Tudor Court motel di kota Christchurch adalah penginapan terakhir selama road trip kami menjelajah Pulau Selatan Selandia Baru. Kalau di Wanaka dan Lake Tekapo saya bingung mencari penginapan karena tidak banyak pilihan, di Christchurch ini saya bingung karena terlalu banyak pilihan :p Maklum, Christchurch memang kota terbesar di Pulau Selatan New Zealand, yang menjadi gateway jalan-jalan di negara Kiwi ini.
Dua kali gempa besar yang melanda Christchurch, September 2010 dan Februari 2011 mengakibatkan kerusakan pada bangunan-bangunan hotel. Beberapa hotel besar, terutama di tengah kota hancur. Sementara hotel-hotel yang lain belum layak huni karena bangunannya miring. Penginapan yang bisa survive di tengah gempa adalah motel-motel kecil (berlantai satu atau dua) yang ada di pinggiran kota.
Seperti biasa, saya mencari-cari penginapan di website Wotif. Ada beberapa motel bagus menurut review Trip Advisor, yang letaknya paling dekat dengan pusat kota, tapi harganya di atas NZ$ 200, di luar jangkauan kocek saya :) Akhirnya saya menemukan motel Tudor Court ini, yang bangunannya tampak menarik, dengan harga NZ$ 165 per malam, untuk 2 dewasa dan 2 anak-anak. Saya pesan dari Wotif yang tarifnya sedikit lebih murah daripada tarif di website resminya.
Motel ini hanya punya 1 kamar tidur berisi dua single bed untuk the precils. Ranjang utama ada di ruang serbaguna yang menjadi satu dengan sofa, meja makan dan dapur kecil. Kami mendapatkan kamar di pojok, tanpa pemandangan ke luar. Dari jendela yang bisa dibuka, tampak pepohonan dari motel sebelah. Nggak jauh beda dengan pemandangan dari apartemen kami di Sydney :)) Bangunan di motel ini tampak kuno, terlihat dari sofa, pemanas, dapur dan kamar mandinya. Mengingatkan saya pada motel tempat kami menginap di Snowy Mountain. Dapur kecilnya juga hanya ada kulkas kecil, microwave dan bak cuci piring, tanpa kompor. Fasilitas laundry umum ada di luar kamar, menggunakan koin. Saya tidak menggunakan laundry karena sudah puas cuci-cuci baju di Lake Tekapo Holiday Park. Nilai plus dari motel ini: kasurnya nyaman, dengan linen dan sprei berkualitas dari Sheridan. Kami bisa tidur nyenyak, dihangatkan oleh selimut listrik.
Lokasi motel Tudor Court ini di Bealey Avenue, utara pusat kota. Di sepanjang Bealey Avenue banyak terdapat motel. Lokasi tidak terlalu masalah kalau kita membawa mobil, hanya sekitar 5 menit ke pusat kota, Botanic Garden atau Museum. Sore hari setelah mengunjungi museum, Big A minta dibelikan buku karena buku yang saya belikan di Hobart sudah tamat ia baca. Big A akan bilang I am bored setiap menit kalau tidak punya bacaan. Dari penjaga museum kami diberi tahu kalau ada beberapa toko buku di Riccarton Mall. Daerah Riccarton ini terletak di sebelah barat Museum/Botanic Garden. Di kanan kiri jalan Riccarton berderet-deret toko, kafe, motel dan satu mal besar. Saya pikir, enak juga kalau motel kami ada di jalan Riccarton ini, tinggal menyeberang jalan kalau mau belanja ke Mal. Kalau kami punya kesempatan mengunjungi Christchurch lagi, pilihan pertama saya adalah Motel Kauri yang persis di seberang pusat perbelanjaan. Saya ingat kehabisan kamar di motel ini ketika memesan lewat Wotif dulu. Buku yang Big A cari tidak ada di Mal Riccarton. Capek keliling Mal mencari toko buku, kami makan di food court-nya, di bawah pengawasan tukang bersih-bersih karena sebentar lagi Mal tutup (jam 6 sore waktu setempat).
Minggu, 11 Desember 2011, saya dibangunkan oleh The Precils dan Si Ayah. Perasaan saya waktu itu: bahagia yang sederhana. Ini adalah negara ketiga tempat saya merayakan ulang tahun, setelah Indonesia dan Australia. The Precils memberi saya kartu ulang tahun yang diam-diam mereka beli di supermarket di Wanaka. Saya terharu dengan perhatian mereka, tapi juga tertawa melihat gambar Barbie di kartu ultah saya, dengan latar belakang warna pink yang gemerlap. Ini pasti pilihan Little A :D Jam 10.30 kami cek out dari motel, kembali jalan-jalan ke museum dan Botanic Garden, kemudian merayakan ulang tahun saya dengan makan siang di restoran Malaysia di Papanui Road. Sorenya, kami harus mengejar pesawat Emirates yang akan membawa kami kembali ke Sydney.
Mobil sewaan di belakang kabin kami di Lake Tekapo Holiday Park
Don't judge an accommodation by it's website! Website Lake Tekapo Motels & Holiday Park ini tidak begitu meyakinkan, namun kabin dan fasilitas yang kami dapatkan cukup lumayan, plus bonus pemandangan danau Tekapo yang bisa dilihat langsung dari dalam kabin :)
Ketika mencari akomodasi di Lake Tekapo, saya cukup bingung karena pilihan di Wotif sangat sedikit. Pilihan di website informasi lokal juga tidak ada yang cocok, terutama harganya :p Di Lake Tekapo ini banyak didirikan resort-resort mewah yang harganya tentu tidak sesuai dengan anggaran liburan kami. Ada satu hotel waralaba mewah yang terkenal di sini, yang harga vila untuk keluarganya di atas NZ$ 350. Not for us! Dengan anggaran maksimal NZ$ 150 per malam, akhirnya saya menemukan akomodasi yang sesuai untuk keluarga kami: kabin dengan kamar mandi dalam di Holiday Park.
Saya memesan langsung akomodasi ini di website mereka. Harga awal kabin ini adalah NZ$ 120 per malam untuk 2 orang. Anak-anak di bawah usia 14 tahun membayar tambahan NZ$10 per malam, sehingga total NZ$ 140 per malam untuk kami berempat. Ketika tiba di Holiday Park ini saya cukup was-was, takut akomodasinya tidak sesuai dengan yang kami harapkan. Berbeda dengan Holiday Park di Te Anau yang kelihatan baru dan terawat, bangunan-bangunan di Holiday Park ini tampak tua. Dari luar, kantor resepsionis tampak seperti gudang. Ketika masuk ke kompleks Holiday Park yang luas ini, kami melewati dua taman bermain, yang satu sudah rusak dan satunya tampak tua dan tidak terawat. Saya jadi semakin takut melihat kabin kami.
