Minggu, 07 Oktober 2018

7 Amalan Yang Pahalanya Terus Mengalir

7 Amalan Yang Pahalanya Terus Mengalir

AMAL JARIYAH ialah sebutan bagi amalan yang terus mengalir pahalanya, walaupun orang yang melaksanakan amalan tersebut sudah wafat. Amalan tersebut terus memproduksi pahala yang terus mengalir kepadanya.

Dari Abu Hurairah membuktikan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Apabila anak Adam (manusia) wafat, maka terputuslah semua (pahala) amal perbuatannya kecuali tiga macam perbuatan, yaitu sedekah jariah, ilmu yang berman­faat, dan anak saleh yang mendoakannya" (HR. Muslim).

Selain dari ketiga jenis perbuatan di atas, ada lagi beberapa macam perbuatan yang tergolong dalam amal jariah.

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya diantara amal kebaikan yang mendatangkan pahala sehabis orang yang melakukannya wafat ialah ilmu yang disebar­luaskannya, anak saleh yang ditinggalkannya, mushaf (kitab-kitab keagamaan) yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah yang dibangunnya untuk penginapan orang yang sedang dalam perjalanan. sungai yang dialirkannya untuk kepentingan orang banyak, dan harta yang disedekahkannya” (HR. Ibnu Majah).

Di dalam hadis ini disebut tujuh macam amal yang tergolong amal jariah sebagai berikut.

1. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal, menyerupai diskusi, ceramah, dakwah, dan sebagainya. Termasuk dalam kategori ini ialah me­nulis buku yang berkhasiat dan mempublikasikannya.

2. Mendidik anak menjadi anak yang saleh. Anak yang saleh akan selalu berbuat kebaikan di dunia. Menurut keterangan hadis ini, kebaikan yang dipeibuat oleh anak saleh pahalanya hingga kepada orang renta yang mendidiknya yang telah wafat tanpa mengurangi nilai/pahala yang diterima oleh anak tadi.

3. Mewariskan mushaf (buku agama) kepada orang-orang yang sanggup memanfaatkannya untuk kebaikan diri dan masyarakatnya.

4. Membangun masjid. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi SAW, ”Barangsiapa yang membangun sebuah masjid sebab Allah walau sekecil apa pun, maka Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di surga” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Orang yang membangun masjid tersebut akan mendapatkan pahala menyerupai pahala orang yang beribadah di mas­jid itu.

5. Membangun rumah atau pondokan bagi orang-orang yang bepergian untuk kebaikan. Setiap orang yang memanfaatkannya, baik untuk istirahat sebentar maupun untuk bermalam dan kegunaan lain yang bukan untuk maksiat, akan mengalirkan pahala kepada orang yang membangunnya.

6. Mengalirkan air secara baik dan higienis ke tampat-tempat orang yang membutuhkannya atau menggali sumur di kawasan yang sering dilalui atau didiami orang banyak. Setelah orang yang mengalirkan air itu wafat dan air itu tetap mengalir serta terpelihara dari kecemaran dan dimanfaatkan orang yang hidup maka ia menerima pahala yang terus mengalir.

Semakin banyak orang yang memanfaat­kannya semakin banyak ia mendapatkan pahala di akhirat.

Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa membangun sebuah sumur kemudian diminum oleh makhluk atau burung yang kehausan, maka Allah akan mem­berinya pahala kelak di hari kiamat.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah).

7. Menyedekahkan sebagian harta. Sedekah yang diberikan secara nrimo akan mendatangkan pahala yang berlipat ganda.

Allah Ta'ala berfirman dalam surah Al Hasyr ayat 18 :

“Wahai orang-orang beriman, Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (AKHIRAT), dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kau kerjakan .
7 Amalan Yang Pahalanya Terus Mengalir

7 Amalan Yang Pahalanya Terus Mengalir

AMAL JARIYAH ialah sebutan bagi amalan yang terus mengalir pahalanya, walaupun orang yang melaksanakan amalan tersebut sudah wafat. Amalan tersebut terus memproduksi pahala yang terus mengalir kepadanya.

Dari Abu Hurairah membuktikan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Apabila anak Adam (manusia) wafat, maka terputuslah semua (pahala) amal perbuatannya kecuali tiga macam perbuatan, yaitu sedekah jariah, ilmu yang berman­faat, dan anak saleh yang mendoakannya" (HR. Muslim).

Selain dari ketiga jenis perbuatan di atas, ada lagi beberapa macam perbuatan yang tergolong dalam amal jariah.

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya diantara amal kebaikan yang mendatangkan pahala sehabis orang yang melakukannya wafat ialah ilmu yang disebar­luaskannya, anak saleh yang ditinggalkannya, mushaf (kitab-kitab keagamaan) yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah yang dibangunnya untuk penginapan orang yang sedang dalam perjalanan. sungai yang dialirkannya untuk kepentingan orang banyak, dan harta yang disedekahkannya” (HR. Ibnu Majah).

Di dalam hadis ini disebut tujuh macam amal yang tergolong amal jariah sebagai berikut.

1. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal, menyerupai diskusi, ceramah, dakwah, dan sebagainya. Termasuk dalam kategori ini ialah me­nulis buku yang berkhasiat dan mempublikasikannya.

2. Mendidik anak menjadi anak yang saleh. Anak yang saleh akan selalu berbuat kebaikan di dunia. Menurut keterangan hadis ini, kebaikan yang dipeibuat oleh anak saleh pahalanya hingga kepada orang renta yang mendidiknya yang telah wafat tanpa mengurangi nilai/pahala yang diterima oleh anak tadi.

3. Mewariskan mushaf (buku agama) kepada orang-orang yang sanggup memanfaatkannya untuk kebaikan diri dan masyarakatnya.

4. Membangun masjid. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi SAW, ”Barangsiapa yang membangun sebuah masjid sebab Allah walau sekecil apa pun, maka Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di surga” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Orang yang membangun masjid tersebut akan mendapatkan pahala menyerupai pahala orang yang beribadah di mas­jid itu.

5. Membangun rumah atau pondokan bagi orang-orang yang bepergian untuk kebaikan. Setiap orang yang memanfaatkannya, baik untuk istirahat sebentar maupun untuk bermalam dan kegunaan lain yang bukan untuk maksiat, akan mengalirkan pahala kepada orang yang membangunnya.

6. Mengalirkan air secara baik dan higienis ke tampat-tempat orang yang membutuhkannya atau menggali sumur di kawasan yang sering dilalui atau didiami orang banyak. Setelah orang yang mengalirkan air itu wafat dan air itu tetap mengalir serta terpelihara dari kecemaran dan dimanfaatkan orang yang hidup maka ia menerima pahala yang terus mengalir.

Semakin banyak orang yang memanfaat­kannya semakin banyak ia mendapatkan pahala di akhirat.

Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa membangun sebuah sumur kemudian diminum oleh makhluk atau burung yang kehausan, maka Allah akan mem­berinya pahala kelak di hari kiamat.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah).

7. Menyedekahkan sebagian harta. Sedekah yang diberikan secara nrimo akan mendatangkan pahala yang berlipat ganda.

Allah Ta'ala berfirman dalam surah Al Hasyr ayat 18 :

“Wahai orang-orang beriman, Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (AKHIRAT), dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kau kerjakan .
7 Amalan Yang Pahalanya Terus Mengalir

7 Amalan Yang Pahalanya Terus Mengalir

AMAL JARIYAH ialah sebutan bagi amalan yang terus mengalir pahalanya, walaupun orang yang melaksanakan amalan tersebut sudah wafat. Amalan tersebut terus memproduksi pahala yang terus mengalir kepadanya.

Dari Abu Hurairah membuktikan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Apabila anak Adam (manusia) wafat, maka terputuslah semua (pahala) amal perbuatannya kecuali tiga macam perbuatan, yaitu sedekah jariah, ilmu yang berman­faat, dan anak saleh yang mendoakannya" (HR. Muslim).

Selain dari ketiga jenis perbuatan di atas, ada lagi beberapa macam perbuatan yang tergolong dalam amal jariah.

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya diantara amal kebaikan yang mendatangkan pahala sehabis orang yang melakukannya wafat ialah ilmu yang disebar­luaskannya, anak saleh yang ditinggalkannya, mushaf (kitab-kitab keagamaan) yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah yang dibangunnya untuk penginapan orang yang sedang dalam perjalanan. sungai yang dialirkannya untuk kepentingan orang banyak, dan harta yang disedekahkannya” (HR. Ibnu Majah).

