata Sang Pemilik Alam berkehendak lain, tepat di hari pertama kami berkemah, gerimis turun sepanjang hari. Mungkin ini untuk menguji keteguhan hati para Pramuka Siaga ini, hehe. The Precils dan teman-temannya tampak tetap semangat membantu kami mendirikan tenda di tengah gerimis. Kalau bukan demi precils-precils ini, mungkin kami ogah berkemah di tengah hujan :D

Untungnya tenda kami lumayan kecil, cukup untuk 4 anggota keluarga kami yang berukuran mini juga. Tenda kami, Retreat 60 Tent, khusus kami beli online di Kathmandu, salah satu toko perlengkapan outdoor yang lumayan terkenal di Australia. Begitu paket tenda ini sampai di rumah, kami langsung mencoba mendirikannya di ruang tamu dan sempat dibuat bermalam beberapa hari oleh The Precils, sampai bosan. Alhasil, tenda berukuran 4,2 x 2,2 m ini tidak menyisakan ruang di lounge kami. Ada untungnya juga tenda ini pernah kami coba dirikan, jadi bisa pasang dengan cepat di tempat kemah.

Tenda kami termasuk mini dibandingkan dengan tenda teman-teman lain. Bahkan ada yang membawa 2 bedroom tent yang bisa muat untuk 6 orang. Kalau tenda serius begini, pasangnya juga lumayan lama. Peralatan camping yang dibawa teman-teman juga canggih-canggih semua, mulai dari sleeping bag (kantung tidur), sleeping mat, air bed (kasur angin), travel pillow, kursi lipat, lentera, meja lipat, esky, kompor portabel dan mesin barbekyu portabel. Memang di Australia, kemah sudah menjadi life-style (gaya hidup) sehingga peralatan berkemah dan segala aksesori-nya yang lucu-lucu gampang dibeli di toko-toko outdoor. Dua toko outdoor yang populer di Australia adalah Ray's Outdoor dan Kathmandu. Kalau lihat katalog online mereka, rasanya saya juga ingin beli ini itu :)

Di Sydney Lakeside Holiday Park, tempat berkemah dijadikan satu dengan tempat parkir Caravan. Setiap keluarga mendapat jatah tempat yang lumayan luas, sekitar 6x8 meter untuk mendirikan tenda dan memarkir mobil di sebelah tenda. Tempat kemah ini berupa lapangan rumput dengan fasilitas kran air dan colokan listrik karena kami memilih Powered Site. Camping ala Aussie ini sama sekali nggak ada susahnya karena ketergantungan kami dengan gadget difasilitasi oleh adanya colokan listrik. Jadi judulnya saja yang 'camping', urusan men-charge gadget tetep jalan terus :)

Gadget gak mau ketinggalan ikut camping :p
Setelah malam pertama diguyur hujan, kami bisa tersenyum menikmati cuaca cerah keesokan harinya. Ibu-ibu langsung mojok ngerumpi di bangku taman ditemani teh dan kopi panas. Bapak-bapak, sesuai hobinya, pergi memotret matahari terbit di pantai atau pergi memancing (yang sayangnya, belum ada hasil). Asyiknya berkemah dengan banyak keluarga seperti ini, anak-anak punya teman bermain sehingga Emak-Emak bisa sedikit santai tanpa direcoki The Precils yang sebentar-sebentar bilang 'I'm bored'. 

Mungkin ini bedanya camping ala keluarga Aussie beneran dan ala keluarga Indonesia yang ada di Aussie: kami kelebihan stok makanan! Keluarga Aussie biasanya jalan-jalannya hanya satu sampai tiga keluarga, jarang yang sampai delapan keluarga seperti kami :D Mereka pun biasanya bawaannya minimalis, daging atau seafood untuk barbekyu, roti, salad dan buah. Sementara kami, semua masakan dari rumah diangkut ke tempat camping: beras dan rice cooker, Indomie berbungkus-bungkus, sawi, salad, buah, sosis, telur, kornet, roti, sereal, susu, daging sapi dan domba untuk barbekyu, lauk pauk seperti rendang, kering tempe, ayam goreng, dan tentu saja tak ketinggalan sambal! Tapi itu juga enaknya jadi orang Indonesia: nikmat sekali tetap bisa makan kering tempe, rendang dan sambal ijo di negeri orang :) Beruntung banget saya berkemah bareng Ibu-Ibu yang jago masak, bisa numpang makan lauk enak :p

Ketika matahari mulai naik, kami mengajak anak-anak jalan kaki ke pantai, dengan membawa body board mereka untuk bermain ombak. Kira-kira perlu sepuluh menit jalan kaki dari bumi perkemahan sampai di pantai North Narrabeen. Pantai ini panjang banget, mengingatkan saya pada garis pantai di Gold Coast. Bulir pasirnya besar dan keemasan, khas pantai-pantai di bagian utara Sydney. Anak-anak yang besar segera bermain ombak dengan body boar mereka, sementara Precils yang masih kecil seperti Little A cukup senang bermain pasir. Ternyata Little A takut mendengar suara ombak yang berdebur sehingga dia tidak mau mendekat ke air. Cukup lama kami main-main di pantai ini sampai anak-anak puas.