Ternyata yang saya khawatirkan tidak terjadi. Kabin kami yang kecil cukup bagus dan terawat. Ketika kami datang, kamar sudah bersih dan rapi, dengan sprei baru, berikut handuk dan sabun mandi baru. Ukuran kabin ini sekitar 4x7 meter, berisi satu ranjang dobel dan satu set ranjang susun (bunk bed). The Precils langsung excited mencoba naik turun ranjang susun ini. Ada dua set meja kursi seperti di kafe, yang juga bisa kami bawa ke teras. Ada satu TV kecil yang tidak pernah kami nyalakan. Di sudut lain ada fasilitas kulkas kecil, ketel listrik, pemanggang roti, dan bak cuci piring. Peralatan makan lengkap seperti piring, gelas, sendok, garpu juga disediakan di sini. Kamar mandi (pancuran), toilet dan wastafel yang lebih baru daripada kamar mandi di Te Anau, ada di dalam kabin di samping kamar.
Yang paling mengesankan dari penginapan ini adalah pemandangan luar biasa yang bisa kami lihat dari dalam kamar. Kabin kami terletak persis di pinggir Lake Tekapo, hanya dihalangi oleh padang bunga liar warna-warni. Setelah beres-beres barang bawaan kami, terutama bahan makanan, kami bisa santai sejenak di teras berlantai kayu, sambil memandang danau Tekapo dan gunung di belakangnya. Big A menyempatkan menulis jurnal perjalanan, dengan menyeret meja kursi kami keluar.
Di Holiday Park ini tersedia sambungan internet via wifi yang bisa dibeli NZ$10 untuk 24 jam. Ketika laptop kami sudah tersambung dengan internet, Si Ayah langsung duduk manis di depan laptop :p
Kabin mungil kami tampak dari depan
The Precils menjelajah kabin
Little A menatap bebek-bebek yang bebas berkeliaran di depan kabin kami
The Precils bermain meniti kayu di samping kabin
Sayangnya, di sini taman bermainnya tidak sebagus yang ada di Te Anau. Lagipula, playground tersebut cukup jauh dari kabin. Namun The Precils tidak kalah akal. Little A dengan cepat menemukan permainan baru: meniti gelondongan kayu yang dia temukan di samping kabin. Selain bermain titian, Little A juga sibuk mengejar bebek-bebek yang berkeliaran dengan bebas di sekitar kabin. Pada awalnya, Little A hanya memandang bebek-bebek yang lewat. Tapi lama-lama, dia mulai mengejar bebek-bebek tersebut. "The duckies need to sikat gigi," kata Little A.
Sebelum menyiapkan makan malam, saya punya PR cucian yang menumpuk. Selama dua hari di Te Anau dan sehari di Wanaka kami tidak mencuci baju. Big A dengan senang hati membantu saya mencuci baju di laundry umum yang ada di belakang kabin kami. Little A tidak mau kalah membantu memasukkan koin ke dalam slot mesin laundry. Untuk sekali mencuci baju, kita perlu koin $2 dan untuk mesin pengering juga perlu $2. Deterjen juga dijual di mesin otomatis seharga $2 per bungkus. Cucian langsung kering dan bisa dipakai lagi. Tips ketika bepergian: jangan merepotkan diri sendiri dengan menyetrika ;)
Big A serius membaca sementara Si Ayah serius memasak
Makanan sudah siap tapi Big A masih asyik membaca
Jangan dilihat bentuknya, 'scramble' salmon ini enak banget!
Cucian beres, saatnya menyiapkan makan malam istimewa: barbekyu salmon dari Mt Cook Alpine Salmon Farm. Lagi-lagi kami beruntung karena tempat piknik dan mesin barbekyu letaknya tepat di samping kabin. Fasilitas barbekyu dengan gas ini disediakan gratis. Di samping kabin ada tiga mesin barbekyu dan beberapa bangku-bangku kayu. Ketika kami bersiap-siap, sudah ada beberapa orang yang makan malam. Saya lumayan kerepotan menyalakan mesin barbekyu ini. Untung ada traveler lain yang berbaik hati membantu saya. Ternyata saudara-saudara, barbekyu jenis ini harus dinyalakan dengan korek api :D
Setelah berhasil nyala, saya letakkan dua potong salmon segar di atas aluminium foil. Bumbunya cukup mentega, garam dan lada hitam. Sementara itu, nasi, lalapan dan jus jeruk sudah siap. Ketika salmon mulai matang, saya tidak bisa membaliknya karena ikan ini lengket dengan foil. Si Ayah turun tangan memberi bantuan, berhasil membalik salmon ini sampai matang, tapi si salmon tidak berbentuk lagi. Alhasil, kami makan orak-arik salmon, bukan steak salmon :D Jangan salah, rasa salmon ini tidak dipengaruhi oleh bentuknya. Si Ayah berulang kali bergumam kalau ini salmon terenak yang pernah dia rasakan. The Precils pun makan sendiri dengan lahap. Kali ini benar-benar makan malam istimewa di tempat terbuka yang memesona.
Malamnya kami tidur dengan nyenyak. Pagi hari saya dikejutkan dengan pemandangan indah danau Tekapo yang bagaikan cermin memantulkan bayangan gunung di belakangnya. Rupanya bayangan seperti ini hanya bisa didapatkan pagi hari ketika matahari belum tinggi. Saya pun membuat kopi dan menikmati sarapan sereal dengan bonus pemandangan danau Tekapo berkabut tipis ini. Pukul 10 pagi, kami menyelesaikan rutinitas berkemas, cek out dan melanjutkan perjalanan ke Christchurch.
Saya masih ingat suasana senja di tepi danau Tekapo: tenang dan syahdu. Angin malam membelai halus di antara padang bunga liar warna ungu dan merah jambu, bulan menggantikan matahari menerangi danau berair biru turquoise, dengan gereja tua yang berdiri anggun di tepinya, dan di kejauhan tampak Mt John berselimut salju.
Lake Tekapo adalah kota kecil yang terletak di antara Christchurch dan Queenstown. Kota ini menjadi persinggahan utama traveler yang melakukan perjalanan dari Christchurch ke Queenstown atau sebaliknya. Dengan mobil, Lake Tekapo bisa dicapai 3 jam dari Christchurch atau 3,5 jam dari Queenstown.
Biasanya para pelancong hanya singgah sebentar dan melihat keindahan danau Tekapo ini di sekitar Church of the Good Shepherd saja. Gereja tua yang dibangun tahun 1935 ini merupakan atraksi utama yang wajib disinggahi di Lake Tekapo. Bangunan cantik ini cukup fotogenik diambil gambarnya dari berbagai sudut. Tidak heran kalau gereja ini menjadi gereja yang paling banyak difoto di seluruh New Zealand. Si Ayah yang baru saja belajar fotografi cukup antusias ingin mengabadikan senja di sekitar gereja yang juga populer disewa untuk prosesi pernikahan ini.
