Dunia Islma : Cinta Palsu Atau Dusta ?
1. Manusia dihiasi dengan Cinta
Manusia sebagai makhluk paling mulia mempunyai kelebihan akal. Akal merupakan karunia luar biasa dari ‘Sang Maha Pencipta Yang Maha Cerdas’ dan juga dikarunia kelebihan lain yang sangat mahal, yaitu dari lubuk hatinya yang sangat dalam terpancar naluri cinta, naluri untuk mengasihi dan dicintai. Cinta dengan sepenuh hati yang disertai dengan segala ketulus ikhlasan akan selalu terpancar dari hatinya.
Siapapun orang dewasa, akan merasa hambar, hampa dan sepi, selalu merasa ada yang kurang atau merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya; apabila belum menemukan cintanya. Seseorang akan menjadi sempurna, bila hidupnya “dihiasi” dengan cinta, yakni sangat manusiawi bila seorang pria mengasihi perempuan dan perempuan mengasihi laki-laki. Maka perkawinan yakni sarana yang paling tepat untuk “menumbuh suburkan” cinta dan kasih sayang.
2. Cinta dan kedewasaan
Kedewasaan secara jasmaniah sanggup terlihat secara sepintas dari gejala fisik jasmaninya, tetapi kedewasaan secara rohaniah (mental, daya fikir, emosi dan lain-lain) tidak sanggup terlihat secara sepintas atau dalam waktu singkat. Kedewasaan secara jasmaniah tidak menjamin dan tidak menjadi ukuran bagi kedewasaan secara rohaniah. Seorang remaja yang alasannya yakni tekanan kehidupannya yang begitu berat, selalu bekerja keras akan terlihat dewasa, akan terlihat lebih renta dari teman-temannya yang seumurmya, padahal bergotong-royong beliau belum dewasa, maka sanggup dikatakan “dewasa karbitan”.
Dua orang cukup umur yang berlainan jenis, akan saling berkomunikasi, akan terlihat saling mendekat, dan kesannya secara tidak sadar akan saling jatuh cinta. Cinta di antara keduanya yang terpendam (sekian lama) akan “meledak” dalam bentuk perubahan tingkah laris mereka berdua secara spontanitas, dan suatu ketika mereka akan sadar bahwa telah ada keterikatan batin yang demikian berpengaruh di antara mereka berdua. (Apabila mereka berdua mengambil keputusan untuk menikah, semoga perkawinan mereka bahagia)
Kalau sudah demikian keadaannya, dapatkah hal ini dibohongi atau didustai? Akan tetapi jikalau salah satu atau keduanya, cintanya palsu penuh dengan kepura-puraan, maka spontanitas perubahan tingkah laris yang terlihat akan menyerupai sinetron tanpa ekspresi, bukan tidak serius, tapi akan terlihat menyerupai tanpa alur yang sinkron. (contoh perkawinan yang dipaksakan tanpa cinta di jamannya Siti Nurbaya ……mungkin kini tidak ada lagi)
3. Cinta dan nafsu Syahwat
Remaja secara umum masih belum menemukan “jati dirinya”, masih mencari identitas diri dan masih berusaha mengenal kata hatinya, serta pikirannya masih dipenuhi khayalan, sedangkan pertumbuhan fisiknya masih terus berlangsung sejalan dengan dorongan nafsu syahwatnya semakin meningkat. Kalau kedua remaja menjalin hubungan cinta asmara, Apakah cintanya penuh dengan ketulus ikhlasan atau penuh dengan pamrih yang istilahnya “cinta monyet”? Apakah cintanya benar-benar suci atau hanya bersifat khayali? Apakah cintanya awet atau hanyalah pemuasan nafsu syahwat yang bersifat sesaat? Apakah cinta remaja benar-benar murni atau palsu dan lebih banyak perjuangan untuk membohongi pasangannya? Bukankan cinta monyet, cinta bersifat imajinasi dan cinta pemuasan nafsu syawat sesaat, semuanya itu yakni cinta palsu?
Jelaslah, bahwa berpacaran pada masa remaja lebih banyak “mudlorotnya”. Keindahan masa berpacaan hanyalah fatamorgana, Akankah jumlah remaja yang terpaksa jadi “orang tua” sebelum waktunya, terus bertambah, alasannya yakni nikah tanggapan “kecelakaan”? kini mungkin tidak ada istilah “kawin lari” tapi yang ada “kawin kecelakaan”. Bisa kita bayangan : “Betapa berat di usia belum cukup umur harus jadi orang tua”.
Tentu akan lebih baik, jikalau para remaja tidak berpacaran, atau “tidak berpacaran jikalau tidak benar-benar berniat untuk nikah”. Lebih baik jikalau perkawinan yang dilaksanakan oleh keduanya yang belum pernah berpacaran, belum pernah terlibat asmara, belum tahu arti cinta, keduanya benar-benar masih pemuda dan perawan, sehingga dari mulai hidup gres dan seterusnya “tidak ada dusta” dan akan langgeng hingga kakek nenek , “biarkanlah cinta tumbuh sesudah pernikahan” ( ….mungkinkah kini perkawinan menyerupai ini sudah tidak ada lagi????)
Haruskah kita ikut-ikutan mengejek, mencemoohkan dan menghina mereka yang tidak kenal makna cinta asmara, dan masih perjaka, masih perawan hingga masa ijab kabul mereka ?
