Senin, 01 September 2014

In Memoriam: Benda-Benda Yang Hilang Dalam Perjalanan

In Memoriam: Benda-Benda Yang Hilang Dalam Perjalanan

Saya orangnya memang teledor. Jangankan ketika bepergian, di rumah saja, saya sering kehilangan barang-barang. Ketika traveling, saya lebih hati-hati dalam mengemas kembali benda-benda yang kami bawa. Di hotel, saya cek ulang seluruh laci dan kamar mandi, agar tidak ada yang ketinggalan. Tapi, tetap saja, ada benda-benda yang luput dari perhatian kami, turut hilang dalam perjalanan. Berikut kenangan akan benda-benda kesayangan kami yang entah ada di mana sekarang.

1. Topi Big A di Gold Coast
Ini topi kesayangan Big A, dibeli di Target. Menurut Big A, topi ini ketinggalan di apartemen Seacrest, tempat kami menginap selama liburan di Gold Coast. Sejak hilang, kami belum bisa menemukan topi pengganti yang sebagus ini.

Big A memakai topi hijau kesayangannya di Dreamworld, Gold Coast

2. Kacamata Hitam The Emak di Queenstown
Saya jarang-jarang kelihatan cakep di foto (aslinya jelas cakep!). Nah, kacamata hitam ini sering berhasil mengkamuflasekan wajah, entah bagaimana, jadi enak dilihat. Saya tidak bisa memakai kacamata hitam biasa karena mata saya minus, jadi harus memesan lensa hitam di toko optik. Percuma tho gaya kalau gak bisa melihat jelas?
 

Saya baru sadar kehilangan kacamata hitam ini (saya bawa dua kacamata dalam perjalanan, lensa bening dan hitam) di apartemen Queenstown. Bisa jadi kacamata ini sudah hilang ketika kami dalam perjalanan ke New Zealand, dari Tasmania, kemudian singgah di Melbourne. Entahlah. Sekarang saya sudah punya ganti kacamata transitions yang lensanya berubah menjadi gelap ketika berada di lingkungan yang terang. Tapi rasanya kok foto-foto saya tidak secakep ketika memakai kacamata hitam yang lama ya? *nyalahin kacamata :p*

Emak masih pakai kacamata kesayangan di Canberra

3. Camcoder JVC di Darwin
Once upon a time, saya pengen sekali jadi video blogger. Saya pun merengek ke Si Ayah agar dibelikan camcoder. Setelah baca-baca review dan menyesuaikan pilihan dengan budget, akhirnya kami membeli camcoder merk JVC. Ternyata saya tidak begitu berbakat membuat video (kesimpulan saya sendiri setelah melihat jeleknya hasil video dengan tangan yang tidak stabil). Satu-satunya karya 'masterpiece' saya adalah video klip 4 menit perjalanan kami ke New Zealand.

Tapi belum dua tahun, camcoder ini hilang dalam perjalanan. Saya terakhir melihatnya di hotel Holiday Inn Darwin. Waktu itu kami berpisah, saya dan precils kembali ke Indonesia, sementara Si Ayah masih harus kembali ke Sydney melanjutkan studinya. Saya pikir Si Ayah yang membawa camcoder ini, sementara dia pikir saya yang membawanya. Ketika unpacking di Malang, saya tidak menemukan camcoder ini di koper.

The Emak yang pernah kepengen jadi vlogger, di Gold Coast.
            

4. Charger iPod Shuffle Big A di Darwin
Ini benda kecil tapi cukup mahal juga harganya. Ketika liburan di Darwin dan Kakadu, kami menyewa mobil dari Thrifty. Karena mobil yang sudah kami pesan online tidak tersedia waktu itu, kami di-upgrade mendapatkan mobil yang lebih canggih. Interiornya keren, termasuk colokan untuk men-charge iPod.  Tapi ya itu, barang sekecil itu luput dari perhatian kami.