Jarak gereja tua sekitar 1 km dari tempat kami menginap di Lake Tekapo Motels and Holiday Park. Kami naik mobil menuju ke sana setelah kenyang dengan makan malam. Di musim panas, matahari baru terbenam sekitar jam 9 malam. Semburat jingga dan merah jambu bergantian memenuhi langit. Little A dan Big A saya ajak bermain-main di padang bunga liar yang tumbuh di tepi danau. Bunga Russell Lupines atau lebih populer disebut Lupin berwarna ungu dan merah jambu ini tumbuh di musim panas, dari akhir November sampai awal Januari. Ketika musim dingin tiba, bunga-bunga cantik ini menghilang dan akan muncul lagi begitu musim panas tiba. Kami beruntung mengunjungi New Zealand ketika bunga-bunga ini mekar. Pemandangan cantik padang Lupin ini bisa kami jumpai di mana-mana, di Queenstown, Glenorchy, Te Anau, Wanaka dan paling banyak di Lake Tekapo ini.
Sementara The Precils bermain, Si Ayah asyik memotret Church of the Good Shepherd. Kami pulang setelah langit gelap meskipun Si Ayah belum puas dan belum berhasil mendapatkan foto yang bagus karena 'peralatan perang' nya kurang memadai :p
Senja di Church of the Good Shepherd, Lake Tekapo
Church of the Good Shepherd sebelum gelap
Pagi harinya, setelah cek out dari penginapan, kami kembali mengunjungi gereja tua ini. Agenda utamanya adalah: foto keluarga :D Saya yang paling ngebet pengen punya foto keluarga yang lumayan, yang nantinya bisa dibingkai dan dipajang di ruang keluarga. Setelah gagal membuat foto keluarga di Milford Sound, saya ingin foto keluarga kali ini berhasil, dan sempurna. Pagi hari, saya berhasil membujuk anak-anak dan ayahnya untuk memakai 'seragam' foto keluarga kami: kaos putih dan celana jeans biru. Tidak ada alasan khusus untuk pilihan 'seragam' ini kecuali warna inilah yang kebetulan kami semua punya.
Sesi foto dimulai ketika The Precils asyik bermain di batu-batu di tepi danau. Setelah Si Ayah berhasil menyeting kameranya di tripod, kami berpose. Tuhan memberkati, Little A dan Big A sukarela tersenyum ketika difoto. Padahal semenit sebelumnya Big A manyun karena kepanasan. Kami ulangi foto sekali lagi di antara padang Lupin. Lagi-lagi saya cukup beruntung karena The Precils mau tersenyum. Begitu terdengar bunyi 'klik', anak-anak segera bubar sehingga foto keluarga tidak mungkin diulang lagi.
Hasilnya tidak begitu mengecewakan. Saya berani bilang hasil foto Si Ayah bisa diadu dengan tukang foto keluarga profesional :)
Dalam perjalanan dari Wanaka ke Lake Tekapo, kami singgah di Mt Cook Alpine Salmon Farm, yang merupakan peternakan salmon tertinggi di dunia. Di sana kami mencicipi salmon (mentah) paling segar yang rasanya super lezat, tidak ada bandingannya :)
Perjalanan Wanaka - Mt Cook Alpine Salmon
Kami cek out dari Wanaka View Motel sekitar jam 10 pagi dan main-main sebentar di playground di pinggir danau. Setelah itu kami belanja sunblock, buah, dan sereal di supermarket New World. Ternyata saat itu, The Precils dan Si Ayah secara sembunyi-sembunyi membeli kartu ulang tahun untuk saya, baru ketahuan ketika kami sampai di Christchurch :) Kami juga membeli bekal makan siang, fish & chips yang rencananya kami makan di tempat piknik pinggir jalan, begitu kami merasa lapar.
Jarak Wanaka ke Lake Tekapo sekitar 200 km, bisa ditempuh dalam dua setengah jam dengan mobil. Kami memutuskan singgah di peternakan salmon ini karena sejalan dengan rute kami ke Lake Tekapo. Peternakan salmon sekitar 30 menit bermobil dari Lake Tekapo.
Ketika kami mulai melanjutkan perjalanan, saya tidak berharap akan menjumpai pemandangan seindah ketika road trip menuju Milford Sound. Ternyata saya salah. Sekitar satu jam perjalanan dari Wanaka menuju Omarama, kami melewati Lindis Pass. Ketika saya membaca tanda Lindis Pass (934m) di peta, saya bertanya-tanya, apa itu Lindis Pass. Saya dan Si Ayah main tebak-tebakan, apakah itu jembatan, terowongan atau sekadar jalan di atas lembah. Ternyata, Lindis Pass adalah jalan raya paling tinggi di Pulau Selatan Selandia Baru, yang melewati perbukitan yang dijadikan daerah konservasi. Ketika kami melewati terusan ini, warna kuning mendominasi bukit di kanan kiri jalan. Lautan bunga-bunga liar berwarna kuning membentuk pemandangan yang menakjubkan.
Melewati Lindis Pass, kami melanjutkan perjalanan melalui Twizel, kota kecil yang menjadi pintu menuju Mt Cook, gunung dengan puncak tertinggi di New Zealand. Di sekitar twizel, kami kembali mendapati pemandangan cantik, sungai dan danau kecil berwarna biru turquoise. Sekitar sepuluh menit dari Twizel, kami singgah sebentar di Lake Pukaki Information Centre. Danau Pukaki yang luas, dengan air biru turquoise dan Mt Cook sebagai latar belakang membuat mata kami memandang takjub. Kok bisa air danau ini sebegitu biru? Dari mengintip Wikipedia, saya jadi tahu kalau warna biru ini berasal dari tepung glasial, bentuk lembut dari batu glasier. Ah, andai dulu lebih memerhatikan pelajaran Geografi :p Kami menghabiskan makan siang kami di sini, sambil memandang rombongan turis yang berfoto ria di depan danau.
Lindis Pass
Makan Siang di tepi danau Pukaki
Dari Lake Pukaki, hanya perlu setengah jam untuk sampai di peternakan salmon. Jalurnya mudah sekali karena ada petunjuk arah di tiap tikungan jalan. Peternakan salmon ini dibangun di tepi jalur Hydro Canal, kanal air yang digunakan untuk memproduksi listrik. Berada di ketinggian hampir 2000 m di atas permukaan laut, lokasi peternakan salmon ini paling tinggi di dunia. Namun bukan hanya lokasinya saja yang istimewa, peternakan ini dioperasikan dengan konsep eco-sustainability. Mereka menggunakan 100% energi terbarukan dari tenaga surga dan mendaur ulang 100% limbah yang dihasilkan. Salmon-salmon yang diternakkan hidup di air yang sangat murni, yang bisa ditandingkan dengan air mineral kemasan. Mereka berani menjamin kalau ikan-ikan di peternakan ini hidupnya bahagia dan tidak stress (saya heran cara tahunya bagaimana). Dari fakta-fakta di atas, tidak heran kalau ikan salmon yang dibudidayakan di peternakan ini rasanya sangat segar dan lezat.
