Senin, 10 September 2018

Kembali Ke Fitrah, Kembali Menjalankan Pedoman Agama

Kembali Ke Fitrah, Kembali Menjalankan Pedoman Agama

Dalam suasana Syawal masih relevan kiranya kita bahas wacana fitrah. Bagaimana kaitannya dengan kembali kepada fitrah (idul Fithri)?. Kita kaji Firman Allah Surah Al-Rum ayat 30

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui. (Q.S. al-Rum/ 30: 30)
Ayat ini merupakan perintah kepada Nabi Muhammad dan juga kepada kita umat beliau untuk menghadapkan wajah, dalam artian diri dan segenap jiwa raga kita, kepada al-Din dalam keadaan lurus. Menghadapkan segenap jiwa raga itu dihentikan tidak lurus. Harus benar-benar lurus keseluruhannya. Seumpama kita bangun di hadapan seseorang di arah barat, maka dihentikan menghadapkan kepala ke barat kemudian dada menghadap ke utara atau sebaliknya. Maka dihentikan dalam keadaan menghadap kepada al-Din ini, dalam dikala yang bersamaan juga menghadap ke hal lain selain al-Din ini. Oleh kesannya diperintahkan menghadapkan dan mengarahkan semua perhatian dengan lurus kepada agama yang disyariatkan. Artinya menghadap secara totalitas.

Selanjutnya Allah memerintahkan kita untuk tetap mempertahankan fitrah Allah yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. Dalam potongan ayat ini ditemukan kata fithrah. Ibnu Manzhur, dalam kamus Lisanul Arab menyebutkan kata fitrah berarti sesuatu pengetahuan wacana Tuhan yang diciptakan oleh Allah bagi manusia. Ia berasal dari kata fathara yang berarti penciptaan awal yang belum ada pola sebelumnya. Di antaranya firman Allah dalam surat Fathir ayat 1 menyebutkan الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ  (segala puji bagi Allah sebagai pencipta lagit dan bumi). Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa ia tidak mengetahui makna fathir al-samawati wa al-ardhi sampai pada suatu hari melihat dua orang arab bertengkar wacana kepemilikan sumur. Salah seorang dari mereka menyebutkan ana fathartuha (saya yang pertama membuatnya). 

Poin yang ingin saya sampaikan dari pernyataan Ibnu Manzhur ini ialah bahwa fithrah ialah sesuatu yang sengaja diciptakan oleh Allah kemudian diberikan kepada insan sebagai bekal bagi insan untuk hingga mengenal Allah atau untuk bertauhid. Sejalan dengan pendapat di atas, Al-Raghib al-Ashfahaniy dalam kitab ­Mufradat-nya menyebutkan bahwa fitrah ialah pengetahuan keimanan yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia. Sampai di sini kita pahami bahwa fitrah (fithrah) adalah potensi dasar yang diberikan oleh Allah bagi setiap insan untuk bertauhid dan mengenal agama dengan baik.

Lalu Allah sebutkan tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Fitrah itu tetap ada bagi setiap manusia. Fitrah yang Allah berikan itu tidak akan berubah. Quraish Shihab menyebutkan bahwa sekelas Firaun yang mengaku sebagai ilahi sekalipun di selesai hayatnya memunculkan akreditasi yang terlambat dengan menyampaikan “aku beriman dengan Tuhannya Musa dan Harun”. Pengakuan itu berdasarkan Quraish Shihab ialah fitrah beragama yang tetap itu.

Lalu muncul pertanyaan bagaimana dengan orang yang ternyata kini kita temukan tidak beragama dengan agama yang lurus? Nabi sebutkan dalam hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah sebagaimana dikutip al-Suyuthi:

وأخرج البخاري ومسلم وابن المنذر وابن أبي حاتم وابن مردويه عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم " ما من مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء ؟ " ثم يقول أبو هريرة رضي الله عنه : اقرأوا ان شئتم فطرة الله التي فطر عليها لا تبديل لخلق الله لذلك الدين القيم
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Ibn Munzhir, Ibn Hatim dan Ibn Mardawaih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak satupun bayi yang terlahir ke dunia ini kecuali atas dasar fitrah. Lalu kedua orang tuanya yang menjadikannya menganut agama yahudi, nashrani atau majusi. Seperti halnya hewan yang lahir sempurna. Apakah kau menemukan ada anggota badannya yang terpotong, kecuali kalau kau yang memotongnya?.” Kemudian Abu Hurairah berkata: bacalah fithratallahi (ayat 30 surat al-Rum).

