Senin, 01 Oktober 2012

36 Jam Di Perth

36 Jam Di Perth

Pemandangan kota Perth dilihat dari Kings Park
Perth, ibukota Western Australia ini dijuluki sebagai kota yang paling terisolasi di dunia. Soalnya ya memang jauh dari mana-mana sih :) Coba lihat saja di peta benua Australia. Perth nyempil di pojok kiri bawah. Untuk mencapai ibukota negara bagian terdekat, Adelaide diperlukan waktu terbang tiga jam. Sementara dari Perth ke Sydney perlu waktu empat jam penerbangan.

Saya bercita-cita mengunjungi semua negara bagian Australia. Jadi ketika ada kesempatan kembali ke Sydney untuk menjemput Si Ayah yang selesai studi, kami sempatkan singgah dulu di Perth. Saya dan dua precils berangkat dari Surabaya ke Perth via Denpasar dengan maskapai kesayangan kami, Garuda Indonesia. Salah satu alasan saya memilih Garuda adalah bagasi kami bisa langsung diangkut dari Surabaya sampai Perth, meskipun kami harus pindah pesawat di Denpasar. Hal ini tidak bisa dilakukan kalau kami terbang dengan maskapai yang berbeda.

Berapa sih tiket Denpasar - Perth? Yang pasti lebih murah daripada tiket Denpasar - Sydney :) Sayangnya waktu itu kami perginya menjelang lebaran dan beli tiketnya mepet, jadi lumayan mahal. Apalagi kami belinya tiket round trip tapi pulangnya dari kota yang berbeda. Satu tiket dewasa dan dua tiket anak-anak dari Surabaya - Perth dan Melbourne - Denpasar sebesar $2500-an. Pasalnya harga tiket domestik-nya sendiri, dari Surabaya ke Denpasar sudah mencapai Rp 1,5 juta sekali jalan per orang, tiga kali lipat dari harga normal. Duh!

Sebenarnya harga normal tiket Garuda Jakarta - Perth pp atau Denpasar - Perth pp tidak terlalu mahal, sekitar $650 termasuk pajak. Tergantung tanggalnya dan kapan beli tiketnya. Untuk tarif early bird Garuda, bisa DPS -PER pp bisa cuma $400-an. Maskapai lain yang melayani Denpasar - Perth adalah Virgin Australia (sekitar $500 pp), Qantas (sekitar $700 pp) dan Jetstar. Untuk Jetstar ini kalau beruntung bisa mendapat tiket SALE seharga $300 pp atau bahkan $200 pp. Air Asia juga melayani penerbangan DPS - PER ini dengan tarif terjangkau kalau lagi SALE, sekitar $300 - $400 pp. Nggak heran kalau orang Perth lebih sering berlibur ke Bali daripada ke Sydney :)

Kami lepas landas dari Denpasar jam 20.45 WITA. Zona waktu Perth dan Denpasar sama. Setelah menempuh penerbangan selama 3 jam 45 menit, kami tiba di bandara Perth pukul setengah satu dini hari. Penerbangan lumayan mengguncang. Untungnya the precils tidur. Saya sendiri sampai muntah saat ada turbulence di atas Samudra Hindia. 

Kedatangan kami tengah malam diperparah oleh antrian menuju pemeriksaan Custom yang mengular panjang sekali. Saya gendong Little A dengan kain, sambil mendorong troli berisi dua koper. Paling parah ketika ada rombongan pramugari Cathay Pacific yang menyerobot antrian dengan menyapa akrab seorang pilot di depan kami, seolah-olah kami ini nggak ada. Saya sudah kehilangan suara dan tidak berdaya untuk protes. Cuma mengingat dalam hati tidak akan naik Cathay Pacific gara-gara kelakuan pramugarinya yang tidak sopan ini. Tuhan Maha Adil, koper-koper kami boleh lewat begitu saja, tidak diperiksa sama sekali oleh petugas custom. Mereka hanya mengecek formulir kedatangan kami dan menanyakan apa yang perlu di-declare. Baca di sini untuk daftar barang-barang yang tidak boleh dibawa ke Australia.

Pagi dini hari, kami naik taksi menuju rumah teman yang bersedia menampung kami di Perth. Taksi di Australia  pasti pakai argo dan antrinya juga jelas. Makanya saya nggak takut sama sekali naik taksi pagi-pagi hanya dengan dua precils. Nggak sampai setengah jam kami sampai di rumah keluarga Habibi di daerah Inglewood. Kangen-kangenan sebentar, kami langsung beristirahat lagi agar besok bisa jalan-jalan dengan tenaga yang lebih fresh.


The Precils with The Habibis at their famous couch
Bis umum di Perth
Kami cuma punya 36 jam di Perth, jadi itinerary-nya ketat banget. Saya sudah pesan ke Hayu, nyonya rumah, untuk menemani kami ke tempat-tempat yang penting saja. Enaknya punya guide, saya nggak perlu pusing bikin itinerary, tinggal ngikut aja :) Paginya kami diajak jalan-jalan ke kota, dengan naik bis umum. Kami membeli tiket satu kali jalan, untuk dewasa $2,70 dan untuk anak-anak $1,10, sementara Little A gratis. Lebih lengkap tentang sistem tiket transportasi umum di Perth bisa dilihat di sini.

Di kota, kami jalan-jalan di Murray St Mal. Bagi yang belum tahu, Mal di Aussie adalah istilah untuk jalan khusus pejalan kaki, tertutup bagi kendaraan bermotor. Seperti Car Free Day kalau di Indonesia, cuma yang ini 24 jam :) Di sana bisa ambil peta gratis atau tanya-tanya tentang Perth di Information Booth. Di sini sih tidak perlu khawatir tersesat karena petunjuk jalan jelas dan ada di mana-mana.