Manusia sebagai makhluk paling mulia mempunyai kelebihan akal. Akal merupakan karunia luar biasa dari ‘Sang Maha Pencipta Yang Maha Cerdas’ dan juga dikarunia kelebihan lain yang sangat mahal, yaitu dari lubuk hatinya yang sangat dalam terpancar naluri cinta, naluri untuk mengasihi dan dicintai. Cinta dengan sepenuh hati yang disertai dengan segala ketulus ikhlasan akan selalu terpancar dari hatinya.
Siapapun orang dewasa, akan merasa hambar, hampa dan sepi, selalu merasa ada yang kurang atau merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya; apabila belum menemukan cintanya. Seseorang akan menjadi sempurna, bila hidupnya “dihiasi” dengan cinta, yakni sangat manusiawi bila seorang pria mengasihi perempuan dan perempuan mengasihi laki-laki. Maka perkawinan yakni sarana yang paling tepat untuk “menumbuh suburkan” cinta dan kasih sayang.
2. Cinta dan kedewasaan
Kedewasaan secara jasmaniah sanggup terlihat secara sepintas dari gejala fisik jasmaninya, tetapi kedewasaan secara rohaniah (mental, daya fikir, emosi dan lain-lain) tidak sanggup terlihat secara sepintas atau dalam waktu singkat. Kedewasaan secara jasmaniah tidak menjamin dan tidak menjadi ukuran bagi kedewasaan secara rohaniah. Seorang remaja yang alasannya yakni tekanan kehidupannya yang begitu berat, selalu bekerja keras akan terlihat dewasa, akan terlihat lebih renta dari teman-temannya yang seumurmya, padahal bergotong-royong beliau belum dewasa, maka sanggup dikatakan “dewasa karbitan”.
Dua orang cukup umur yang berlainan jenis, akan saling berkomunikasi, akan terlihat saling mendekat, dan kesannya secara tidak sadar akan saling jatuh cinta. Cinta di antara keduanya yang terpendam (sekian lama) akan “meledak” dalam bentuk perubahan tingkah laris mereka berdua secara spontanitas, dan suatu ketika mereka akan sadar bahwa telah ada keterikatan batin yang demikian berpengaruh di antara mereka berdua. (Apabila mereka berdua mengambil keputusan untuk menikah, semoga perkawinan mereka bahagia)
Kalau sudah demikian keadaannya, dapatkah hal ini dibohongi atau didustai? Akan tetapi jikalau salah satu atau keduanya, cintanya palsu penuh dengan kepura-puraan, maka spontanitas perubahan tingkah laris yang terlihat akan menyerupai sinetron tanpa ekspresi, bukan tidak serius, tapi akan terlihat menyerupai tanpa alur yang sinkron. (contoh perkawinan yang dipaksakan tanpa cinta di jamannya Siti Nurbaya ……mungkin kini tidak ada lagi)
3. Cinta dan nafsu Syahwat
Remaja secara umum masih belum menemukan “jati dirinya”, masih mencari identitas diri dan masih berusaha mengenal kata hatinya, serta pikirannya masih dipenuhi khayalan, sedangkan pertumbuhan fisiknya masih terus berlangsung sejalan dengan dorongan nafsu syahwatnya semakin meningkat. Kalau kedua remaja menjalin hubungan cinta asmara, Apakah cintanya penuh dengan ketulus ikhlasan atau penuh dengan pamrih yang istilahnya “cinta monyet”? Apakah cintanya benar-benar suci atau hanya bersifat khayali? Apakah cintanya awet atau hanyalah pemuasan nafsu syahwat yang bersifat sesaat? Apakah cinta remaja benar-benar murni atau palsu dan lebih banyak perjuangan untuk membohongi pasangannya? Bukankan cinta monyet, cinta bersifat imajinasi dan cinta pemuasan nafsu syawat sesaat, semuanya itu yakni cinta palsu?
Jelaslah, bahwa berpacaran pada masa remaja lebih banyak “mudlorotnya”. Keindahan masa berpacaan hanyalah fatamorgana, Akankah jumlah remaja yang terpaksa jadi “orang tua” sebelum waktunya, terus bertambah, alasannya yakni nikah tanggapan “kecelakaan”? kini mungkin tidak ada istilah “kawin lari” tapi yang ada “kawin kecelakaan”. Bisa kita bayangan : “Betapa berat di usia belum cukup umur harus jadi orang tua”.
Tentu akan lebih baik, jikalau para remaja tidak berpacaran, atau “tidak berpacaran jikalau tidak benar-benar berniat untuk nikah”. Lebih baik jikalau perkawinan yang dilaksanakan oleh keduanya yang belum pernah berpacaran, belum pernah terlibat asmara, belum tahu arti cinta, keduanya benar-benar masih pemuda dan perawan, sehingga dari mulai hidup gres dan seterusnya “tidak ada dusta” dan akan langgeng hingga kakek nenek , “biarkanlah cinta tumbuh sesudah pernikahan” ( ….mungkinkah kini perkawinan menyerupai ini sudah tidak ada lagi????)
Haruskah kita ikut-ikutan mengejek, mencemoohkan dan menghina mereka yang tidak kenal makna cinta asmara, dan masih perjaka, masih perawan hingga masa ijab kabul mereka ?