Senin, 20 Februari 2012

[Road Trip] Menjelajah Tasmania

[Road Trip] Menjelajah Tasmania

Bekal untuk road trip: peta dan kopi :) Foto oleh Anindito Aditomo
Banyak yang bilang, Tasmania adalah tujuan wisata terbaik di Australia untuk road trip. Pulau kompak di sebelah selatan mainland Australia ini mudah dijelajahi dengan mobil sewaan atau caravan. Dari ujung ke ujung kira-kira hanya perlu waktu tiga jam bermobil.

Kami berlibur ke Tasmania musim panas yang lalu. Tadinya, Si Ayah mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Hobart. Setelah kami pikir-pikir, mengapa tidak sekalian saja menjelajah wilayah Tasmania yang lain? Akhirnya setelah Si Ayah selesai mengikuti konferensi di Hobart, kami menyewa mobil dan memulai petualangan di pulau yang indah ini. Sayangnya, kami hanya punya waktu dua hari, yang kami habiskan dengan mengunjungi Cradle Mountain, dengan singgah sebentar di Launceston. Hari berikutnya dari Cradle Mountain kami menuju pelabuhan Devonport untuk naik feri Spirit of Tasmania menyeberangi Selat Bass menuju Melbourne. Total perjalanan kami sekitar 450 km.

Hobart - Launceston - Cradle Mountain - Devonport. Screenshot dari http://maps.google.com.au/
Setelah tiga hari jalan-jalan di Hobart, kami siap untuk menjelajah bagian Tasmania lainnya. Hari keempat, kami cek out dari Hotel Grand Chancellor pagi-pagi. Saya tidak ingin 'terlambat' sampai di Cradle Mountain karena itu wilayah hutan dan kami juga tidak tahu jalan. Lagipula, begitu senja tiba ada banyak binatang-binatang kecil yang terbang dan sering menabrak kaca mobil. Semakin seram saja dengarnya.

Sementara saya beres-beres, Si Ayah mengambil mobil sewaan dari kantor Avis. Kami memilih sewa mobil di Avis karena hanya perusahaan ini yang mau menyewakan mobil dari Hobart dan boleh dikembalikan di Melbourne. Drama pagi hari dimulai ketika saya dapat kabar dari Si Ayah bahwa mobil sewaan belum siap. Si Ayah harus menunggu mobilnya diangkut dari kantor di bandara Hobart ke kantor yang di kota. Karena kesalahan mereka ini, kami mendapat upgrade mobil. Tadinya kami pesan mobil kompak Hyundai Getz, oleh Avis kami diberi Mitsubishi Lancer warna silver yang lebih besar dan nyaman. Harga sewa mobil ini untuk tiga hari adalah AU$ 182,39, termasuk sewa baby car seat untuk Little A, tapi belum termasuk asuransi tambahan (excess reduction). Jadi kami jalan hanya dengan asuransi standar saja, dengan berharap moga-moga tidak terjadi apa-apa di jalan.

Drama kedua, ketika mobil sudah siap, Little A menolak untuk masuk. Alasan Little A adalah: 1) I don't like the color 2) I just want to walk. Kami nggak tahu apa alasan Little A sebenarnya. Tapi sepertinya dia terlalu senang tinggal di hotel dan tidak mau pulang :) Selain itu, dia tidak mau naik mobil yang bukan miliknya, yang berwarna biru. Agak lama membujuk Little A supaya mau masuk ke mobil. Saya sudah deg-deg-an karena jadwal akan molor. Si Ayah berusaha menjelaskan rencana perjalanan kami dengan peta yang diberikan Avis. Little A tetap ngeyel mau pulang ke Sydney dengan berjalan kaki, duh! Akhirnya setelah dibujuk dan setengah dipaksa, kami berhasil berangkat dari Hobart jam 11. Perjalanan menuju Launceston memakan waktu 2,5 jam melalui Midland Highway.
Si Ayah menjelaskan rencana perjalanan ke Little A yang ngambek
Perjalanan dari Hobart menuju Launceston sangat lancar. Jarak dari Hobart ke Launceston sekitar 200 km. Di sepanjang perjalanan kami melihat beberapa peternakan dengan ratusan biri-biri yang sedang asyik menikmati rumput hijau. Di antara Hobart dan Launceston sebenarnya ada desa bersejarah, Ross, yang layak untuk dikunjungi kalau kita punya waktu luang. Desa Ross ini mempunyai bangunan-bangunan kuno peninggalan masa kolonial, salah satunya yang terkenal adalah jembatan tua yang dibangun tahun 1836. Jembatan Ross yang fotonya banyak muncul di buku atau website tentang Tasmania ini tertua nomor tiga di Australia. Kami melewati saja desa Ross ini karena mengejar waktu dan mumpung Little A masih terlelap di mobil.

