Senin, 25 Februari 2013

Bromo With Kids

Bromo With Kids

Lanskap Bromo
Perlu waktu lima tahun dan lebih dulu berkeliling ke negeri-negeri asing sebelum akhirnya saya melihat dengan mata kepala sendiri, landscape yang agung dan megah ini adanya di belakang rumah kami.

Si Ayah menghabiskan masa remajanya di kota Malang, beberapa kali ke Bromo, dan pernah mendaki gunung Welirang dan Arjuna. Namun sejak kami menikah, belum sekali pun Si Ayah punya niatan membawa saya jalan-jalan ke Bromo, yang notabene dekat sekali dengan Malang. Ketika kami pindahan dari Australia bulan September tahun lalu, saya sedikit memaksa Si Ayah untuk mengajak saya dan anak-anak mengunjungi Bromo.

Agaknya saya sedang beruntung. Seorang teman yang rumahnya di Tumpang (30 menit ke arah utara Malang), menawarkan akan 'mengantar' kami. Kebetulan tetangganya menyewakan Hard Top dan sering mengantar turis ke Bromo. Klop lah. Saya langsung mengiyakan dan sepakat berangkat seminggu kemudian, sebelum musim hujan mulai datang.
 
Bromo bisa dicapai dari kota Probolinggo (jalur paling populer dengan jalan paling mulus), Pasuruan dan Malang. Bisa juga dari Lumajang (jalur paling tidak populer). Kalau kita ikut tur atau menyewa mobil dan sopir dari Surabaya, biasanya akan dilewatkan jalur Probolinggo ini, yang bisa dilalui oleh mobil biasa (MPV), tidak perlu 4 WD. Nanti sampai Cemoro Lawang, kita perlu menyewa Hard Top (Jeep) untuk turun ke lautan pasir. Alternatif lain adalah naik ojek atau kuda.

Kabarnya, jalur dari Malang adalah jalur yang paling bagus pemandangannya, meskipun jalannya kurang bagus (baca: tidak ada jalan aspal!). Jalur yang akan kami lewati adalah: Malang - Tumpang - Gubug Klakah - Ngadas - Jemplang - Padang Savana - Lautan Pasir - Cemoro Lawang - Penanjakan. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di peta yang saya unduh dari website resmi Bromo Tengger Semeru National Park.


Peta Wisata Bromo dari website resmi BromoTenggerSemeru. Klik untuk memperbesar.
Kami bermalam di rumah teman di Tumpang dan berangkat sekitar pukul 3 dini hari. The precils yang masih tidur langsung saya angkut ke mobil. Hard top yang kami sewa bisa muat untuk empat dewasa, tiga precils plus sopir. Pak Wawan, sopir kami, menyewakan hard top ini seharga Rp 700 - 800 ribu per hari, sudah termasuk bensin. Untuk kami tentu pakai harga teman, hehe

Sampai GubugKlakah jalanan masih lumayan mulus. Tapi menuju desa Ngadas, jalan mulai mendaki dan mengocok perut. Little A aman-aman saja di pangkuan saya, sementara Big A berusaha melanjutkan tidurnya. Sesekali mata saya terbuka melihat bulan penuh yang mengikuti, dan ngarai yang terpampang nyata di sisi mobil kami. Sambil terkantuk, saya ingat mobil kami menyusuri jalanan sempit berbatu di desa Ngadas, yang terletak di ketinggian 2100 dpl. Konon, Ngadas ini merupakan desa tertinggi di Jawa Timur. Setelah Ngadas, kami sampai di Jemplang, persimpangan jalan menuju Bromo dan Ranupani. Di sini banyak pemuda yang menyewakan motor trail untuk dipacu mendaki gunung dan melewati lautan pasir. Jalan dari Jemplang menuju padang savana dan lautan pasir betul-betul Innalillahi, tidak mungkin dilalui oleh mobil (atau sepeda motor) biasa. Awalnya jalan ini sempit dan berbatu-batu, kemudian berganti dengan lautan pasir yang bisa membelit ban kendaraan tanpa ampun. Melewati lautan pasir, Pak Wawan semakin hati-hati menyetir. Saya membuka mata lebar-lebar melihat pegunungan menjulang yang mengepung jalan kami di sisi kiri dan kanan. Bulan masih setia mengikuti di belakang. Saya tidak sabar melihat pemandangan ini ketika matahari sudah bersinar.

Sekitar jam 4.30 kami tiba di Cemoro Lawang yang hiruk pikuk. Hard top kami merayap menuju lapangan parkir di Penanjakan, look out untuk melihat matahari terbit. The Precils survived. Tapi bau solar yang menguar dari puluhan kendaraan membuat saya ingin muntah.

Sunrise di Bromo

Cuaca bulan September cukup dingin, tapi tidak sedingin yang saya bayangkan, mungkin sekitar 15 derajat celcius. Kami cukup memakai baju dalam termal, baju biasa, kaos kaki dan jaket. Tak lupa syal dan beannie. Turun dari mobil, kami langsung disambut penjaja sarung tangan, syal dan kupluk. Sambil menahan perut yang bergejolak, saya pasang cengiran lebar agar tidak diganggu. Si Ayah membelikan sarung tangan untuk Big A. Sementara Little A baik-baik saja dengan kostum yang dia kenakan.