Dalam hadis ini disebutkan bahwa tidak satu pun bayi yang terlahir ke dunia ini kecuali atas dasar fitrah. Lalu kedua orang tuanya, dalam hal ini sebagai lingkungan terdekat bagi seorang bayi, yang menjadikannya menganut agama Yahudi, Kristen atau Majusi. Orang bau tanah ialah lingkungan pertama yang mengakibatkan anak sanggup menjauhi fitrahnya. Tidak hanya orang tua. Lingkungan, sekolah, kawan, bahkan masyarakat juga besar lengan berkuasa dalam membuat anak akan tetap pada fitrahnya atau menjauhi fitrahnya.

Melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa adanya fitrah keagamaan yang perlu dipertahankan oleh manusia. Bukankah awal ayat ini merupakan perintah untuk mempertahankan dan meningkatkan apa yang selama ini telah dilakukan oleh Rasul Saw., yakni menghadapkan wajah ke agama yang benar? Bukankah itu yang dinamai oleh ayat ini sebagai fitrah? Bukankah itu yang ditunjukkannya sebagai agama yang benar? Jika demikian, ayat ini berbicara wacana fitrah keagamaan.

Ayat di atas mempersamakan antara fitrah dengan agama yang benar, sebagaimana dipahami dari lanjutan ayat yang menyatakan “itulah agama yang lurus”. Jika pernyataan ini dikaitkan dengan pernyataan sebelumnya  bahwa Alllah yang telah membuat insan atas fitrah itu, ini berarti bahwa agama yang benar atau agama Islam ialah agama yang sesuai dengan fitrah itu. Juga dipahami bahwa fitrah beragama akan membawa insan kepada agama yang lurus. Ketika ada orang yang tidak beragama sesuai dengan agama yang lurus (al-Din al-Qayyim), itu alasannya ialah ia telah lari menghindar dari fitrahnya. Sebagaimana disebutkan oleh hadis di atas.

Sebagai bukti bahwa adanya fitrah beragama atau fitrah ketauhidan yang diberikan kepada insan ialah dengan adanya kesaksian insan pada dikala sebelum ia dilahirkan ke atas bumi ini. Kesaksian itu ialah menyatakan bahwa Allah sebagai rabb (Tuhan). Bagi kita umat Islam, warta wacana “perjanjian” kesaksian kita dengan Allah itu diinformasikan Allah dalam Surah al-A’raf ayat 172

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan belum dewasa Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) semoga di hari selesai zaman kau tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) ialah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Q.S. al-A'raf/ 7: 172)

Terkait klarifikasi ayat ini kita bahas pada pertemuan yang lain In Sya’a Allah.

Lalu Bagaimana Kaitan Fitrah Dengan Idul Fitri?

Idul fitri ialah hari kemenangan alasannya ialah kita telah mengisi siang dan malam hari Ramadhan dengan puasa dan ibadah sunnah lainnya dengan keyakinan dan ikhlas. Sebagai ganjarannya, Allah ampuni dosa kita yang telah berlalu. Itulah kemenangan yang kita rayakan dengan bertakbir membesarkan Allah, bertahlil mengesakan Allah serta bertahmid memuji Allah.

Idul Fitri atau kembali fitrah idealnya juga ialah kita kembali kepada fitrah bertauhid kita, fitrah kita beragama dan menjalankan aliran agama. Idul fitri ialah kembali menjalankan aliran agama. Idul fitri bukanlah kita yang telah menjalankan aliran agama selama bulan Ramadhan, kemudian kita lupakan aliran itu selepas Ramadhan. Baru akan kembali melakukan aliran agama pada bulan Ramadhan yang akan datang. Ini sejatinya bukanlah Idul Fitri.