Launceston adalah kota terbesar kedua di Tasmania setelah Hobart. Kota ini terkenal sebagai daerah penghasil wine. Penyuka wine tentu tidak akan melewatkan Launceston yang juga mempunyai akses penerbangan langsung dari kota-kota lain di mainland Australia. Selain mencicipi wine di Tamar Valley, atraksi utama di Launceston adalah mengunjungi Cataract Gorge Reserve. Di Cataract Gorge ini kita bisa berjalan-jalan menyusuri lembah sungai yang indah, atau bisa naik chair lift menyeberangi sungai.

Kami sendiri tidak sempat jalan-jalan di Launceston karena keterbatasan waktu. Kami hanya singgah sebentar untuk makan siang. Restoran yang kami pilih adalah Fish & Chips di tepi sungai Tamar. Kami menghabiskan waktu cukup lama di restoran ini, selain untuk makan, minum kopi (atau makan es krim untuk The Precils), kami juga numpang istirahat dan melepas penat. Suasana di restoran ini cukup nyaman. Waktu kami ke sana, tidak banyak pengunjung lain, mungkin karena sudah lewat jam makan siang. Selain tempat duduk di dalam, ada juga meja-meja yang ditata di luar agar pengunjung bisa makan sambil menikmati pemandangan sungai Tamar.

Kami memesan fish&chips (tentu saja) dan salt&pepper squid. Makanan dengan porsi melimpah datang dalam gulungan kertas yang dibentuk seperti corong. Little A makan dengan lahap, dan setelah kenyang tidak ngambek lagi :p Restoran ini juga menyediakan papan tulis dan kapur warna-warni yang bebas digunakan anak-anak yang mungkin bosan menunggu orang tuanya ngopi. Ide bagus, kan? Little A tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan menggambar beberapa balon kesukaannya.


Setelah kenyang dengan masakan laut dan mood The Precils sudah membaik, kami melanjutkan perjalanan. Kunci suksesnya road trip memang perut kenyang dan hati yang gembira :D Kali ini kami menempuh 155 km dari Launceston menuju penginapan kami di Cradle Mountain Chateau. Keluar dari Launceston, kami menyusuri Highway no. 1 melewati kota Westbury. Setelah sampai di Elizabeth Town, mobil melipir melalui jalan yang lebih kecil menuju Sheffield. Jalan yang kami lalui lumayan sempit seperti jalan pedesaan, meskipun semuanya sudah beraspal. Beberapa kali kami melihat halte bis di tepi jalan tapi tidak pernah bertemu dengan bis nya. Belakangan kami tahu bahwa bis-bis ini mengangkut anak sekolah yang tinggal di daerah terpencil. Mereka membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam untuk berangkat sekolah. 

Di sekitar Sheffield ini pemandangan di jalan yang kami lalui sungguh indah. Di hadapan kami berdiri tegak Mt Roland seperti tembok yang kokoh. Si Ayah sudah gatal ingin turun dari mobil dan mengambil foto. Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama di jalan, takut kesorean sampai di hotel. Saya yang beberapa kali melihat rambu bergambar kamera, tetap saja kurang sigap untuk menjepretkan kamera dari dalam mobil yang melaju.

Dari Sheffield ke Moina, jalan mulai menanjak dan berkelok. Si Ayah mulai memperlambat kecepatan menyetir dan lebih hati-hati ketika melalui tikungan. Kanan-kiri kami adalah jurang. Di jalanan ini beberapa kali kami melihat air terjun yang muncul begitu saja dari balik semak-semak. Meski tidak ngebut, jalanan berkelok membuat Little A muntah di dalam mobil. Saya yang kurang antisipasi hanya pasrah mengganti baju Little A dan memberinya minyak telon. Si Ayah ikut membantu membersihkan muntahan yang mengotori kursi dan car seat. Berhenti sejenak untuk mereguk udara segar cukup membantu kami untuk rileks. Perjalanan selanjutnya, dari Moina sampai ke Cradle Mountain  berlangsung lancar. Hanya saja Big A tak henti-hentinya bertanya, "Are we there yet?"