Barang penting yang wajib dibawa ketika mengunjungi Bromo adalah masker, yang untungnya sudah disediakan oleh teman kami. Debu di Bromo ini luar biasa banyaknya, terutama pada akhir musim kemarau. Dari tempat parkir, kami berjalan sedikit mendaki ke vantage point di Penanjakan. Sabtu pagi ini ramainya luar biasa. Menjadi tujuan wisata yang populer untuk berlibur, mungkin Bromo memang seramai ini tiap akhir pekan. Spot-spot terbaik sepertinya sudah diambil orang. Kalau kami paksakan tetap di lokasi itu, mungkin hanya akan melihat orang-orang yang saling memotret dengan kamera dan gadget mereka. Bukannya saya tidak ingin berbagi keindahan sunrise Bromo yang terkenal ini, tapi saya sangat terganggu dengan tingkah polah beberapa pengunjung yang sangat berisik. Mereka tertawa terlalu keras dan berteriak-teriak. Memporak porandakan bayangan saya akan sunrise romantis yang bisa kami nikmati dengan khusyuk. Mungkin dengan secangkir kopi yang baru diseduh. Saya menghibur diri dengan melihat ke sisi gunung Bromo, tempat bulan yang bersiap undur diri. Di bawah sana, terlihat kerlip lampu barisan kendaraan yang merayap. Lain kali, kami sebaiknya ke sini di luar akhir pekan dan musim liburan.

Diam-diam, saya bawa The Precils melipir ke tempat yang lebih sepi.

Kami menemukan tempat yang cukup lapang dan hangat untuk melihat naiknya matahari. Dalam hening, kami menyaksikan lukisan cahaya memenuhi langit, memerah dan membangunkan bunga-bunga liar di sekeliling kami.

Kami menunggu satu persatu kendaraan yang membawa para pengunjung turun ke lautan pasir. Saya mengajak The Precils untuk naik dan duduk di atap Hard Top melihat-lihat suasana, sambil makan camilan. Akhirnya hiruk pikuk usai dan kami pun meninggalkan Penanjakan. Mobil turun dan parkir di dekat Gunung Batok yang fotogenik, cantik difoto dari sudut mana saja. Di sana sudah banyak warung-warung portabel yang buka untuk melayani sarapan. Kami sendiri sudah membawa bekal nasi kotak dari rumah, menikmati sarapan di dalam mobil untuk menghindari debu yang bersliweran.

Di dekat tempat parkir kendaraan bermotor ini ada toilet umum. Sayangnya, seperti layaknya toilet umum di Indonesia, kebersihannya kurang terjaga. Di toilet duduk yang kami pakai, lantainya banjir dengan luberan air entah dari mana. Wastafel di luar toilet pun tidak bisa digunakan. Duh, ini tujuan wisata internasional tapi toiletnya standar kampung :|

Lautan pasir dilihat dari Penanjakan
One last standing
Di pelataran Gunung Batok ini Little A bisa bermain-main dengan temannya, dan tampaknya sangat menikmati suasana. Untuk anak kecil, apa yang lebih menyenangkan dari lapangan luas yang bisa untuk berlarian sepuasnya? Dan bisa naik kuda.

Banyak pemuda Tengger yang menawarkan jasa naik kuda pada kami. Mereka sopan dan tidak memaksa. Teman kami bilang, jangan terburu-buru menawar. Rupanya dia sudah punya langganan naik kuda di sini, temannya entah kenal dari mana :) Dia menelpon Woko, si pemuda Tengger ini untuk datang. Yak sodara-sodara: di gunung Bromo ada sinyal! Kita bisa narsis sepuasnya, langsung update status di Facebook, unggah foto di Instagram, unggah video di Vine, berkicau di Twitter, atau kultwit sekalian. Adakah yang lebih keren daripada kultwit dari atas punggung kuda melewati lautan pasir menuju Gunung Bromo?

Tapi kalau tidak menyimpan gadget kita yang canggih ini di dalam saku atau tas, kita bakal kehilangan banyak pesona yang terjadi di sekeliling kita. Ibu pemilik warung melayani pelanggan dengan senyum ramah, tidak berusaha mengambil keuntungan yang tidak masuk akal, meski dia berjualan di obyek wisata internasional. Penjaja suvenir kaos Bromo tetap tersenyum meski saya menolak membeli dagangannya. Sepasang kekasih berpose mesra dengan latar belakang pegunungan yang megah. Lalu setitik debu di kejauhan sana, berderap, mendekat...

Woko si pemuda Tengger datang.

Deru Debu
Bersama pemuda Tengger. Woko di sebelah kanan :)
Little A dan temannya di depan Gunung Batok
Kami kembali mendapat 'harga teman' dari Woko. Di akhir pekan, susah mendapatkan harga Rp 100 ribu untuk naik kuda. Biasanya mereka minta Rp 150 - 200 ribu. Rute pilihannya adalah mengelilingi Pura atau berhenti sampai di depan tangga menuju puncak Bromo. Saya berboncengan dengan Little A menuju puncak Bromo. Sementara Big A memilih jalan memutari Pura saja. Entah mengapa, Big A punya ketakutan terhadap volcano, gunung berapi.
 
Kata Si Ayah, landscape gunung Bromo ini sudah jauh berubah, lautan pasirnya jauh lebih tebal daripada yang dia ingat dulu. Mestinya memang letusan tahun 2010 yang mengubah landscape gunung ini. Jalan dari tempat parkir mobil menuju kawah Bromo tidak terlalu jauh, tapi dengan debu yang bersliweran dan ketebalan pasir yang membuat kaki kita bisa lesap, lebih bijaksana kalau menyewa kuda untuk sampai di depan anak tangga. Saya bersyukur duduk di atas punggung kuda, kalau tidak, mungkin tenaga saya sudah habis untuk menaiki tangga sampai di puncak Bromo.