Di dalam hadis ini disebut tujuh macam amal yang tergolong amal jariah sebagai berikut.

1. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal, menyerupai diskusi, ceramah, dakwah, dan sebagainya. Termasuk dalam kategori ini ialah me­nulis buku yang berkhasiat dan mempublikasikannya.

2. Mendidik anak menjadi anak yang saleh. Anak yang saleh akan selalu berbuat kebaikan di dunia. Menurut keterangan hadis ini, kebaikan yang dipeibuat oleh anak saleh pahalanya hingga kepada orang renta yang mendidiknya yang telah wafat tanpa mengurangi nilai/pahala yang diterima oleh anak tadi.

3. Mewariskan mushaf (buku agama) kepada orang-orang yang sanggup memanfaatkannya untuk kebaikan diri dan masyarakatnya.

4. Membangun masjid. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi SAW, ”Barangsiapa yang membangun sebuah masjid sebab Allah walau sekecil apa pun, maka Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di surga” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Orang yang membangun masjid tersebut akan mendapatkan pahala menyerupai pahala orang yang beribadah di mas­jid itu.

5. Membangun rumah atau pondokan bagi orang-orang yang bepergian untuk kebaikan. Setiap orang yang memanfaatkannya, baik untuk istirahat sebentar maupun untuk bermalam dan kegunaan lain yang bukan untuk maksiat, akan mengalirkan pahala kepada orang yang membangunnya.

6. Mengalirkan air secara baik dan higienis ke tampat-tempat orang yang membutuhkannya atau menggali sumur di kawasan yang sering dilalui atau didiami orang banyak. Setelah orang yang mengalirkan air itu wafat dan air itu tetap mengalir serta terpelihara dari kecemaran dan dimanfaatkan orang yang hidup maka ia menerima pahala yang terus mengalir.

Semakin banyak orang yang memanfaat­kannya semakin banyak ia mendapatkan pahala di akhirat.

Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa membangun sebuah sumur kemudian diminum oleh makhluk atau burung yang kehausan, maka Allah akan mem­berinya pahala kelak di hari kiamat.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah).

7. Menyedekahkan sebagian harta. Sedekah yang diberikan secara nrimo akan mendatangkan pahala yang berlipat ganda.

Allah Ta'ala berfirman dalam surah Al Hasyr ayat 18 :

“Wahai orang-orang beriman, Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (AKHIRAT), dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kau kerjakan .

Rabu, 03 Oktober 2018

Keutamaan Puasa Tasu’A Dan ‘Asyura

Keutamaan Puasa Tasu’A Dan ‘Asyura

Shaum sunah yang sudah biasa dikenal dan dilakukan oleh kaum muslimin pada setiap bulan Hijriyah yaitu shaum Senin dan Kamis, shaum Daud, dan shaum sunah tiga hari pada pertengahan bulan (tanggal 13,14, dan 15) Hijriyah. Pada bulan tertentu terdapat shaum sunah tambahan. Misalnya pada bulan Dzulhijah, dianjurkan melaksanakan shaum sunah dari tanggal 1 hingga 9. Shaum tanggal 9 Dzulhijah disebut juga shaum Arafah, alasannya yaitu bertepatan dengan wukuf jama’ah haji di padang Arafah.


Di bulan Muharram ini juga terdapat proposal shaum sunah khusus, yaitu shaum sunah Tasu’a dan ‘Asyura. Shaum sunah Tasu’a yaitu shaum sunah yang dikerjakan pada tanggal 9 Muharram. Adapun shaum sunah ‘Asyura yaitu shaum sunah yang dikerjakan pada tanggal 10 Muharram.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا ، يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ ؟ ” فَقَالُوا : هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ ، أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ ، وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ ، فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا ، فَنَحْنُ نَصُومُهُ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ “

Dari Ibnu Abbas RA bahu-membahu Rasulullah SAW dikala tiba di Madinah mendapati orang-orang Yahudi melaksanakan shaum pada hari ‘Asyura. Maka Rasulullah SAW bertanya kepada mereka, “Hari apa yang kalian melaksanakan shaum ini?” Mereka menjawab, “Ini yaitu hari yang agung. Pada hari ini Allah menyelamatkan nabi Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Maka nabi Musa melaksanakan shaum sebagai wujud syukur kepada Allah. Oleh alasannya yaitu itu kami juga melaksanakan shaum.”
Rasulullah SAW bersabda, “Kami lebih wajib dan lebih layak mengikuti shaum Musa daripada kalian.” Rasulullah SAW melaksanakan shaum ‘Asyura dan memerintahkan para sobat untuk melaksanakan shaum ‘Asyura juga.” (HR. Bukhari dan Muslim, dengan lafal Muslim)

Dalam riwayat Bukhari, Ahmad, dan Abu Ya’la memakai lafal:
هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ ، فَصَامَهُ مُوسَى

“Ini yaitu hari yang baik. Pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka. Maka nabi Musa melaksanakan shaum.”

Shaum ‘Asyura sudah dikenal dan dilakukan oleh kaum musyrikin Quraisy semenjak zaman jahiliyah, sebagaimana dijelaskan oleh ummul mukminin Aisyah RA. Boleh jadi mereka melakukannya berdasar aliran nenek moyang mereka yang mewarisinya dari aliran nabi Ibrahim dan Ismail Alaihima Salam. Pada masa Islam, Rasulullah SAW dan para sobat juga melaksanakan shaum ‘Asyura. Pada masa tersebut, shaum ‘Asyura hukumnya wajib. Hal itu berlangsung hingga turun surat Al-Baqarah (2) ayat 183-185 yang mewajibkan shaum Ramadhan. Sejak dikala itu, shaum ‘Asyura ‘sekedar’ disunahkan, tidak lagi diwajibkan.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ : كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ صَامَهُ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ

Dari Aisyah RA berkata: “Hari ‘Asyura yaitu hari yang kaum Quraisy biasa melaksanakan shaum pada masa jahiliyah. Rasulullah SAW pada waktu itu (di Makah, pent) juga melaksanakan shaum Asyura. Ketika ia tiba di Madinah, ia melaksanakan shaum ‘Asyura dan memerintahkan para sobat untuk melakukannya. Ketika shaum Ramadhan diwajibkan, maka ia tidak melaksanakan (tidak mewajibkan, pet) shaum ‘Asyura. Barangsiapa ingin maka ia mengerjakan shaum ‘Asyura dan barangsiapa ingin maka ia tidak mengerjakan shaum ‘Asyura.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Meski aturan shaum ‘Asyura yaitu sunah, namun Rasulullah SAW sangat tekun mengerjakannya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ

Dari Ibnu Abbas RA berkata: “Aku tidak pernah melihat Nabi SAW begitu semangat mengerjakan shaum satu hari yang lebih ia utamakan dari hari yang lain selain hari ini, yaitu hari Asyura dan bulan ini, yaitu bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama menjelaskan bahwa makna ‘begitu semangat’ dalam hadits di atas yaitu antusias untuk mengerjakannya demi mengharap pahala yang besar di sisi Allah SWT. Besarnya pahala shaum ‘Asyura disebutkan dalam hadits shahih sebagai berikut:
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ ، إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

Dari Abu Qatadah RA bahu-membahu Nabi SAW bersabda: “Shaum hari ‘Asyura, saya mengharapkan pahalanya di sisi Allah sanggup menghapuskan dosa-dosa kecil setahun sebelumnya.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)

Selain shaum ‘Asyura pada tanggal 10 Muharram, Islam juga menganjurkan shaum sunah Tasu’a pada tanggal 9 Muharram. Berdasar hadits shahih dari Ibnu Abbas RA berkata:
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ” قَالَ : فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Ketika Rasulullah SAW melaksanakan shaum ‘Asyura dan memerintahkan para sobat untuk mengerjakan shaum ‘Asyura, para sobat berkata: “Wahai Rasulullah, hari ‘Asyura yaitu hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Jika tahun tiba tiba, insya Allah, kita juga akan melaksanakan shaum pada tanggal Sembilan Muharram.” Tahun mendatang belum tiba, ternyata Rasulullah SAW keburu wafat. (HR. Muslim, ath-Thabari, dan al-Baihaqi).

Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, dan dominan ulama menimbulkan hadits di atas sebagai dalil kesunahan shaum tanggal sembilan dan sepuluh Muharram. Dengan demikian, shaum sunah pada bulan Muharram mempunyai beberapa tingkatan:
  1. Tingkatan paling rendah yaitu melaksanakan shaum pada hari ‘Asyura semata. Menurut pendapat yang lebih besar lengan berkuasa sebagaimana disebutkan oleh imam Abu Ja’far ath-Thahawi al-Hanafi, Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i, dan Manshur al-Bahuti al-Hambali, shaum ‘Asyura boleh dikerjakan satu hari saja tanpa disertai sehari sesudahnya atau sehari sebelumnya, meskipun ia jatuh pada hari Jum’at, Sabtu, atau Ahad.
  2. Tingkatan di atasnya yaitu melaksanakan shaum pada hari Tasu’a dan ‘Asyura.
  3. Semakin banyak shaum sunah yang ia lakukan pada bulan Muharram, maka keutamaannya juga semakin besar. Namun sebaiknya tidak melaksanakan shaum sunah sebulan penuh, sesuai pola dari Nabi SAW dan para sahabat.
Perlu diketahui bahwa beberapa ulama menyatakan kesunahan menggabungkan shaum ‘Asyura dengan shaum sehari sesudahnya (11 Muharram). Pendapat mereka tersebut didasarkan kepada hadits berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا ، أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا “

Dari Ibnu Abbas RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Laksanakanlah shaum hari ‘Asyura! Namun selisihilah shaum Asyura orang-orang Yahudi! Laksanakanlah juga shaum sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.” (HR. Ahmad, al-Humaidi, al-Baihaqi, al-Bazzar, Ibnu ‘Adi, dan Ibnu Khuzaimah)

Sebagian ulama, di antaranya syaikh Ahmad Syakir, menyatakan hadits ini hasan. Namun pendapat dominan ulama yang lebih besar lengan berkuasa menyatakan hadits ini sangat lemah, alasannya yaitu di dalamnya ada dua perawi yang lemah yaitu Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila al-Anshari al-Kufi, dan Daud bin Ali bin Abdullah bin Abbas Al-Hasyimi.

Perawi Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila al-Anshari al-Kufi yaitu perawi yang sayyi-ul hifzhi jiddan, sangat jelek sekali kekuatan halafannya. Ia dilemahkan oleh imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, dan lain-lain. (Tahdzib al-Kamal, 25/622 dan Mizan al-I’tidal, biografi no. 7825)
Tentang kedudukan perawi Daud bin Ali bin Abdullah bin Abbas Al-Hasyimi, imam adz-Dzahabi berkata: “Haditsnya tidak sanggup dijadikan hujah.” (Al-Mughni fi adh-Dhu’afa’, 1/219)

Menurut penelitian yang benar, anjuran shaum tanggal 10 ditambah shaum sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya yaitu pendapat pribadi Ibnu Abbas (hadits mauquf), bukan sabda Nabi SAW. Imam Al-Baihqi, Abdurrazzaq, dan ath-Thahawi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari jalur Ibnu Juraij dari Atha’ dari Ibnu Abbas RA yang berkata: “Laksanakanlah shaum tanggal 9 dan 10 Muharram, selisihilah orang-orang Yahudi!” Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam Lathaif al-Ma’arif juga menshahihkan riwayat ini.

Sebagian ulama, di antaranya imam Asy-Syafi’I dalam Al-Umm, menyebutkan disunahkan shaum tiga hari berturut-turut yaitu pada tanggal 9, 10, dan 11 Muharram dengan dua alasan:

Pertama, sebagai bentuk kehati-hatian terkait perbedaan penentuan masuknya awal bulan. Imam Ahmad berkata: “Jika awal masuknya bulan tersamar baginya, maka hendaknya ia melaksanakan shaum tiga hari. Ia melaksanakan hal itu supaya ia yakin mendapat shaum tanggal sembilan dan sepuluh.” (Al-Mughni, 4/441) 

Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam Lathaif al-Ma’arif menjelaskan bahwa di kalangan ulama tabi’in, yang melaksanakan hal itu yaitu imam Ibnu Sirin dan Abu Ishaq.

Kedua, meniatkan diri untuk melaksanakan shaum sunah tiga hari dalam sebulan. Sesuai proposal dalam hadits dari Abdullah bin Amru bin Ash RA berkata, “Rasulullah SAW bersabda:
صَوْمُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ ، صَوْمُ الشَّهْرِ كُلِّه

“(Pahala) Shaum sunah tiga hari setiap bulan yaitu bagaikan (pahala) shaum satu tahun penuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Minggu, 16 September 2018

Keutamaan Dan Amalan-Amalan Bulan Sya'ban

Keutamaan Dan Amalan-Amalan Bulan Sya'ban

orang pada bulan tersebut biasa  berpisah Keutamaan Dan Amalan Keutamaan Dan Amalan-Amalan Bulan Sya'ban
  • Pengertian Sya’ban
Menurut Ibnu Manzhur dalam Lisanul ArabSya’ban berasal dari kata asy-sya’b yang berarti mengumpulkan, memisahkan / berpisah (al-jam’u wat tafriq). Dinamakan bulan Sya’ban, lantaran orang-orang pada bulan tersebut biasa berpisah, bertebaran untuk mencari air. Menurut pendapat lain, dinamakan Sya’ban, lantaran pada bulan tersebut orang-orang berkumpul untuk melaksanakan penyerangan-penyerangan, sehabis pada bulan sebelumnya (bulan Rajab) mereka tidak melaksanakan peperangan lantaran berada dalam Bulan Haram.
Menurut Imam Tsa’lab, disebut Sya’ban, lantaran bulan tersebut berada di antara bulan Rajab dan Ramadhan (sya’aba ai zhahara baina syahrai, Ramadhan wa Rajab). Hanya saja, berdasarkan Ibnu Hajar dalam Fathul Baary-nya, pendapat pertama lebih berpengaruh dan lebih tepat.  Bentuk jamak (plural) dari Sya’ban adalah sya’baanaat, atau sya’aabiin.
  • Keutamaan Bulan Sya’ban
Ada beberapa keutamaan dari bulan Sya’ban, di antaranya adalah:
1.      Bulan diangkatnya catatan amal perbuatan insan setiap tahunnya.
Catatan perbuatan insan diangkat dan disetorkan oleh para malaikat kepada Allah dalam tiga waktu; ada yang sifatnya harian, mingguan dan tahunan. Yang sifatnya harian, yaitu setiap pagi dan petang sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:
عن أبي موسى الأشعري قال: قام فينا رسول الله صلى الله عليه وسلم بخمس كلمات, فقال: ((إن الله لا ينام, ولا ينبغي له أن ينام, يخفض القسط ويرفعه, يرفع إليه عمل الليل فبل النهار, وعمل النهار قبل الليل, حجابه النور….)) [رواه مسلم]
Artinya: “Abu Musa al-Asy’ari berkata, Rasulullah saw pernah memberikan lima kalimat, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak tidur, dan Allah tidak layak untuk tidur, Dia merendahkan dan meninggikan pertimbangan perbuatan manusia, amal perbuatan insan malam hari diangkat dan disetorkan kepadaNya sebelum siang hari, dan amal perbuatan siang hari diangkat dan disetorkan kepadaNya sebelum malam hari tiba, penghalangNya berupa cahaya….” (HR. Muslim).
Kapan sebelum malam dan sebelum siang sebagaimana tertera dalam hadits di atas itu? Dalam sebuah hadits di bawah ini, Rasulullah saw lebih tegas lagi, bahwa yang dimaksud sebelum siang dan sebelum malam tersebut yaitu waktu shalat Shubuh dan Ashar. Rasulullah saw bersabda:
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((يتعاقبون فيكم ملائكة بالليل, وملائكة بالنهار, فيجتمعون في صلاة الصبح, وصلاة العصر, فيسأل الذين باتوا فيكم, وهو أعلم: كيف تركتم عبادي؟ فيقولون: أتيناهم وهم يصلون, وتركناهم وهم يصلون)) [متفق عليه]
Artinya: “Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: “Kalian akan selalu diawasi oleh malaikat malam dan siang, mereka akan berkumpul pada waktu shalat Shubuh dan Ashar. Allah—dan Dia Maha Mengetahui—akan menanyakan orang-orang yang ditinggalkan ketika itu: “Bagaimana kalian wahai para malaikat meninggalkan hamba-hambaKu?” Para malaikat menjawab: “Kami mendatangi mereka, dan mereka sedang sholat, demikian juga kami meninggalkan mereka, mereka pun sedang sholat juga” (HR. Bukhari Muslim).
Oleh lantaran itu, Rasulullah saw menganjurkan untuk membaca dzikir pagi (setelah shalat Shubuh) dan dzikir  sore (setelah Ashar) mengingat pada kedua waktu tersebut catatan insan disetorkan oleh para malaikat kepada Allah swt, dan lantaran itu juga Rasulullah saw menegaskan orang yang melaksanakan shalat Ashar dan Shubuh berjamaah akan mendapatkan pahala yang sangat besar. Hal ini sekali lagi, lantaran kedua waktu tersebut bertepatan dengan ketika diangkat dan disetorkannya amal perbuatan insan kepada Allah.
Imam ad-Dhahak, seorang tabi’in, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Rajab dalam Lathaiful Ma’rif, apabila sore hari tiba, ia menangis tersedu-sedu sambil berkata: “Saya tidak mengetahui, amal saya yang mana yang diangkat dan disetorkan kepada Allah.”