Karena fitrah ialah potensi dasar yang diberikan oleh Allah bagi setiap insan untuk bertauhid dan mengenal agama dan selanjutnya sanggup menjalankan agama dengan baik, maka kembali kepada fitrah tentunya kembali melakukan ibadah wajib dan sunnah yang sudah dilaksanakan di bulan Ramadhan. Orang yang telah beridul Fitri tentunya kembali shalat ke masjid, kembali mengaji, berinfak dan berderma, kembali mengikuti pengajian, kembali berpuasa dengan puasa sunnah. Pendek kata, orang yang telah beridul fitri ialah orang yang kembali menegakkan agama dalam dirinya. Bukan malah meninggalkan agama, apalagi malah kembali ke kubangan dosa dan maksiat lagi. Tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui. Bunyi ujung ayat 30 surah al-Rum ini.

Hadanallahu wa iyyakum. Billahi taufiq walhidayah, warridho walinayah.  

___
Disampaikan pertama kali untuk pengajian subuh di Masjid Taqwa Muhammadiyah Aceh Tengah pada hari Kamis tanggal 14 Syawal 1439 H/ 28 Juni 2018 M
Kembali Ke Fitrah, Kembali Menjalankan Pedoman Agama

Kembali Ke Fitrah, Kembali Menjalankan Pedoman Agama

Dalam suasana Syawal masih relevan kiranya kita bahas wacana fitrah. Bagaimana kaitannya dengan kembali kepada fitrah (idul Fithri)?. Kita kaji Firman Allah Surah Al-Rum ayat 30

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui. (Q.S. al-Rum/ 30: 30)
Ayat ini merupakan perintah kepada Nabi Muhammad dan juga kepada kita umat beliau untuk menghadapkan wajah, dalam artian diri dan segenap jiwa raga kita, kepada al-Din dalam keadaan lurus. Menghadapkan segenap jiwa raga itu dihentikan tidak lurus. Harus benar-benar lurus keseluruhannya. Seumpama kita bangun di hadapan seseorang di arah barat, maka dihentikan menghadapkan kepala ke barat kemudian dada menghadap ke utara atau sebaliknya. Maka dihentikan dalam keadaan menghadap kepada al-Din ini, dalam dikala yang bersamaan juga menghadap ke hal lain selain al-Din ini. Oleh kesannya diperintahkan menghadapkan dan mengarahkan semua perhatian dengan lurus kepada agama yang disyariatkan. Artinya menghadap secara totalitas.

Selanjutnya Allah memerintahkan kita untuk tetap mempertahankan fitrah Allah yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. Dalam potongan ayat ini ditemukan kata fithrah. Ibnu Manzhur, dalam kamus Lisanul Arab menyebutkan kata fitrah berarti sesuatu pengetahuan wacana Tuhan yang diciptakan oleh Allah bagi manusia. Ia berasal dari kata fathara yang berarti penciptaan awal yang belum ada pola sebelumnya. Di antaranya firman Allah dalam surat Fathir ayat 1 menyebutkan الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ  (segala puji bagi Allah sebagai pencipta lagit dan bumi). Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa ia tidak mengetahui makna fathir al-samawati wa al-ardhi sampai pada suatu hari melihat dua orang arab bertengkar wacana kepemilikan sumur. Salah seorang dari mereka menyebutkan ana fathartuha (saya yang pertama membuatnya). 

Poin yang ingin saya sampaikan dari pernyataan Ibnu Manzhur ini ialah bahwa fithrah ialah sesuatu yang sengaja diciptakan oleh Allah kemudian diberikan kepada insan sebagai bekal bagi insan untuk hingga mengenal Allah atau untuk bertauhid. Sejalan dengan pendapat di atas, Al-Raghib al-Ashfahaniy dalam kitab ­Mufradat-nya menyebutkan bahwa fitrah ialah pengetahuan keimanan yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia. Sampai di sini kita pahami bahwa fitrah (fithrah) adalah potensi dasar yang diberikan oleh Allah bagi setiap insan untuk bertauhid dan mengenal agama dengan baik.

Lalu Allah sebutkan tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Fitrah itu tetap ada bagi setiap manusia. Fitrah yang Allah berikan itu tidak akan berubah. Quraish Shihab menyebutkan bahwa sekelas Firaun yang mengaku sebagai ilahi sekalipun di selesai hayatnya memunculkan akreditasi yang terlambat dengan menyampaikan “aku beriman dengan Tuhannya Musa dan Harun”. Pengakuan itu berdasarkan Quraish Shihab ialah fitrah beragama yang tetap itu.