Setelah sempat belanja buku di Dymocks dan beli sesuatu di The Body Shop, kami lanjut membeli takeaway sushi untuk makan siang di Taka's Kitchen, restoran Jepang bersertifikat halal. Dari sana kami kembali jalan kaki menuju London Court, semacam ruko yang dibangun dengan gaya arsitektur Tudor, untuk obat kangen imigran dari Inggris :) Di ruko ini ada kios-kios lucu yang menjual pernak-pernik ala Inggris. Saya tertarik sama toko permen dan kafe kecil yang ada di sebelahnya, tapi tidak sempat mampir. Kata Zaki, guide kami, foto di London Court ini bisa untuk pamer kalau kita sudah pernah mampir ke Inggris, hehe.

Dari London Court hanya beberapa blok menuju Swan Bells, tugu kebanggaan warga Perth. Kalau Inggris punya Big Ben, Perth punya Big Bells :) Kami cuma lihat-lihat dari luar doang dan foto-foto di depannya karena masuk harus bayar. Tiket untuk dewasa $14, anak-anak $9, keluarga $30 dan di bawah lima tahun gratis. Kalau punya uang lebih, coba aja masuk. Kabarnya di dalam kita bisa mendengarkan lagu Indonesia Raya dimainkan.


Information Booth di Murray St Mal
Petunjuk jalan di Murray St Mal
Toko permen di London Court
LittleA dan The Emak di depan Bell Tower
Tujuan selanjutnya wajib dikunjungi kalau kita ke Perth: Kings Park. Dari Swan Bells kami naik Cat Bus (gratis) ke Kings Park. Taman seluas 400 hektar (gile kan besarnya?) ini bisa dibilang jiwa kota Perth. Dari atas taman, kita bisa melihat pemandangan bangunan pencakar langit di Perth berdampingan dengan indahnya Swan River yang berwarna biru. Menurutku, sungai Swan lebih indah daripada sungai Yarra di Melbourne atau sungai Brisbane yang airnya coklat. Bisa ngapain aja di Kings Park? Terserah kita sih. Little A yang gemar lari-lari langsung mengajak teman barunya, Hayya, untuk balapan lari. Sementara Big A tetap asyik dengan bacaannya. The Emak leyeh-leyeh santai sambil nyemil sushi. Setelah jalan-jalan dan memotret pemandangan kota, kami menggelar piknik di dekat War Memorial alias tugu pahlawan.

Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama menjelajah Kings Park yang kabarnya punya pohon unik Baobab. Cuma seuil aja dari 400 hektar yang kami cicipi. Perjalanan kami lanjutkan ke Freemantle dengan naik bis kota, dilanjutkan dengan kereta.


Little A dan Hayya lomba lari di Kings Park
Big A asyik baca di War Memorial, Kings Park
View dari Kings Park
Piknik di Kings Park. Ortunya pose, anaknya cuek :p
Fremantle tuh kota tua yang bisa dicapai sekitar 20 menit dengan kereta dari pusat kota Perth. Tapi hari itu kami kurang beruntung. Stasiun Central sedang diperbaiki, sehingga untuk naik kereta ke Freemantle tetap harus naik bis dulu ke stasiun terdekat setelah Central. Gampang kok caranya, tinggal cari kereta jurusan Freemantle (Freemantle Line). Nanti turunnya di stasiun terakhir. Jadwal kereta bisa dilihat di sini.
 
Dari stasiun kereta, kami berjalan menuju dermaga melalui Market St dan South Terrace yang dijuluki sebagai Cappuccino Strip, saking banyaknya kedai kopi di jalan ini. Di sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan bangunan-bangunan kuno yang ciamik, favorit saya. Sayangnya saya tidak bisa menikmati atau memotret dengan serius karena kami harus bergegas sebelum matahari benar-benar terbenam dan menghilang. Di pojok Market St, kami sempatkan mampir ke kedai coklat San Churro untuk membeli churros, camilan favoritku. Churros ini semacam donat Spanyol berbentuk batangan yang dicelupkan saus coklat. Yum!

Ketika sampai di pantai kecil di tepi dermaga, langit sudah berwarna jingga. Kami menikmati suasana senja ini bersama beberapa orang lain, yang juga sibuk foto-foto :) Ketika matahari menghilang di balik cakrawala dan langit berganti memancarkan warna pink, kami melipir ke Cicerello's untuk makan malam.

Di Cicerello's, restoran makanan laut tepi dermaga ini, kami memesan seafood tray, yang isinya
fish & chips, 2 udang, 5 calamari, crab stick, dan irisan nanas! Ah, akhirnya ketemu lagi dengan fish and chips dengan saus tartar. Ikannya enak dan segar, hasil tangkapan hari ini. Kopi flat white yang saya pesan pun sangat enak, menuntaskan dahaga saya yang kangen minum kopi enak dengan susu sungguhan :) Kalau sempat ke Freemantle, mampirlah ke Cicerello's yang di website-nya mengaku kedai makanan laut No.1 di Western Australia :)


Kereta umum di Perth
pintu keluar stasiun Freemantle
Big A di depan stasiun Freemantle
Setelah kenyang, kami menjajal naik bianglala besar di taman dekat dermaga. Dari atas Sky View, kami bisa melihat pemandangan kota Freemantle yang berhiaskan lampu. Lumayan lah keliling beberapa putaran diiringi lagu-lagu nostalgia Emaknya. Kalau Si Ayah biasanya nggak mau naik bianglala seperti ini. Alasannya tiketnya kemahalan. Tapi saya rasa Si Ayah cuma takut ketinggian, tapi nggak mau mengakui :p

Turun dari bianglala, kami benar-benar capek. Susah banget menyeret Little A untuk berjalan kembali ke stasiun. Terpaksa The Emak yang perkasa ini harus menggendong. Di stasiun, kami ketinggalan kereta, jadi harus menunggu kereta berikutnya. Untungnya kereta sudah ada dan cukup lowong, jadi anak-anak bisa main-main sepuasnya di dalam gerbong, menunggu berangkat. Kami pulang dengan jalur yang sama dengan waktu berangkat: kereta, bis pengganti sampai stasiun central, kemudian jalan kaki sampai halte bis untuk ganti bis menuju Inglewood. Satu hari yang melelahkan tapi kami cukup puas dan gembira.