bermain ombak di pantai North Narrabeen
Sore hari, setelah anak-anak membersihkan diri dari pasir pantai, giliran kami yang beraksi menggelar barbekyu. Daging yang direndam bumbu sudah kami siapkan dari rumah, begitu juga dengan sosis yang siap dipanggang. Di Holiday Park ini ada mesin barbekyu untuk umum, tapi kami memilih menggunakan barbekyu portabel yang bisa ditaruh di atas meja piknik. Barbekyu portabel ini menggunakan bahan bakar gas. Sebenarnya lebih asyik barbekyu dengan bahan bakar arang (charcoal), tapi sayangnya di Holiday Park ini dilarang menggunakan api (open fire). Karena itu juga kami tidak membuat acara api unggun :p Barbekyu cukup sukses membuat kami semua kekenyangan dan tidur lebih nyenyak tanpa gangguan hujan seperti malam sebelumnya.

Alternatif Penginapan
Kenyamanan berkemah dengan fasilitas lengkap seperti ini membuat camping menjadi satu pilihan akomodasi yang hemat di Australia. Tarif berkemah lebih murah dibandingkan dengan menginap di kabin, motel apalagi hotel. Semalam, kami cukup membayar AU$ 40 untuk satu keluarga (2 dewasa dan 2 anak-anak). Untuk keluarga petualang, pilihan camping ini tentu cukup menarik, hanya bermodal tenda, bisa menghemat biaya akomodasi separuhnya atau bahkan sampai 80%. Saya jadi ingat, ketika menginap di Te Anau Holiday Park, kami bertemu keluarga Amerika dengan dua precils yang keliling New Zealand dengan berkemah.

Hanya saja, lokasi Holiday Park di Australia biasanya cukup jauh dari pusat kota. Di Sydney, ada dua Holiday Park dari Big4 yang letaknya kira-kira satu jam dari pusat kota, yaitu: Sydney Lakeside dan Sydney Gateway Holiday Park. Akomodasi jenis ini cocok untuk mereka yang melakukan road trip dan memiliki kendaraan sendiri, misalnya dari Gold Coast ke Sydney atau dari Melbourne ke Sydney. Tarif menginap di Holiday Park ini termasuk murah karena sudah termasuk tarif parkir mobil untuk 24 jam. Bandingkan dengan tarif tambahan yang dikenakan hotel-hotel di Sydney untuk parkir mobil semalaman, mahalnya minta ampun, bisa mencapai AU$ 40 semalam untuk mobilnya saja.

camper kids
Ternyata setelah mencoba kemah satu kali, kami ketagihan dan ingin mencoba lagi. Akhir Maret ini kami akan camping lagi di daerah Kiama. Ada yang mau ikut? :)

~ The Emak

Rabu, 07 Maret 2012

Luna Park Favorit: Sydney atau Melbourne?

Luna Park Favorit: Sydney atau Melbourne?


Scenic Railway: wahana paling populer di Luna Park Melbourne
Di Australia, ada dua taman ria bernama Luna Park: satu di Sydney dan satu lagi di Melbourne. Dua-duanya termasuk taman ria yang cukup tua. Luna Park Melbourne dibangun tahun 1912, sementara Luna Park Sydney tahun 1935. Yang khas dari taman ria ini adalah gerbangnya berupa wajah ondel-ondel raksasa. Menurut Big A, wajah ondel-ondel di Melbourne lebih seram daripada yang di Sydney. Itu sebabnya Little A agak takut ketika foto di depan gerbang.

Taman ria ini tidak besar, tidak seperti theme park di Gold Coast atau Dufan di Jakarta. Lebih mirip dengan pasar malam di Sekaten Jogja atau wahana di Batu Night Spectacular, Malang. Bedanya, Luna Park ini buka siang dan malam.

Tarif naik wahana atau tiket terusan di Luna Park ini cukup mahal, tapi untungnya kita bisa masuk gratis, jadi bisa lihat-lihat dulu dan menentukan wahana apa yang akan dicoba. Keuntungan lain, letak dua Luna Park ini lumayan strategis di tengah kota. Di Sydney, Luna Park ada di Milson Point, persis di bawah Sydney Harbour Bridge. Kalau kita jalan-jalan di sekeliling Opera House, Luna Park akan kelihatan dari seberang harbour. Gerbang ondel-ondel akan tampak lebih cantik di malam hari begitu lampu-lampu dinyalakan. Cara terbaik menuju Luna Park Sydney adalah dengan naik feri umum jurusan Inner Harbour (warna hijau kuning) dari dermaga Circular Quay dan turun di dermaga Milson Point. Luna Park Melbourne terletak di daerah St Kilda, dekat dengan pantai dan Botanic Garden. Dari kota, kita bisa naik tram nomor 16 atau nomor 96 yang menuju St Kilda dan berhenti di halte persis di depan taman ria.