Tadinya saya berniat menghitung jumlah anak tangga menuju puncak Bromo, apakah benar 250 seperti yang diceritakan orang-orang. Tapi apa daya, di anak tangga kesepuluh napas saya sudah mulai tersengal. Sementara Little A dengan gagah perkasa bertekad untuk naik tangga sendiri tanpa digendong. Beberapa orang lokal menawarkan jasa ojek gendong (yep, semua ada di Indonesia), tapi saya tidak rela melepaskan Little A digendong orang asing. Lagipula anaknya baik-baik saja  dan malah senang kok :)

And we made it! Kami sampai di puncak dan masih bisa berpose tersenyum untuk difoto. Saya tidak berani lama-lama di puncak karena sungguh-sungguh berbahaya. Di atas sana tidak ada pengaman yang cukup menjamin seseorang tidak terjatuh ke kawah. Tolong pegang anak anda erat-erat! Di atas, saya sempatkan mengambil satu momen hening, menghirup udara memenuhi paru-paru dan membuat catatan mental bahwa saya pernah ada di atas puncak Bromo ini. Dari atas, saya bisa melihat manusia menyemut, dan mobil-mobil yang hanya tampak seperti titik-titik debu. Di tengah semua ini, saya melihat Pura Luhur Poten, tempat sembahyang masyarakat Tengger, yang berdiri dengan kokoh namun anggun. Pura ini seperti menjembatani kekerdilan kita dan keagungan mahakarya Sang Pencipta.


Are you ready, Little A?
Di puncak Bromo
Si Ayah menggendong Little A menuruni tangga, karena jalan turun ternyata lebih berbahaya daripada jalan naik. Kami kembali ke mobil, dan Pak Wawan membawa kami ke Pasir Berbisik. Lautan pasir ini mendapatkan namanya yang sekarang karena menjadi lokasi syuting Dian Sastro di film dengan nama sama. Di lautan pasir ini, kami mendapati beberapa motor trail meraung-raung memamerkan ketangkasan mereka. Sementara di balik bebatuan, ada seorang perempuan tua berbaju pink menjaga warung portabelnya, sendirian

Kalau memilih jalur Malang, dari lautan pasir kita akan langsung kembali melewati padang Savana yang berisi bukit-bukit kecil yang lucu. I hate to say it, but they call it Bukit Teletabis. Ketika kami melewati bukit ini, rerumputan tampak kering, karena akhir musim kemarau. Kata teman saya, waktu terbaik untuk mengunjungi Bromo adalah di awal musim kemarau, sekitar bulan Mei. Rumput-rumput masih hijau karena masih mendapat sisa hujan, pasir sudah tidak lagi menjadi lautan lumpur dan debu masih belum terlalu tebal.

Perjalanan pulang kami lanjutkan. Dalam kantuk yang kembali menyerang, saya masih bisa mendengar Pak Wawan membunyikan klakson Hard Top bernada riang dan lucu setiap kali kami melewati tikungan tajam yang hanya cukup untuk satu mobil. Sebelum saya akhirnya memejamkan mata, saya masih sempat melihat dua orang penduduk desa Ngadas membawa babi hasil tangkapan mereka yang diikat pada tongkat panjang. Mungkin sebagai persiapan menjelang Upacara Karo. Ingatan saya kembali melayang pada pura yang saya lihat dari puncak Bromo.

Pura Luhur Poten. Difoto dari puncak Bromo
~ The Emak

Foto oleh Anindito Aditomo

Kamis, 31 Januari 2013

[Penginapan] Novotel Sydney Olympic Park

[Penginapan] Novotel Sydney Olympic Park

Novotel Sydney Olympic Park
Sebagai 'penduduk musiman' di Sydney, saya kadang bingung kalau diminta rekomendasi hotel yang bagus di kota ini. Masalahnya kami tidak pernah menginap di hotel. Saya hampir lupa kalau sebenarnya kami pernah menginap semalam di Novotel Sydney Olympic Park. Dapat voucher gratisan :)

Ceritanya, di awal tahun 2010, saya ikut kuis yang diadakan Sydney Olympic Park di website-nya. Alhamdulillah menang, dan hadiahnya banyak banget, antara lain tiket VIP nonton Taylor Swift, tiket nonton International Sydney Tennis Tournament, tiket nonton kriket, voucher makan di Armory Wharf cafe, voucher sewa sepeda dan... voucher menginap semalam di Novotel SOP plus makan malam untuk sekeluarga.

Kompleks Sydney Olympic Park (SOP) ini bekas fasilitas yang digunakan untuk penyelenggaraan Olimpiade Sydney tahun 2000. Sampai sekarang, kompleks ini masih terawat dengan baik, banyak sekali acara olahraga, konser musik, bahkan layar tancap yang diadakan di sini. Selain gedung-gedung olahraga, ada juga taman Bicentennial seluas 40 hektar, dengan arena bermain dan danau yang biasanya digunakan masyarakat umum untuk main-main sepeda, lari, jogging atau jalan kaki, birdwatching, piknik, dan barbekyuan di akhir pekan.

Kami berusaha booking hotel yang tadinya digunakan untuk akomodasi atlet dan ofisial Olimpiade 2000 dengan voucher gratis sejak Januari, tapi baru dapat tanggal kosong di akhir pekan pertengahan April. Nggak papa lah, yang penting gratis! Dari rumah kami di Lakemba, hotel ini jaraknya 10 km. Kalau dari kota, jaraknya sekitar 16 kilometer ke arah barat. Kita bisa mencapai Sydney Olympic Park dengan semua moda kendaraan umum: bus, kereta dan feri. Perjalanan kira-kira 30-45 menit. Untuk tahu jalur menuju kompleks ini, klik di sini.

Hotel ini tepat di tengah kompleks Sydney Olympic Park, di depan stadion utama, bersebelahan dengan hotel Ibis. Kami datang untuk cek in seawal mungkin, jam dua siang. Pelayanan cek in biasa saja, dengan keramahan standar Novotel :) Kami diberi kamar di lantai 14 dengan pemandangan keren, bisa melihat stadion utama dari atas.