Sebenarnya kalau punya banyak waktu, ada dua tempat lagi yang wajib dikunjungi di Freemantle: E Shed Market (semacam Paddys Market di Sydney) untuk membeli suvenir murah dan Fremantle Market yang cuma buka Jumat-Minggu. Nggak papa deh belum sempat ke sana. Malah ada alasan untuk balik lagi mengunjungi Perth :)

Sunset di Freemantle
dermaga Freemantle
Fish n chips di Cicerello's
Yummy Churros dengan saus coklat putih dan coklat :p
Hari berikutnya, kami cuma punya setengah hari di Perth. Kali ini kami mau mengunjungi Art Gallery of Western Australia yang gedungnya terletak di Perth Cultural Centre, satu kompleks dengan museum, perpustakaan, amphiteatre, central square, gedung teater dan wetland. Yang fakir wifi dan pecinta gratisan sila datang ke sini, ada wifi gratis di seluruh penjuru kompleks. You are welcome :)

Kami ke galeri seni untuk mengunjungi pameran Picasso to Warhol yang diangkut dari MoMA New York. Little A dan Big A terpikat dengan karya Picasso ketika mengunjungi pameran di Galeri Seni NSW. Karena itu penasaran juga dengan pameran ini. Kalau saya sendiri tertarik dengan karya seni Pop Art si Warhol. Kami beruntung ditemani oleh Zaki yang mengerti seni dan juga pelukis amatir :) Jadi kan bisa nanya-nanya tentang karya yang dipamerkan, tidak sekedar bengong atau pura-pura ngerti di depan lukisan :p

Karya Picasso yang dipamerkan tidak sebanyak dan semenarik ketika ada pameran di Sydney, jadi the precils cepat bosan. Sebelum sampai ke Warhol, saya terpesona oleh lukisan Pollock: There Were Seven in Eight. Lukisan sebesar 1x2 meter berisi benang kusut ini menggambarkan keruwetan dan kegelisahan pelukisnya ;)

Saya buru-buru berfoto dengan Campbell Soup sebelum Little A meloloskan diri karena tertarik dengan pop art Marilyn Monroe. Setelah Little A puas, kami window shopping di art gallery shop. Saya dan The Precils selalu tertarik dengan pernak-pernik di setiap galeri seni yang kami kunjungi, karena memang lucu-lucu. Tapi jelas mahal banget! Ibaratnya pernak-pernik di toko galeri seni ini ready-to-wear art, seni yang bisa dipakai. Saya agak kecewa tidak bisa membeli repro poster Warhol yang harganya $25, duh! Akhirnya kami cuma beli kids pack berisi tas, balon, pensil dan lembar aktivitas, dan magnet kulkas pop art. Lumayan lah, kulkas saya di rumah jadi sedikit nyeni dan nge-warhol sekarang :D

Apa sih yang disukai anak-anak dari galeri seni? Jawabnya adalah kedai es krim di depannya :D Kami leyeh-leyeh sejenak menikmati gelato di depan galeri sebelum mengejar pesawat ke Sydney.
 
Tiga puluh enam jam jelas kurang untuk menjelajah Perth. Kami bahkan belum ke pantai-pantai di Perth yang konon punya sunset yang cantik banget. Salah satu pantai yang disarankan oleh host kami adalah pantai Cottesloe, cakep banget katanya.

Yah, gimana dong. Menjelang siang kami sudah harus naik taksi menuju bandara, mengucapkan selamat tinggal pada Perth, dan pada host kami yang baik hati: Keluarga Habibi. Sampai beberapa hari kemudian Little A terus-menerus menanyakan teman barunya yang dia anggap sebagai my new cousin. Semoga bisa ketemu di lain waktu ya, Nak.

Kami terbang dari Perth pukul 2.30 sore, dan sampai di Sydney pukul 8.40 malam. Penerbangan dari Perth ke Sydney ditempuh dalam 4 jam 5 menit. Kali ini kami naik Qantas dengan tiket promo seharga $199 per orang. Bener kan, kalau dari Perth, tiket ke Sydney lebih mahal daripada tiket ke Bali. Penerbangan berlangsung mulus, dengan pemandangan senja yang bagus dari pantai selatan Australia, sebelum akhirnya pesawat menembus malam.

Sebentar lagi The Precil akan bertemu dengan Si Ayah, setelah 70 hari berpisah.

The Emak dan Little A di depan Art Gallery of WA
Campbell Soup si Warhol
Gelato di depan art gallery
 ~ The Emak

Jumat, 14 September 2012

[Penginapan] Holiday Inn The Esplanade Darwin

[Penginapan] Holiday Inn The Esplanade Darwin

Pose standar The Precils kalau ketemu Nickelodeon :p
Terus terang tarif hotel di Darwin pada bulan Juni (termasuk high season karena musim kemarau) membuat saya pusing. Harga hotel jauh lebih mahal daripada di Sydney. Bolak-balik saya cek website wotif, booking, dan booking engine lainnya, berharap tarif hotel turun (atau ada yang khilaf pasang harga murah :p) Sampai akhirnya saya 'menemukan' Holiday Inn The Esplanade dan langsung jatuh cinta pada brand ini.