Kami pernah mencoba dua-duanya. Big A lebih senang dengan Luna Park Sydney karena sistem tiketnya tidak membingungkan dan karena banyak wahana yang dia suka. Saya sendiri lebih suka dengan yang tarifnya lebih murah (sudah bisa ditebak :D) dan menggratiskan tiket untuk orang tua yang menemani anaknya naik, yaitu Luna Park Melbourne.

Luna Park Sydney
Luna Park Melbourne
Lokasi Luna Park Sydney sangat strategis di tepi Sydney Harbour. Saya berani taruhan, precil-precil pasti akan mengajak main ke sini begitu melihat bianglala warni-warni ketika naik feri menyeberangi inner harbour.

Di pelataran depan, kita akan disambut gerbang ondel-ondel raksasa yang untungnya tersenyum. Jangan takut, masuk ke Luna Park ini gratis. Baru bayar kalau ingin naik wahana atau mencoba salah satu permainan di sana. Luna Park Sydney mudah dinavigasi karena hanya punya satu strip jalan dengan pilihan wahana di kanan kiri. Sebelum membeli tiket, saya sarankan jalan-jalan dulu dan melihat-lihat wahana yang ada. Di tengah-tengah jalan juga ada cermin-cermin ajaib yang bisa membuat badan kita memanjang atau melebar. Awas, Emak-Emak jangan kelamaan di depan cermin yang bikin langsing :) Little A senang sekali bercermin di sini. Dia juga senang melompat-lompat di pola yang dilukis di jalan.

Tiket di Luna Park Sydney dijual berdasarkan tinggi badan. Di depan loket, ada alat pengukur tinggi badan untuk menentukan jenis tiket yang bisa dibeli. Ketika kami berkunjung ke sini, Little A tingginya baru 83 cm, kurang 2 cm dari batas tiket Red Person. Alhasil, dia nggak boleh beli tiket sama sekali. Anak yang tingginya belum mencapai 85 cm hanya boleh naik 2 wahana, yaitu Carousel (komidi putar) dan Ferris Wheel (bianglala) dan harus ditemani oleh orang tuanya (yang wajib membeli tiket). Karena waktu itu bianglalanya sedang dalam perbaikan (sigh), Little A hanya bisa mencoba komidi putar saja, ditemani The Emak yang bersungut-sungut karena harga tiketnya mahal. Tiap wahana bayarnya AU$10.

Yang ingin naik macam-macam wahana, sebaiknya membeli tiket terusan. Berdasarkan tinggi badan, tiket terusan harganya sebagai berikut:
- Red 85-105cm AU$19,95
- Green 106-129cm AU$29,95
- Yellow 130 ke atas AU$39,95
Tiket terusan ini sudah termasuk tiket ke Coney Island, yang juga bisa dibeli terpisah sebesar AU$10. Lebih lengkap tentang tiket dan diskon di Luna Park, bisa dilihat di sini.

Wahana yang ada di Luna Park lumayan untuk menghibur anak-anak. Yang paling seram adalah Moon Ranger, seperti Kora-Kora. Big A tidak berani mencoba ini :p Tapi dia berani mencoba 'Kursi Terbang' yang cukup mengasyikkan. Kalau tidak sedang dalam perbaikan, wajib mencoba bianglala yang akan membawa kita melihat Sydney Harbour dari atas. Di Luna Park ini tidak ada roller coaster yang besar. Satu-satunya roller coaster yang ada adalah Wild Mouse, yang mengeluarkan suara berderak-derak ketika dinaiki. Ketika Big A dan Si Ayah naik ini, malah saya yang takut karena wahana ini sudah sangat tua, dibangun sejak tahun 1962. Untuk anak-anak kecil yang tingginya antara 85-105cm (red person) ada empat wahana khusus, termasuk bianglala mini.

Yang hanya punya AU$10 tapi ingin mencoba banyak permainan, sebaiknya membeli tiket Coney Island. Gedung besar yang terletak di tengah-tengah taman ria ini punya 7 permainan termasuk luncuran raksasa dan mirror maze. Pastikan memakai sepatu tertutup (bukan sandal atau sepatu sandal) kalau ingin masuk Coney Island.

Luna Park Sydney buka dari Jumat sampai Senin dan setiap hari di musim liburan sekolah. Cek di sini untuk mengintip jadwal buka mereka.

 


Luncuran raksasa di Coney Island

Berbeda dengan Luna Park Sydney, di Melbourne tiket masuk berdasarkan usia. Harga tiket satuan lebih murah daripada di Sydney dan orang tua yang hanya menemani anaknya naik wahana tidak perlu membeli tiket. Tiket satuan di Luna Park Melbourne sebagai berikut:
0-3 tahun: AU$4,50
4-12 tahun:AU$7,50
13+ tahun: AU$9,50

Luna Park Melbourne lebih murah untuk yang hanya naik satu atau dua wahana, karena tiket terusannya lebih mahal daripada di Sydney. Berikut adalah tiket terusan di Luna Park Melbourne, berdasarkan usia:
13+ tahun: AU$42,95
4-12 tahun: AU$32,95
0-3 tahun: AU$14,95
Lebih lengkap tentang tiket dan diskon, bisa dicek di sini.