Begitu sampai di Malang, baru ketahuan kalau charger mungil ini hilang. Karena beda tipe colokannya, Big A tidak bisa meminjam charger iPhone saya atau iPad Little A. Terpaksa deh saya beli baru di toko Emax. Harga charger ori sekecil ini $29. Apple memang raja tega ya?
Big A dan iPodnya di Fremantle, Perth

5. Topi Si Ayah di pesawat Emirates dari Christchurch
Ini sebenarnya topi yang saya beli di Queen Victoria Market di Melbourne, seharga $20. Tapi karena Si Ayah suka, saya berikan ke dia :) Topi ini sudah menemani Si Ayah liburan ke banyak kota, dan membuat dia tampak trendy. Sayang banget topi ini ketinggalan di pesawat Emirates ketika kami terbang dari Christchurch ke Sydney.

Si Ayah masih memakai topi di Hobart

6. Mini board Little A di Lens, Perancis
Bukan benda yang berharga banget sih. Little A mendapat mainan mini board ini dari Emirates dalam perjalanan ke Paris. Benda ini lumayan menghibur ketika kami harus menunggu kereta di CDG airport. Karena belum lama punyanya, Little A tidak ingat kalau miniboard nya ketinggalan di rumah saudara kami di Lens, tempat kami menginap semalam. Kami juga tidak mengungkit-ungkit lagi :)

The Precils di depan stasiun Lens. Big A pegang mini board.

7. Kacamata, Sepatu, Wajan & Satu Tas Dalaman di Campervan
Ini kehilangan yang membuat saya pengen nangis kalau ingat. Murni karena keteledoran saya. Perjalanan kami dengan campervan dari Adelaide ke Melbourne berakhir di Holiday Inn Melbourne Airport. Kami menginap semalam di sana sebelum terbang ke Denpasar. Sore itu kami harus mengembalikan campervan ke kantornya sebelum tutup jam lima. Si Ayah sudah membereskan barang-barang yang ada di campervan, mengangkut koper-koper berat yang isinya barang-barang pindahan kami dari Sydney. Saya diminta mengecek sekali lagi, sapu bersih barang-barang yang masih ada di sana. Kami berdua sama-sama kelelahan setelah 10 hari campervanning. Alhasil, saya luput memeriksa laci tersembunyi di tengah tempat duduk di depan, dan laci-laci dapur campervan yang memang berisi peralatan memasak. Petugas yang menerima kembali campervan pun tidak mengecek.

Saya baru sadar esok harinya bahwa ada barang-barang kami yang ketinggalan di Campervan. Untuk mengambil di kantor Apollo, waktunya tidak cukup lagi karena kami harus mengejar pesawat ke Bali. Si Ayah menelepon kantor Apollo agar mereka mengirimkan barang-barang tersebut ke Sydney, tempat adik kami. Tapi ternyata tidak pernah dikirim. Mungkin semua berakhir di tempat sampah, hiks.

Wajan multifungsi sebagai gayung :p
Si Ayah, kacamata hitamnya bikin ganteng banget!
Ada yang pernah nggak sengaja meninggalkan barang-barang selama perjalanan? Apa saja? Masih teringat nggak sampai sekarang?

~ The Emak

Baca juga:
Tip Packing Ke Eropa
Tip Packing Ke Australia dan New Zealand

Jumat, 29 Agustus 2014

Tiket Nol Rupiah Yang Membuka Mata

Tiket Nol Rupiah Yang Membuka Mata


"Mbak, kok bisa sering jalan-jalan, gimana sih caranya?" Begitu mention yang muncul di akun twitter saya. Jawaban simpelnya: "Caranya ya beli tiket, packing, terus berangkat." Terlalu tega nggak sih

Kenyataannya memang betul seperti itu. Saya dan keluarga bisa 'sering' traveling karena prioritas bersenang-senang kami memang untuk jalan-jalan. Anggaran kami jaga dari bahaya: ngopi, makan di luar, nonton bioskop, beli gadget terbaru, belanja sesuatu karena lucu, dan lain-lain. 