Lalu muncul pertanyaan bagaimana dengan orang yang ternyata kini kita temukan tidak beragama dengan agama yang lurus? Nabi sebutkan dalam hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah sebagaimana dikutip al-Suyuthi:

وأخرج البخاري ومسلم وابن المنذر وابن أبي حاتم وابن مردويه عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم " ما من مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء ؟ " ثم يقول أبو هريرة رضي الله عنه : اقرأوا ان شئتم فطرة الله التي فطر عليها لا تبديل لخلق الله لذلك الدين القيم
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Ibn Munzhir, Ibn Hatim dan Ibn Mardawaih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak satupun bayi yang terlahir ke dunia ini kecuali atas dasar fitrah. Lalu kedua orang tuanya yang menjadikannya menganut agama yahudi, nashrani atau majusi. Seperti halnya hewan yang lahir sempurna. Apakah kau menemukan ada anggota badannya yang terpotong, kecuali kalau kau yang memotongnya?.” Kemudian Abu Hurairah berkata: bacalah fithratallahi (ayat 30 surat al-Rum).

Dalam hadis ini disebutkan bahwa tidak satu pun bayi yang terlahir ke dunia ini kecuali atas dasar fitrah. Lalu kedua orang tuanya, dalam hal ini sebagai lingkungan terdekat bagi seorang bayi, yang menjadikannya menganut agama Yahudi, Kristen atau Majusi. Orang bau tanah ialah lingkungan pertama yang mengakibatkan anak sanggup menjauhi fitrahnya. Tidak hanya orang tua. Lingkungan, sekolah, kawan, bahkan masyarakat juga besar lengan berkuasa dalam membuat anak akan tetap pada fitrahnya atau menjauhi fitrahnya.

Melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa adanya fitrah keagamaan yang perlu dipertahankan oleh manusia. Bukankah awal ayat ini merupakan perintah untuk mempertahankan dan meningkatkan apa yang selama ini telah dilakukan oleh Rasul Saw., yakni menghadapkan wajah ke agama yang benar? Bukankah itu yang dinamai oleh ayat ini sebagai fitrah? Bukankah itu yang ditunjukkannya sebagai agama yang benar? Jika demikian, ayat ini berbicara wacana fitrah keagamaan.

Ayat di atas mempersamakan antara fitrah dengan agama yang benar, sebagaimana dipahami dari lanjutan ayat yang menyatakan “itulah agama yang lurus”. Jika pernyataan ini dikaitkan dengan pernyataan sebelumnya  bahwa Alllah yang telah membuat insan atas fitrah itu, ini berarti bahwa agama yang benar atau agama Islam ialah agama yang sesuai dengan fitrah itu. Juga dipahami bahwa fitrah beragama akan membawa insan kepada agama yang lurus. Ketika ada orang yang tidak beragama sesuai dengan agama yang lurus (al-Din al-Qayyim), itu alasannya ialah ia telah lari menghindar dari fitrahnya. Sebagaimana disebutkan oleh hadis di atas.

Sebagai bukti bahwa adanya fitrah beragama atau fitrah ketauhidan yang diberikan kepada insan ialah dengan adanya kesaksian insan pada dikala sebelum ia dilahirkan ke atas bumi ini. Kesaksian itu ialah menyatakan bahwa Allah sebagai rabb (Tuhan). Bagi kita umat Islam, warta wacana “perjanjian” kesaksian kita dengan Allah itu diinformasikan Allah dalam Surah al-A’raf ayat 172

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan belum dewasa Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) semoga di hari selesai zaman kau tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) ialah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Q.S. al-A'raf/ 7: 172)

Terkait klarifikasi ayat ini kita bahas pada pertemuan yang lain In Sya’a Allah.

Lalu Bagaimana Kaitan Fitrah Dengan Idul Fitri?

Idul fitri ialah hari kemenangan alasannya ialah kita telah mengisi siang dan malam hari Ramadhan dengan puasa dan ibadah sunnah lainnya dengan keyakinan dan ikhlas. Sebagai ganjarannya, Allah ampuni dosa kita yang telah berlalu. Itulah kemenangan yang kita rayakan dengan bertakbir membesarkan Allah, bertahlil mengesakan Allah serta bertahmid memuji Allah.