Begitu melihat tanda C132, nama ruas jalan yang menuju Cradle Mountain, kami merasa senang sudah berada di jalan yang benar. Beberapa saat kemudian ada tanda bahwa kami memasuki kawasan liar. Penginapan kami terletak paling luar dari kawasan Taman Nasional. Kami lega bisa cek in di hotel sebelum maghrib tiba. Perjalanan yang sebenarnya 'cuma' 155 km ini kami tempuh dalam waktu tiga jam.

Pemandangan Mt Roland di daerah Sheffield
Memasuki kawasan satwa liar Cradle Mountain
Malam hari dan esok harinya kami habiskan untuk menjelajah Cradle Mountain. Siang harinya, setelah makan siang di kafe di Visitor Centre, kami melanjutkan perjalanan menuju Devonport. Jarak dari Cradle Mountain ke Devonport sekitar 88 km dan bisa ditempuh dalam waktu satu setengah jam dengan mobil. Perjalanan menuju pelabuhan Devonport cukup menyenangkan dengan pemandangan desa-desa kecil di Tasmania. Kami melewati desa Wilmot yang pusat desanya cuma terdiri dari satu gereja dan satu toko yang merangkap menjadi kantor pos :) Setelah Wilmot, kami banyak melihat kotak pos yang bentuknya lucu-lucu yang ditaruh di tepi jalan. Beberapa kotak pos biasanya dijadikan satu di mulut gang menuju rumah dan peternakan mereka yang kemungkinan masih beberapa kilometer jauhnya. Kreativitas warga desa untuk menghias kotak pos ini tentunya cukup untuk menghibur Pak Pos yang sedang bertugas. 

Tidak sulit menemukan pelabuhan Devonport untuk naik ke Spirit of Tasmania yang akan membawa kami menuju Melbourne. Di sepanjang jalan, banyak rambu jalan bergambar kapal feri tersebut.

Saya cukup senang bisa menjelajah Tasmania meskipun waktunya sempit. Kalau bisa, kami ingin memperpanjang kunjungan ke Tasmania ini, terutama ke daerah Cradle Mountain yang tidak akan habis dijelajahi dalam waktu 3 hari. Kalau ada waktu lebih, coba lakukan itinerary road trip seperti yang disarankan website resmi pariwisata Tasmania

Dalam seminggu, kita bisa menginap semalam di Hobart, dua malam di Strahan, dua malam di Cradle Mountain dan dua malam di Launceston. Kalau ada waktu 10 hari, kita bisa mengelilingi Tasmania, dari Hobart dan balik lagi ke Hobart. Dengan itinerary 10 hari kita bisa menginap semalam di Hobart, dua malam di Strahan, dua malam di Cradle Mountain, dua malam di Launceston dan dua malam di Freycinet dan akhirnya menginap semalam lagi di Hobart. 

Strahan adalah kota cantik di tepi teluk, yang merupakan pintu masuk untuk menikmati keindahan alam liar di bagian barat Tasmania. Di Strahan kita bisa berpesiar di sungai Gordon, naik kereta tua menjelajah hutan, dan mengunjungi penguin di pulau Bonnet. Freycinet, kota di sebelah timur Tasmania terkenal dengan keindahan pantai pasir putihnya. Di kota yang terletak di semenanjung ini kita bisa bermain di pantai, atau mendayung kayak atau hiking untuk menikmati keindahan Wineglass Bay dari gardu pandang.

Selain itu, di semua tempat yang disebutkan di sini, kita bisa berinteraksi langsung dengan satwa liar khas Australia di habitat aslinya, mulai dari kanguru, wallaby, platypus, berbagai macam burung dan juga binatang malam seperti wombat dan possum. Tasmania yang merupakan pulau yang terpisah dari daratan Australia memiliki keindahan alam yang lebih murni karena campur tangan manusia juga lebih sedikit. Kalau ingin benar-benar bermain dengan alam asli Australia, Tasmania lah tempatnya.

Road Trip 7 hari. Foto: www.puretasmania.com.au
Road Trip 10 Hari. Foto: www.puretasmania.com.au
~ The Emak

Baca juga catatan perjalanan Big A (dalam bahasa Inggris):

Sabtu, 18 Februari 2012

[Penginapan] Hotel Grand Chancellor Hobart

[Penginapan] Hotel Grand Chancellor Hobart

Hotel Grand Chancellor Hobart. Foto oleh Anindito Aditomo.
Selama tiga hari jalan-jalan di Hobart, kami menginap di Hotel Grand Chancellor yang letaknya sangat strategis di tepi pelabuhan. Ini adalah penginapan favorit Little A dalam rangkaian Summer Adventure kami.