Memang tidak mudah mencari tiket murah, apalagi untuk kami berempat: saya, Si Ayah, Big A (12 tahun) dan Little A (6 tahun). Tiket promo selalu ada, tapi kalau dikalikan empat, tentu saja tidak murah lagi. Satu-satunya jalan adalah mencari tiket super promo alias tiket gratis. Untungnya ada Air Asia yang bisa kami andalkan untuk menjadi 'sponsor' perjalanan keluarga kami menjelajah Asia.

Tahun 2012, keluarga kami pulang kampung ke Surabaya. Setelah puas berkelana di Australia dan Selandia Baru, saya ingin mengajak anak-anak berkenalan dengan Asia. Sejak Air Asia mulai meluncurkan promosi Kursi Gratis, saya sudah mengincar destinasi-destinasi dengan penerbangan langsung dari Surabaya. Langkah awal tentu dengan langganan nawala (newsletter) dan mengikuti berita di akun Facebook dan Twitter agar selalu menjadi yang pertama tahu kalau ada tiket promo. Usaha dikit lah ya. Ndilalah-nya (lucky me), saya berhasil mengamankan tiket nol rupiah tiga kali: ke Bali, Johor Bahru dan Penang.

Ternyata tiga perjalanan tersebut tidak sekedar keren-kerenan bisa jalan-jalan (ke luar negeri) dengan ongkos irit. Tiga destinasi ini ternyata membuka mata kami, terutama The Precils, anak-anak kami, untuk melihat Asia, dunia yang berbeda dari yang selama ini mereka saksikan di Australia. 

Little A di penerbangannya yang ke-19
Bali, April 2013 

Tiket nol rupiah untuk Surabaya - Denpasar ini berhasil saya dapat setahun sebelumnya, ketika kami masih tinggal di Sydney, dan koneksi internet masih 10x lipat lebih cepat. Tanpa masuk waiting room, saya dengan cepat menemukan tanggal ketika tiket pergi dan pulangnya 'gratis'. Jangan kaget, waktu itu saya hanya bayar Rp 5000 per tiket. Jadi total untuk empat orang cuma 40 ribu. Yay! Waktu itu saya pikir, kalau toh tahun depan terjadi apa-apa dan liburan kami batal, saya tidak rugi-rugi amat.

Ini pertama kali kami sekeluarga naik Air Asia dan penerbangan Little A-waktu itu 4 tahun-yang ke sembilan belas (ya, saya mencatat hal-hal kecil semacam itu). Pertama kali juga kami terbang tanpa bagasi. Tinggal lenggang kangkung ke bandara karena saya sudah web check in dan mencetak sendiri boarding pass. Omong-omong, pajak bandara jatuhnya lebih mahal daripada tiket kami :p

Di Bali, Little A dan Big A berkenalan kembali dengan negeri dan bangsanya. Mendarat di bandara Ngurah Rai, kami disambut kepulan asap rokok. Lalu kami dibawa sopir yang cekatan menikung di gang-gang kecil di daerah Canggu, menghindari jalan yang ditutup untuk upacara. Di kanan kiri jalan, kami masih bisa melihat sisa-sisa hiasan perayaan Galungan. Di beberapa ruas jalan, kami menyaksikan anak-anak bule telanjang dada yang senang banget bisa berdiri di atas sepeda motor yang dikendarai Bapaknya. Negara bebas, hey? The Precils tentu masih ingat peraturan di Australia: anak-anak harus 'diikat' di car seat di kursi belakang mobil.

Setelah liburan singkat menikmati tenangnya Canggu dan ramainya Kuta, Selasa pagi kami pulang. Dari bandara Juanda, anak-anak langsung kembali belajar. Berangkat sekolah naik pesawat terbang? Like a boss! :D


Johor Bahru, Maret 2014

Johor Bahru tidak bisa dipisahkan dari Legoland, dan memang hanya itu tujuan kami ke sana. Saya mengincar tiket penerbangan langsung SUB - JHB ketika promo Kursi Gratis April 2013 dan mendapatkan tiket 0 rupiah untuk penerbangan tahun depan. Tiket Rp 0 bukan berarti kita nggak bayar sama sekali ya. Penumpang masih harus membayar pajak dan fuel surcharge. Alhasil, total harga tiket SUB - JHB pp per orang Rp 400.000.