Sayang sekali ketika kami datang ke sana, peternakan ini sedang dalam perbaikan, sehingga kami tidak bisa mengikuti tur melihat dan memberi makan ikan-ikan. Yang bisa kami lakukan hanyalah membeli produk salmon di toko mereka. Ada beberapa macam produk salmon yang dijual, segar atau beku, dengan berbagai macam penyajian. Kami membeli satu kotak sashimi salmon seharga NZ$15 dan dua potong salmon steak seharga NZ$15 yang akan kami barbekyu untuk makan malam di Lake Tekapo.
Ketika merencanakan perjalanan road trip ke New Zealand, saya menantang Si Ayah untuk mencicipi salmon mentah. Kami memang sudah beberapa kali makan ikan salmon, tapi selalu dibakar sampai matang. Saya suka salmon yang masih agak basah dan juicy, sementara Si Ayah harus makan salmon yang 'garing'. Rasanya tidak ada tempat lain yang cocok untuk mencoba salmon sashimi mentah yang bisa langsung dimakan, selain di sini. Big A saja, yang biasanya pilih-pilih makanan, berani menerima tantangan saya ini. Saya juga memberanikan diri mencoba salmon mentah. Ternyata rasanya di luar dugaan saya: segar, manis dan lezat, sama sekali tidak seperti ikan :D Salmon segar ini juga tidak ada bau amis ikan sama sekali. Pantes saja banyak orang yang doyan makan salmon mentah dari restoran sushi.
Berikut adalah video Si Ayah yang akhirnya berani mencoba makan salmon sashimi ;)
Kami menikmati piknik makan sashimi di bukit di atas peternakan salmon ini. Dari atas bukit, kita bisa melihat pemandangan kanal air berwarna biru dengan latar belakang puncak Mt Cook yang berselimut salju. Little A senang sekali naik turun bukit kecil ini. Kami yang tidak begitu terburu-buru karena penginapan tinggal menyetir sekitar setengah jam dari sini, menyempatkan diri bermain-main sebentar di sekitar peternakan ini. Big A dan Little A duduk-duduk di atas mobil, makan coklat sambil melihat beberapa orang yang asyik memancing ikan, di samping caravan yang mereka parkir.
Untuk penggemar salmon, Mt Cook Alpine Salmon ini wajib dimasukkan itinerary ketika mengunjungi South Island New Zealand. Kalau ingin tahu jadwal tur dan maintenance mereka, lebih baik telpon dulu atau kunjungi website-nyadi sini.
Peternakan Salmon tertinggi di dunia. Mt Cook tampak di kejauhan.
Hari beranjak senja ketika kami sampai di Wanaka View Motel. Capek dari bermain-main di Wanaka Puzzling World, kami lega mendapati chalet kami yang sudah siap, rapi dan bersih. Pemilik motel, Ibu muda ramah yang membawa anak laki-lakinya menemani kami berkeliling, menunjukkan fasilitas yang tersedia di motel.
Saya memesan motel ini dari website Wotif, seharga NZ$150 per malam. Dengan harga segitu, kami sudah mendapat motel dengan dua kamar (double bed di kamar utama dan dua single bed di kamar The Precils), fasilitas dapur lengkap dan kamar mandi dalam dengan shower. Saya tambah senang karena mendapat fasilitas internet gratis melalui wifi.
Lokasi motel ini cukup strategis, berada di tepian danau, hanya dihalangi oleh taman. Saya suka dengan layout dan interior-nya, modern minimalis. Kami beruntung mendapatkan motel yang baru saja direnovasi, sehingga perabotannya masih baru dan tampak bersinar :) Dari review di Trip Advisor, beberapa orang mengingatkan bahwa motel ini terlalu sempit. Saya biasanya cuek dengan review seperti ini, mirip dengan review tentang apartemen yang kami sewa di Melbourne. Mungkin kamar-kamar ini akan terasa sempit bagi orang bule yang badannya besar. Tapi bagi kami yang badannya mini, chalet kami masih terasa longgar :p Memang ukuran kamarnya lumayan kecil, paling kecil dibandingkan semua penginapan yang pernah kami huni. Ketika saya membuka pintu, daun pintu langsung menabrak pinggir ranjang sehingga hanya ada celah kecil untuk masuk kamar. Untungnya The Emak cukup ramping :D
Begitu kami memasuki chalet ini, ada ruang serbaguna berisi dapur mungil, meja makan dan sofa panjang. Meskipun kecil, fasilitas dapur ini lengkap, mulai dari kompor, microwave, kulkas, perabotan memasak, peralatan makan sampai alat bersih-bersih. Yang harus kami sediakan sendiri cuma satu: ricecooker :) Ketika datang sore-sore, energi saya sudah habis untuk menenangkan Little A yang tantrum di Puzzling World, sehingga tidak sanggup untuk memasak. Akhirnya, kami makan malam dengan menu andalan: Indomie goreng yang saya beli di supermarket di Queenstown dan telur mata sapi. Anak-anak yang kelaparan langsung makan dengan lahap.
Motel ini menyediakan fasilitas laundry dengan koin, yang letaknya di luar chalet kami. Pemilik motel mewanti-wanti agar kami tidak mencuci baju terlalu malam karena bisa mengganggu penghuni kamar yang bersebelahan dengan laundry. Saya sebenarnya punya simpanan baju kotor dua hari dari menginap di Te Anau, tapi agak malas juga kalau disuruh segera mencuci baju begitu datang dan mau istirahat sejenak. Memang lebih enak kalau fasilitas laundry ada di dalam seperti apartemen yang kami sewa di Queenstown. Tapi, motel dengan harga 'murah' ini sudah cukup memenuhi kebutuhan kami kok. Baju-baju kotor sanggup menunggu satu hari lagi sampai di perhentian kami selanjutnya di Lake Tekapo. Yang lebih penting, kamar mandi di chalet kami ini lumayan baru, sehingga The Precils mau mandi dengan sukarela, tanpa dipaksa :)
Si Ayah beres-beres di dapur
Meja makan di antara kamar utama dan kamar The Precils
Sebelum supermarket tutup jam 9 malam, Si Ayah menyempatkan diri berbelanja bahan makanan kami yang menipis: sereal dan susu segar untuk The Precils dan buah-buahan untuk kami. Di Wanaka ada supermarket yang cukup besar, bagus dan lengkap: New World. Buah dan sayur yang dijual di sini segar-segar semua, dan harganya relatif lebih murah daripada harga bahan makanan di Sydney. Lokasi supermarket ini sekitar 450 m dari motel, hanya 2 menit kalau naik mobil. Oh, ya, di motel dan di supermarket disediakan tempat parkir gratis.
The Precils tidur cukup pulas malam itu. Tiap ranjang dilengkapi dengan electric blanket untuk menghangatkan tubuh karena malam hari suhu lumayan dingin. Kami cek out jam 10 pagi, menghabiskan waktu untuk bermain di Wanaka Playground, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Peternakan Salmon di Mt Cook.