Adapun waktu penyetoran amal perbuatan mansuia kepada Allah yang sifatnya mingguan, yaitu setiap hari Senin dan Kamis, sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:
سأل أسامة بن زيد رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صيامه الإثنين والخميس, فقال صلى الله عليه وسلم: ((ذانك يومان تعرض فيهما الأعمال على رب العالمين, وأحب أن يعرض عملى وأنا صائم)) [رواه النسائى وأحمد والبيهقى)
Usamah bin Zaid pernah bertanya kepada Rasulullah saw wacana puasa Senin dan Kamis, ia menjawab: "Dua hari itu yaitu hari dimana amal perbuatan akan ditunjukkan (disetorkan) kepada Allah, dan saya menginginkan ketika amal saya disetorkan kepada Allah, keadaan saya sedang berpuasa" (HR. Nasai, Ahmad dan Baihaki).
Karena itu, lagi-lagi puasa yang dilakukan pada hari Senin dan Kamis pahalanya sangat luar biasa, dan karenanya pula Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan puasa di kedua hari tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:
عن عائشة قالت: ((كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يتحرى صوم الإثنين والخميس)) [رواه الترمذى والنسائى وابن ماجه]
Artinya: “Siti Aisyah berkata: “Rasulullah saw selalu berpuasa pada hari Senin dan Kamis” (HR. Turmudzi, Nasai dan Ibn Majah).
Imam Ibrahim an-Nakha’i, apabila hari Kamis tiba, ia selalu menangis kepada isterinya, dan isterinya pun menangis kepadanya sambil berkata: “Hari ini, amal perbuatan kita disetorkan kepada Allah”.
Sementara waktu penyetoran buku catatan insan kepada Allah yang sifatnya tahunan, yaitu pada bulan Sya’ban. Rasulullah saw dalam hal ini bersabda:
عن أسامة بن زيد قال: قلت: يا رسول الله, رأيتك تصوم فى شعبان صوما لا تصومه فى شيئ من الشهور إلا فى شهر رمضان, قال: ((ذاك شهر يغفل الناس عنه بين رجب وشهر رمضان, ترفع فيه أعمال الناس, فأحب أن لا يرفع عملى إلا وأنا صائم)) [رواه النسائى وصححه الألبانى فى صحيح سنن النسائى]
Artinya: “Usamah bin Zaid berkata: “Saya berkata kepada Rasulullah saw: “Ya Rasulullah, saya melihat anda banyak melaksanakan puasa pada bulan Sya’ban ini. Padahal anda tidak melaksanakan puasa satu bulan penuh melainkan pada bulan Ramadhan”. Rasulullah saw bersabda: “Ini yaitu bulan di mana orang-orang umumnya lalai yaitu bulan di antara Rajab dan Ramadhan (maksudnya bulan Sya’ban=pent) di mana pada bulan Sya’ban itu amal perbuatan insan diangkat. Maka saya sangat menginginkan sekali tidak diangkat amal perbuatanku melainkan saya sedang berpuasa” (HR. Nasai dan hadits ini dipandang Hadits Shahih oleh Syaikh Albani dalam bukunya Shahih Sunan an-Nasa’i).
Karena itu juga, Rasulullah saw senantiasa memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, bahkan dalam sebuah hadits disebutkan, ia puasa satu  bulan penuh, disambung dengan bulan Ramadhan (HR. Bukhari). Sekali lagi, semua itu lantaran bulan Sya’ban yaitu bulan mulia, di mana buku catatan amal insan disetorkan oleh para malaikat kepada Allah setiap tahunnya.
2.      Bulan Sya’ban bulan penentuan kematian manusia
Dalam hadits di bawah ini disebutkan, bahwa kematian insan untuk satu tahun ke depan ditentukan pada bulan Sya’ban. Dan tidak semata-mata Allah menentukan bulan Sya’ban melainkan lantaran bulan tersebut mempunyai keistimewaan tersendiri. Rasulullah saw dalam hal ini bersabda:
عن عائشة قالت: كان أكثر صيام رسول الله صلى الله عليه وسلم في شعبان, فقلت: يا رسول الله, أرى أكثر صيامك في شعبان, قال: ((إن هذا الشهر يكتب فيه لملك الموت من يقبض, فأنا لا أحب أن ينسخ اسمي إلا وأنا صائم)) [رواه أبو يعلى]
Artnya: “Aisyah berkata: “Puasa sunnat yang paling banyak dilakukan oleh Rasulullah saw dalam  adalah puasa pada bulan Sya’ban. Saya kemudian bertanya: “Ya Rasulullah, saya melihat Anda paling banyak berpuasa pada bulan Sya’ban”. Rasulullah saw menjawab: “Pada bulan Sya’ban ini malaikat pencabut nyawa menulis siapa saja yang akan dicabut pada tahun depan, dan saya tidak menginginkan ketika nama saya ditulis melainkan saya dalam keadaan berpuasa” (HR. Abu Ya’la).

Imam Ibnu Rajab dalam Lathaiful Ma’arif (hal 194) memberikan komentar para ulama berkaitan dengan validitas hadits di atas. Sebagian ulama, menututnya, menghukumi hadits tersebut sebagai Hadits Mursal, dan yang lain menilainya sebagai Hadits Shahih. Hadits Mursal dengan beberapa persyaratan diterima oleh Imam Syafi’i dan juga madzhab Syafi’i termasuk para ulama lainnya. Ini artinya, sekalipun hadits di atas dinilai Mursal, masih sanggup diamalkan, mengingat sebagian besar para ulama mendapatkan dan mengamalkan Hadits Mursal.
Terlebih apabila mengambil evaluasi sebagian ulama lainnya yang menilai hadits di atas sebagai Hadits Shahih, tentu sudah terang sanggup diamalkan.
Dalam hadits Mursal lainnya, disebutkan:
عن عثمان ين مغيرة بن الأخنس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((تقطع الآجال من شعبان إلى شعبان حتى إن الرجل ينكح ويولد له ولقد خرج اسمه فى الموتى)) [رواه الطبرانى, والبيهقى وقال ابن كثير فى تفسيره: والحديث مرسل]
 Artinya: “Dari Utsman bin Mugirah bin al-Akhnas, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: “Jatah umur, kematian seseorang itu sanggup dihapus dari bulan Sya’ban ke bulan Sya’ban yang lain, sehingga seseorang sanggup menikah, melahirkan, padahal namanya sudah tercantum dalam daftar orang-orang yang dicabut nyawanya (orang-orang mati)” (HR. Thabrani, Baihaki. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyampaikan bahwa hadits tersebut yaitu hadits Mursal).
      Hadits kedua ini—dan masih banyak hadits-hadits lainnya—menjadi penguat keberadaan hadits-hadits lainnya, sehingga sanggup dikatakan bahwa hadits-hadits yang berbicara bahwa bulan Sya’ban merupakan bulan penentuan kematian insan setahun ke depan yaitu hadits-hadits yang sanggup diamalkan dan sanggup dipertanggungjawabkan validitasnya.
3.      Bulan Sya’ban yaitu bulan yang sering dilalaikan orang-orang pada umumnya.
Dalam hadits sebagaimana telah disebutkan di atas, Rasulullah saw menegaskan alasan mengapa ia sering berpuasa pada bulan Sya’ban, di antaranya yaitu lantaran bulan Sya’ban ini bulan  yang banyak dilalaikan oleh insan pada umumnya. Dan waktu yang umumnya dilalaikan, berat dilakukan oleh sebagian besar manusia, memberikan waktu itu mulia, dan apapun ibadah yang dilakukan pada waktu tersebut pahalanya lebih besar dari pada waktu-waktu lainnya.