Saya memilih menginap di hotel ini karena Si Ayah mengikuti konferensi di sini. Jadi Si Ayah tidak repot bolak-balik ke tempat konferensi dan masih bisa bertemu kami ketika rehat makan siang. Tarif hotel ini AU$ 195 per malam untuk kamar dengan dua double bed dengan pemandangan kota atau gunung. Kalau ingin pemandangan pelabuhan dari dalam kamar, bisa upgrade dengan menambah AU$ 10 per malam. Tarif segitu hanya untuk akomodasi saja, tidak termasuk makan pagi. Tidak seperti di Indonesia, harga standar penginapan di Australia belum termasuk sarapan. Kalau ingin mencari sarapan yang lebih murah daripada harga sarapan prasmanan di hotel, cari saja kafe terdekat. Kopi dan toast harganya di bawah AU$ 10. Tapi maaf, tidak ada yang sedia sarapan bubur ayam di sini :p

Kalau boleh memilih, biasanya saya menghindari menginap di hotel-hotel besar seperti ini. Saya lebih suka menginap di motel atau apartemen yang tarifnya lebih murah dan mempunyai fasilitas untuk memasak. Di hotel mewah, biasanya hanya ada fasilitas membuat teh atau kopi dengan ketel listrik dan kulkas mini untuk menyimpan makanan. Untuk bisa menghemat, terpaksa saya harus kreatif. Dalam perjalanan liburan musim panas ke Tasmania dan New Zealand ini, saya membawa rice cooker kecil. Jangan tertawa dulu, peralatan yang satu ini sangat berguna untuk survival perjalanan dua minggu dengan dua precils :D Kalau sudah punya nasi, kita tinggal membeli lauk dan lalapan saja. Jatuhnya lebih murah daripada harus selalu membeli makan di luar. Harga satu porsi makanan di Australia kira-kira Rp 150.000, itu hanya untuk makanan di food court atau di warung pinggir jalan lho, belum di restoran. Nah, sekarang boleh ikuti tips saya membawa rice cooker ;)

Untuk menyiapkan sarapan The Precils, saya mengalihfungsikan setrika yang disediakan hotel menjadi toaster. Dari rumah, saya sudah mempersenjatai diri dengan aluminium foil. Untuk membuat roti setrika, oles dua potong roti tawar dengan selai kacang atau olesan kesayangan si kecil lainnya, tangkupkan dan bungkus rapi dengan aluminium foil. Setelah itu, setrika tiap sisi sampai roti hangat dan ada crust-nya. Hmm... yummy!

The Precils langsung terpaku menonton TV :p
Little A sarapan dengan roti setrika dan segelas susu, sambil lihat-lihat pemandangan kota Hobart.



Satu-satunya kekurangan hotel ini hanya ketiadaan fasilitas memasaknya. Selain itu, kami sangat menyukai fasilitas dan pelayanan di hotel ini. Kami sampai di hotel ini dengan mengendarai shuttle bus dari bandara Hobart, sekitar pukul 10.30 pagi. Waktu itu Little A tertidur karena capek dari penerbangan Sydney - Hobart, sehingga saya gendong sampai lobi. Si Ayah yang harus segera mengikuti konferensi meninggalkan kami di lobi, menunggu kamar disiapkan. Sebenarnya, aturan cek in baru bisa paling awal jam 2 siang. Tapi petugas yang mungkin kasihan melihat saya membawa dua precils, memprioritaskan cek in kami. Sambil menunggu, Little A tidur di sofa di lobi. Banyak tamu hotel yang senyum-senyum melihat Little A yang pulas. Nggak tahu, senyum karena lucu atau kasihan :) Dalam setengah jam, kamar kami sudah siap dan tas bawaan kami juga sudah diantar ke kamar.

Begitu sampai di kamar, Big A berteriak kegirangan. Dia memang pecinta hotel, seperti Emaknya :) Kamar kami bersih, cukup luas dengan ranjang empuk dan pemandangan kota dengan latar belakang Mt Wellington. Yang paling spektakuler adalah kamar mandinya: wastafel yang besar dengan meja marmer, bak mandi yang baru dan pancuran dengan curahan air seperti air terjun. The Precils jadi senang mandi di sini. Selain itu, ada fasilitas kolam renang tertutup yang sempat dicoba The Precils sekali.