Novotel termasuk brand yang ramah anak-anak. Tiap kamar dilengkapi dengan dua double bed yang bisa digunakan untuk dua dewasa dan dua anak-anak, tanpa membayar biaya tambahan extra bed. Dekorasi kamar cukup trendi. Amenities yang diberikan sesuai standar Novotel: sabun, shampoo, shower gel, tapi tanpa sikat gigi. Sama dengan pengalaman kami menginap di Novotel Canberra tahun sebelumnya. Saya juga heran kok hotel di Aussie ini pelit banget memberi sikat gigi, hehe. Kamar mandi cukup luas dan bersih, meski tanpa bath tub. Kami leyeh-leyeh di kamar ini sampai sore. Saya bertanya-tanya, siapa ya yang menghuni kamar ini ketika Olimpiade 2000 dulu?


Dua double bed, cukup nyaman untuk berempat
Lobi, ada mainan anak2 dan mainan orang dewasa :p
Amenities standar di Novotel. Minus sikat gigi.
Hotel ini tidak mempunyai kolam renang sendiri. Sebagai gantinya, kami diberi tiket masuk ke SOP Aquatic Centre, yang juga merupakan venue untuk cabang olahraga renang di Olimpiade 2000. Aquatic Centre ini letaknya di seberang hotel, sekitar 100 m. Sore hari, kami jalan kaki ke sana. 

Aquatic Centre terbuka untuk umum, dilengkapi dengan kolam bermain anak, tempat fitnes, whirpool, sauna, taman untuk piknik dan kafe. Ada satu kolam lap besar untuk yang berenang serius, satu kolam sedang untuk belajar berenang dan main-main, dan satu kolam dangkal yang dilengkapi seluncur dan permainan air lain untuk anak-anak. Sementara itu, kolam ukuran Olympic hanya digunakan untuk pertandingan renang. Biasanya di akhir pekan, kolam ini ramai pengunjung. Kami sempat beberapa kali berenang dan bermain-main air di sini. Terletak di suburb bagian barat Sydney, kolam ini menjadi favorit bagi komunitas muslim yang tinggal di sini. Penampakan burqini (baju renang muslimah) tidak asing lagi di sini :)

Sunrise di atas stadium
View dari kamar kami di lantai 14
Swimming Pool, cuma selemparan batu dari hotel
Malamnya kami menikmati makan malam gratis di restoran hotel. Kami memesan steak saus jamur, spaghetti bolognese dan ayam dengan herb dan sayuran. Rasanya ya begitu-begitu saja, tidak istimewa. Dan sepertinya Si Ayah masih lapar karena belum makan nasi :D

Malam hari, kami dikejutkan oleh ledakan kembang api. Mengintip dari jendela, ternyata memang ada kembang api yang dinyalakan dari salah satu venue. Sepertinya ini perayaan komunitas Bangladesh yang ada di Sydney karena sore harinya kami berpapasan dengan banyak sekali orang berpakaian tradisional Bangladesh yang menuju venue tersebut. Lumayan lah dapat kejutan hiburan gratis.

Paginya kami disuguhi pemandangan sunrise di atas stadion. Langit merah jambu menyambut pagi. Kami turun dan menyempatkan diri jogging. Kapan lagi bisa numpang jogging di kompleks olimpiade, iya kan? Karena tidak mendapat sarapan gratis, kami membeli sarapan di kafe Gloria Jeans, tepat di lantai bawah hotel. Kalau suka fast food, di sebelah juga ada Mc D. Yep, resto junk food di kompleks olahraga terbesar di Sydney :p

Kolam untuk Olimpiade 2000
Having fun in the pool
Hotel Novotel Sydney Olympic Park ini bagus, nyaman dan ramah anak-anak, tapi hanya saya rekomendasikan untuk traveler yang memang ingin mengunjungi kompleks Sydney Olympic Park. Misalnya ingin ke acara Sydney Royal Easter Show, semacam pasar malam yang juga buka siang hari pada liburan paskah, atau nonton konser musik tertentu di salah satu stadion di sini. Kalau memang menginap di sini, bisa sekalian belanja-belanji ke IKEA Rhodes, 7 menit bermobil, dan Direct Factory Outlet (DFO) Homebush, 4 menit dengan mobil. Kalau tidak ingin berkunjung ke Sydney Olympic Park, lebih baik menginap di Novotel yang berada di tengah kota: Novotel Darling Harbour.

~ The Emak

Senin, 14 Januari 2013

Sydney Festival 2013 - Fun Run

Sydney Festival 2013 - Fun Run


Hanya berselang lima hari setelah gemerlap kembang api tahun baru, pemkot Sydney mengadakan festival menyambut musim panas yang berlangsung dari tanggal 5 - 27 Januari,bertajuk "Sydney Festival 2013". Festival yang diadakan tiap tahun dan berlangsung hampir sebulan penuh ini diperuntukkan untuk seluruh Sydneysiders maupun wisatawan. Ada yang gratis ada yang berbayar. Biasanya Sydney Festival menampilkan kegiatan-kegiatan seni seperti pertunjukan musik, tarian, terater, seni rupa dll.

Hari pertama Sydney Festival biasanya dirancang untuk dapat dinikmati seluruh keluarga. Untuk pembukaan Sydney Festival tahun ini, ada acara "Fun Run", berlokasi di depan St Mary Cathedral, Hyde Park. Di sana panitia sudah menyiapkan panggung untuk Fun Run. Dari namanya saja sudah bisa ditebak, pasti acara ini ada kaitannya dengan lari. Memang benar, namun pemkot Sydney lebih cerdas dalam meramu sebuah festival, yaitu dengan memasukkan unsur sejarah didalamnya.