Karena itu, mengapa shalat Tahajud lebih besar dan lebih utama dari yang lainnya? Karena waktu pelaksanaannya, umumnya dilalaikan oleh manusia. Karena itu juga para ulama salaf, seringkali mengisi dan menghidupkan malam di antara Isya hingga Shubuh dengan ibadah, baik berupa shalat, membaca al-Qur’an, dzikir atau yang lainnya. Ketika ditanya alasannya, para ulama salafunas shaleh menjawab: “Karena waktu tersebut yaitu waktu yang banyak dilalaikan oleh manusia” (hiya sa’ah ghaflah).

Demikian juga mengapa Rasulullah saw pernah bersabda: “Kalau tidak memberatkan kepada ummatku, akan saya perintahkan mereka untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat Isya di selesai malam“, mengapa demikian? Karena waktu selesai malam yaitu waktu yang umumnya dilupakan manusia. Ketika waktu tersebut dilupakan dan dilalaikan manusia, maka waktu itu menjadi sangat mulia. Apapun ibadah yang dilakukan di dalamnya, pahalanya lebih besar dari pada pada waktu-waktu lainnya. Demikian juga dengan bulan Sya’ban.

4.      Bulan Sya’ban merupakan bulan Rasulullah saw.

Dalam sebuah hadits Mursal riwayat Imam as-Syuyuthi dalam kitabnya al-Jami as-Shagir, disampaikan ada tiga bulan berurutan yang masing-masing milik pihak-pihak tertentu; Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Rajab yaitu bulan Allah, Sya’ban bulan Rasulullah, dan Ramadhan bulan ummat Rasulullah. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
عن الحسن البصري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((رجب شهر الله, وشعبان شهري, ورمضان شهر أمتي.
Artinya: “Hasan al-Bashri berkata, Rasulullah saw bersabda: “Bulan Rajab yaitu bulan Allah, Sya’ban yaitu bulanku, dan Ramadhan yaitu bulan ummatku”.
      Hemat penulis, bulan Rajab disebut bulan Allah, lantaran bulan Rajab termasuk Bulan Haram, di mana tidak diperbolehkan di dalamnya berperang. Bulan itu betul-betul bulan khusus untuk ibadah kepada Allah, berupa mengadakan upacara atau hari raya keagamaan. Sebagaimana sama-sama diketahui, ada empat bulan yang termasuk Bulan Haram, bulan mulia: Rajab, Dzulqa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram.

      Disebut Bulan Haram, lantaran pada keempat bulan tersebut tidak diperbolehkan insan berbuat aniaya, termasuk berperang, membunuh, satu sama lain. Dan kejahatan yang dilakukan pada bulan tersebut dosanya lebih besar dari pada pada bulan-bulan lainnya. Karena itu, orang-orang Arab semenjak dahulu sangat 
menghormati bulan-Bulan Haram ini. Bahkan, apabila ada seseorang yang membunuh ayahnya, saudaranya atau keluarganya pada bulan-bulan Haram ini, mereka tidak melaksanakan balas dendam.

      Ibnu Hajar dalam Fathul Bari demikian juga dengan Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, menuturkan di antara alasan mengapa bulan-bulan di atas termasuk bulan-Bulan Haram. Menurutnya, di antaranya lantaran bulan-bulan tersebut bersahabat kaitan dengan pelaksanaan ibadah haji yang dahulu kala pelaksanaannya memerlukan waktu yang sangat lama. Bulan Dzulqa’dah termasuk Bulan Haram, lantaran pada bulan tersebut orang-orang berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji.

Bulan Dzulhijjah termasuk Bulan Haram, lantaran bulan tersebut yaitu waktu pelaksanaan ibadah haji. Muharram termasuk Bulan Haram, lantaran pada bulan tersebut jamaah haji pulang menuju kampung masing-masing. Sementara bulan Rajab termasuk Bulan Haram, lantaran orang-orang Arab dahulu menjadikannya sebagai bulan Hari Raya suci agama-agama. Karena itu, tidak diperbolehkan ada perbuatan-perbuatan yang mengganggu khidmatnya perayaan ibadah dan upacara suci dimaksud.

Dari sini sekali lagi kita sanggup mengetahui, bahwa secara umum bulan-Bulan Haram ini bersahabat kaitannya dengan pelaksanaan ibadah haji, dan karenanya, pantas jikalau disebut sebagai Bulan Allah.
Sementara mengapa Sya’ban disebut bulan Rasulullah saw, lantaran pada bulan ini Rasulullah saw melaksanakan aneka macam puasa sunnat. Bahkan, dalam sebuah riwayat disebutkan, sebagaimana akan penulis paparkan di bawah nanti, ia melaksanakan puasa pada bulan Sya’ban ini seluruh bulan atau sebagian besarnya. Karena itulah Rasulullah saw menyebutnya sebagai ‘Bulanku’.

Sementara Ramadhan disebut bulan ummatku, lantaran pada bulan ini ummat Rasulullah saw panen dengan pahala. Ibadah apapun yang dilakukan di dalamnya, pahalanya dilipatgandakan dari pada pada bulan-bulan lainnya. Umrah di dalamnya, pahalanya sama dengan melaksanakan ibadah haji, shalat sunnat yang dilakukan pada bulan Ramadhan, pahalanya sama dengan pahala mengerjakan shalat Wajib, dan pahala shalat wajib dilipatgandakan menjadi tujuh puluh kali lipat dari shalat wajib pada waktu-waktu lainnya. Karena itu, sangat pantas apabila bulan Ramadhan ini disebut dengan bulan ummatku, lantaran kita selaku ummat Rasulullah saw betul-betul panen pahala dan kebaikan.

5.      Bulan ditaburkannya kemulian (as-Syaraf), derajat yang tinggi (al-’Uluww), kebaikan dan keberkahan (al-Birr), kasih sayang (al-Ulfah) dan cahaya kebenaran (an-Nur).

Imam Abdurrahman bin Abdus Salam ash-Shafury asy-Syafi’i, seorang ulama pada kurun kesembilan Hijriyyah, menyampaikan dalam bukunya Nuzhatul Majalis wa Muntakhab an-Nafais, bahwa kata Sya’ban (شعبان) itu yaitu singkatan. Huruf Syin adalah kependekan dari kata asy-Syaraf  (الشرف)yang artinya kemuliaan. Huruf ‘ain singkatan dari al-’Uluww (العلو) yang artinya derajat dan kedudukan  yang tinggi, terhormat. Huruf ba singkatan dari al-Birr  (البر) yang berarti kebaikan dan keberkahan. Huruf alif berarti al-Ulfah (الألفة) yakni kasih sayang, dan huruf nun singkatan dari an-Nur (النور) yang artinya cahaya kebenaran.

Hal ini menegaskan, lanjutnya, bahwa siapapun yang sungguh-sungguh beribadah pada bulan Sya’ban ini, maka ia akan memperoleh lima hadiah dari Allah di atas, dan hal ini semua lantaran bulan Sya’ban termasuk bulan istimewa. Mungkin boleh jadi, lantaran kemuliaan bulan Sya’ban ini juga Siti Aisyah melaksanakan Qadha puasa Ramadhan di bulan Sya’ban, sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:
عن عائشة قالت: ((كان يكون علي الصوم من رمضان فما أستطيع أن أقضيه إلا فى شعبان)) [رواه البخارى ومسلم
Artinya: Siti Aisyah berkata: “Saya mempunyai hutang puasa bulan Ramadhan, dan saya tidak sanggup mengqadhanya melainkan hanya pada bulan Sya’ban” (HR. Bukhari Muslim).

6.      Bulan terjadinya beberapa insiden penting dalam Islam.

Bulan Sya’ban juga mempunyai keistimewaan lain, yaitu di dalamnya banyak terjadi peristiwa-peristiwa penting dalam Islam. Di antaranya yaitu pengalihan kiblat. Menurut sebagian pendapat, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalamFathul Bari, Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, bahwa pengalihan kiblat dari menghadap Baitul Maqdis di Palestina menuju Ka’bah di Mekkah, terjadi pada bulan Sya’ban tahun 2 H (atau Pebruari 624 M).

