Dunia Islam : Man Jadda Wajada
Hari itu, kurang lebih 7 tahun yang lalu. Kelulusan Sekolah Menengah Pertama yang menciptakan orang tuaku besar hati dengan prestasi yang bisa kuraih. Tak begitu memuaskan, tapi posisi 10 besar dan berhasil menciptakan bapak maju ke panggung yaitu hal yang luar biasa, untukku. Sampai di rumah, peluk ibu menjadi hadiah kelulusan. Senyum kakak-kakakku menjadi kado keberhasilan. Bangga. Ucapan bapak itulah yang hingga dikala ini masih saya ingat. Ah,beruntungnya saya menjadi bab dari keluarga ini. Bukan keluarga yang kaya raya,tapi keluarga yang penuh dengan kasih dan sayang.
Pendaftaran Sekolah Menengan Atas sudah buka semenjak beberapa hari lalu, tapi saya belum juga memutuskan. Perbedaan pendapat antara saya dan orangtua membuatku ragu menentukan pilihan.
“Allah sebaik-baik pemilih keputusan, shalatlah di tengah malam dek. Segala keputusan ada di tanganmu. Hanya, bapak ingin kau tak pergi jauh dari kota ini. Kau anak terakhir, dan rasanya bapak tidak yakin untuk melepasmu sendiri di luar kota. Hanya itu”, kata bapak dengan bijak di ruang tamu.
Esok hari setelahnya, saya mengajak semua keluarga untuk berdiskusi problem tersebut. Malam itu terasa begitu hangat, apalagi dengan pisang goreng yang ibu buat.
“Nana sudah memutuskan. Sekolah Menengan Atas 1 di luar kota. Bolehkan?”, saya memulai percakapan. Dan, hening. Hanya ada bunyi jangkrik di luar sana. Kuperhatikan satu persatu wajah keluargaku. Sepertinya ibu hampir menangis, dan benar saja. Tapi kenapa? Alasannya gres kutahu sesudah 3 tahun menimba ilmu di Sekolah Menengan Atas tersebut.
Berita gembira, bahwa saya berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas 1. Sekolah Menengan Atas idaman setiap pelajar SMP. Sekolah Menengan Atas dengan biaya yang tak sedikit. Sekolah Menengan Atas dengan kemudahan yang lengkap. Sekolah Menengan Atas favorit. Dan saya menjadi bab dari Sekolah Menengan Atas itu, 3 tahun lamanya. Alhamdulillah, di hari yang kutargetkan, saya berhasil lulus dengan prestasi yang cukup memuaskan. Aku berhasil lulus! Tapi kebahagiaan itu rasanya tak tepat ketika di hari pelepasan, saya tiba tanpa pendamping. Apa boleh buat. Bapak harus menjaga warung, ibu harus mengajar di SD, kakakku semua berada di luar kota untuk kuliah. Ya sudahlah, mungkin ini yang terbaik.
Sehari sesudah pelepasan, saya pulang ke rumah dan disambut senyum mekar kedua orangtua. Ibu yang tak henti-hentinya mengucap kata maaf alasannya yaitu tak bisa hadir di hari pelepasan, dan bapak yang juga seringkali mengucap kata selamat alasannya yaitu saya sudah akan menjadi mahasiswa membuatku sangat terharu.
Kriiiing… kriiiiing… bunyi khas handphoneku menggema di kamar. Kak Eka.
“Assalamu’alaikum, kak”.
“Wa’alaikumsalam. Congrats ya na. Akhirnya,jadi alumnus Sekolah Menengan Atas 1”, kata kak Eka dengan penuh semangat.
“Iya, kak. Makasih ya. Hehe”
“Kakak dulu takut kau tak berhasil lulus.Apalagi dengan kondisi ekonomi kita yang apa adanya. Dan kau tahu, dulu abang berfikir untuk berhenti kuliah waktu kau memutuskan masuk Sekolah Menengan Atas 1. Apalagi melihat ibu menangis dikala itu. Ah, hari ini, kau lulus, itu bagaikan mimpi. Hebat dah! Tanpa beasiswa padahal. Haha.”
“Ibu? Ah. Kenapa kak Eka tidak bilang semenjak awal? Bahkan saya tak memikirkan problem biaya.”
“Sudahlah, keyakinanmu yang menciptakan kami yakin. Sudah ya,pulsa limit nih. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Makara itu, kenapa ibu menangis. Biaya sekolah yang memang mahal. Dan semenjak itulah, saya berazzam untuk benar-benar berbakti dan mengikuti kata mereka yang ada di sekitarku.
Hari berganti,dan tibalah ujian tertulis untuk masuk ke Perguruan Tinggi. Kali ini saya menentukan untuk melanjutkan di sebuah universitas pendidikan di Yogyakarta dan mengambil prodi informatika. Dan semua oke dengan pilihanku.Tanpa ragu,kudaftarkan diri lewat jalur ujian mandiri.Dan lagi,berita gembira. Aku diterima hanya dengan sekali ujian. Alhamdulillah,Allah memudahkan segalanya.