Ketika saya memesan hotel ini, rencana kami adalah pergi bersama Ibu Mertua, jadi harus pesan hotel untuk 3 dewasa dan 2 anak-anak. Di situlah rumitnya, karena terpaksa kami harus pesan 2 kamar. Kalau cuma berempat: dua dewasa dan dua anak, satu kamar dengan dua double bed biasanya sudah cukup. Tarif kamar ketika saya booking di bulan Maret 2012 adalah AUD 189 per kamar per malam, termasuk sarapan. Ini tarif yang non-refundable, artinya pesanan tidak bisa dibatalkan atau diubah tanggalnya, dan harus dibayar di muka. Waktu itu saya memesan melalui website resmi mereka dan membayar dengan kartu kredit. Sebelumnya, saya sempatkan bergabung dengan Priority Club Rewards mereka agar dapat poin selama kami menginap 2 malam di 2 kamar.

Nggak disangka, Ibu batal pergi dengan kami, padahal kamar kami tidak bisa dibatalkan. Ya sudah, saya pikir asyik juga punya dua kamar. Ntar anak-anak bisa tidur sendiri sementara The Emak dan Si Ayah ... :p Di formulir pesanan saya sudah mencantumkan secara khusus meminta connecting rooms. Ternyata ketika kami datang, resepsionis memberi kami adjacent rooms, cuma dua kamar yang berdekatan aja, tapi tidak ada pintu hubungnya. Si Ayah yang kecapekan menyetir dari Kakadu National Park langsung tertidur begitu menyentuh bantal. Sementara saya beberes dan menaruh barang-barang the precils di kamar mereka. Ternyata repot banget pakai dua kamar yang tidak nyambung. Little A berkali-kali pengen ke kamar kami, dan harus keluar masuk pintu dengan membawa kunci hotel. Kami bertekad akan komplain masalah ini ke manager setelah menikmati sunset di Mindil Beach.

Sepulang dari pantai, Si Ayah yang bahasa Inggrisnya lancar banget langsung menghadap manager, perempuan bernama Kate. Dia secara tegas meminta kami dipindahkan ke connecting room karena repot bolak-balik buka tutup pintu. Dan anak-anak juga tidak nyaman di kamar sendiri. Ternyata pada hari itu semua connecting rooms terpakai, dan baru tersedia satu keesokan harinya. Kate menawarkan memindahkan kami ke kamar suite dengan dua extra bed. Saya langsung mengiyakan daripada ribet. Dan kapan lagi mencoba kamar suite? Hehehe...

Kate manager satu ini langsung gerak cepat, turun tangan sendiri memindahkan barang-barang kami dari kamar dengan troli dan mengantar kami ke kamar suite. Dalam sekejap, masalah kami terselesaikan. Pelayanan seperti ini yang membuat saya langsung jatuh cinta pada brand Holiday Inn :) *yes, I am that cheap* Sungguh perasaan yang menyenangkan merasa dihargai dan dibantu dengan cepat sampai masalah selesai. Tarif kamar kami tidak bisa diubah, dan kami pasrah saja 2 kamar biasa kami diganti satu kamar suite dengan dua ekstra bed. Saya nggak mau repot ngecek tarif aslinya, untung apa rugi :)

Kamar suite jelas lebih lega. Ada ruang duduk dengan sofa, televisi dan toilet dan satu kamar dengan king bed yang dipisahkan oleh rolling door kayu. Kamarnya dilengkapi ensuite kamar mandi dengan shower, bathtub dan toilet. Dua extra bed diletakkan di ruang duduk. Karena ada dua televisi, The Precils bisa menonton Nickelodeon sementara The Emak bisa tenang menonton Grand Slam Roland Garros. 

Satu kelemahan hotel ini adalah tidak ada sinyal di dalam kamar sama sekali. Ketika kami tanyakan pada Kate, ternyata karena di depan hotel ini dipasang kerangka anti angin topan yang membuat sinyal juga tidak bisa masuk. Darwin pernah dilanda angin topan Tracy pada tahun 1974 yang meluluhlantakkan kota. Jadi kalau ingin menelpon, mengirim sms atau menggunakan internet, kami harus turun ke lobi. 

Sarapan pagi di hotel cukup enak dan bervariasi. Yang paling juara adalah hash brown-nya, semacam kentang goreng tapi bentuknya seperti perkedel, biasa sebagai menu sarapan di Aussie. Saya mencoba menu vegetariannya: jamur dan tomat panggang yang segar dan yummy. Menu telur juga bermacam-macam, bisa dipesan langsung ke chef-nya. Yang nggak ada adalah nasi! Hehehe, ini yang membuat Si Ayah ngotot makan di kafe Indonesia siang harinya. Kalau nggak ketemu nasi nggak kenyang :)

Kami juga sempat mencoba kolam renangnya. Lumayan mengasyikkan meskipun airnya dingin. Yang saya suka lagi dari hotel ini adalah ada mesin laundry koin. Jarang-jarang ada mesin laundry di dalam hotel, karena mereka juga jualan servis laundry yang mahalnya minta ampun itu. Dengan laundry koin, cukup memasukkan 3x koin $1 untuk mencuci dan $3 berikutnya untuk mengeringkan. Hemat dan bersahabat, yay!

Lokasi hotel ini, di The Esplanade No.116 cukup strategis, berada tepat di depan taman pinggir laut yang bisa untuk jalan-jalan di pagi dan sore hari. Di ujung esplanade, ada Aquascene, tempat untuk memberi makan ikan-ikan laut. Kami tinggal jalan kaki sekitar sepuluh menit dari hotel ke Aquascene. Menuju ke pusat kota juga lumayan dekat, sekitar lima belas menit sudah sampai ke pertokoan, kafe, restoran dan supermarket. Parkir di hotel ini gratis untuk tamu hotel. Kita tinggal minta token (koin khusus) untuk dimasukkan ke gerbang parkir agar palang pintu otomatis membuka.