Selain tiket, yang perlu diperhatikan oleh pengunjung adalah jam buka Luna Park Melbourne ini. Ketika pertama kali mengunjungi Melbourne, kami dibuat kecewa karena Luna Park tutup di hari kerja. Memang kalau bukan musim liburan sekolah dan hari besar, Luna Park Melbourne hanya buka dari Kamis sampai Minggu. Cek di sini untuk mengintip jam buka mereka.

Satu wahana yang wajib dicoba di Melbourne adalah Scenic Railway. Wahana ini seperti kereta yang membawa kita mengelilingi satu taman ria, dengan jalur yang meliuk-liuk seperti roller coaster, tapi tidak sampai jungkir balik. Karena populer, tentu saja antriannya paling panjang. Big A berani antri dan naik wahana ini sendiri. Di Melbourne, Little A mencoba tiga wahana: komidi putar, Arabian Merry (gajah terbang) dan Red Baron (pesawat terbang). Di komidi putar, Little A memilih kuda yang pelananya berwarna pink :p Begitu juga ketika memilih gajah dan pesawat terbang yang akan dia naiki, harus ada warna pink-nya. Di pesawat terbang kecil ini, Little A berani naik sendiri.

Setelah mencoba dua Luna Park, saya bertanya pada Big A, lebih suka taman ria yang mana. Big A menjawab mantap: Luna Park Sydney dan meminta kami kembali ke sana kalau Little A tingginya sudah lebih dari 85 cm :)

Big A naik Silly Serpent



 ~ The Emak





















Senin, 05 Maret 2012

Mengunjungi Cadbury Chocolate Factory Tasmania

Mengunjungi Cadbury Chocolate Factory Tasmania

Harta karun, pengen dibawa pulang semua :p
Siapa yang tidak kenal dengan Cadbury? Sebut nama satu ini dan bayangan kita akan langsung melayang pada batangan coklat lezat yang meleleh di mulut. Atau secangkir coklat hangat di pagi yang gerimis. Uhm...

Kami beruntung bisa mengunjungi Pabrik Coklat Cadbury di Claremont, Tasmania, musim panas yang lalu. Pabrik Coklat ini merupakan salah satu atraksi wisata utama di Hobart, Tasmania. Di Visitor Centre Cadbury yang buka setiap Senin-Jumat ini kita bisa mendengarkan penjelasan sejarah Cadbury dan menonton film tentang bagaimana coklat dibuat. Setelah itu kita bisa mencicipi macam-macam produk coklat mentah di Discovery Station mereka, dilanjutkan berbelanja produk mereka dengan harga pabrik. Sayangnya, sejak pertengahan 2008, Cadbury menutup akses tur ke dalam pabrik karena alasan kesehatan dan keselamatan kerja, sehingga kita tidak bisa lagi melihat langsung proses pembuatan coklat.

Dari pusat kota Hobart, pabrik Cadbury di Claremont bisa dicapai 25 menit dengan mobil atau 55 menit dengan bis kota. Tiket bis di Hobart ini sangat murah, hanya $3 per orang untuk naik bis seharian. Yang tidak membawa mobil sendiri, tapi alergi naik bis kota, bisa ikut tur pesiar 30 menit menyusuri sungai Derwent menuju pabrik Cadbury. Tur pesiar ini tarifnya AU$ 74 per orang, termasuk tiket masuk Pabrik Cadbury dan snack (morning tea). Coba tanyakan pada The Emak, pilih mana antara ikut tur dengan kapal seharga AU$ 74 atau naik bis kota seharga AU$ 3? Jawabannya sudah jelas :)

Kami menunggu bis kota di depan kantor pos besar di pusat kota Hobart. Pagi itu gerimis dan kami ketinggalan bis kota yang menuju Claremont. Kami bertiga berteduh di halte sambil menunggu bis selanjutnya, no 39. Ketika bis datang, saya pastikan dulu ke sopir bahwa bis ini menuju pabrik coklat Cadbury. Bisa berabe kalau salah jurusan. Perjalanan menuju Claremont, di utara kota Hobart lumayan panjang, hampir satu jam. Big A terus-menerus bertanya, "Are we there yet?" Saya tidak menghitung berapa kali dia bertanya seperti itu, tapi kira-kira 1000 kali :p Kami melewati suburb-suburb di pinggiran Hobart dengan rumah-rumah mungil yang ditata rapi. Rata-rata rumah ini punya kebun cantik dengan bunga-bunga yang bermekaran di halaman depan mereka. Pemandangan yang lumayan mengusir kebosanan di dalam bis. Kami penumpang terkakhir yang turun di halte terakhir, tepat di depan pabrik coklat Cadbury.