Tahukah anda siapakah pelopor dari olah raga lari maraton? Beliau adalah Pheidippides, seorang kurir berita yang hidup pada jaman Yunani kuno. Menurut sejarahnya Pheidippides berlari lebih dari 240km untuk menyampaikan sebuah berita dari kota Marathon ke kota Athena. Dia berlari 240km selama dua hari tiada henti. Begitu sampai di kota Athena dan menyampaikan berita bahwa tentara Persia berhasil dikalahkan, Pheidippides pingsan lalu meninggal dunia.

Humphrey (yang  duduk di kursi) berperan sebagai Pheidippides dalam pembukaan Sydney Festival 2013 di Hyde Park.
Humphrey berlari di Treadmill dan butuh dukungan dari pasukan dansa.
Nah, dari sejarah Marathon ini, seorang penghibur bernama Humphrey berperan sebagai Pheidippides di Fun Run. Humphrey tidaklah berlari 42.2km keliling Sydney, namun dia hanya berlari di treadmill saja. Untuk berlari sepanjang 42.2km di treadmill, Humphrey membutuhkan dukungan dari warga Sydney, yaitu dengan berjoget bersama di depan panggung utama. Tidak tanggung-tanggung, Sydneysider wajib belajar jogetnya di youtube, berikut videonya (ini linknya):


Sebelum motret, saya sendiri mencoba menghafalkan gerakannya, dan menguasai gerakan awalnya saja. Lumayan buat bekal joget bersama di Hyde Park. Saat berada di Hyde Park, ternyata sebagian dari Sydneysiders yang ada di Hyde Park sudah fasih jogetnya. Sangat menyenangkan berada ditengah-tengah Sydneysiders dan berjoget bersama, demi mendukung Humphrey menyelesaikan misi Marathonnya. Suhu Sydney saat itu cukup panas gila, sehingga wajib menggunakan sun screen alias sunblock. Walau panas tak terkira, para Sydneysiders tampak bersemangat joget bersama.


Tidak hanya joget bersama, untuk mendukung Humphrey, panitia juga mengundang sejumlah komunitas-komunitas lokal, seperti Haus Da Humps, Northen Beaches Gym Star, Koalas Marching Band, Physique Aerobic, North Bridge Knockout, dan Sambadonas serta masih banyak komunitas yang lain. Seusai tampil, satu per satu komunitas-komunitas tersebut di wawancara oleh pembawa acara, dan komunitas tersebut wajib menyampaikan kata-kata penyemangat buat Humphrey.


Haus Da Humps, pasukan dansa yang lucu, kocak dan konyol.
Northen Beaches Gym Star, mereka akan mengikuti kompetisi World Cheersleader di Florida pada bulan April 2013.
Koalas Marching Band
Physique Aerobic membuat para sydneysiders ikut mengikuti gerakan senam aerobic.
Komunitas loncat tali, North Bridge Knockout, memikat sydneysiders. Ternyata loncat tali bisa dibikin FreeStyle oleh anak-anak ini.
Goyang samba dari Sambadonas turut memanaskan sydneysiders yang sudah kepanasan menunggu Humphrey menyelesaikan misi Marathon 42.2 km.
Tidak sempat saya memotret akhir dari acara ini, karena saya harus liputan di tempat lain di jam yang sama. Secara keseluruhan, acara ini yang membuat saya kagum dengan Sydney. Saya pulang dengan foto yang menarik untuk saya ceritakan disini. Saya membatin dalam bahasa jawa "Lha atasane acara mblayu nang tritmil ae lho iso di gawe acara sing meriah koyok ngene..". Terjemahannya "hanya acara berlari di treadmill saja bisa dikemas dalam acara yang meriah seperti ini.." Pantas saja Sydney tidak pernah kehabisan turis asing maupun turis domestik. Festival ini sungguh merupakan gerakan yang menggiatkan roda ekonomi kota. Saya berharap ada sebuah acara bernama "Malang Festival", yang menggandeng komunitas maupun seniman untuk memeriahkan kota Malang selama satu tahun penuh.

Tetap hangat tetap semangat
2w_^

~ Radityo adalah mahasiswa Photomedia di CATC Design School, Sydney. Baca juga blog pribadinya tentang tips dan trik fotografi di http://fototiptrik.blogspot.com.au
 

 

Selasa, 01 Januari 2013

Sydney New Year's Eve 2013

Sydney New Year's Eve 2013

Tema kembang api Sydney tahun ini adalah "Embrace"
Tahun baru identik dengan kembang api. Saya merasa beruntung bisa berada di Sydney untuk mengabadikan pesta kembang api dalam rangka memeriahkan NYE 2013. Pemerintah Sydney menjelaskan bahwa kembang api yang digunakan untuk tahun baru 2013 merupakan yang terbesar didunia. Sebuah hal yang patut diacungi jempol karena pemkot Sydney mengemas acara NYE 2013 dengan serangkaian acara menarik. NYE ini lebih diarahkan sebagai pesta rakyat (begitu kata si Ayah) yang menggunakan uang dari pajak. 

Tidaklah mudah bagi saya yang baru pertama kali datang ke Sydney untuk motret kembang api. Seminggu sebelum NYE 2013, saya selalu mencari imaji dari google. Maklum dari website resmi NYE 2013 terdapat lebih dari 80 tempat untuk melihat pesta kembang api di Sydney. 