Idul Fitri atau kembali fitrah idealnya juga ialah kita kembali kepada fitrah bertauhid kita, fitrah kita beragama dan menjalankan aliran agama. Idul fitri ialah kembali menjalankan aliran agama. Idul fitri bukanlah kita yang telah menjalankan aliran agama selama bulan Ramadhan, kemudian kita lupakan aliran itu selepas Ramadhan. Baru akan kembali melakukan aliran agama pada bulan Ramadhan yang akan datang. Ini sejatinya bukanlah Idul Fitri.

Karena fitrah ialah potensi dasar yang diberikan oleh Allah bagi setiap insan untuk bertauhid dan mengenal agama dan selanjutnya sanggup menjalankan agama dengan baik, maka kembali kepada fitrah tentunya kembali melakukan ibadah wajib dan sunnah yang sudah dilaksanakan di bulan Ramadhan. Orang yang telah beridul Fitri tentunya kembali shalat ke masjid, kembali mengaji, berinfak dan berderma, kembali mengikuti pengajian, kembali berpuasa dengan puasa sunnah. Pendek kata, orang yang telah beridul fitri ialah orang yang kembali menegakkan agama dalam dirinya. Bukan malah meninggalkan agama, apalagi malah kembali ke kubangan dosa dan maksiat lagi. Tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui. Bunyi ujung ayat 30 surah al-Rum ini.

Hadanallahu wa iyyakum. Billahi taufiq walhidayah, warridho walinayah.  

___
Disampaikan pertama kali untuk pengajian subuh di Masjid Taqwa Muhammadiyah Aceh Tengah pada hari Kamis tanggal 14 Syawal 1439 H/ 28 Juni 2018 M