Sesi tur untuk pengunjung ada setiap 30 menit dan kita tidak perlu booking terlebih dahulu. Begitu masuk ke visitor centre, saya membeli tiket tur, untuk dewasa $7,50 dan untuk anak-anak $4. Little A gratis. Tiket ini diganti dengan sebatang dairy milk chocolate dan empat coklat kemasan kecil. Kalau dihitung-hitung sih balik modal, apalagi Little A enggak bayar dan tetap dapat coklatnya. 

Kami masih punya waktu 15 menit sebelum tur dimulai. Sambil menunggu, kami melihat-lihat display di Visitor Centre. Yang pertama menarik perhatian Little A adalah peti harta karun yang berisi tumpukan coklat batangan Dairy Milk. Whoa, rasanya pengen bawa pulang semuanya. Di sebelahnya ada patung sapi yang tidak boleh dinaiki, mengingatkan kita kalau coklat Cadbury yang biasa kita makan ini ada campuran susu dari sapi. Selanjutnya ada display cetakan dan alat-alat pembuatan coklat kuno, sampel coklat bubuk, kemasan Cadbury zaman dulu, poster-poster dan media promosi lainnya. Ruangan ini juga menjadi satu dengan toko suvenir. Ada banyak barang lucu-lucu dengan tema coklat dan Cadbury. Saya seperti biasa cukup puas dengan membeli kartupos.

Big A di Cadbury Visitor Centre
Gratisan dari Cadbury. Nom nom!
Tepat pukul 11 siang, kami diajak masuk ke ruang presentasi yang berisi model mesin pembuat coklat dan juga cetakan coklat asli yang digunakan di pabrik. Meski bukan Willy Wonka yang menemani kami di sini, presentasi tentang sejarah coklat dan Cadbury cukup menarik. Peserta tur waktu itu adalah grup orang-orang tua, kemungkinan pensiunan orang-orang Aussie, dan kami bertiga. Sudah bisa dipastikan semuanya chocoholic. Selain menerangkan tentang coklat dengan bahasa Inggris yang cepat plus aksesn Aussie, petugas ini juga melontarkan guyonan khas Aussie yang untungnya saya paham, jadi bisa tertawa bersama mereka :D

Cadbury berawal dari toko milik (coba tebak) John Cadbury yang dibuka tahun 1824 di Birmingham, Inggris. Pada awalnya toko ini menjual teh, kopi, mustard, esen coklat dan minuman coklat. Minuman coklat waktu itu hanya bisa dinikmati oleh kalangan elit di Birmingham. Popularitas coklat di toko Cadbury berkembang pesat, membuat John membuka pabrik coklat sendiri tahun 1831.

Pabrik Cadbury di Claremont, Tasmania adalah pabrik pertama yang dibuka di Australia tahun 1922. Lokasi ini dipilih karena dekat dengan sumber susu segar berkualitas dan kemudahan mendapatkan sumber listrik tenaga air. Satu hal yang menarik bagi saya, bahan utama coklat yang diproduksi di sini adalah coklat impor dari (ya, betul) Indonesia! Mereka membanggakan diri sebagai produsen coklat terbaik di dunia, bahkan lebih baik daripada pabrik asalnya di Inggris. Rahasia enaknya Cadbury Australia adalah coklat terbaik dari Indonesia, susu segar lokal dari Tasmania dan gula tebu dari Queensland. Coklat buatan Australia lebih enak daripada buatan Inggris karena Australia memakai gula tebu (sugarcane), sementara di Inggris dipakai pemanis dari bit. 

Begitu mendengar petugas menerangkan bahwa mereka mendapatkan bahan baku coklat dari Indonesia (dan sebagian dari Ghana dan Papua Nugini), Big A menoleh ke saya dengan bola mata membesar dan tersenyum. Perasaan saya campur aduk, bangga karena coklat dari Indonesia diakui sebagai bahan baku coklat terbaik, tapi agak sedih karena kita hanya ekspor bahan mentahnya saja. Pengolahan awal biji coklat sampai siap pakai menjadi cocoa mass ada di Singapura. Setelah diolah di pabrik Singapura, cocoa mass yang mengandung 53% cocoa dan cocoa butter itu dikirim ke Tasmania untuk diolah lebih lanjut.

Setelah presentasi, kami melihat film tentang sejarah Cadbury dan bagaimana coklat dibuat di dalam pabrik. Film ini sangat menarik bagi saya dan Big A. Saya melongo menyaksikan bagaimana enam silo raksasa di pabrik ini bekerja, dalam seharinya bisa menghasilkan 60 ton cocoa crumb. Silo bekerja seperti blender di dapur kita, mencampur bahan menjadi satu. Cocoa mass dari Singapura (dengan bahan baku coklat dari Indonesia), susu segar dari Tasmania dan gula tebu dari Queensland dicampur menjadi satu di dalam silo, kemudian dievaporasikan menghasilkan milk chocolate crumb, yang merupakan bahan dasar dari bermacam-macam coklat. Setelah menonton film, kami berkesempatan mencicipi produk coklat siap cetak ini, mulai dari dark chocolate, milk chocolate dan white chocolate.