Kami bersenang-senang di Legoland, apalagi diundang menginap gratis di hotel Legoland yang seperti kastil, dengan keping-keping lego yang bertebaran di mana-mana. Kami berempat fans berat Lego, jadi mabuk berat belanja di obralan, bermain di lobi hotel, theme park, water park, bahkan di restorannya.

Pulangnya, melewati jalan bebas hambatan yang cukup sepi, dengan pemandangan semak belukar dan tanah gersang, saya menyatakan kekaguman pada pemkot Johor Bahru yang bisa membuat daerahnya dikunjungi oleh banyak wisatawan, bahkan dari luar negeri. Saya tantang Big A dengan pertanyaan, "Apa yang kamu lakukan seandainya kamu jadi walikota, agar kotamu banyak dikunjungi orang, Big A?"

Air Asia di bandara Senai, Johor Bahru
Penang, April 2014

Tiket nol rupiah yang satu ini saya dapatkan saat promo Oktober 2013. Termasuk pajak dan surcharge, kami habis sekitar Rp 2 juta untuk tiket SUB - PEN berempat, atau Rp 500 ribu per orang pp. Harga normal sekitar Rp 750.000 sekali jalan. Percayalah kalau tiket 0 rupiah selalu lebih murah. Apalagi ini tanggalnya pas libur paskah.

Ngapain ke Penang? Selain karena ada terbang langsung dari Surabaya dan jatuhnya lebih murah daripada tiket domestik, juga karena Penang menawarkan paket komplit sebagai tujuan wisata: wisata kota, seni, sejarah, pantai dan kuliner. Masing-masing dari kami bisa dapat bagian yang kami senangi.

Di kota Georgetown yang panasnya melebihi Surabaya ini, anak-anak belajar bagaimana orang-orang dari ras yang berbeda bisa tinggal dengan harmoni di kota ini. Kami belajar sejarah kota ini di museum interaktif Made In Penang yang menyenangkan, tapi terutama kami belajar dari mencicipi makanan mereka dan merasakan keramahan pemasaknya. Roti canai dari India, char kway teow dari orang Tiongkok, dan ayam kicap dari orang Melayu. Berbeda-beda tapi tetap sama lezatnya.

Eat like a local. Penang street food, siapa takut?
Saya masih akan terus membawa The Precils menjelajah karena setiap pengalaman traveling akan membuka mata mereka, bahwa dunia itu luas. Anak-anak yang sering berkenalan dengan sisi dunia yang lain juga akan lebih toleran menghargai perbedaan dan mensyukuri kenyamanan yang mereka miliki di rumah. Saya masih sanggup bersabar menanti peluang dan segera menyambar kalau ada kesempatan tiket murah untuk berempat :)

Hanya saja, sekarang ini saya masih belum tahu, kalau nanti jadi menang traveling ke Nepal *fingers crossed*, siapa yang mesti saya ajak? Si Ayah, Little A atau Big A?

~ Ade Kumalasari (The Emak)

ps: tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog 10 Tahun AirAsia Indonesia


Kamis, 21 Agustus 2014

Lokasi ATM BNI di Hongkong

Lokasi ATM BNI di Hongkong

Lokasi ATM BNI di Hongkong - Kabar bagus untuk para Tenaga kerja indonesia / Buruh Migrant indonesia di hongkong. Dalam waktu dekat, Bank BNI akan menambah empat unit Mesin ATM di Hongkong.Saat ini, lokasi ATM  BNI di hongkong beralamat di G/F, Far East Finance Center 16 Hartcourt Road Hong Kong. Sementara empat unit ATM baru akan di tempatkan di lokasi-lokasi tempat berkumpulnya para TKI / BMI

Jumat, 15 Agustus 2014

Gambar Uang Baru Rp 100.000 - Uang NKRI 2014

Gambar Uang Baru Rp 100.000 - Uang NKRI 2014

Gambar penampakan uang kertas baru pecahan Rp 100.000,-  yang mulai  di edarkan pada tanggal 17 agustus 2014. -  Perubahan yang mencolok dari uang kertas pecahan baru  Rp 100.000,- dengan uang yang biasanya beredar adalah adanya tanda tangan Menteri Keuangan RI, mendampingi tanda tangan Gubernur Bank Indonesia.