Meskipun hotel ini ada restorannya, kami tidak pernah membeli makanan dari sana. Kami memilih membeli makanan dari luar. Tepat di depan hotel ini, di tepi dermaga ada beberapa warung apung yang menyediakan makanan laut. Di hari pertama kami membeli sekeranjang fish&chips di Flippers dan membeli sepaket lagi untuk makan malam. Selain warung apung, di dekatnya juga ada restoran seafood yang lumayan terkenal di Hobart: Mures. Sayang sekali harganya tidak mure :)) Malam terakhir, kami makan malam di restoran India: Saffron, yang juga ada di seberang hotel kami. Masakan India di resto ini rasanya lumayan dan mereka juga menyediakan menu halal.

Yang paling berkesan bagi Little A tentang hotel ini adalah pintu putarnya. Setiap keluar dan masuk hotel ini, Little A selalu memilih lewat pintu berputar, meskipun ada pilihan pintu lain yang bisa membuka secara otomatis. Pada awalnya, Little A takut-takut dan minta gendong. Tapi lama-lama dia malah ingin melewati pintu ini sendiri dengan mendorong daun pintunya yang lumayan berat. Saking cintanya dengan pintu putar ini, setiap kali dia melihat ada pintu putar di hotel atau perkantoran di Sydney, Little A bertanya, "Is this Hobart?"

Pemandangan pelabuhan Hobart dilihat dari depan lift hotel
Keluarga The Precils di depan hotel, siap melanjutkan perjalanan ke Cradle Mountain

Baca juga catatan perjalanan Big A (dalam bahasa Inggris):
 
~ The Emak

Rabu, 15 Februari 2012

Tiga Hari Menyapa Hobart

Tiga Hari Menyapa Hobart

Suasana dermaga Hobart malam hari. Foto oleh Anindito Aditomo
Ketika menerima berita Si Ayah akan konferensi di Hobart, saya ikut bersorak gembira. Artinya kami bisa ikut jalan-jalan ke ibukota Tasmania ini. Si Ayah yang nggak bisa jauh dari The Precils ini pasti minta ditemani :p

Tasmania adalah pulau yang terpisah dari daratan (mainland) Australia. Hobart, ibukota Tasmania terletak di ujung selatan pulau ini. Tasmania bisa dicapai dengan pesawat dari kota-kota di Australia melalui bandara di Hobart atau Launceston, atau dicapai dengan menggunakan ferry Spirit of Tasmania yang menghubungan pelabuhan Devonport dan Melbourne. Sayang sekali tidak ada penerbangan langsung dari Tasmania ke Indonesia, jadi kalau mau mengunjungi Tasmania harus transit dulu di kota-kota di mainland Australia. Kami terbang dari Sydney menuju Hobart menggunakan pesawat domestik Jetstar dan pulangnya mencoba naik kapal Spirit of Tasmania.

The Precils sangat menikmati suasana liburan pendek kami di Hobart. Menurut Big A, Hobart lebih sepi daripada Sydney dan cuaca di sana lebih dingin. Little A juga senang jalan-jalan di Hobart karena tinggal di hotel yang bagus :p Berulang kali dia bilang ingin pergi lagi ke hotel di Hobart. Menurut saya, anak-anak ini senang di Hobart karena kami benar-benar bisa santai di sini, kecuali Si Ayah tentunya yang ke sini untuk kerja :) Kami menginap di hotel di depan pelabuhan persis, dan kemana-mana tinggal jalan kaki. Saya tidak membuat itinerary yang padat sehingga The Precils bebas bermain-main. Hari pertama kami jalan-jalan di sekitar hotel, singgah di visitor centre dan menuju pusat kota (Mal). Hari kedua kami habiskan untuk mengunjungi pabrik coklat Cadbury, sekitar 1 jam dari kota dengan bis. Hari ketiga kami kembali jalan-jalan menyusuri pelabuhan, melewati Salamanca dan menemukan taman bermain yang asyik dan membuat The Precils betah.
Kantor Pos Besar di Hobart. Depannya adalah depot bis. Foto oleh Anindito Aditomo.
Mal Hobart di Elizabeth St. Foto oleh Anindito Aditomo.
Kota Hobart lebih kecil daripada ibukota negara bagian lainnya di Australia. Karena itu Hobart juga lebih gampang dijelajahi. Pusat kota atau Mal-nya ada di Elizabeth St. Seperti yang sudah sering saya ceritakan, Mal di sini adalah pedestrian, jalan khusus untuk pejalan kaki, yang di kanan kirinya ada toko-toko kecil dan kafe. Mal ini benar-benar nyaman untuk jalan-jalan, dalam arti sebenarnya. Dari hotel kami yang berada di dekat pelabuhan, kira-kira lima belas menit jalan kaki ke Mal ini. Sebelumnya, kami singgah dulu di visitor centre untuk bertanya rute menuju Pabrik Coklat Cadbury yang akan kami kunjungi besoknya. Mengunjungi pabrik coklat ini satu-satunya acara yang saya agendakan. Acara lainnya bebas, mengikuti kaki kami mengajak kemana :)