Acara selanjutnya sudah ditunggu-tunggu oleh Big A, yaitu berbelanja di outlet mereka. Harga produk Cadbury di factory outlet ini kira-kira sama dengan coklat yg sedang SALE di supermarketm coklat blok Dairy Milk 200gr harganya $2.50. Kami membeli beberapa coklat untuk oleh-oleh teman. Meskipun semua produk di sini bisa didapat di supermarket, kesannya tetap lain kalau membeli langsung dari pabrik. Selesai berbelanja, kami menenteng dua tas ungu besar menuju halte bis. Sambil menunggu bis yang akan mengantar kami kembali ke Hobart, kami membunuh waktu dengan ... makan coklat tentunya :)

Little A bergaya di depan pabrik coklat
Menunggu bis di depan halte Cadbury
~ The Emak

Ps: 
Baca juga catatan perjalanan Big A (dalam bahasa Inggris):

Senin, 27 Februari 2012

[Penginapan] Hotel Parkview St Kilda, Melbourne

[Penginapan] Hotel Parkview St Kilda, Melbourne

Pemandangan dari jendela kamar hotel
Hotel di daerah St Kilda ini cukup nyaman untuk melepas penat setelah semalaman tergoncang ombak di kapal dan seharian menerobos macetnya Melbourne.

Setelah menyeberang dari Tasmania, kami punya waktu 24 jam di Melbourne sebelum melanjutkan perjalanan liburan musim panas ke Queenstown, Selandia Baru. Untuk penginapan kali ini saya sengaja memilih hotel yang resepsionisnya buka 24 jam karena kami harus cek out pagi-pagi mengejar pesawat ke New Zealand. Saya memilih menginap di daerah St Kilda karena ingin membawa The Precils mengunjungi Luna Park. Lagipula, kami sudah pernah menginap di apartemen tengah kota dan jalan-jalan di pusat kota Melbourne. Daerah St Kilda ini bisa menjadi alternatif menginap untuk yang ingin lebih dekat dengan kawasan pantai di Melbourne.

Pilihan jatuh pada Parkview Hotel di St Kilda Rd. Tarif per malamnya AU$ 179 untuk 2 dewasa dan 2 anak-anak, tidak termasuk makan pagi. Untuk parkir mobil seharian, kami dikenakan tambahan AU$ 10. Saya memesan hotel ini dari website Quickbeds yang tidak mengenakan biaya booking seperti di Wotif :) Kami mendapat kamar dengan 2 double bed, dengan pemandangan lapangan kriket. Desain hotel yang baru saja direnovasi ini cukup elegan. Di dalam kamar ada TV layar datar yang menempel di dinding dan meja serbaguna yang nyaman untuk menulis maupun untuk makan. Di belakang partisi ada kulkas mini, lemari baju, kaca rias dan tempat untuk membuat teh dan kopi, lengkap dengan ketel listriknya. Yang saya nggak suka, kulkas mininya dikunci oleh pihak hotel. Kalau kita ingin memakai mini bar tersebut, harus lapor dan minta kunci ke resepsionis. Hal ini tidak kami lakukan karena sudah telanjur capek begitu sampai di hotel.

Kami cek in sore hari, setelah main-main ke rumah teman lama di daerah Brunswick. Ternyata, menyetir mobil di Melbourne, sama nggak enaknya dengan di Sydney, ada beberapa titik macet yang membuat perjalanan terhambat. Mungkin karena ini akhir pekan. Lebih nggak enaknya menyetir di Melbourne, di luar batas kota, kami harus berbagi jalur dengan trem. Rasanya kok serem berada di belakang trem dua muka. Kalau trem berhenti untuk menurunkan penumpang, mobil juga harus berhenti karena tidak ada jalur untuk mendahului. Jadi harus cukup sabar kalau mengendarai mobil sendiri di Melbourne. Kalau cuma jalan-jalan di pusat kota, mungkin lebih enak naik trem (terutama yang gratis), seperti yang kami lakukan saat liburan ke Melbourne tahun lalu.

Begitu cek in, Si Ayah yang capek menyetir (dan kemungkinan masih kesal dengan pengalaman naik feri), langsung tertidur di ranjang hotel yang empuk. The Precils, seperti biasa, langsung mencoba-coba chanel TV (maklum, di rumah kami tidak ada TV). Kami keluar menjelang maghrib untuk jalan-jalan di pantai Brighton, sekitar 20 menit berkendara dari hotel, kalau tidak nyasar :p Di pantai Brighton, saya ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri bathing box warna-warni yang fotonya biasa saya lihat di kartu pos. Setelah bertanya ke orang di pinggir jalan karena kami nyasar, akhirnya sampai juga di pantai yang menjadi favorit orang lokal ini. Angin bertiup cukup kencang ketika kami datang, sehingga kami hanya sebentar main-main di sana. Yang penting Si Ayah sudah memotret dan bisa dipamerkan kalau pernah melihat salah satu bangunan ikon Australia ini.