Jangan salah, di jalan The Esplanade ada DUA hotel Holiday Inn, satunya di nomor 116 (tempat kami menginap) dan satu lagi di nomor 122. Hotel kami lebih khas tampak depannya karena ada bangunan penangkal angin topan. Kenapa kami memilih menginap di hotel No.116 ini? Jelas karena pada waktu itu tarifnya lebih murah daripada hotel satunya :)

Secara umum kami cukup terkesan dengan pengalaman tinggal di (suite) hotel ini. Apalagi setelah seminggu kemudian ketika mengecek akun Priority Club, saya diberi poin dobel dari hotel ini, mungkin sebagai tanda permintaan maaf. Lumayan, poin bisa dikumpulkan untuk menginap di Holiday Inn berikutnya ;)


Jalan-jalan di The Esplanade di depan hotel, sekalian menuju Aquascene
~ The Emak

Jumat, 31 Agustus 2012

[Penginapan] Kakadu Lodge & Caravan Park

[Penginapan] Kakadu Lodge & Caravan Park

Malam Bertabur Bintang di Kakadu Lodge
Di Australia, kita bisa main-main ke banyak Taman Nasional karena tempatnya terawat, ada jalan yang mulus, dan selalu ada pilihan akomodasi, mulai dari area camping sampai hotel mewah.

Tidak banyak pilihan akomodasi di Kakadu National Park yang letaknya di antar berantah ini. Hanya ada satu kota kecil Jabiru yang menjadi pendukung logistik penginapan yang ada di sini. Nggak heran kalau tarif menginap di sini lebih mahal daripada di kota.

Di kota Jabiru ada tiga pilihan penginapan: Wildman Wilderness Lodge, Kakadu Lodge & Caravan Park dan Gagudju Crocodile Holiday Inn. Sementara di Cooinda, tempat kami menunggu untuk ikut tur Yellow Water Cruise, ada Gagudju Lodge Cooinda. Dua penginapan yang terakhir ini bisa dipesan melalui website Gagudju-Dreaming, yang merupakan operator tur Yellow Water Cruise dan paket tur lainnya. Tadinya saya ingin menginap semalam di Holiday Inn yang bentuk hotelnya kalau dilihat dari atas seperti buaya dan semalam lagi di Gagudju Lodge Cooinda supaya itinerary cocok dengan tempat menginap, ketika selesai Yellow Water Cruise bisa langsung istirahat di Cooinda. Gagudju Lodge Cooinda ini juga cocok untuk yang ingin ikut Sunrise Yellow Water Cruise, karena tur dimulai tepat di depan lodge, tinggal menunggu jemputan. 

Sayangnya Holiday Inn dan Gagudju Lodge Cooinda kapasitasnya maksimal empat orang per kamar. Sementara kami rencananya pergi berlima. Saya sudah menghubungi Holiday Inn dan Cooinda Lodge, tapi mereka tidak bisa membantu soal kapasitas kamar, jadi harus memesan dua kamar. Akhirnya saya putuskan untuk memesan penginapan di Kakadu Lodge dan Caravan Park. Cabin di sini bisa muat untuk lima orang: ada ranjang utama untuk dua orang, ranjang susun untuk dua orang dan satu lagi ranjang sorong untuk satu orang. Harga per malam untuk lima orang tidak murah. Saya memesan melalui website check-in sebesar AUD 240 per malam. Mahal ya? Begitulah, kombinasi antara peak season (musim kemarau dan musim liburan Juni-Juli) dan akomodasi yang jauh dari mana-mana membuat harga relatif mahal. Harga di atas belum termasuk sarapan pagi, duh. Saya pesan di website Check In karena tergoda oleh cash-back mereka yang diberikan langsung ketika memesan. Lumayan bisa menghemat $13, hehe. Saran saya, jangan terlalu fanatik dengan satu booking engine. Bandingkan harga/tarif penginapan di minimal tiga booking engine, termasuk website mereka sendiri, baru pilih yang termurah. Kalau malas browsing, bisa klik Hotels Combined yang sudah 'pintar' membandingkan langsung beberapa booking engine, kita tinggal pilih.

Sebenarnya ada yang lebih murah daripada penginapan yang saya sebutkan di atas, yaitu mendirikan tenda di tempat camping yang disediakan oleh pengurus national park. Daftar tempat camping bisa dilihat di buku panduan Kakadu NP atau website. Tapi namanya di alam liar beneran, tempat-tempat ini tidak steril dari hewan buas. Ketika saya kembali ke Darwin, saya membaca di salah satu koran lokal bahwa ada tenda traveler yang diserang oleh Dingo (anjing liar khas Aussie). Duh, kalau saya hanya berani pasang tenda di tengah-tengah peradaban :)

Kasur The Emak dan Si Ayah
Kasur The Precils
Saya tidak menyesali pilihan menginap di Lodge ini. Tempatnya bagus, sekitarnya rimbun dan bersih. Kabin kami tidak besar, tapi cukup luas untuk berlima, dilengkapi dapur mungil dan kamar mandi di dalam. Fasilitas dapur cukup lengkap untuk menyiapkan makan sendiri: kulkas besar, ketel air listrik, pemanggang roti dan hotplate (wajan listrik). Tentu kami membawa rice cooker kecil sendiri untuk menanak nasi :p Karena Kakadu lumayan jauh dari peradaban, kami membawa bahan makanan dari Darwin. Ketika memasak sendiri ketika traveling, saya nggak mau ribet. Biasanya kami akan membeli satu daging (ayam atau sapi) yang sudah dibumbui di supermarket (ada juga dalam bentuk sate/kebab), dan membeli bahan-bahan salad: selada, tomat dan timun. Nanti dagingnya tinggal di-grill atau dibarbekyu. Tambahkan nasi hangat, sudah jadi menu sehat dan mengenyangkan. Yum!