The Emak dan Big A di depan motel, difoto oleh Little A
The Emak dan Little A berbasah-basah di danau Wanaka
Setelah menemani The Emak mewujudkan impiannya mengunjungi Milford Sound, kali ini giliran The Precils yang bersenang-senang di Wanaka.
Wanaka adalah kota di pinggir danau, 68 km di sebelah utara Queenstown. Wanaka dapat ditempuh sekitar 1 jam dari Queenstown melalui Cardrona, kota kecil di atas bukit. Untuk mengunjungi Wanaka, sebenarnya bisa day trip saja dari Queenstown, tanpa menginap. Tapi karena perjalanan kami dari Te Anau ke Wanaka, dan akan melanjutkan perjalanan ke Lake Tekapo, kami menginap semalam di Wanaka View Motel.
Perjalanan Te Anau - Wanaka
Setelah cek out dari Te Anau Lakeview Holiday Park, kami melanjutkan perjalanan ke Wanaka, dengan singgah dulu di Queenstown untuk makan siang. Rute Te Anau - Queenstown, yang bisa ditempuh dalam waktu 2 jam, sama persis dengan rute Queenstown - Te Anau. Ketika merencanakan perjalanan ini di Google Map, saya sempat bingung karena Peta Google tidak menyarankan saya melalui jalur yang sama dengan ketika berangkat dulu. Google memilihkan jalur lain melewati Cromwell dengan jarak tempuh 4 jam. Waktu itu saya khawatir jalur Queenstown ke Te Anau via Kingston tidak dapat dilalui arah sebaliknya. Tapi ternyata tidak masalah. Jalur yang sama dari arah sebaliknya tetap bisa dilalui. Jalanan juga cukup lebar dan mulus, dengan rambu lalu lintas yang jelas. Kami menempuh rute Te Anau - Queenstown via Kingston kira-kira dua setengah jam, melewati beberapa peternakan domba, sapi dan kuda, lautan bunga liar di tepi jalan, dan danau Wakatipu yang airnya beriak dihembus angin.
Kami singgah sebentar di Frankton (pinggir Queenstown) untuk makan siang di Bombay Palace. Restoran India ini masakannya lezat banget dan porsinya super besar. Saya dan Big A suka dengan Mango Chicken-nya, terenak yang pernah kami makan (memang jarang makan masakan India sih). Si Ayah puas dengan Nasi Biryani-nya. Saya pun hampir kekenyangan berusaha menghabiskan roti garlic naan yang dicelup saus Raita (saus dari yoghurt dan mentimun).
Dengan perut terisi, kami melanjutkan perjalanan ke Wanaka. Saya agak curiga ketika melihat di peta Google, rute ini 'hanya' 68 km, tapi waktu tempuhnya sampai 1 jam. Jangan-jangan jalannya tidak mulus dan berkelok-kelok? Ternyata benar, rute yang kami pilih ini melewati kota kecil di atas bukit, Cardrona, yang punya resor salju di musim dingin. Lepas dari Frankton, kami mulai melewati jalan berkelok menaiki bukit. Sampai di atas bukit, hadiah sudah menunggu: pemandangan spektakuler pinggiran kota Queenstown dan sekitarnya. Selanjutnya adalah perjalanan membelah bukit. Di kanan kiri kami tampak bukit dengan gerumbul hijau dan coklat. Pemandangan cukup membosankan, sampai kami melewati kota Cardrona. Di kota kecil ini, ada hotel bersejarah yang bangunannya cantik untuk difoto. Saya melihat foto-foto Cardrona Hotel ini di mana-mana, brosur, kartu pos, majalah, website lokal, dll. Sayangnya kami melewati hotel Cardrona yang bangunannya ternyata kecil sekali seperti kantor pos di kelurahan :p Si Ayah yang sudah capek menyetir males untuk balik lagi. Lagipula cuaca saat itu sangat panas dan kurang kondusif untuk jalan-jalan keluar mobil. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan sampai di tujuan pertama kami: Wanaka Puzzling World.
Devil's Staircase, dalam perjalanan Te Anau - Queenstown
Pemandangan dari atas bukit menuju Cardrona
Wanaka Puzzling World
Ketika mencari-cari aktivitas di Wanaka yang cocok untuk anak-anak, saya menemukan Wanaka Puzzling World ini. Sesuai namanya, tempat ini berisi teka-teki yang akan menggelitik akal kita. Saya sudah membayangkan Big A yang suka memecahkan misteri dan teka-teki pasti akan senang sekali dengan tempat ini. Terletak 2 km dari danau Wanaka, di pinggir jalan Luggate Highway 84, Puzzling World mudah sekali ditemukan. Halaman depan bangunan ini ditandai dengan Menara Miring Wanaka yang kemiringannya sampai 53 derajat.
Ketika masuk, kita akan disambut oleh meja-meja berisi pazel yang bebas dicoba. Kita tidak dipungut bayaran kalau sekadar duduk memainkan pazel-pazel ini, sambil makan minum dari menu kafe. Tapi rugi dong kalau sampai sini tidak mencoba atraksi utamanya, yaitu Great Maze atau Labirin Raksasa. Labirin sepanjang 1,5 km ini cukup menantang untuk semua umur.
Selain Labirin, Puzzling World juga mempunyai Ruang-Ruang Ilusi. Yang paling menarik dari ruang ilusi ini adalah Ames Room. Trik Ames Room ini digunakan untuk pembuatan film yang melibatkan manusia dengan raksasa atau manusia dengan Hobbit. Ketika dua orang masuk ke ruang ini dan menuju sudut yang berbeda, satu bisa menjadi raksasa dan satunya lagi menjadi Hobbit. Ruang-ruang ilusi lain yang bisa dikunjungi adalah pameran gambar hologram, Tilted House (menciptakan efek miring) dan Hall of Following Faces.
Menara Miring Wanaka
Raksasa Big A dan Hobbit Little A di Ames Room
Si Ayah mencoba Roman Style Toilet :p
Tiket masuk Great Maze dan Illusion Rooms adalah NZ$ 15 untuk dewasa, NZ$10 untuk anak-anak. Anak di bawah 5 tahun gratis :) Kalau hanya ingin mengunjungi salah satu, kita mendapat diskon 1-3 dolar.
Big A yang memimpin kami untuk memecahkan teka-teki labirin. Aturannya, kita harus mencapai empat menara (merah, hijau, biru dan kuning) dan kemudian mencari jalan kembali. Kami perlu waktu sekitar 1 jam untuk menyelesaikan tantangan ini. Kalau tidak ada Big A, rasanya saya tidak sanggup menyelesaikannya. Berulang kali saya berputar-putar di jalan yang sama, sampai akhirnya Big A berteriak, "C'mon, I found a way!" Kami harus berjalan di lorong-lorong kayu dan naik turun jembatan untuk mencapai masing-masing menara. Big A dan Little A berpose di tiap menara begitu mereka mencapainya. "Untuk bukti," kata Big A.