Kami bisa tidur nyenyak di hotel ini, jauh lebih nyaman daripada tidur di kabin kapal :p Esoknya kami harus cek out pagi-pagi dan bergegas menuju Bandara Internasional Melbourne untuk mengejar pesawat ke Selandia Baru.

Little A penasaran dengan Bible :)
Bathing Boxes warna-warni di pantai Brighton
~ The Emak


Minggu, 26 Februari 2012

Menyeberangi Selat Bass dengan Spirit of Tasmania

Menyeberangi Selat Bass dengan Spirit of Tasmania

Feri Spirit of Tasmania berlabuh di dermaga Melbourne
Mungkin karena nenek moyang kami bukan orang pelaut, pengalaman naik feri dari Tasmania ke Melbourne ini tidak seindah yang saya bayangkan.

Kisah ini berawal dari ide The Emak yang selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Korbannya tentu saja The Precils, dan terutama Si Ayah. Kali ini The Emak ingin mencoba naik kapal yang kalau dilihat dari luar mirip kapal pesiar itu.

Ketika merencanakan perjalanan ke Tasmania, kami belum tahu mau naik apa untuk sampai ke Melbourne. Waktu itu kami sudah membeli tiket (murah) dari Melbourne ke Queenstown, Selandia Baru. Ada dua pilihan moda transport dari Tasmania ke Melbourne: naik pesawat dari bandara Launceston atau naik feri dari pelabuhan Devonport. Ketika menghitung biaya yang harus kami keluarkan, kira-kira sama antara membeli 4 tiket pesawat plus hotel semalam dengan tarif 4 penumpang feri plus 1 mobil. Saya sih lebih senang mencoba hal yang baru, kapan lagi bisa merasakan naik Spirit of Tasmania? Si Ayah yang ragu-ragu pun akhirnya setuju dengan ide bermalam di tengah selat Bass.

Kami memesan satu kabin dengan empat berth (ranjang susun), dengan jendela (porthole) untuk mengintip pemandangan di luar. Total biaya untuk dua dewasa, 2 anak-anak plus satu mobil adalah AU$ 679. Tarif ini berubah tergantung high season/low season. Pemesanan tiket bisa langsung melalui website Spirit of Tasmania.

Melihat foto-foto kapal ini di websitenya, The Precils, terutama Big A sangat excited untuk segera mencoba berlayar. Saya juga membayangkan perjalanan ini seperti naik kapal pesiar :) Ketika melihat-lihat review tentang Spirit of Tasmania di Trip Advisor, hati saya sedikit menciut karena ada yang bilang perjalanan ini hanya seperti naik feri yang besar, sama sekali bukan seperti berpesiar dengan kapal mewah. Tambahan lagi, selat Bass yang menghubungkan Tasmania dengan mainland Australia terkenal sebagai perairan yang cukup ganas. Uh-oh...

Setelah makan siang di Cradle Mountain, kami menuju pelabuhan Devonport yang terletak di bagian utara Tasmania. Feri akan berangkat pukul 7.30 malam, sehingga kami masih punya banyak waktu untuk mencapai pelabuhan. Cradle Mountain - Devonport bisa ditempuh dalam satu setengah jam, dengan rute yang mudah dinavigasi. Begitu memasuki kota Devonport, kami banyak menemukan rambu petunjuk jalan bergambar Spirit of Tasmania. Dengan mudah, kami bisa menemukan jalan masuk menuju kapal.

Waktu baru menunjukkan pukul tiga sore ketika mobil kami sampai di titik antrian kendaraan yang mau masuk ke feri. Masih ada empat setengah jam lagi sebelum kapal berangkat, tapi antrian kendaraan menuju kapal sudah mengular. Dan masalah berawal dari sini.

Kami yang belum pernah punya pengalaman naik feri ini mengikuti saja antrian mobil di depan kami. Pelan-pelan, mobil masuk melewati loket untuk mendapatkan tiket dan kunci kabin. Big A sangat bersemangat menerima kartu plastik sebagai pintu kabin, dan mulai mengamat-amati peta kapal yang diberikan bersama kunci. Dari loket, kami mengikuti antrian mobil menuju pemeriksaan keamanan, sebelum bisa masuk ke kapal.

Pemeriksaan keamanan dilakukan di pelataran parkir pelabuhan. Antriannya lumayan panjang karena petugas harus memeriksa dengan detil barang bawaan di mobil penumpang. Mobil di depan kami membawa beberapa jerigen minyak, sehingga harus 'dititipkan' ke bagasi kapal. Oleh petugas, mobil kami diperiksa bagasi dan mesinnya. Penumpang tidak perlu turun saat pemeriksaan. Selesai pemeriksaan, kami yang mengira bisa langsung masuk kapal, harus gigit jari karena ternyata masih harus menunggu di pelataran parkir yang panas ini sampai berjam-jam kemudian.