Adanya tanda tangan Menkeu di uang kertas pecahan baru Rp 100 ribu itu sendiri
Lagi, Tabungan Tanpa Biaya Admin Bulanan

Lagi, Tabungan Tanpa Biaya Admin Bulanan

Otoritas jasa keuangan ( OJK ) sedang menggodok  konsep tabungan tanpa biaya administrasi bulanan  ( Tanpa Potongan ). Rencananya, tabungan tanpa biaya administrasi bulanan ini akan di terapkan pada awal tahun 2015.Dikutip dari deticom,  kepala departement penelitian dan pengaturan OJK, Gandjar Mustika, mengatakan;  penerapan tabungan tanpa biaya admin  untuk merangkul seluruh lapisan masyarakat

Kamis, 14 Agustus 2014

Gerakan Nasional Non Tunai

Gerakan Nasional Non Tunai

Bertempat di Atrium Mangga Dua Jakarta, hari ini kamis 14 agustus 2014 di canangkan gerakan nasional non tunai. Para pejabat yang hadir dalam acara itu antara lain gubernur Bank Indonesia Agus Martowardoyo, Menko perekonomian Chairul Tanjung, Wakil Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro, Wakil gubernur DKI Jakarta Ahok, dan ketua asosiasi pemerintah daerah sekaligus gubernur Sulawesi Selatan

Senin, 04 Agustus 2014

Pengalaman Terbang Dengan Air New Zealand

Pengalaman Terbang Dengan Air New Zealand

Disclaimer:
This trip is paid by Tourism New Zealand. 
But all opinions expressed by me are 100% authentic and written in my own words.

Dulu, ketika kami sekeluarga jalan-jalan keliling Pulau Selatan Selandia Baru, saya menghindari perjalanan dengan pesawat domestik. Mengingat pengalaman naik pesawat domestik di Australia yang lumayan repot. Tapi, setelah saya mengalami sendiri selo-nya naik pesawat Air New Zealand dari Christchurch ke Nelson pp, saya nggak akan ragu mengajak Precils terbang antar kota-kota di New Zealand, lain kali kalau berkunjung ke sini lagi.

Bulan Juni lalu, saya memenangkan lomba foto dengan hadiah jalan-jalan ke New Zealand. Hadiahnya untuk satu orang, tapi saya ditemani jurnalis dari The Jakarta Post, penyelenggara lomba. Kami diundang oleh Tourism Nelson Tasman untuk mengeksplorasi kecantikan alamnya. Dari Jakarta ke Christchurch kami naik Singapore Airlines, transit di Changi, Singapura. Dari Christchurch ke Nelson, kami naik pesawat domestik Air New Zealand.

Transit di Christchurch Airport
Pesawat SQ yang saya tumpangi mendarat di Christchurch Airport jam 9.30 pagi waktu setempat. Saya masih punya waktu sekitar dua setengah jam sampai penerbangan berikutnya ke Nelson, jam 12.10. Imigrasi berhasil saya lewati dengan mulus. Seperti biasa, petugas menanyakan apa maksud kedatangan saya ke NZ: diundang Pemda Nelson untuk jalan-jalan. Saya perlihatkan itinerary dari mereka, dan si petugas menimpali, "Wah, asyik banget acaramu. Selamat jalan-jalan ya." Custom Selandia Baru yang ketat pun berhasil saya lewati. Saya hanya memperlihatkan beberapa oleh-oleh dari kulit dan kayu (wayang-wayangan kecil dan pembatas buku) yang tentu saja diloloskan. Saya tidak membawa makanan sama sekali, jadi gampang lolos.