Setelah sukses menyelesaikan tantangan labirin, kami melihat-lihat toko suvenir di Puzzling World ini yang menjual banyak sekali jenis-jenis pazel. Seperti biasa, saya cukup membeli suvenir berupa kartu pos, seharga 50 sen per lembar :) Little A, mungkin sudah capek dan lapar, merengek-rengek minta dibelikan dua buku Sudoku (permainan angka). Saya tidak mengabulkan rengekannya dan hanya membelikan satu buku. Little A menangis keras dan mengamuk, dan tentu saja tidak mau difoto dengan latar belakang menara miring di halaman depan gedung. Setelah tangis Little A mereda, kami segera menuju motel untuk istirahat.
The Emak mencatat aturan main labirin
Wanaka Playground
Esok harinya, setelah cek out dari Wanaka View Motel, kami menghabiskan waktu dengan bermain-main di Wanaka Playground. Taman bermain yang terletak di tepi danau Wanaka ini mempunyai perosotan khas berbentuk dinosaurus. Pada awalnya Little A takut mencoba perosotan ini, tapi setelah mencoba sekali, dia tidak mau berhenti.
Selain main-main di taman bermain, kami juga nyemplung ke danau Wanaka yang airnya sedingin es. Saya menemani Little A yang ingin menyeberangi sungai kecil di ujung danau. Little A juga asyik bermain dengan bebek-bebek yang berenang dengan anggun di danau. Ketika kami bersenang-senang, tidak terasa dua jam sudah berlalu. Kami harus segera meninggalkan Wanaka karena parkir gratis di tepi danau maksimal 2 jam saja. Dengan ujung celana yang masih basah, saya dan keluarga melanjutkan perjalanan ke Lake Tekapo.
Banyak julukan yang diberikan untuk Milford Sound, antara lain "tempat yang harus dikunjungi sebelum mati", dan "keajaiban dunia ke-8" versi Rudyard Kipling. Tempat ini juga menjadi tujuan terfavorit dunia tahun 2008 versi Traveler's Choice - Trip Advisor. Dina, traveler blogger Indonesia yang 'pekerjaan'nya berkeliling dunia mengaku Milford Sound adalah tempat wisata favoritnya. "Keindahan alamnya luar biasa, membuatku kehilangan kata-kata dan menitikkan air mata," tulis Dina di blog-nya: Dua Ransel.
Kata "indah" tidak cukup untuk menggambarkan apa yang kita saksikan di Milford. Gabungan kata spektakuler, dramatis, megah, memesona dan memukau mungkin sedikit mewakili. Sejak awal, Milford Sound menjadi alasan pertama saya mengunjungi New Zealand. Ketika saya mulai mencari tahu tentang Milford dengan meng-google foto-foto, pesona tempat ini langsung menyita perhatian saya. Begitu kami menjejakkan kaki di sana, Milford sound tidak sekadar indah seperti di foto, tapi ada aura magis yang menyelimuti tempat ini. Dengan kosakata bahasa Indonesia yang terbatas, saya coba menggambarkan suasana di Milford sebagai tempat yang agung, akbar, sakral, kudus.
Menyaksikan kano-kano kecil yang terapung menyusuri fiord, di antara pegunungan tinggi (kurang lebih 1200 m) di kanan-kirinya, saya merasa betapa kecilnya manusia di antara alam raya ciptaan Tuhan ini.
Perjalanan Te Anau - Milford Sound
Milford Sound terletak di Pulau Selatan Selandia Baru, 120 km di sebelah utara Te Anau. Perjalanan dari Te Anau ke Milford Sound bisa ditempuh dalam waktu 2 jam dengan mobil. Tapi kalau ingin berhenti di beberapa gardu pandang atau tempat menarik sepanjang perjalanan, sediakan waktu kurang lebih 3 jam.
Kalau dilihat dari peta, kelihatannya Milford ini lebih dekat dengan Queenstown daripada Te Anau. Memang letak Milford sebenarnya di balik Glenorchy, kota kecil di sebelah utara Queenstown. Namun tidak ada jalan tembus karena lokasi tersebut adalah pegunungan batu. Yang hobi hiking (atau tramping, istilah Kiwi-nya) bisa berjalan kaki dari Glenorchy menuju Milford melalui trek Routeburn, 32 km, bisa ditempuh dalam 2-4 hari :) Beberapa operator tur menawarkan perjalanan sehari dengan bis untuk mengunjungi Milford dari Queenstown. Biasanya tur ini dilanjutkan dengan pesiar (cruise) menyusuri fiord, aktivitas 'wajib' di Milford. Dulu, saya sempat berpikir untuk ikut tur seperti ini, tapi begitu mengetahui panjang tur-nya 13 jam bolak-balik, dari pagi sampai malam, saya mengurungkan niat. Untuk keluarga yang ingin mengajak anak-anak ke Milford Sound, saya sarankan bermalam di Te Anau agar perjalanan tidak terlalu panjang dan melelahkan.
Yang hanya punya waktu sedikit, tapi punya uang banyak, bisa ikut tur Queenstown - Milford Sound dengan pesawat terbang kecil. Cek pilihan dan tarif tur di sini.
Kami sudah memesan pesiar Milford begitu tiba di Queenstown, melalui kios booking di ujung Queenstown Mal. Ada beberapa operator pesiar, antara lain Mitre Peak Cruises, Southern Discoveries, Cruize Milford dan Real Journeys. Kami memilih yang terakhir karena operator ini yang paling tua, terpercaya dan menjadi perintis tur di Milford. Pertimbangan lain, Real Journeys menggunakan kapal besar, yang lebih stabil ketika mengarungi fiord sehingga foto-foto yang kita ambil tidak goyang (semoga!). Kami memilih jadwal pesiar di pagi hari (jam 10.30) dengan harapan kapal tidak terlalu ramai, dan juga karena harganya sedikit lebih murah daripada pesiar di siang hari (jam 12.30, 13.35). Biasanya turis yang datang dengan bis turis dari Queenstown akan ikut tur siang ini. Tarif tur kami NZD 85 untuk dewasa, NZD 22 untuk anak-anak, dan gratis untuk Little A (yipee!).
Karena harus tiba di Milford sebelum jam 10.30, kami berangkat pagi-pagi dari penginapan kami di Te Anau, sekitar jam 7.30. Waktu itu The Precils belum bangun, langsung saja saya angkut ke mobil. Perjalanan kami dimulai dengan menyusuri danau Te Anau sepanjang 30 km ke arah utara. Kabut-kabut tipis yang menyelimuti gunung di depan kami belum hilang, membuat suasana sedikit mistis. Pemandangan danau menghilang, berganti dengan perjalanan menembus hutan. Kemudian kami dikejutkan dengan pemandangan padang luas penuh dengan alang-alang kuning dan bunga-bunga liar setinggi lutut dan gunung megah yang berdiri tepat menghalangi jalan di depan kami. Ini membuat Si Ayah menepikan mobil dan mulai memotret. Tepat di depan kami parkir, ada dua pengendara sepeda motor yang tampak sibuk memotret. Mereka juga memasang kamera video di helm mereka.