Visitor Centre Hobart terletak di Davey St, jalan yang sama dengan hotel kami, sekitar 5 menit jalan kaki. Pelayanan di Visitor Centre cukup bagus. Di sini kita juga bisa booking penginapan (kalau belum punya) dan tur. Tempat kecil ini menyediakan brosur dan peta gratis, dan menjual kartu pos dengan harga murah, mulai 50 sen. Oleh petugas, saya diberi tahu jalur bis umum yang menuju pabrik coklat Cadbury. Sebenarnya ada tur khusus ke pabrik coklat ini, tapi tentu saja saya memilih yang lebih murah. Depot atau terminal bis di tengah kota Hobart terletak di depan kantor pos besar. Gedung kuno nan megah yang dijadikan kantor pos ini mudah sekali ditemukan, hanya satu blok di seberang Visitor Centre dan satu blok sebelum mal Elizabeth St.

Selama tiga hari di Hobart, kami tidak menyewa mobil karena rencananya memang hanya akan jalan-jalan di dalam kota. Lagipula sopir yang biasa menyetir mobil (Si Ayah!) sedang sibuk konferensi :D Dari bandara Hobart, kami menuju hotel menggunakan shuttle bus yang tarifnya 'hanya' $10 untuk dewasa dan $5 untuk anak-anak. Jarak dari bandara Hobart menuju pusat kota sekitar 18 menit dan bisa dicapai kurang lebih 20 menit dengan taxi lewat jalan tol. Kalau mengendarai shuttle bus (seperti layanan 'travel' di Indonesia), waktu tempuh bisa dua kali lipatnya karena harus mengantar penumpang lain dulu.
 
Atraksi utama Hobart adalah dermaga tempat berlabuh kapal-kapal pengangkut ikan. Kita bisa berjalan menyusuri pelabuhan ini sampai Salamanca. Setiap Sabtu, ada pasar dadakan di Salamanca yang menjual barang-barang kerajinan dan makanan segar. Sayangnya kami tidak mengunjungi Hobart di akhir pekan sehingga tidak punya kesempatan main di Salamanca Market ini. Namun, tanpa ada pasar pun, Salamanca tetap menarik untuk dikunjungi. Daerah ini berisi bangunan-bangunan kuno dari sandstone yang dulunya merupakan gudang pelabuhan. Gudang-gudang tua ini disulap menjadi kafe, toko dan galeri cantik, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi Hobart. Di tengah kawasan ini ada Salamanca Square yang di tengahnya terdapat taman dengan air mancur, papan catur raksasa, bangku-bangku tempat duduk dan toko-toko atau kafe. Sebenarnya mirip dengan kompleks ruko di Indonesia namun ditata dengan cantik dan lapang sehingga anak-anak punya ruang bermain. 

Saya singgah di Salamanca Square ini dengan tujuan utama mencuci baju! Ya, daripada buang-buang uang dengan mencuci baju di hotel, lebih baik mencari laundry koin yang murah. Dari saran di Lonely Planet, saya berhasil menemukan Machine Laundry Cafe, yang merupakan kafe dengan laundry di sebelahnya. Pukul 10 pagi, tempat ini sudah ramai dengan orang-orang yang sarapan sambil mencuci baju. Saya yang gagap karena belum pernah mencuci baju di laundry umum, merasa terbantu oleh pegawai kafe ini yang gantengnya mirip Jake Gyllenhaal ;) Tentu saya tidak terbantu dengan kegantengannya, tapi dengan pelayanan dan keramahannya. Untuk sekali mencuci baju diperlukan 5 koin $1 dan untuk mengeringkan baju diperlukan koin $1 per 7 menit. Kafe ini bersedia menukar koin dan juga menjual deterjen sachet seharga 50 sen. Sembari menunggu baju dicuci, saya dan The Precils nongkrong di kafe dan memesan makanan dan minuman.