Awalnya saya merencanakan ke Bradley's Head Point, karena saya bersama The Precils sudah pernah ke sana, dan pemandangan dari sana memang bagus, bisa melihat Harbour Bridge dan Sydney Opera House. Namun sayangnya pada NYE 2013 Breadly Head point menjadi tempat komersil, alias harus bayar $50 pada malam tahun baru. Jadi saya putuskan untuk mencari tempat lain. Guru saya merekomendasikan motret di Waverton, karena cukup bagus. Sebelumnya saya pernah ke Waverton untuk interview kerja di restoran India, jadi saya cukup tahu seperti apa Waverton itu. Dengan bantuan google, saya pun mantap melakukan survei terlebih dahulu sebelum membuat keputusan final. 
Foto hasil survei di Ball Head Point, Waverton.
Pada tanggal 28 Desember, saya berangkat melakukan survei lokasi. Saya pun berjalan kaki dari Luna Park (taman kesukaannya Big A), Milson Point, North Sydney dan Waverton. Begitu sampai Waverton, saya menekan tombol shutter kamera saya, lalu dalam hati memutuskan untuk motret NYE dari Waverton, tepatnya di Ball Head Point. Sebuah pemandangan di mana saya bisa melihat dengan jelas Harbour Bridge dan City Skyline dalam satu bingkai.

Meskipun saya sudah mantap dengan Waverton, saya masih saja mencari-cari lokasi lain. Teman-teman Aussie saya bilang kalo motret dari Botanical Garden itu bagus, namun bayar. Nah yang gratis di Mrs Macquarie. Jadi saya pun berangkat ke Mrs Macquarie untuk memuaskan rasa penasaran saya. Selidik punya selidik, pemkot Sydney menyebutkan bahwa tempat tersebut mampu menampung 17.000 orang. Wahhhh,, lha ya modar saya. Saya terjebak antrean sepanjang 3 kali lapangan bola. Namanya juga penasaran, mengapa semua orang pergi ke sana? Tiga jam antre berakhir dengan keluh kesah. Meskipun sudah datang pukul 10 pagi untuk antre, ternyata begitu masuk Mrs Macquarie saya tidak mendapatkan titik yang jelas untuk motret kembang api. Terlalu banyak pohon dan juga area terbaik untuk motret kembang api hanya bisa diakses oleh rekan-rekan media.

Antrean yang luar biasa panjang di Mrs Macquaries.
Suasana di Mrs Macquaries yang sangat padat, hampir 17.000 Sydneysiders berkumpul di sini.
2 wisatawan yang datang terlambat tampak memandangi antrian yang luar biasa panjang di Mrs Mcquaries.
Pukul 1 siang saya pun bergegas ke Waverton. Saya tidak sendirian, banyak Sydneysiders yang memutuskan untuk pindah tempat. Perlu waktu 1 jam untuk mencapai Waverton, dari stasiun St James oper ke stasiun Wynyard lalu naik kereta jurusan Northen Area. Begitu sampai stasiun Waverton, kecepatan jalan kaki saya tambah agar cepat sampai Ball Head Point. Melihat orang-orang bawa tenda dan perlengkapan piknik, semakin cepat pula langkah saya. Maklumlah, saya tidak ingin berdesak-desakan lagi seperti di Mrs Macquarie.


Tenda biru ini mengingatkanku pada kemah di Lane Clove bersama keluarga Precils.
Suasana di Ball Head Point, Waverton, damai karena tidak seramai Mrs Macquaries.
Suasana menjelang senja di Ball Head Point, Waverton.
Begitu sampai di Ball Head Point, hati saya berkata "Syukur Alhamdulillah…" karena titik atau lokasi yang saya incar tidak ditempati orang lain. Tak lama kemudian, saya mendirikan tenda darurat dari Tripod dan sarung, karena suhu udara saat itu cukup menyengat, yaitu 28 derajat Celsius. Tenda pun berdiri dan hati saya senang, tinggal menunggu selama 10 jam untuk motret kembang api NYE 2013. Dengan berbekal roti untuk makan siang dan nasi rendang untuk makan malam, saya pun kemah darurat di Ball Head Point, SENDIRIAN! Arghhh. Tak lama setelah tenda saya berdiri, hadir 1 keluarga dan mendirikan tenda di sebelah tenda saya. Si Ayah dari keluarga tersebut bilang bahwa di sini sangat nyaman buat keluarga, tidak perlu berdesak-desakan mencari tempat, bebas alkohol dan yang paling penting dapat pemandangan yang bagus. "We've been here for 3 years with the same spot, this spot is really amazing..." kata si Ayah. Buat keluarga Precils, Ball Head Point bisa menjadi "jujukan" untuk tahun baru selanjutnya.

Tenda darurat saya yang kecil nan mungil.
Pilot perang berpengalaman asal Australia, Matt Hall, memamerkan kebolehannya menerbangkan pesawat aerobic lengkap dengan semburan gas "yang tumben tidak berwarna", yang menghiasi langit senja kota Sydney.
Penantian selama berjam-jam akhirnya terbayar saat Kembang Api Keluarga menghiasi langit Sydney pada pukul 21.00 selama 15 menit dan juga Kembang Api Tahun Baru pada pukul 00.00  selama 20 menit. 

Family Firework yang muncul pukul 21.00.
Family Firework yang muncul pukul 21.00.
Family Firework yang muncul pukul 21.00.


Selamat Tahun Baru 2013 dari Sydney.

2w_^

~ Radityo adalah mahasiswa Photomedia di CATC Design School, Sydney. Baca juga blog pribadinya tentang tips dan trik fotografi di http://fototiptrik.blogspot.com.au

 

Senin, 10 Desember 2012

The Great Great Ocean Road

The Great Great Ocean Road

Twelve Apostles
Sesuai namanya, Great Ocean Road ini memang grrrrreat! Bahasa alay-nya gr8 :p Dan cara terbaik untuk menikmatinya adalah dengan slow road trip.

Jalan sepanjang 243 kilometer ini dibangun pada tahun 1919 - 1932 oleh tentara Australia yang pulang perang dunia pertama. Rute B100 ini menyusuri pantai selatan negara bagian Victoria, dari kota Torquay sampai Warrnambool. Great Ocean Road ini alasan utama kami melakukan road trip dari Adelaide ke Melbourne. Biasanya orang-orang datang dari jalur sebaliknya: Melbourne ke Adelaide. Untuk turis yang waktunya mepet dan tidak sempat melakukan road trip, tetap bisa mengunjungi Twelve Apostles (atraksi utama di GOR ini) dengan ikut tur satu hari. Cek pilihan operator tur di website resmi pemerintah Victoria ini.