Tidak ada yang menjemput saya di Christchurch. Teman jurnalis yang mestinya terbang bersama saya pun ketinggalan pesawat di Jakarta (haduh!). Jadi saya ngider sendirian di bandara Christchurch. Biar nggak ribet bawa-bawa koper besar, saya cek in dulu si bagasi ini. Dari Tourism New Zealand (TNZ) saya cuma dibekali e-ticket. Celingak-celinguk mencari konter cek in, ternyata tidak menemukan konter yang melayani penumpang kelas ekonomi. Pelayanan cek in untuk kelas ekonomi digantikan oleh mesin yang mirip-mirip mesin ATM ini.

Saya pun mencoba self check in dengan mesin. Ternyata gampang kok, tinggal memasukkan kode booking. Si mesin ini pintar, langsung tahu saya siapa, dari mana mau ke mana. Ya iya lah. Mesin ini kemudian mencetakkan stiker bagasi yang harus saya pasang sendiri di pegangan tas (ada petunjuknya). Setelah itu, tas harus saya taruh sendiri di ban berjalan (bag drop) yang langsung menuju pesawat. Di dekat mesin cek in juga ada timbangan. Awas, bukan buat orang, tapi buat menimbang bagasi. Mungkin kalau bagasinya kelebihan berat (maksimal 23kg), para penumpang diharapkan membayar sendiri atau bagaimana, saya kurang tahu. Tapi sistem cek in dengan mesin ini mengasumsikan penumpang jujur semua. Dan memang begitu sepertinya penduduk New Zealand ini.

Setelah sukses melepaskan beban berat alias si koper, saya cari-cari kamar mandi. Sebenarnya saya bukan orang yang hobi mandi. Tapi karena di itinerary dianjurkan mandi di bandara, saya manut-manut saja. Malu juga mau ketemu perwakilan turisme Nelson tapi masih muka bantal begini. Saya menemukan fasilitas mandi di toilet untuk orang difabel. Saya cari-cari di toilet perempuan tidak ada kamar mandinya. Untuk memastikan, saya pun bertanya ke petugas airport, boleh nggak mandi di situ. Si petugas malah tertawa, ya boleh-boleh saja, ditaruh di situ karena jarang dipakai orang kok. Saya pun berjanji akan mandi secepat mungkin, jaga-jaga kalau ada orang disabel yang perlu toilet.

Tapi susah berhenti ya kalau mandinya pakai air panas dengan pancuran yang kencang. Di sana juga telah disediakan sabun mandi gratis yang cukup wangi. Saya bawa handuk andalan saya: microfibre towel dari Kathmandu yang lembut tapi gampang kering kembali.

e-ticket dan boarding pass yang dicetak sendiri di mesin

Setelah seger kembali, saya tidak minder nongkrong di lounge keberangkatan yang penampakannya lebih mirip kafe itu. Omong-omong, tidak ada pemeriksaan keamanan apapun untuk penerbangan domestik. Hanya ada pernyataan bahwa penumpang tidak membawa barang-barang berbahaya ketika cek in di mesin. Orang sini baik-baik.

Karena masih kenyang dari sarapan di pesawat, saya nggak jajan apapun. Saya sempatkan jalan-jalan ke lounge keberangkatan internasional di lantai atas. Di sana ada toko Relay yang menjual buku, stasioneri, camilan dan suvenir termasuk kartupos. Bagusnya, toko ini juga menjual perangko, termasuk untuk tujuan internasional. Sebelum pulang kembali ke tanah air, saya sempat mengirim kartupos ke beberapa follower @travelingprecil. Tinggal cemplungin ke kotak pos yang ada di depan toko.

Lima belas menit sebelum jadwal pesawat berangkat, kami dipersilakan boarding, dengan berjalan langsung menuju pesawat, tanpa garbarata. Sepanjang jalan menuju pesawat, para penumpang saling sapa, tampaknya semua orang kenal semua orang. Seperti dengan tetangga yang pulang kampung bareng.