Kelar mencuci baju kotor yang menumpuk tiga hari selama kami di Hobart, saya membawa anak-anak ke toko buku, Hobart Book Shop yang ada di Salamanca Square ini. Toko buku mungil ini nyaman dan tidak terlalu ramai. Big A membeli buku The Mysterious Benedict Society, serial detektif kesayangannya. Tidak sabar menunggu sampai di hotel, Big A membaca buku ini sepanjang jalan. Setelah menuruti keinginan Big A, giliran Little A yang perlu disenang-senangkan. Kami mengunjungi Faerie Shop yang isinya segala sesuatu tentang Fairy (peri), masih di kawasan Salamanca. Toko mungil berwarna pink yang desainnya unik ini merebut hati Little A. Setelah lama memilih dan melihat-lihat ini itu, akhirnya dia membeli notes berbentuk tas kecil, yang tentu saja bergambar peri, lengkap dengan glitter-nya :)

Toko buah segar di Salamanca. Foto oleh Anindya Amarakamini.
Pertokoan di Salamanca.
Di atas Salamanca, ada daerah perkampungan lain yang menarik dikunjungi, yaitu Battery Point. Di kawasan ini ada rumah-rumah kuno yang kecil dan cantik, khas rumah-rumah tepi pelabuhan. Untuk mencapai Battery Point, kita bisa naik tangga curam di Kelly Steps di Salamanca. The Precils terengah-engah sampai di atas dan sebel sama Emaknya yang sebenarnya tidak tahu jalan harus lewat mana :p Untungnya saya mengambil jalan yang benar yang ujungnya adalah taman bermain kecil bernama Arthur Circus. Di taman kecil ini hanya ada satu set ayunan, namun cukup membuat The Precils tersenyum kembali. Dari peta yang kami ambil di Visitor Centre, saya melihat ada taman bermain yang lebih besar bernama Princess Park, yang tidak jauh dari Arthur Circus. The Precils gembira dan menurut ketika saya ajak menuju Princess Park dan menghabiskan dua jam main di sana. Saya cukup leyeh-leyeh dan menikmati pemandangan pelabuhan dari taman yang ada di atas bukit ini.

Untuk melihat pemandangan kota Hobart yang lebih spektakuler, cobalah dari gardu pandang di Mt Wellington. Look out di Mt Wellington ini bisa dicapai dengan bermobil, sekitar 20 menit dari pusat kota. Sayang sekali kami tidak sempat naik ke Mt Wellington ini karena begitu kami menyewa mobil di hari keempat, harus segera melanjutkan perjalanan agar tidak kemalaman di jalan.

Selama tiga hari jalan-jalan menjelajah Hobart, Si Ayah tidak ikut kami. Baru sore atau malam hari setelah konferensi usai, Si Ayah bisa bergabung. Malam pertama, kami mengajak Si Ayah mencicipi seafood di depan warung terapung. Pilihan kami adalah Flippers, yang bentuk warungnya lucu seperti ikan :) Sebenarnya, siang harinya kami sudah jajan di warung yang harga makanannya cukup murah ini. Di tepi dermaga ada warung-warung apung yang menjual makanan laut dengan menu yang sama. Saya pilih Flippers karena warung ini paling ramai dikunjungi orang. Kami memesan Fisherman Basket Deluxe yang berisi macam-macam makanan laut. Hmm... rasanya enak banget dan fresh. Ini fish&chips terenak yang pernah saya coba. Saya suka banget dengan rasa gurih ikan Trevalla-nya. Mungkin karena ikannya segar hasil tangkapan pagi ini.

Kenyang, kami menemani Si Ayah yang sedang belajar memotret suasana malam, dengan berjalan-jalan keliling dermaga. Hasil belajar Si Ayah bisa dilihat dari foto utama artikel ini :) Bagaimana, udah secantik gambar di kartu pos kan? *memuji suami sendiri* 

Meskipun kami ke sana di musim panas, angin malam di tepi dermaga cukup kencang dan dingin, harus dilawan dengan mengenakan jaket. Malam kedua kami tidak keluar malam karena The Precils sudah capek usai berenang dengan Si Ayah di kolam renang hotel. Malam ketiga kami keluar lagi untuk makan malam di restoran India, The Saffron yang letaknya hanya selemparan batu dari hotel kami. Malam itu, angin yang bertiup lebih dingin lagi daripada malam yang pertama. Kami cepat-cepat menuntaskan makan malam, istirahat di hotel karena besoknya kami akan menempuh perjalanan panjang menuju tujuan kami selanjutnya: Cradle Mountain.