Minggu, 09 September 2018

Memilih Fujur Atau Taqwa

Memilih Fujur Atau Taqwa

Minggu kemudian kita sudah membahas perihal insan yang diciptakan oleh Allah dengan fitrah dalam surah al-Rum ayat 30. Fitrah kita pahami sebagai pengetahuan keimanan atau potensi tauhid yang Allah ciptakan bagi setiap manusia. Dengan potensi fitrah itu kita menjadi beragama dengan agama yang benar, berakidah dengan iman yang benar. Fitrah itu tetap ada pada setiap manusia, beliau tidak berubah. Hanya saja insan bisa dipengaruhi oleh unsur di luar dirinya untuk menjauhi fitrah itu.
Kita sampaikan hadis bahwa setiap insan lahir ke dunia dengan fitrah yang sama, yaitu fitrah bertauhid. Namun, lingkungan dan faktor dari luarlah yang menimbulkan beliau tidak sejalan dengan fitrahnya. Dalam surah al-A’raf ayat 172 juga diinformasikan bahwa dikala kita belum terlahir ke dunia, kita telah bersaksi bahwa benar Allah Tuhan Kita. Kesaksian itu juga ialah bukti adanya fitrah bertauhid yang ada pada setiap manusia.
Pada pertemuan kali ini kita lanjutkan pembahasan perihal bagaimana insan melanjutkan kehidupannya setealah terlahir ke dunia. Sebelumnya insan telah bersyahadat mentauhidkan Allah sebagaimana dalam surah al-A'raf ayat 172. Kita lanjutkan kajian dengan membahas Firman Allah dalam surat al-Syams ayat 7-10
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا(7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا(8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا(9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا(10
Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sebetulnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sebetulnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. al-Syams/ 91: 7-10)
Pada ayat pertama hingga ayat keenam surah al-Syams ini Allah bersumpah dengan matahari, bulan, siang, malam, langit dan bumi serta atribut yang menempel padanya. Matahari dengan sinarnya di waktu duha, bulan yang berputar mengelilingi matahari, siang yang terang alasannya ada matahari, malam yang gelap alasannya sinar matahari tertutup di pecahan belahan bumi yang lain, langit yang tanpa tiang ini, bumi yang luas tak bertepi ini. Enam hal yang disebut Allah itu berpasangan satu sama lainnya. Matahari dan bulan, siang dan malam, langit dan bumi.
Maka pada ayat ketujuh ini Allah bersumpah dengan diri insan dan penyempurnaan penciptaannya. Jika dibandingkan antara insan dengan makhluk lain yang disebutkan pada ayat pertama hingga keenam di atas, maka sanggup dikatakan bahwa insan ialah makhluk yang kecil. Akan tetapi, ada hal lain yang diberikan oleh Allah kepada insan yang tidak diberikan kepada enam makhluk besar di atas. Pada ayat kedelapan disebutkan bahwa insan di-ilham-kan oleh Allah fujur dan taqwa. Sementara enam makhluk sebelumnya tidak diberi hal yang sama  oleh Allah.
Jika dicermati ayat ini akan ditemukan bahwa diri insan diberi sebuah potensi oleh Allah. Potensi itu tidak diberikan kepada makhluk lain selain manusia. Bahkan, potensi itu tidak diberikan kepada makhluk sebesar matahari, bulan, siang, malam, langit ataupun bumi.
Potensi yang dimaksud dalam bahasa ayat ini ialah ilham. Hamka memahami inspirasi dalam ayat ini dengan petunjuk yang diberikan kepada insan untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Ia berupa potensi yang diberikan kepada insan untuk menentukan pilihan. Pilihan itu hanya ada dua yaitu fujur yang akan menghantarkan kepada kesengsaraan dan hal-hal celaka lainnya. Pilihan lain ialah taqwa yang akan membawa insan kepada kebahagiaan dan keselamatan. Ini juga sebagai bukti kecintaan Allah kepada hambanya. Sebagaimana juga disebutkan oleh surat al-Balad ayat 10 وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ (dan Kami telah memperlihatkan kepada insan dua jalan mendaki).
Al-Zamakhsyari memahami ilham pada ayat ini berupa potensi yang diberikan Allah kepada diri insan untuk memahami dan memikirkan bahwa ada yang baik dan ada yang buruk. Dengan Ilham/ potensi itu sekaligus memungkinkan insan untuk menentukan pilihan di antara kedua hal baik dan jelek itu. Hal itu ditunjukkan oleh ungkapan ayat selanjutnya yang menyampaikan bahwa yang beruntung ialah orang yang membersihkan jiwanya dan merugilah orang yang mengotori jiwanya. Membersihkan jiwa dengan cara mengikuti taqwa, dan mengotori jiwa dengan cara mengikuti fujur.

Berdasarkan hal ini, maka masuk akal kalau orang yang berbuat kebaikan sanggup ganjaran dari kebaikannya dan orang yang berbuat hal-hal yang tidak baik juga menerima ganjaran dari perbuatannya. Karena perbuatan yang dilakukan ialah atas dasar pilihannya sendiri. Allah memperlihatkan daya dan kemampuan bagi setiap insan untuk mengetahui kebaikan dan keburukan.
Kekotoran yang paling berbahaya bagi jiwa ialah perbuatan syirik atau menyekutukan Tuhan dengan yang lain, mendustakan kebenaran yang disampaikan Rasul, atau bersifat hasad-dengki kepada sesama manusia, benci dendam, sombong, arogan dan lain-lain.  Kekotoran jiwa akan membuka pintu kepada banyak sekali kejahatan yang besar. Sebagai salah satu bukti dari kekotoran jiwa itu ialah menyerupai perbuatan kaum Tsamud sebagaimana dijelaskan oleh kelanjutan ayat ini.
Sebagai penutup, kita ulangi bahwa dengan inspirasi yang Allah berikan memungkinkan insan untuk mengetahui mana yang baik dan yang buruk. Selanjutnya kita tinggal menentukan mengikuti yang baik atau mengikuti yang buruk. Jika kita ikuti yang baik, berarti kita menjaga diri kita tetap berada dalam fitrah. Sebaliknya, mengikuti keburukan berarti mengotori jiwa kita. 

Ini saja yang kita sampaikan, selanjutnya mungkin kita bisa lanjutkan dengan pembahasan mengenai kebaikan dan keburukan pada kesempatan berikutnya. Insya Allah. Semoga bermanfaat.
_____
Disampaikan pertama kali untuk pengajian subuh di Masjid Taqwa Muhammadiyah Aceh Tengah pada hari Kamis 21 Syawal 1439 H/ 5 Juli 2018 M