Untuk penerbangan selama 50 menit ini, kami naik pesawat Bombardier Q300  yang kursinya hanya ada 50. Ya, memang seperti naik bus karena penumpangnya juga saling kenal semua, kecuali saya. Pesawat ini punya dua baling-baling di kanan kiri. Saya yang duduk dekat jendela bisa melihat dengan jelas ketika roda pesawat meninggalkan landasan dan ketika nanti kembali mendarat di landasan. Tapi meski terbang dengan pesawat kecil, penerbangan tetap nyaman. Tidak ada guncangan yang berarti, meski kami harus selalu memakai sabuk pengaman. Lucunya, di bawah kursi tidak tersedia live vest. Sebagai gantinya, dalam keadaan darurat, kursi pesawat bisa diambil dan digunakan sebagai pelampung.

Pramugari di Air New Zealand ramah-ramah, seperti kebanyakan Kiwi lainnya. Di pesawat, kami hanya diberi air putih dan permen (kalau mau). Pramugari berkeliling membawa teko air putih dan menyelipkan permen serta gelas-gelas plastik kecil di kantung apronnya. Saya sebenarnya pengen menyimpang gelas plastik dengan tulisan Air New Zealand tersebut untuk kenang-kenangan. Tapi karena bule ganteng yang duduk di sebelah saya mengembalikan gelas miliknya ke pramugari, seraya menatap saya seolah bilang, "Balikin gih," saya jadi mengurungkan niat.
 
Karena tidak terbang terlalu tinggi, saya selalu bisa melihat pemandangan lanskap New Zealand dari balik jendela. Awalnya lanskap pesisir timur, kemudian dilanjutkan dengan gunung-gunung yang ujungnya berselimut salju, negeri middle earth yang indah.



Bandara Nelson lebih kecil, hanya punya satu boarding gate yang juga menjadi arrival gate. Bandara ini tidak punya ban berjalan, bagasi penumpang disajikan langsung dari troli besarnya di luar bandara. Area cek in juga kecil, hanya ada satu petugas dan dua mesin cek in. Tidak ada pemeriksaan apapun di bandara ini.

Ketika ada pengumuman bahwa pesawat terlambat, tidak ada kepanikan atau gerutu dari penumpang. Orang-orang sini memang santai ya? Ketika kami mendarat di Christchurch, dalam perjalanan pulang dari Nelson, pramugari dengan nada ceria mengumumkan: "Selamat datang di Christchurch. Bagi penumpang yang ingin melanjutkan perjalanan ke Queenstwon, ups, maaf, kalian ketinggalan pesawat. Sila menunggu penerbangan selanjutnya. Tapi buat yang ingin melanjutkan terbang ke Dunedin, selamat! Ini pesawat yang akan terbang ke sana, jadi sila menunggu di sini. Terima kasih sudah terbang dengan Air New Zealand." Hehehe, santai poool.

Tiket saya ini dibelikan oleh TNZ seharga NZD 398, untuk penerbangan CHC-NSN pp. Tentu saja itu tarif full price. Untuk mencari harga promo, Air New Zealand bagi-bagi tiket murah tiap hari di website Grab A Seat.

Untuk yang pengen naik Air New Zealand, bisa naik untuk penerbangan domestik NZ atau penerbangan internasional dari Australia. Cek rute terbang di website resmi mereka. Sayangnya, hanya ada penerbangan musiman dari Bali menuju Auckland, itu pun tidak bisa dipesan langsung ke website-nya. Saya intip untuk penerbangan Auckland - Denpasar pp, tarifnya sekitar NZD 1200, dengan lama penerbangan 8 sampai 9 jam. Yang tertarik naik pesawat ini atau sekedar membandingkan tarifnya, bisa menghubungi kantornya di Bali di nomor +62-361 7841659.

Setelah tahu selonya penerbangan domestik di NZ ini, saya jadi pengen segera ajak anak-anak kembali ke sini. Ya, keramahan dan indahnya New Zealand selalu bikin pengen balik lagi.

Cek in di bandara Nelson

~ The Emak

Baca juga: 
Berburu Tiket Pesawat Murah ke New Zealand 
Pengalaman The Precils Naik Emirates (Christchurch - Sydney) 
Terbang Ke New Zealand Dengan Singapore Airlines 
Tips Merencanakan Perjalanan Ke New Zealand