Menginap di Lodge memang menguntungkan karena kita bisa memasak sendiri makanan kita. Kalau tinggal di hotel, tidak ada dapur atau tempat memasak sendiri, jadi harus keluar uang untuk membeli makan di restoran, yang tentunya lebih mahal dan bisa jadi berbeda dari selera kita (dan belum tentu ada nasi untuk Si Ayah :p).


Dapur mungil
The Precils having a good time at swimming pool
Selain dapur, fasilitas lodge lain yang kami gunakan adalah mesin cuci dan kolam renang. Pagi hari sebelum berangkat ke Cooinda, kami sempat berenang di kolam renang 'pribadi' karena tidak ada penghuni lain yang senekat kami, berenang di air yang dingin. Meskipun saat itu suhu udara panas, namun suhu air sangat dingin, apalagi di pagi hari. Setelah anak-anak selesai berenang, kami bisa langsung mencuci baju di mesin laundry yang dioperasikan dengan koin. Malamnya ketika kami kembali, baju-baju sudah kering dan wangi :) 

Satu hal yang istimewa ketika menginap di Taman Nasional Kakadu, kami disuguhi hiasan langit yang spektakuler. Karena minimnya cahaya buatan manusia (hampir tidak ada pemukiman penduduk), bintang-bintang di langit kelihatan sangat jelas. Maklum orang kota, saya terkagum-kagum menikmati pemandangan langit nan indah yang berhasil diabadikan Si Ayah ini.

 ~ The Emak

Jumat, 24 Agustus 2012

Sejuta Pesona Kakadu

Sejuta Pesona Kakadu

Senja di Yellow Water, Kakadu National Park
Perjalanan kami ke Kakadu National Park sangat membekas di hati. Sampai sekarang pun ketika saya menuliskan kembali kisah ini, masih terbayang bentangan pemandangan indah yang kami saksikan di alam yang masih perawan.

Kakadu National Park adalah taman nasional terbesar di Australia. Letaknya di Northen Territory, sekitar 200 km sebelah timur kota Darwin. Kakadu memperoleh status heritage site dari UNESCO karena alam sekaligus budayanya. Orang Aborijin adalah pemilik asli tanah ini. Mereka 'meminjamkan' tanah Kakadu untuk dikelola pemerintah daerah sebagai taman nasional.

Apa yang bisa dilihat di Kakadu NP? Tentu keindahan alam dan marga satwanya yang melimpah. Di Kakadu terdapat 290 jenis burung, 60 jenis mamalia, 50 jenis hewan air tawar, 10.000 jenis serangga dan 1600 jenis spesies tanaman. Yang menjadi raja tentu saja buaya, si penduduk asli :)

Kami melakukan perjalanan mandiri dengan menyewa mobil biasa (bukan 4WD) ke Kakadu NP. Tadinya kami agak takut dan khawatir karena daerahnya lumayan terisolir, tapi ternyata asyik-asyik aja karena semua jalan mulus dan papan penunjuk jalan jelas. Pastikan mengunjungi Kakadu NP pada musim kemarau (Juni/Juli) karena di musim penghujan banyak banjir di daerah rawa dan lembahnya, sehingga banyak jalan yang terputus dan ditutup. 

Perjalanan ke timur dari Darwin kami mulai setelah kenyang sarapan. Hari itu kebetulan hari ulang tahun perkawinan kami yang ke... (ah, lupakan, ntar ketauan umurnya). Dari Darwin kami mengambil jalan tol menuju kota kecil Jabiru, ibukota Kakadu yang juga merupakan kota tambang Uranium. Tak lupa bensin kami isi penuh sebelum melaju keluar kota. Lepas dari tol, jalan raya mulus dan sepi, tanah merah dan pohon-pohon kering di sepanjang jalan. Kami hanya sesekali mendahului road train (truk gandeng empat!) yang menuju Jabiru. CD One Direction (milik Big A) menjadi teman perjalanan kami :p

Sekitar sejam kemudian, kami singgah di Window on the Wetlands. Visitor centre ini memiliki display menarik tentang hewan-hewan yang hidup di Wetlands. Dari lantai dua, kami juga bisa mengamati pemandangan dan mengintip aktivitas hewan-hewan yang tertangkap oleh teropong. Saya tertawa takjub ketika teropong saya menangkap aksi burung-burung yang sedang mematuk-matuk kulit kerbau. Ingat nggak pelajaran simbiosis mutualisme waktu SD dulu? Ini saya baru lihat beneran contohnya, tidak cuma ada di ilustrasi buku :p Kami cukup lama istirahat di sini, sambil makan pie di kafenya. Juga agar Si Ayah meluruskan kaki dulu sebelum kembali menyetir sekitar 2 jam lagi menuju kota Jabiru.
 
Anindya di Window on the Wetlands
Kami menginap di Kakadu Lodge di pinggir kota Jabiru. Sekitar jam 2.30 siang kami sampai dan langsung cek in. Kami istirahat sebentar dan menata barang bawaan sebelum nantinya berangkat untuk melihat sunset di Ubirr.

Ubirr terkenal dengan lukisan di batu-batu karya orang Aborigin. Mereka melukiskan dongeng asal usul, kisah perjalanan dan hewan-hewan yang hidup bersama mereka: berbagai jenis ikan, kura-kura, possum dan wallaby. Lukisan-lukisan ini berkali-kali dilukis ulang di lapisan yang baru, sejak 40.000 SM. 

Sebelum ke Ubirr, kami singgah dulu ke Bowali Visitor Centre untuk membeli tiket masuk ke Taman Nasional. Biayanya AUD 25/orang yang berlaku sampai 14 hari menjelajahi taman nasional ini. Semua orang di atas 16 tahun wajib mempunyai 'park pass' ini, sementara anak-anak di bawah 14 tahun dan penduduk Northen Territory gratis. Pass atau tiket ini nantinya akan dicek secara acak oleh ranger yang patroli. Kalau ada yang kedapatan tidak mempunya tiket, akan dikenai denda. Tapi selama tiga hari kami ada di Kakadu, tidak ada yang mengecek 'park pass' kami :) Setelah membayar $25, kami mendapatkan kartu pass dan buku panduan Kakadu yang isinya sangat lengkap dan jelas, termasuk peta yang membantu kami menjelajah Kakadu dengan menyetir sendiri.