Di tengah-tengah perjalanan Te Anau ke Milford Sound, terdapat danau kecil dengan nama Mirror Lake. Danau berair tenang ini bisa digunakan untuk bercermin. Saya tidak turun ke danau ini karena menjaga The Precils yang masih tidur di mobil. Perjalanan kami lanjutkan setelah Si Ayah puas memotret. Sebenarnya ada beberapa perhentian untuk mengambil foto, namun karena saya takut kami telat sampai di dermaga, lookout tersebut kami lewati dan akan kami kunjungi di perjalanan kembali nanti. Beberapa kilometer sebelum Homer Tunnel, kami berhenti karena melihat pemandangan menakjubkan: puncak gunung berselimut salju dan sungai kecil dengan air bening. Ternyata di sini, kami mendapatkan bonus pengalaman istimewa. Kami disambut oleh Kea, burung khas New Zealand yang berbulu hijau. Saya pernah membaca bahwa Kea ini suka sekali memakan sepatu, karet, sepeda dan lain-lain. Kali ini yang menjadi incaran Kea adalah karet jendela mobil kami. Beberapa kali Kea mematuk karet tersebut, sebelum akhirnya Si Ayah mengusirnya. Sepasang pejalan yang mengendarai campervan, yang ikut menyaksikan peristiwa ini tertawa-tawa. Saya juga ikut tertawa karena mobil sewaan ini sudah dilindungi asuransi :D Sementara itu Big A yang sudah bangun terlihat cemas karena burung Kea ini tidak mau pergi dan malah nongkrong di atap mobil kami.
Sukses mengusir si Kea, kami melanjutkan perjalanan dan sampai di mulut Homer Tunnel, sekitar 20 km sebelum Milford Sound. Terowongan sepanjang 1,2 km menembus pegunungan Alpen Selatan. Di dalam terowongan hanya ada satu jalur, sehingga kendaraan yang lewat harus bergantian dari arah Milford maupun Te Anau. Kadang ketika jalanan ramai, antrian menuju terowongan ini lumayan panjang. Untungnya kami hanya menunggu sekitar 7 menit sebelum masuk terowongan. Perjalanan menembus gunung ini sangat mengesankan bagi saya. Begitu melewati terowongan, kami disambut dengan gunung megah di kanan kiri, yang di badannya mengalir puluhan air terjun dari salju yang meleleh.
Mirror Lake
Kea, burung khas New Zealand yang memakan jendela mobil kami
Mulut Homer Tunnel
Berpesiar Menyusuri Fiord
Berpesiar menyusuri fiord (cruise) adalah aktivitas 'wajib' begitu kita sampai di Milford Sound. Sebenarnya, selain dengan naik kapal, kita juga bisa menyusuri fiord dengan naik kayak/kano. Tapi usia minimal untuk kayaking adalah 16 tahun. Jadi pesiar adalah pilihan bijaksana untuk keluarga yang ingin menikmati keindahan Milford Sound.
Di dekat dermaga Milford, ada tempat parkir mobil yang disediakan gratis untuk pengunjung. Dari tempat parkir mobil, kami harus berjalan kurang lebih 15 menit menuju dermaga, tempat kapal kami menunggu. Kapal kami, Milford Mariner berangkat tepat waktu. Kru yang ramah menyilakan kami mencari tempat duduk yang nyaman di dalam. Di dalam kapal disediakan kopi dan teh gratis. Makanan kecil bisa dibeli di kafe, sementara makan siang harus pesan terlebih dahulu.
Kapal yang kami tumpangi lumayan besar sehingga cukup stabil ketika berlayar. Ada dua level deck untuk melihat-lihat pemandangan. Satu deck yang selevel dengan kursi kami di dalam kapal dan deck terbuka di level atas. Kami ikut Nature Cruise dengan lama pelayaran sekitar dua setengah jam. Ada pilihan pesiar lain dengan durasi 1 jam 40 menit, dan lebih murah yaitu Scenic Cruise. Bedanya, Nature Cruise ini mengarungi fiord sampai ke laut Tasman dan kembali lagi ke dermaga. Scenic Cruise sekadar melihat-lihat fiord dan balik lagi sebelum mencapai laut lepas. Pemandu di Nature Cruise ini juga menceritakan tentang flora dan fauna yang ada di Milford Sound.
Baru 10 menit kami berpesiar, kawanan lumba-lumba menyambut kedatangan kami. Dari atas kapal kami bisa melihat dengan jelas mereka berenang berkelompok. Seekor lumba-lumba bahkan memamerkan keahliannya melompat. Sayangnya, kecanggihan kamera Si Ayah tidak bisa menangkap momen ini :p Little A yang saya gendong di deck takjub melihat dolphin di habitat aslinya ini. Saya juga seakan tidak percaya berada di Milford memandang kawanan dolphin yang bermain-main. Di Sydney banyak ditawarkan tur untuk melihat lumba-lumba, tapi tidak ada jaminan bisa melihat mereka dengan jelas, dan harga tur-nya juga tidak murah.
Selain lumba-lumba, kami juga bisa melihat anjing laut (seal) di habitat aslinya dari dekat. Ketika terlihat sekelompok anjing laut rebahan di karang, kapal kami mendekat dan memberi kesempatan pada kami untuk memotret sepuasnya. Sampai sekarang, Little A masih ingat anjing laut ini kira-kira berusia 3 tahun, sama seperti dirinya :) Kata pemandu tur ini, biasanya di pesiar kita juga bisa menjumpai penguin. Tapi mereka akan hilang bermigrasi ke arah selatan ketika musim panas tiba.
Vegetasi yang tumbuh di kawasan Milford ini terutama dari golongan paku-pakuan (fern) atau nama latinnya Pteridophyta. Simbol New Zealand yang banyak dicetak di berbagai suvenir adalah silver fern. Pemandu tur juga menunjukkan kepada kami fern tree yang banyak tumbuh di teluk-teluk kecil sepanjang fiord. Kalau di Indonesia mungkin mirip tanaman Pakis Haji.