Saya tidak begitu suka ikut tur karena tidak bebas berhenti sesuka hati dan kurang nyaman kalau membawa anak-anak. Takut precils rewel dan ditimpuk orang satu bis, hehe. Dari Melbourne, 12 Apostles bisa dicapai dalam 3 jam perjalanan dengan mobil/bis. Trip satu hari biasanya berangkat dari Melbourne jam 7 pagi dan sampai kembali ke kota jam 9 malam. Atau ada juga trip yang berangkatnya lebih siang, tapi tempat perhentiannya lebih sedikit. Biasanya mereka berhenti sekitar 15 menit di tempat-tempat menarik dan sampai 45 menit khusus di Twelve Apostles. Rute perjalanannya pun tidak sampai ke Warrnambol, biasanya hanya sampai Port Campbell, beberapa menit setelah 12 Apostles (dari arah Melbourne). Harga tur ini tergantung operator dan fasilitas yang disediakan, antara $75 - $150 per orang. Sila baca blog Tesya dan blog Vicky yang pernah mengikuti tur satu hari Great Ocean Road dari Melbourne.

Kami memulai GRO ini dari Warrnambol, kota kecil yang cantik, dengan taman bermain yang bagus dan luas, dan pantai yang panjang dan indah. Pantai di Warrnambol ini juga terkenal sebagai tempat untuk melihat migrasi ikan paus. Keluarga yang ingin melakukan road trip 2-3 hari dari Melbourne, dan tidak melanjutkan ke Adelaide, saya menyarankan untuk menginap di sini.

Keluar dari Warrnambol, kami mulai benar-benar menyusuri pantai, tapi belum melihat lautnya karena terhalang semak-semak. Perhentian pertama kami adalah di Bay of Islands. Mulut saya langsung menganga lebar melihat pemandangan karang-karang yang terlepas dari induknya. Kata-kata tidak bisa melukiskan keindahan yang ada di depan mata saya *tsah* Laut di depan kami benar-benar liar, tidak heran kalau terjadi korosi dan memisahkan karang-karang kapur ini dari daratan. Angin bertiup kencang sampai membuat air laut tempias ke atas. Si Ayah buru-buru melindungi kameranya dari air asin. Little A cukup terkesan dengan pemandangan laut ini tapi Big A ogah-ogahan :p Melihat langit dengan awan hitam bergulung-gulung, kami hanya singgah sebentar di Bay of Islands ini dan segera melanjutkan perjalanan.


Banyak persinggahan yang bisa dinikmati sepanjang perjalanan GRO ini, tapi kami hanya bisa memilih yang 'penting-penting' saja. Tanda tempat yang menarik sangat jelas terlihat dari jalan, dengan fasilitas tempat parkir dan kadang toilet umum. Perhentian selanjutnya adalah London Bridge. Ini bukan tiruan jembatan di London sana ya. Tadinya karang ini bernama London Arch, bentuknya mirip jembatan dengan dua lengkungan (busur) di bawahnya. Pada tahun 1990 jembatan ini runtuh, dan dua orang turis yang sedang ada di ujung harus diselamatkan dengan helikopter. Setelah kejadian itu, formasi karang ini dijuluki London Bridge, seperti lagu anak-anak Inggris yang terkenal: London Bridge is falling down... falling down...

Setelah melewati London Bridge, kami mulai banyak melihat bis-bis pariwisata yang lalu lalang, yang membawa rombongan turis dalam tur sehari. Sebelum melanjutkan perjalanan ke twelve apostles, kami melipir sejenak ke kota kecil Port Campbell untuk makan siang. Kota ini adalah kota yang paling dekat dengan Twelves Apostles, hanya 15 menit bermobil. Tapi saya tidak merekomendasikan tempat ini untuk menginap karena tidak banyak yang bisa dilihat. Tadinya kami ingin makan di restoran, tapi tidak menemukan tempat makan yang cocok (dengan selera dan kantong kami). Lalu di pinggir jalan, mata saya menangkap papan tulis di trotoar yang bertuliskan: Indomie Goreng $7. Wah, seketika saya menelan air liur. Kepala saya segera memroses 'kode' yang diberikan warung tadi. Kami merapatkan campervan di tempat parkir di tepi dermaga dan mulai memasak Indomie Goreng yang selalu kami bawa untuk keadaan darurat :D Ah, nikmatnya makan Indomie goreng dan telur ceplok di depan teluk kecil, ditemani burung-burung camar yang mencuri-curi kesempatan...

London Bridge (is falling down)
Bis nya tenggelam di semak-semak :p
Dari awal perjalanan kami melewati rute B100, langit tidak menunjukkan tanda-tanda akan tersenyum. Awan-awan hitam terus-menerus menghantui perjalanan kami. Setelah makan siang istimewa di Port Campbell, kami melanjutkan perjalanan dan singgah di Loch Ard Gorge.

Gorge atau ngarai sempit ini dinamai sama dengan kapal yang kandas di sini pada tahun 1878. Kapal Loch Ard ini mengakhiri tiga bulan perjalanannya dari Inggris menuju Melbourne. Dari 54 penumpang hanya ada dua yang selamat: Tom (15 tahun) dan Eva (17 tahun), imigran dari Irlandia. Kita bisa turun ke pantai di gorge tempat Tom dan Eva bertemu. Sayangnya kami tidak sempat turun karena harus menuntaskan perjalanan sampai ke Twelve Apostles, sebelum hujan turun!