Selain itu, sebaian ulama juga berpendapat, pada bulan Sya’ban juga turun perintah wajibnya puasa Ramadhan kepada Rasulullah saw. Dan pada bulan Sya’ban juga diturunkannya perintah jihad di jalan Allah. Juga pada bulan Sya’ban, berdasarkan sebagian pendapat, turunnya perintah membaca shalawat kepada Rasulullah saw (QS. Al-Ahzab: 56). Empat hal di atas merupakan di antara hal besar dalam pedoman Islam, dan tidak semata-mata Allah menurunkan perintahnya pada bulan tersebut, melainkan bulan dimaksud mempunyai keistimewaan tersendiri.

  • Amalan-amalan pada bulan Sya’ban
          Apabila memperhatikan hadits Rasulullah saw, ada satu perbuatan special yang ia lakukan pada bulan Sya’ban ini, yaitu melaksanakan puasa sunnat sebanyak mungkin. Namun demikian, mengingat bulan Sya’ban yaitu bulan mulia, maka apapun ibadah yang dilakukan di dalamnya, tentu pahalanya sangat besar dan lebih besar dari yang lainnya.

Ibnu Rajab dalam Lathaiful Ma’arif pernah mengatakan, bahwa di antara lantaran dilipatgandakannya pahala perbuatan seseorang lantaran ada tiga, di antaranya yaitu lantaran kemuliaan waktu melaksanakannya (syarafuz zaman). Dan bulan Sya’ban termasuk waktu mulia dimaksud. Untuk itu, berikut ini di antara amalan yang sanggup kita lakukan di bulan Sya’ban:

1.      Berdoalah semoga diberkahi pada bulan Sya’ban dan sanggup mengikuti bulan Ramadhan

Adalah Rasulullah saw, apabila ia sudah hingga pada bulan Rajab, ia selalu berdoa semenjak bulan tersebut semoga sanggup bertemu dengan bulan Ramadhan. Hal ini tentunya sebagai rasa kecintaan dan penghormatan untuk bulan penuh berkah ini, Ramadhan. Doa yang biasa dilafalkan oleh Rasulullah saw semenjak bulan Rajab dan Sya’ban adalah:
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبَ وَشَعْبَانَ, وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
Allahumma baarik lanaa fi rojab wa sya’ban, wa ballignaa romadhan
Artinya: “Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab, juga di bulan Sya’ban ini serta sampaikanlah usia kami ke bulan Ramadhan”.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
عن أنس بن مالك قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل رجب قال: ((اللهم بارك لنا فى رجب وشعبان, وبلغنا رمضان)) [رواه أحمد والطبرانى والبزار
Artinya: “Anas bin Malik berkata: “Adalah Rasulullah saw apabila ia memasuki bulan Rajab, ia suka berdoa: “Allahumma baarik lanaa fi rajab wa sya’ban, wa ballignaa ramadhan (Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab ini, juga di bulan Sya’ban ini serta sampaikanlah usia kami ke bulan Ramadhan)” (HR. Ahmad, Thabrani dan al-Bazzar).
Menurut Imam Abdul Ghani bin Ismail an-Nablusi dalam bukunya, Fadhail al-Ayyaam was-Syuhuur (hal 29) mengatakan, bahwa hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus nya, diriwayatkan melalui tiga jalan dari Anas bin Malik. Dan hadits-hadits yang ada dalam kitab Musnad al-Firdaus adalah hadits-hadits dhaif, akan tetapi sanggup dilakukan dan diamalkan selama berkaitan dengan potongan keutamaan amal perbuatan, Fadhailul Amal.

Imam Nawawi pun dalam pendahuluan Syarah Muslim nya menegaskan, bahwa hadits Dhaif sanggup digunakan dalam potongan keutamaan amal perbuatan (bab Fadhailul a’maal). Oleh lantaran itu, sekalipun hadits wacana doa ini dhaif, akan tetapi sanggup diamalkan dalam kehidupan sehari-hari lantaran menyangkut keutamaan amal perbuatan.

Doa di atas sebaiknya dibaca berulang kali ketika kita memasuki bulan Rajab dan Sya’ban. Semakin banyak membacanya, tentu semakin besar  pahalanya. Keberkahan di bulan Rajab, keberkahan di bulan Sya’ban, dan sanggup menjumpai bulan Ramadhan, merupakan tiga hal yang sangat dibutuhkan oleh seluruh ummat Islam. Doa di atas juga sebaiknya di baca setiap selesai shalat wajib, atau pada waktu-waktu senggang sambil berdzikir atau selesai membaca al-Qur’an.

Selain doa tersebut, ada doa lain yang biasa dibaca oleh para sobat pada bulan Rajab dan Sya’ban, sebagaimana disampaikan oleh Yahya bin Abu Katsir, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Rajab dalam Lathaiful Ma’arif-nya (hal. 202) yaitu:
اللهم سلمنى إلى رمضان, وسلم لي رمضان, وسلمه منى متقبلا.
Allahumma sallimnii ilaa ramadhan, wa salllim lii ramadhan, wa sallimhu minni mutaqabbalaa.
Artinya: “Ya Allah, selamatkan dan sampaikanlah (usia) saya ke bulan Ramadhan, dan selamatkanlah Ramadhan kepada saya, serta selamatkanlah amalan-amalan saya pada bulan Ramadhan sehingga sanggup diterima”.
2.      Rajin berpuasa

Banyak berpuasa sunnat merupakan amalan special Rasulullah saw yang banyak ia lakukan pada bulan Sya’ban ini. Dalam hadits-hadits di bawah ini disebutkan, bahwa Rasulullah saw berpuasa sunnat pada bulan Sya’ban ini hamper satu bulan penuh:
عن عائشة قالت: ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم استكمل صيام شهر قط إلا رمضان, وما رأيته فى شهر أكثر صياما منه فى شعبان [رواه البخارى ومسلم] . وزاد البخارى : كان يصوم شعبان كله
Artinya: “Siti Aisyah berkata: “Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw melaksanakan puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan. Dan saya juga tidak pernah melihatnya, sangat banyak melaksanakan puasa selain pada bulan Sya’ban (HR. Bukhari Muslim), dan dalam riwayat Imam Bukhari disebutkan: “Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban satu bulan penuh”.
عن عائشة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم حتى نقول: لا يفطر, ويفطر حتى نقول: لا يصوم, وما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم استكمل صيام شهر إلا رمضان, وما رأيته أكثر صياما منه فى شعبان (رواه مسلم)
Artinya: “Siti Aisyah berkata: “Adalah Rasulullah saw seringkali berpuasa, sehingga kami berkata: “Beliau tidak berbuka”. Dan apabila ia berbuka, kami berkata: “Sehingga ia tidak berpuasa”. Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw berpuasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan. Dan saya juga tidak pernah melihat ia melaksanakan puasa sebanyak mungkin kecuali pada bulan Sya’ban” (HR. Muslim).
عن أم سلمة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه لم يكن يصوم من السنة شهرا تاما إلا شعبان, يصله برمضان (رواه أبو داود)
Artinya: “Dari Ummu Salamah, bahwasannya Rasulullah saw tidak pernah berpuasa dalam satu tahun hamper satu bulan kecuali pada bulan Sya’ban dan ia meneruskannya dengan bulan Ramadhan” (HR. Abu Dawud).
وفى رواية: ما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يصوم شهرين متتابعين إلا شعبان ورمضان (رواه الترمذى والنسائى)
Artinya: Dalam riwayat lain dikatakan: Ummu Salamah berkata: “Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali pada bulan Sya’ban dan bulan Ramadhan” (HR. Turmudzi dan Nasai).
      Untuk itu sekali lagi, berpuasa pada bulan Sya’ban sangat sebaiknya dalam jumlah yang sangat banyak. Tidak ditentukan tanggal dan harinya, tanggal berapa saja, hari apa saja, baik berurutan ataupun tidak, boleh-boleh saja untuk berpuasa. Bahkan, pahalanya sangat besar, lantaran bulan Sya’ban termasuk bulan mulia.