The Precils, selain tertarik dengan lumba-lumba dan anjing laut, juga senang melihat air terjun yang jatuh dari batu karang. Ada beberapa air terjun di Milford, di antaranya yang paling terkenal adalah air terjun Fairy, Stirling dan Lady Bowen. Ketika kami mengikuti pesiar ini, cuaca cerah, matahari bersinar terik. Kami beruntung mendapati cuaca cerah yang jarang terjadi di Milford. Tapi bagi mereka yang mendapatkan hujan ketika berpesiar, akan mendapatkan bonus air terjun yang airnya melimpah. Kapal kami mendekat begitu air terjun ini mulai kelihatan. Di air terjun Stirling, kapal hampir menempel di bibir karang sehingga kami bisa merasakan butir-butir air membasuh tubuh kami. Pemandu tur mengatakan bahwa air terjun Stirling ini berkhasiat membuat kita tampak lebih muda. Tapi mungkin dia cuma bercanda :)
Lumba-lumba menyambut kedatangan kami :)
Anjing Laut yang leyeh-leyeh di batu karang
Salah satu air terjun di Milford Sound
Di awal pesiar, Little A dan Big A tampak belum benar-benar terjaga, mata mereka masih menahan kantuk. Little A sempat muntah sedikit di dalam mobil ketika kami baru akan sampai Milford Sound. Mereka juga masih lemas karena belum sarapan. Saya sudah menyiapkan beberapa roti tangkup, camilan, dan buah-buahan untuk perjalanan ini, tapi tampaknya The Precils kurang berselera. Big A mau makan setelah saya belikan muffin coklat di kafe. Sementara Little A mau makan buah sedikit-sedikit. Setelah anak-anak kenyang, baru mereka bisa tertawa-tawa dan menikmati perjalanan. Ketika mood Little A membaik, dia meminjam kamera Kakaknya dan mulai memotret.
Pesiar pagi mungkin tidak cocok untuk mereka yang tidak bisa bangun pagi. Selama di New Zealand, The Precils tidak bisa bangun pagi, tubuh mereka tidak mau menyesuaikan dengan waktu Selandia Baru yang 2 jam lebih awal. Jadi kalau di Sydney mereka bangun jam 7, di New Zealand mereka bangunnya jam 9. Tips untuk yang ikut pesiar pagi dengan anak-anak, usahakan mereka makan sesuatu sebelum perjalanan agar tidak pusing dan mabuk laut.
Little A memotret Ayahnya (baju oranye) dari dalam kapal
Little A memotret The Emak dan Big A di dalam kapal.
Di sepanjang pesiar, kami mendapati beberapa kelompok orang yang menyusuri fiord dengan kayak. Tampaknya asyik sekali naik kayak ini, bisa menikmati fiord lebih dekat lagi. Mereka bisa singgah dan beristirahat di teluk-teluk yang ada di sepanjang fiord. Salah satu teluk yang terkenal adalah Anita Bay, yang sering dikunjungi orang-orang Maori untuk mencari takiwai (salah satu jenis batu hijau). Selain berpapasan dengan kayak, kami juga berpapasan dengan kapal-kapal lainnya, yang dari jauh tampak kecil sekali dibandingan pegunungan di kanan kiri kami.
Fiord adalah lembah yang terbentuk oleh aktivitas glasial yang kemudian dipenuhi oleh air laut. Lembah ini bisa sangat dalam, melebihi kedalaman lautan. Di New Zealand, fiord juga dikenal dengan nama 'sound'. Panjang Milford Sound sekitar 15 km dari laut Tasman. Di ujung fiord dekat laut Tasman terdapat mercu suar St Anne yang membantu navigasi para pelaut. Dari laut lepas, 'pintu masuk' fiord ini tidak begitu kelihatan sehingga bertahun-tahun fiord ini diabaikan oleh para pelaut.
Dalam perjalanan kembali dari laut lepas, saya bisa lebih menikmati pesiar ini. The Precils sudah mulai gembira dan bermain berdua di dalam kapal. Saya dan Si Ayah bisa pacaran sebentar di dek sambil tak bosan-bosan mengagumi megahnya fiord ini. Empat hari kemudian, ketika kami bangun di sebuah motel di Christchurch, pada hari ulang tahun saya, Si Ayah meminta maaf tidak bisa memberi saya hadiah ultah. Saya langsung teringat momen ini. Bagi saya, perjalanan ke Milford Sound ini sudah lebih dari cukup sebagai hadiah ulang tahun. Pengalaman ini merupakan hadiah ultah terbaik yang pernah saya terima :)
Kapal yang tampak seperti titik, menyusuri fiord di Milford Sound
Tumben Big A mau berpose untuk Little A. Mitre Peak sebagai background.
Kafe Blue Duck di dekat tempat parkir
Di akhir pesiar, kami ditawari paket foto berisi foto kami sekeluarga yang diambil sebelum kapal berangkat, gantungan kunci yang bisa diisi foto kami versi kecil, dua kartupos dari foto kami dan CD berisi foto-foto pemandangan Milford Sound. Harganya lumayan mahal, NZD 30. Tapi karena Little A sudah senang memegang paket tersebut, dan saya dalam hati juga ingin kenang-kenangan dari Milford Sound, akhirnya Si Ayah merelakan uangnya :) Kami mengirim dua kartu pos tersebut ke Opa/Oma dan Uti/Kakung di Indonesia.
Kami yang sudah kelaparan segera menuju kafe yang letaknya di sebelah tempat parkir. Harga makanan di kafe ini cukup masuk akal. Kami memesan pie Mrs Mac, pasta dan wedges (kentang goreng). Air minum disediakan gratis, tinggal mengambil dari keran. Ini adalah air putih tersegar yang pernah saya minum seumur hidup. Sampai sekarang saya masih ingat kesegarannya :)
Begitu kenyang, kami bisa jalan-jalan sebentar di dekat tempat parkir sambil mengagumi Mitre Peak yang berdiri megah. Saya sebenarnya ingin mempunyai foto keluarga di spektakuler ini, tapi sayangnya Little A ngambek tidak mau difoto. Akhirnya kami meninggalkan Milford menuju Te Anau. Dalam perjalanan pulang, anak-anak bisa tidur di mobil. Kami berhenti di tiga look out (gardu pandang). Salah satunya adalah di pinggir sungai yang airnya begitu bening hingga nampak batu-batu di bawahnya. Di sungai ini kami bertemu dengan Ibu dari Perancis, pengendara sedan merah yang berpapasan dengan kami di Glenorchy. Tak lupa saya berpesan agar dia mengunjungi Indonesia suatu saat nanti. Air sungai yang jernih mengundang saya untuk mencicipinya. Di buku panduan, tidak ada garansi bahwa air sungai di New Zealand aman untuk langsung diminum. Tapi kata pemandu berkuda di Glenorchy, dia sering minum dari air sungai dan tidak pernah sakit perut. Kata-katanya terbukti benar, saya ambil air sungai ini untuk mengisi ulang botol minum, yang saya habiskan dalam sehari. Untuk yang gampang sakit perut, jangan ditiru ya :p
Kira-kira setengah jam sebelum Te Anau, kami dibuat takjub dengan pemandangan gerumbul kuning di sepanjang jalan. Si Ayah, yang insting fotografinya keluar, segera menepikan mobil dan mengambil beberapa foto yang lumayan dramatis untuk kelas fotografer amatir :) Foto-foto ini menjadi suvenir utama kami dari pengalaman jalan-jalan ke Milford Sound.