Semua berjalan menyerupai biasa. Kak Eka dan Kak Ida berhasil lulus di tahun pertamaku masuk kuliah. Bekerja di daerah yang memang mereka inginkan. Suatu kali, saya dan kak Putri, yang juga kuliah di daerah yang sama denganku terlibat dalam sebuah percakapan.
“Alhamdulillah, kak Ida lulus juga. Kalau dipikir-pikir,ALLAH itu baiiik banget. Ya, kau paham kan,Na. Ibu hanya guru SD, bapak ganti-ganti kerjaan. Tapi mereka berhasil mendidik kita. Kak Ida, kak Eka. Kau yang alumni Sekolah Menengan Atas 1,mahasiswi informatika dengan biaya yang tak sedikit. Dan aku. Empat! Bayangkan dik. Mungkin itulah berkah dari shalat Dhuha yang rutin bapak ibumu kerjakan”,kata kak Putri dengan senyum yang begitu kembang.
Dan kusadari, nikmat itu benar-benar terasa. Benar apa yang dikatakan kak Putri. Mungkin ini berkah yang sanggup kami rasakan.
Kak putri lulus dikala saya masih semester 4. Dan Kak Eka pun mengakhiri masa lajangnya di tahun yang sama. Ah, saya kehilangan keduanya dalam arti yang membahagiakan. Masuk ke semester 6, kak Ida pun menikah. Dan saya yang paling menjadi beban bagi bapak dan ibu dikala itu. Rasanya, ingin segera mengakhiri perkuliahan.
8 semester sudah kulalui. Bebas teori dan hanya menyisakan skripsi. Berbulan-bulan bimbingan, karenanya sampailah di hari yang kutunggu. Ujian skripsi. Dan kau tahu saya sanggup nilai apa? A. Itulah nilai skripsiku. Dan akhirnya, tiga bulan setelahnya, saya memakan baju toga. Berfoto di depan gedung auditorium dengan teman-temanku yang lain. Teman. Berfoto dengan teman. Ya, lagi-lagi, kedua orang tuaku tak bisa hadir alasannya yaitu ada hal yang memang tak bisa ditinggalkan. Pernikahan Kak Putri yang memang tak bisa diubah tanggalnya. Apalagi wisudaku yang dadakan, tak mungkin juga untuk pindah tanggal.Tapi,kehadiran kak Eka dan suaminya cukup membuatku bahagia,walaupun tak sempat untuk berfoto dengan pakaian togaku.
Saat itu,hanya bisa berkhusnudzon dengan segala kejadian.Mata ini memang sangat dekat hubungannya dengan hati. Beginilah ketika sedih, mata pun mengalirkan airnya. Walau sadar,bahwa menangis bukanlah solusi.
Langit sudah pekat ketika saya hingga di stasiun kota.Menunggu jemputan di keramaian rasanya memalukan.Apalagi dengan jinjingan tas yang cukup menciptakan tangan pegal. Semenit,dua menit, karenanya sepuluh menit berlalu.Tapi dimana beliau yang berjanji akan menjemputku?
“Dek”. Dia menepuk bahuku dari belakang.
“Eh. Bapak”, kupeluk beliau dengan rindu yang meluap.Air mata yang semenjak tadi kutahan karenanya menetes juga,walau tak mengucur deras.
“Ayo, pulang. Tadi ban motornya bocor,jadi agak lama.Untung pak bengkelnya lagi sepi”
“Iya, ndak papa.”
Kami pun pulang dengan menaiki motor yang apa adanya. Motor supra semenjak zamanku masih SD. Ya,kami memang bukan keluarga yang kaya raya.Bertahan dengan motor ini pun rasanya sudah sangat bersyukur.
Ibu menyambutku dengan air mata.Kau bisa bayangkan apa yang saya lakukan. Menangis tersedu dalam pelukannya. Aku tak malu. Karena inilah bukti cintaku. Bukti rinduku. Kak Ida,Kak Putri,Kak Eka, dan keluarganya, menyambutku pula dengan senyum dan tangisnya.Ya Rabb,tiada nikmat yang sanggup saya dustakan. Indahnya keluarga.
Sahabat SEHB,inilah bukti kesungguhan.Inilah bukti keyakinan.MAN JADDA WA JADA. MAN SHABARA ZAFIRA.Ketika kau bersungguh-sungguh dan bersabar,keberhasilan akan bisa kau raih.
Ketika kau yakin,maka akan ada kemungkinan untuk berhasil. Tapi, jikalau kau tak yakin,maka selamanya kau takkan berhasil. Dan,ALLAH-lah sebaik-baik perencana.
Di balik segala kesulitan,pastilah akan ada kebahagiaan.Berbaik sangkalah pada-Nya.Yakinkan diri,Insya Allah dengan segenap USAHA,KESUNGGUHAN dan DOA.