Untuk mencapai Ubirr, kami mengendarai mobil di jalan aspal, sekitar 41km ke arah timur laut Jabiru. Jalanan aspal ini kadang banjir dan tidak bisa dilewati di musim hujan. Ketika kami berkendara menuju Ubirr, ada sebagian jalan yang tergenang karena luapan air dari wetlands di seberang jalan. Di titik ini kami malah takjub dan berhenti untuk memotret burung-burung cantik yang dengan cueknya berjalan-jalan di habitat mereka. Untung tidak ada orang lain yang lewat :)

Dari tempat parkir di Ubirr, kami masih harus berjalan sekitar 300m menuju galeri-galeri lukisan batu. Sebelum melihat lukisan aborigin, sebaiknya sempatkan ke toilet (gratis dan bersih!) di tempat parkir ini dulu. Kejadian dengan Little A, dia baru bilang akan pipis ketika kami sudah berada di atas dan senja hampir datang. Alhasil saya lari bolak-balik dari galeri ke toilet, takut ketinggalan momen matahari terbenam. Lumayan banget olahraganya. Yang perlu dipersiapkan juga adalah bekal air minum dan krim anti serangga. Begitu maghrib datang, jutaan serangga, nyamuk ganas akan menyerang kita tanpa ampun. 

Tidak rugi kami mendaki ratusan tangga alami ke puncak Ubirr ini. The precils tidak tampak kecapekan sama sekali. Bahkan Little A dengan semangat mendaki sendiri, mengikuti tanda panah oranye yang disematkan di bebatuan.

Hadiahnya adalah pemandangan matahari terbenam yang sangat cantik. Di depan kami, sejauh mata memandang, terlihat hamparan ngarai hijau, yang bakalan penuh dengan air di musim hujan.Di belakang kami bebatuan Ubirr berkilau jingga tertimpa cahaya matahari sore, dan semburat pink menghiasi langit.
Banjir di tengah jalan menuju Ubirr. Bertemu si burung cantik.
Menikmati sunset di Ubirr

Esok harinya setelah sarapan dan berenang di Kakadu Lodge, kami siap menjelajahi Kakadu lagi. Dalam satu hari penuh ini kami akan rencananya akan ke Nourlangie Rock Art Site dan Waradjan Cultural Centre sebelum akhirnya mengikuti tur Yellow Water Cruise sambil menikmati sunset.

Letak Nourlangie sekitar 35 km arah selatan Jabiru. Sayangnya waktu kami ke sana, jalan ke Nourlangie ditutup. Mungkin ada banjir atau genangan, atau mungkin buaya-nya lagi pengen naik ke daratan, whiii :p Akhirnya kami detour mendaki ke Nawurlandja Look Out. Kami harus kembali mendaki bebatuan merah, 600 meter kami tempuh sekitar setengah jam sampai ke puncak. Di atas Nawurlandja, kami bisa melihat lanskap daerah Nourlangie dengan jelas: lembah menghijau dan batu-batu besar yang megah.

Di puncak Nawurlandja
Dari Nawurlandja, kami meneruskan perjalanan ke selatan menuju
Waradjan Cultural Centre, sekitar 35 km lagi. Perjalanan ini mulus karena melalui jalan raya beraspal yang sepi sekali. Kendaraan yang lewat hanya satu dua. Di Waradjan, kami belajar banyak tentang kebudayaan orang-orang aborigin. Dari museum-museum yang pernah kami kunjungi di Australia, ini adalah museum tentang budaya aborigin yang terlengkap dan terbaik. Display, cerita, video, musik dan suara-suara yang ditampilkan membuka mata kami dan memperbarui pemahaman kami tentang suku asli Australia ini. Sayang sekali kami tidak boleh mengabadikan dengan kamera. Cerita tentang orang-orang aborigin dan budaya mereka akan saya tulis dalam bab tersendiri.
Setelah istirahat dan makan es krim di Waradjan, kami bergegas ke tujuan utama kami di Kakadu: mengikuti Yellow Water Sunset Cruise. Kami berkumpul dulu di Gagudju Lodge Cooinda untuk mendaftar. Tiket sudah saya pesan online jauh hari sebelumnya di website mereka: Gagudju Dreaming. Gagudju Lodge dekat sekali dengan Waradjan, hanya sekitar 3 kilometer. Bahkan ada jalan tembusnya untuk pejalan kaki. Tapi terima kasih, kami naik mobil saja :)

Yellow Water Cruise ini salah satu kegiatan yang kami nanti-nantikan, disarankan banyak traveller sebagai tur yang 'wajib' dicoba di Kakadu National Park. Tur ini akan membawa kami menelusuri Yellow River dengan kapal dan melihat dengan dekat flora dan fauna yang tinggal di habitat ini, termasuk penghuni tetap: buaya! Bisa dibilang seperti menonton tayangan Nat Geo Wild, hanya saja dengan mata kepala sendiri :) Memang harganya tidak murah, tapi pengalaman yang kami dapatkan sebanding dengan harganya. Kami membayar AUD 88 untuk dewasa dan AUD 60 untuk anak-anak untuk tur selama dua jam. Anak di bawah 4 tahun gratis, yay! Ada beberapa pilihan jam tur: dari sunrise, pagi, siang, sore atau sunset. Kata review di tripadvisor, tur sunrise yang terbaik, karena marga satwa mulai terlihat menggeliat bangun mencari makan. Tapi kami memilih ikut tur sunset karena susah bangun pagi :p