Menunggu, adalah pekerjaan yang membosankan. Tapi menunggu di lapangan parkir yang panas membara tanpa kepastian kapan bisa keluar dari tempat tersebut adalah siksaan tanpa ampun. The Precils mulai gelisah dan wajah masam Si Ayah tidak bisa disembunyikan lagi. Ternyata gerbang baru dibuka setengah jam sebelum jadwal keberangkatan kapal. Kalau tahu akan seperti ini, tentu kami tidak perlu repot-repot antri dari awal. 

Little A asyik main iPod, Big A lihat pemandangan, Si Ayah menonton film dengan muka masam :p
Little A senang main di bunk bed
Beres memarkir mobil di garasi kapal yang sempit, kami menuju kabin. The Precils kembali gembira mendapati dua set bunk bed di kabin kecil kami. Ada dua tangga yang bisa dipindah-pindah untuk naik ke bed yang atas. Little A berkali-kali naik turun tangga ini. Kabin yang kami tempati memang kecil, terdiri dari 4 single bed, satu meja mini dan kaca yang menempel di dinding, kamar mandi dengan pancuran dan toilet. Seperti di hotel, handuk dan sabun mandi disediakan untuk tiap penumpang. Dari jendela kabin yang tidak bisa dibuka, kami bisa mengintip kesibukan pelabuhan Devonport sebelum kapal berangkat.

Muka masam Si Ayah tidak berubah sepanjang perjalanan. Dia yang telanjur marah dan capek karena menunggu berjam-jam di pelataran parkir yang panas, menyibukkan dan menghibur dirinya dengan menonton film di laptop. Si Ayah bahkan tidak berminat sama sekali memotret suasana pelabuhan Devonport ketika feri ini mengangkat sauh.

Big A yang tetap semangat, mengajak saya melihat-lihat kapal. Kami berkeliling melihat restoran, toko suvenir, tempat bermain anak-anak dan juga ruangan game dengan koin. Big A kecewa karena sebenarnya ingin main game koin ini tapi larang karena terlalu mahal. Di sebelah ruang game di lantai paling atas ada ruang makan yang dipenuhi keluarga yang menikmati bekal mereka. Kami yang tidak mempersiapkan bekal makan, terpaksa membeli di restoran prasmanan. Untuk sekeluarga, saya hanya membeli satu piring kecil seharga AU$16,50 dan satu piring untuk anak-anak seharga AU$10. Kita boleh mengisi sendiri piring-piring ini dengan makanan sampai penuh. Kami cuma makan fish&chips, pasta vegetarian dan sayur kukus. Si Ayah yang masih belum bisa tersenyum berkata bahwa ini makanan paling tidak enak yang pernah dia rasakan.

Selesai makan, Little A masih ingin main-main di tempat bermain, tapi saya sudah merasa pusing dan ingin istirahat. Rasanya kapal bergoyang-goyang dihantam ombak besar. Untungnya kami tetap bisa tidur nyenyak di kabin dan lulus dari ujian semalam di tengah lautan.

Saya bangun pukul lima pagi, dan melihat tanda-tanda kapal akan segera berlabuh. Saya menyempatkan mandi dengan air hangat di pancuran. Lumayan juga, rasanya segar setelah mandi. Si Ayah juga mandi untuk melarutkan kekesalan kemarin :p Setengah jam sebelum berlabuh, pengumuman dari kapten kapal bergema di dalam kabin. Penumpang dipersilahkan cek out dengan memberikan kunci kabin ke resepsionis, dan menuju mobil masing-masing sesuai dengan panggilan.

Sambil menunggu giliran kami, Si Ayah dan Big A memotret suasana kapal dan pelabuhan Melbourne dari dalam kapal. Rasanya senang sekali melihat daratan dan keluar dari kapal ini. Sekitar jam enam pagi, kami sudah berada kembali di daratan Australia, dan siap-siap untuk menjelajah Melbourne dalam 24 jam ke depan.

Melbourne pagi hari, difoto dari dalam kapal
Antri keluar dari kapal
Alhamdulillah sampai daratan lagi :D
Dari pengalaman kami, harus saya akui kalau Si Ayah benar: tarif naik feri Spirit of Tasmania ini terlalu mahal untuk pengalaman yang kami dapatkan. Dalam situasi yang sama, kalau disuruh memilih, kami akan naik pesawat saja dan menghabiskan semalam lagi di kamar hotel yang nyaman di Cradle Mountain :)

Berikut adalah tips yang bisa saya berikan untuk perjalanan dengan Spirit of Tasmania:
1. Hanya naik Spirit of Tasmania kalau nenek moyang kamu memang pelaut :p
2. Hanya naik Spirit of Tasmania kalau kamu membawa barang-barang yang tidak mungkin cukup atau tidak diperbolehkan di bagasi pesawat.
3. Kalau tetap nekat mau naik Spirit of Tasmania, jangan datang terlalu awal, pastikan ke pelabuhan satu jam saja sebelum berangkat. 

~ The Emak
Baca juga catatan perjalanan Big A (dalam bahasa Inggris):