Loch Ard Gorge
Hanya sekitar sepuluh menit dari Loch Ard Gorge, kami sampai juga di destinasi jalan-jalan yang sudah saya kami idam-idamkan sejak lama. Tempat parkir untuk melihat formasi karang yang populer ini sangat luas. Kios informasinya pun sangat bagus, dilengkapi dengan cafe yang menjual kopi, camilan dan suvenir dan tentu dilengkapi toilet yang bersih dan nyaman. Dari jauh kami mendengar raungan helikopter yang melayang-layang di udara. Naik helikopter adalah salah satu cita-cita saya yang belum tercapai. Mahal banget Kak! Untuk terbang sekitar 15 menit, kita perlu merogoh kocek $145 per orang atau sekitar satu setengah juta rupiah. Masih tertarik? Boleh intip website operator helikopter di sini.

Untuk menikmati pemandangan Twelve Apostles, kita harus menyeberang melewati terowongan di dekat kios informasi. Begitu sampai di look out, mata saya menyaksikan pemandangan yang sudah biasa saya lihat di kartu pos dan brosur dan website, hanya saja kali ini benar-benar nyata, tiga dimensi. Formasi batu karang ini memang menakjubkan, dengan latar belakang tebing merah, pantai keemasan, laut biru dan alam sekitarnya yang terjaga. Kalau saja langit cerah, kami bisa menyaksikan sunset yang sangat menawan dari titik ini. Tapi karena awan mendung bergulung-gulung, foto-foto yang kami hasilkan pun tidak seindah warna aslinya. Saya sudah cukup bersyukur bisa menyaksikan pemandangan menakjubkan ini tanpa hujan. Kalau sampai hujan, duh, bisa hancur karir saya sebagai travel blogger, hehe.

Selain pemandangan alamnya yang memang mengagumkan, saya juga kagum pada kehebatan departemen pariwisata Victoria mempromosikan salah satu ikon Australia ini. Dulunya, formasi karang ini dinamai Sow and Piglets (Babi dan anak-anaknya). Tapi karena dirasa kurang menguntungkan untuk pariwisata, pada tahun 1922 mereka memberi nama baru: The Apostles. Akhirnya agar lebih komersil, formasi karang ini dinamai Twelve Apostles, seperti jumlah murid Yesus, meskipun karangnya sendiri hanya sembilan. Sekarang kita hanya bisa melihat tujuh karang karena satu karang runtuh pada tahun 2005 dan satu lagi runtuh tahun 2009. Yang belum sempat dan ingin menyaksikan keindahan alam ini, sebaiknya cepat-cepat datang sebelum karang-karang yang lain runtuh. Kecepatan erosi di laut ini sekitar 2cm per tahun. 

Saya sendiri masih bercita-cita untuk melakukan trekking Great Ocean Walk, agar bisa menyibak keindahan dari balik semak dan turun ke pantainya yang keemasan. Sementara ini, baru bisa bermimpi sambil mengintip website Great Ocean Walk.

Kios Informasi di Twelve Apostles
Twelve Apostles
Setelah puas menikmati keindahan twelve apostles, titik hujan mulai turun. Saya mengajak The Precils berlari menuju kios informasi, yang untungnya masih menyediakan kopi panas untuk menghangatkan suasana. Sore dan malam itu kami melanjutkan perjalanan menembus hutan Otway dalam hujan lebat. Saya sampai takut sekali melalui jalan berliku di hutan karena jarak pandang yang cuma beberapa meter. Sudah jam tujuh malam ketika kami sampai di Apollo Bay dan belum juga menemukan caravan park untuk parkir. Agak kapok sampai ke caravan park malam-malam, karena susah melihat rambu jalan bergambar caravan park berwarna biru. Akhirnya kami menemukan juga Pisces Caravan Park dan cek in di menit-menit terakhir sebelum resepsionis tutup.

Kakatua bebas beterbangan di pantai Lorne

Apollo Bay cukup cantik untuk dijadikan tempat menginap, asal cuaca cerah :) Kami tidak begitu beruntung, dihantam badai sepanjang malam dan masih ada sisa gerimis esok harinya ketika kami cek out. Untungnya Tuhan berbaik hati menghadiahi kami langit yang cerah, sebentar saja ketika kami istirahat makan siang di Lorne.

Lorne adalah kota kecil tepi pantai yang sangat cantik, mengingatkan saya pada satu strip jalan di pinggir pantai Bondi. Di sini ada taman bermain yang sangat luas, dengan berbagai macam permainan menarik. The Precils betah sekali di sini. Saya juga lumayan betah meskipun harus memasak makan siang (biasa, Si Ayah tidak mau keluar uang untuk beli makan di warung) dari dalam campervan dan makan di mobil. Nggak masalah sih, karena pemandangan dari campervan yang kami parkir di tepi pantai ini sungguh menarik: burung kakatua yang kasmaran, burung-burung centil berwarna pink yang melompat-lompat lucu, dan orang-orang yang berjalan di atas air (stand up paddle surfing). Kalau sempat menjelajah GOR ini, saya akan memilih menginap di kota ini.

Jogging track di Torquay
Torquay adalah kota di ujung rute Great Ocean Road. Kami menginap semalam di sini sebelum esok harinya melanjutkan perjalanan ke Melbourne. Sepanjang perjalanan dari Lorne ke Torquay kami disuguhi pemandangan indah, setiap belokan memunculkan kejutannya sendiri. Rute ini memang dibangun di sepanjang pantai sehingga kita bisa melihat keindahan pantai, inlet, muara sungai sambil berkendara. Panjangnya road trip tidak terasa kalau kanan kiri ada yang sedap dipandang. Kata Si Ayah, "Aku rela sepuluh hari jadi sopir kalau pemandangannya seindah ini setiap hari."

Kode untuk merencanakan road trip lagi? :p

 ~ The Emak