3.      Rajin membaca, menelaah dan mentadaburi al-Qur’an.

Membaca al-Qur’an yaitu ibadah. Bahkan, pahalanya sangat besar. Dalam sebuah hadits dikatakan, bahwa pahala membaca al-Qur’an itu dihitung bukan persurat atau per ayat, akan tetapi perhuruf. Dan satu kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh pahala bahkan lebih.
Ini artinya, apabila seseorang membaca lafadz basmallah, maka pahalanya bukan satu akan tetapi sembilan belas sesuai dengan jumlah hurufnya. Jika dilipatkan dengan bilangan sepuluh, maka dengan membaca basmallah saja pahala yang sudah dikantongi sebanyak seratus sembilan puluh. Apalagi membacanya setiap hari satu surat atau lebih, tentu pahalanya jauh lebih besar lagi. Dan tentu pahalanya akan lebih berlipat lagi apabila dilakukan pada bulan Sya’ban, lantaran termasuk bulan mulia. Berikut ini penulis ketengahkan keterangan-keterangan yang bersahabat kaitannya dengan pahala membaca ayat al-Qur’an:
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ* لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (فاطر: 29-30)
Artinya:  ”Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan rahasia dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, semoga Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri” (QS. Fathir: 29-30).
Demikian juga dengan sabda-sabda Rasulullah saw di bawah ini:
عن عثمان بن عفان أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((خيركم من تعلم القرآن وعلمه)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Orang yang paling baik di antara kalian yaitu orang yang mencar ilmu al-Qur’an dan orang yang mengajarkan al-Qur’an” (HR. Bukhari Muslim).
عن أبي موسى الأشعرى أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((مثل المؤمن الذى يقرأ القرآن مثل الأترجة ريحها طيب وطعمها طيب, ومثل المؤمن الذى لا يقرأن القرآن كمثل التمرة لا ريح لها وطعمها حلو)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Orang mukmin yang rajin membaca al-Qur’an itu menyerupai buah utrujjah, bau dan rasa buahnya enak, manis. Sedangkan orang mukmin yang tidak membaca al-Qur’an itu menyerupai buah kurma, tidak ada wangi aromanya, namun rasanya tetap manis” (HR. Bukhari Muslim).
عن أبي أمامة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((اقرأوا القرآن فإنه يأتى يوم القيامة شفيعا لأصحابه)) [رواه مسلم]
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Bacalah al-Qur’an, lantaran ia akan menjadi penyelamat bagi yang membacanya kelak di hari Kiamat” (HR. Muslim).
عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((ما اجتمع قوم فى بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسون بينهم إلا نزلت عليهم السكينة وغشيتهم الرحمة وحفتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده)) [رواه مسلمٍ]
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada sekelompok orang pun yang berkumpul di dalam rumah Allah, kemudian mereka membaca al-Qur’an dan mengkaji serta menelaahnya di antara sesame mereka, kecuali mereka akan diberikan ketenangan, dicurahkan rahmat dan dikelilingi oleh para malaikat, serta Allah akan mengingat orang-orang yang mereka ingat” (HR. Muslim).
عن عبد الله بن مسعود أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((من قرأ حرفا من كتاب الله فله به حسنة, والحسنة بعشر أمثالهاو لا أقول (الم) حرف ولكن ألف حرف, ولام حرف, وميم حرف)) [رواه الترمذى]
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang membaca satu karakter dari ayat al-Qur’an, maka pahalanya yaitu satu kebaikan. Dan satu kebaikan itu akan dilipatkan lagi menjadi sepuluh kali lipat kebaikan. Saya tidak menyampaikan bahwa alif lam mim itu satu hurup, akan tetapi alif itu satu hurup, lam itu satu hurup dan mim itu juga satu hurup” (HR. Turmudzi).
      Para shahabat, tabi’in dan salafunas shaleh, biasa lebih memperketat membaca al-Qur’an semenjak bulan Sya’ban, bukan semata pada bulan Ramadhan. Begitu bulan Sya’ban tiba, mereka menutup rumah, merapatkan barisan anggota keluarga untuk lebih rajin membaca al-Qur’an. Karena itu, para ulama menyebut bulan Sya’ban ini sebagai Syahrul Qurra’, bulannya para pembaca al-Qur’an.

Salamah bin Kuhail sebagaimana dikutip oleh Ibnu Rajab, pernah berkata: “Bulan Sya’ban yaitu Bulan Para pembaca al-Qur’an (Syahrul Qurra’)”. Habib bin Abi Tsabit, apabila masuk pada bulan Sya’ban, ia berkata: ‘Ini yaitu bulannya para pembaca al-Qur’an”.

Amer bin Qais al-Mula’i, apabila masuk pada bulan Ramadhan, ia menutup rumahnya, dan menggiatkan membaca al-Qur’an. Al-Hasan bin Sahl berkata: ‘Bulan Sya’ban pernah berkata: “Ya Allah, Eukau jadikan saya berada di antara dua bulan rahmat (Rajab dan Ramadhan), bagaimana dengan aku?” Allah menjawab: ” Saya menyebabkan kau sebagai bulan membacanya al-Qur’an”.

Untuk itu, mari kita sama-sama semenjak bulan Sya’ban ini lebih menggiatkan membaca al-Qur’an, menggali isinya dan plus mengamalkan isi kandungannya.

4.      Mengisi malam Nishfu Sya’ban

Di antara hal yang dihentikan dilupakan dalam bulan Sya’ban yaitu menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan amalan-amalan ibadah, lantaran malam ini merupakan malam yang sangat istimewa. Dan untuk bahasan persoalan malam Nishfu Sya’ban ini berikut amalan-amalan yang sebaiknya dilakukan pada malam tersebut, para pembaca sanggup melihat makalah saya yang berjudul: Mengenal Lebih Dekat Malam Nishfu Sya’ban.

5.      Melakukan amalan-amalan lainnya menyerupai shalat tahajud, Dhuha, Witir dan lainnya.

Hal ini sebagaimana di antara sabda Rasululullah saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Abu Hurairah berkata: ‘Kekasihku, Rasulullah saw telah berwasiat kepadaku tiga perkara: pertama semoga selalu melaksanakan puasa tiga hari setiap bulan, kedua, semoga melaksanakan shalat Dhuha dua rakaat dan ketiga, semoga saya selalu melaksanakan shala witir sebelum tidur” (HR. Bukhari).
 

Demikian di antara bahasan singkat wacana keutamaan dan amalan-amalan bulan Sya’ban, semoga kita semua diberikan kekuatan untuk melaksanakannya dengan penuh keikhlasan dan memohon ridhaNya, dan semoga Allah memberkahi kita selama bulan Sya’ban ini khususnya dan pada bulan-bulan lain pada umumnya, berkah rizki, berkah umur, berkah keturunan, dan berkah yang lainnya, aminn.

Qatamea, 05 Agustus 2008

Kamis, 13 September 2018

Mempersiapkan Diri Dalam Menyambut Bulan Ramadhan

Mempersiapkan Diri Dalam Menyambut Bulan Ramadhan

Mempersiapkan Diri Dalam Menyambut Bulan Ramadhan Mempersiapkan Diri Dalam Menyambut Bulan Mempersiapkan Diri Dalam Menyambut Bulan Ramadhan
Mempersiapkan Diri Dalam Menyambut Bulan Ramadhan

Tinggal beberapa hari lagi Insya Allah kita akan memasuki bulan ramadhan, sudahkah kita mempersiapkan diri kita untuk menyambut bulan yang penuh berkah dengan maksimal?

Semoga goresan pena berikut bisa menjadi wangsit untuk mempersiapkan diri dalam menyambut bulan ramadhan sehingga kita bisa menerima kebaikan dan keberkahan secara maksimal di bulan ramadhan dengan manjadi insan yang bertaqwa kepada Allah ta'ala. Aamiin.

1. Berdoalah biar Allah swt. menunjukkan kesempatan kepada kita untuk bertemu dengan bulan bulan ampunan dalam keadaan sehat wal afiat. Dengan keadaan sehat, kita bisa melaksanakan ibadah secara maksimal di bulan itu, baik puasa, shalat, tilawah, dan dzikir.

Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. apabila masuk bulan Rajab selalu berdoa, ”Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan.” Artinya, ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban; dan sampaikan kami ke bulan Ramadan. (HR. Ahmad dan Tabrani)

Para salafush-shalih selalu memohon kepada Allah biar diberikan karunia bulan Ramadan; dan berdoa biar Allah mendapatkan amal mereka. Bila telah masuk awal  bulan Ramadhan, mereka berdoa kepada Allah, ”Allahu akbar, allahuma ahillahu alaina bil amni wal kepercayaan was salamah wal islam wat taufik lima tuhibbuhu wa tardha.” Artinya, ya Allah, karuniakan kepada kami pada bulan ini keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman; dan berikan kepada kami taufik biar bisa melaksanakan amalan yang engkau cintai dan ridhai.