Perahu Yellow Water cruise.
Lionel, guide kami di Yellow Water cruise, gak bisa berhenti ngomong :)

Tur sunset ini dimulai pukul 4.30 sore. Dari Gagudju Lodge Cooinda kami diantar dengan bus menuju dermaga pemberangkatan perahu. Ada empat perahu yang bersama-sama dengan kami menelusuri Yellow Water. Perahu kami tidak penuh dengan penumpang sehingga ada ruang untuk berpindah-pindah tempat duduk. Kami juga bebas berjalan-jalan kalau ingin memotret atau sekadar mengagumi wildlife. Kami merasa beruntung mendapatkan pemandu yang punya pengetahuan luas tentang kehidupan di Yellow River ini. Lionel, yang banyak omong ini bahkan tahu jadwal nongkrongnya hewan-hewan di sini. Beberapa kali perahu kami diputar agar dapat melihat beberapa hewan yang bersembunyi, seperti beberapa snake bird dan bayi-bayi Jacana.

Perahu berjalan pelan menyusuri Yellow River. Belum sampai lima menit, kami sudah ketemu dengan penghuni tetap sungai ini: yak benar, buaya! Yang pertama kami lihat sedang berjemur di antara ratusan bebek yang bernyanyi dengan cerewet (whistling ducks). Kok bisa bebek-bebek ini cuek aja ada buaya yang nongkrong di situ? Ternyata, kata Lionel, buaya nggak doyan bebek karena bulu-bulunya bikin geli tenggorokan :D Selanjutnya, tidak susah menemukan buaya lainnya. Ada yang berkubang di lumpur, ada yang pura-pura jadi batu, dan ada yang dengan kalem berenang di sisi perahu kami! Ketika buaya veteran berenang dengan santai di dekat perahu, orang-orang langsung heboh. Lionel dengan kalem bilang, "Tenang aja, dia cuma lagi patroli wilayahnya kok." Sementara Si Ayah sibuk memotret dan saya sibuk mem-video, Little A dengan kalem bilang, "Mommy, remember, don't pat the crocodile!" Oke, baiklah Nak, akan kuingat nasihatmu :)) Hari itu, terhitung tujuh buaya yang terlihat oleh kami.

Si buaya tidak doyan bebek, konon karena ogah tersedak bulu :)

Cilukba!

Buaya besar yang berenang dua meter dari perahu kami ... glek!

Selain buaya, Yellow River ini dihuni oleh ratusan spesies burung cantik yang tidak kalah menarik. Salah satu yang menarik perhatian kami adalah burung Jacana, atau yang dijuluki Jesus Bird karena keahliannya berjalan di atas air. Burung ini posturnya kecil, dengan jambul merah di atas kepalanya. Lionel sempat memperlihatkan pada kami keluarga Jacana, penduduk asli Yellow River yang baru saja punya bayi. Ya ampun, si bayi Jacana ini imut dan cantik banget. Dia sedang main-main dan kadang bersembunyi di balik kaki Si Ayah. Kata Lionel, di keluarga Jacana, Si Ayah bertugas mengasuh anak, sementara Si Ibu yang mencari makan. Wow! Ayah The Precils sampai menyesal tidak membawa (karena tidak punya) lensa tele untuk mengabadikan wildlife yang mengagumkan ini. 

Burung cantik lainnya adalah Jabiru, yang namanya diabadikan menjadi ibukota Kakadu. Burung yang satu ini bongsor, lebih besar daripada burung bangau. Bulunya hitam legam dan langkah kakinya panjang-panjang. Kami beruntung bisa menyaksikan burung langka ini sedang mengais makanan di tepi sungai.

Dari 290 spesies burung yang menghuni taman nasional ini, kami sempat berkenalan dengan snake bird yang lehernya persis ular, egret si putih cantik, magpie goose, whistling kite, torresian crow, dan sempat melihat aksi elang laut yang sedang mencari makan. Big A sejak dulu tertarik pada wildlife dan juga terhadap jenis-jenis burung, sementara Little A lebih tertarik pada jenis-jenis tumbuhan. Dia dengan serius mengamati waterlily yang tumbuh di sepanjang sungai, dan kalau ada yang sedang mekar, minta difotokan.


Jabiru, si jangkung yang menjadi maskot kota.

Burung Jacana alias Jesus Bird, yang bisa berjalan di atas air.
Waterlily. Foto pesanan Little A.
Cruise berakhir ketika matahari mulai terbenam. Dari perahu yang tertambat dan bergoyang perlahan, kami menyaksikan air sungai yang berkilauan ditimpa cahaya jingga matahari yang menerobos pohon-pohon di tepi sungai. Sungguh senja yang magis dan indah. Perjalanan singkat di Kakadu menghadiahi kami dua senja terindah: di Ubirr dan di Yellow River.

Burung-burung nongkrong di dahan.
Senja merah di Yellow Water
Esoknya, dengan berat hati kami meninggalkan Kakadu, kembali ke peradaban :p Dalam perjalanan pulang dari Jabiru ke Darwin, kami singgah sebentar di Mamukala Wetlands. Di sana kami kembali menyaksikan marga satwa yang kami kenal dari 'pelajaran' Lionel hari sebelumnya. Big A dengan cepat menunjuk beberapa Jacana yang sedang mencari makan. Hewan-hewan yang tinggal di Mamukala ini berubah-ubah sesuai dengan musimnya. Ada display yang sangat menarik dan mudah dipahami di gardu pandang Mamukala.

Kami kembali ke Darwin membawa sejuta kenangan akan Kakadu, terutama kehidupan marga satwanya yang damai karena tidak diusik oleh tangah jahil manusia :)

Beware of Crocs! And I'm not talking about sandals :
Mamukala Wetlands, pengunjungnya cuma kami berempat :p
~ The Emak