2. Bersyukurlah dan puji Allah atas karunia Ramadhan yang kembali diberikan kepada kita. Al-Imam Nawawi dalam kitab Adzkar-nya berkata, ”Dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan kebaikan dan diangkat dari dirinya keburukan untuk bersujud kepada Allah sebagai tanda syukur; dan memuji Allah dengan kebanggaan yang sesuai dengan keagungannya.” Dan di antara nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada seorang hamba ialah saat beliau diberikan kemampuan untuk melaksanakan ibadah dan ketaatan. Maka, saat bulan ampunan telah tiba dan kita dalam kondisi sehat wal afiat, kita harus bersyukur dengan memuji Allah sebagai bentuk syukur.

3. Bergembiralah dengan kedatangan bulan Ramadan. Rasulullah saw. selalu menunjukkan kabar gembira kepada para shahabat setiap kali tiba bulan Ramadan, “Telah tiba kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu Allah membuka pintu-pintu nirwana dan menutup pintu-pintu neraka.” (HR. Ahmad).

Salafush-shalih sangat memperhatikan bulan Ramadhan. Mereka sangat gembira dengan kedatangannya. Tidak ada kegembiraan yang paling besar selain kedatangan bulan bulan ampunan alasannya ialah bulan itu bulan penuh kebaikan dan turunnya rahmat.

4. Rancanglah kegiatan kegiatan untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin dari bulan Ramadan. Ramadhan sangat singkat. Karena itu, isi setiap detiknya dengan amalan yang berharga, yang bisa membersihkan diri, dan mendekatkan diri kepada Allah.

5. Bertekadlah mengisi waktu-waktu bulan ampunan dengan ketaatan. Barangsiapa jujur kepada Allah, maka Allah akan membantunya dalam melaksanakan agenda-agendanya dan memudahnya melaksanakan aktifitas-aktifitas kebaikan. “Tetapi jikalau mereka benar terhadap Allah, pasti yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” [Q.S. Muhamad (47): 21]

6. Pelajarilah hukum-hukum semua amalan ibadah di bulan Ramadhan. Wajib bagi setiap mukmin beribadah dengan dilandasi ilmu. Kita wajib mengetahui ilmu dan aturan berpuasa sebelum bulan ampunan tiba biar puasa kita benar dan diterima oleh Allah. Apabila ibadah tanpa dilandasi dengan ilmu makan amal ibadahnya akan tertolak. “Tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu, bila kau tiada mengetahui,” begitu kata Allah di Al-Qur’an surah Al-Anbiyaa’ ayat 7.

7. Sambut Ramadhan dengan tekad meninggalkan dosa dan kebiasaan buruk. Bertaubatlah secara benar dari segala dosa dan kesalahan. bulan ampunan ialah bulan taubat. “Dan bertaubatlah kau sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kau beruntung.” [Q.S. An-Nur (24): 31]

8. Siapkan jiwa dan ruhiyah kita dengan bacaan yang mendukung proses tadzkiyatun-nafs. Hadiri majelis ilmu yang membahas wacana keutamaan, hukum, dan pesan yang tersirat puasa. Sehingga secara mental kita siap untuk melaksanakan ketaatan pada bulan Ramadan.

9. Siapkan diri untuk berdakwah di bulan Ramadhan dengan:
· buat catatan kecil untuk kultum tarawih serta ba’da sholat subuh dan zhuhur.
· membagikan buku saku atau selebaran yang berisi pesan tersirat dan keutamaan puasa.

10. Sambutlah Ramadhan dengan membuka lembaran gres yang bersih. Kepada Allah, dengan taubatan nashuha. Kepada Rasulullah saw., dengan melanjutkan risalah dakwahnya dan menjalankan sunnah-sunnahnya. Kepada orang tua, istri-anak, dan karib kerabat, dengan mempererat hubungan silaturrahmi. Kepada masyarakat, dengan menjadi orang yang paling bermanfaat bagi mereka. Sebab, insan yang paling baik ialah yang paling bermanfaat bagi orang lain.

Ditulis Oleh Gatot Koco
Editor Oleh Antoni CLianto 

Sabtu, 08 September 2018

Shalat Sunnah Rawatib

Shalat Sunnah Rawatib


Shalat Rawatib yaitu shalat sunat yang dilakukan sebelum atau setelah shalat lima waktu. shalat yang dilakukan sebelumnya disebut salat qabliyah, sedangkan yang dilakukan sesudahnya disebut salat ba'diyah.

Ada tiga hadits yang menjelaskan jumlah shalat sunnah rawatib beserta letak-letaknya:

1. Dari Ummu Habibah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلَّا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

“Tidaklah seorang muslim mendirikan shalat sunnah lapang dada sebab Allah sebanyak dua belas rakaat selain shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.” (HR. Muslim no. 728)

Dan dalam riwayat At-Tirmizi dan An-Nasai, ditafsirkan ke-12 rakaat tersebut. Beliau bersabda:

مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

“Barangsiapa menjaga dalam mengerjakan shalat sunnah dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga, yaitu empat rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya` dan dua rakaat sebelum subuh.” (HR. At-Tirmizi no. 379 dan An-Nasai no. 1772 dari Aisyah)

2. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu dia berkata:

حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ

“Aku menghafal sesuatu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa shalat sunnat sepuluh raka’at yaitu; dua raka’at sebelum shalat zuhur, dua raka’at sesudahnya, dua raka’at setelah shalat maghrib di rumah beliau, dua raka’at setelah shalat isya’ di rumah beliau, dan dua raka’at sebelum shalat subuh.” (HR. Al-Bukhari no. 937, 1165, 1173, 1180 dan Muslim no. 729)

Dalam sebuah riwayat keduanya, “Dua rakaat setelah jumat.” dan dalam riwayat Muslim, “Adapun pada shalat maghrib, isya, dan jum’at, maka Nabi r mengerjakan shalat sunnahnya di rumah.”

3. Dari Ibnu Umar dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا

“Semoga Allah merahmati seseorang yang mengerjakan shalat (sunnah) empat raka’at sebelum Ashar.” (HR. Abu Daud no. 1271 dan At-Tirmizi no. 430)

Maka dari sini kita sanggup mengetahui bahwa shalat sunnah rawatib adalah:
a. 2 rakaat sebelum subuh, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.
b. 2 rakaat sebelum zuhur, dan sanggup juga 4 rakaat.
c. 2 rakaat setelah zuhur
d. 4 rakaat sebelum ashar
e. 2 rakaat setelah jumat.
f. 2 rakaat setelah maghrib, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.
g. 2 rakaat setelah isya, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.

Lalu apa aturan shalat sunnah setelah subuh, sebelum jumat, setelah ashar, sebelum maghrib, dan sebelum isya?
Jawab:
Adapun dua rakaat sebelum maghrib dan sebelum isya, maka dia tetap disunnahkan dengan dalil umum:

Dari Abdullah bin Mughaffal Al Muzani dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ قَالَهَا ثَلَاثًا قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ

“Di antara setiap dua adzan (azan dan iqamah) itu ada shalat (sunnah).” Beliau mengulanginya hingga tiga kali. Dan pada kali yang ketiga dia bersabda, “Bagi siapa saja yang mau mengerjakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 588 dan Muslim no. 1384)
Adapun setelah subuh dan ashar, maka tidak ada shalat sunnah rawatib ketika itu. Bahkan terlarang untuk shalat sunnah mutlak pada waktu itu, sebab kedua waktu itu termasuk dari lima waktu terlarang.

Dari Ibnu ‘Abbas dia berkata:
شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ

“Orang-orang yang diridlai mempersaksikan kepadaku dan di antara mereka yang paling saya ridhai yaitu ‘Umar, (mereka semua mengatakan) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat setelah Shubuh hingga matahari terbit, dan setelah ‘Ashar hingga matahari terbenam.” (HR. Al-Bukhari no. 547 dan Muslim no. 1367)

Adapun shalat sunnah sebelum jumat, maka pendapat yang rajih yaitu tidak disunnahkan. Insya Allah mengenai tidak disyariatkannya shalat sunnah sebelum jumat akan tiba pembahasannya tersendiri,
Wallahu Ta’ala a’lam.