Emak dan The Precils nongkrong di warung fish & chips apung. Foto oleh Anindito Aditomo.
Baca juga catatan perjalanan Big A (dalam bahasa Inggris):

~ The Emak


Rabu, 08 Februari 2012

Pengalaman The Precils Naik Emirates

Pengalaman The Precils Naik Emirates

Foto dari http://www.emirates247.com
Hari terakhir kami di Christchurch, New Zealand, Big A sudah tidak sabar ingin segera pulang ke Sydney. Dia penasaran banget ingin mencoba fasilitas ICE (information, communication, entertaintment) Emirates yang tersedia di setiap tempat duduk termasuk di kelas ekonomi.

Ketika merencakan liburan ke Selandia Baru, saya membeli tiket terpisah pergi dan pulangnya. Kami berangkat dari Melbourne ke Queenstown dengan Jetstar yang waktu itu promosi murah banget, hanya A$ 99 per orang sekali jalan dan separuhnya untuk anak-anak. Untuk pulangnya, saya menunggu ada tiket murah dari Queenstown ke Sydney, tapi tidak beruntung. Akhirnya kami putuskan pulang dari Christchurch. Keputusan yang tepat karena asyiknya menjelajah New Zealand adalah dengan road trip. Ada beberapa perusahaan penerbangan yang melayani rute Christchurch - Sydney, yang tarifnya rata-rata lebih murah daripada Queenstown - Sydney. Suatu hari, saya kaget (dan senang) menemukan tarif promosi Emirates di websitenya.

Harga tiket Christchurch - Sydney ini totalnya NZ$629,96 atau rata-rata NZ$157,49 per orang sekali jalan. Saya pikir, kapan lagi bisa naik Emirates dengan harga terjangkau? Lagipula harga segitu lebih murah daripada Jetstar, Virgin, Qantas atau Air New Zealand. Karena ini maskapai reguler, tiket sudah termasuk bagasi (30 kg!), pilih kursi, makan dan hiburan. Saya memesan tiket langsung dari website Emirates yang mudah digunakan ini. Untuk memesan, tidak perlu ribet memasukkan nomor paspor atau keterangan lain karena profil bisa diperbarui kemudian hari. Ketika akan terbang, kami melakukan cek-in online dengan mencetak sendiri boarding pass. Waktu itu, saya minta tolong resepsionis motel kami di Christchurch untuk mencetaknya. Ketika antri untuk cek in di bandara internasional Christchurch, kami mendapat antrian khusus yang jauh lebih pendek karena sudah cek-in online. Pesawat kami ini melayani rute Christchurch - Sydney - Bangkok - Dubai. Mungkin harganya bisa murah karena ada kursi-kursi kosong di leg Christchurch - Sydney ini. Selain dari Christchurch, Emirates juga terbang dari Auckland dengan rute Auckland - Melbourne/Sydney/Brisbane kemudian Dubai. Sayangnya Emirates tidak punya penerbangan langsung dari Indonesia ke Australia atau New Zealand. Yang ingin mencoba Emirates dari Indonesia, bisa transit dulu di Singapore/KL. Ada rute Singapore - Brisbane atau KL/Singapore - Melbourne.

Cek in kami sudah beres dua jam sebelum pesawat boarding. Big A sudah tidak sabar naik pesawat ini dan ribut karena menunggu terlalu lama di bandara. Kami sempatkan menunggu dengan ngopi di kafe, makan buah dan donat, dan akhirnya main-main di ruang tunggu setelah melewati pemeriksaan keamanan. Bandara Christchurch ini cukup nyaman, dengan beberapa pilihan tempat makan, toko-toko suvenir dan toilet yang super bersih. Ada juga fasilitas wifi gratis selama 30 menit. Sebenarnya saya ingin membeli baju-baju dari wool New Zealand yang terkenal, namun apa daya harganya mencekik leher :p Harus cukup puas dengan suvenir kartu pos, magnet dan gantungan kunci.

Di ruang tunggu, Little A tidak serewel kakaknya karena bisa bermain-main dengan koper Trunki-nya. Yang saya senangi dari bandara di New Zealand, kami dipersilahkan boarding lebih awal karena membawa anak-anak kecil. Begitu juga orang hamil atau orang yang sudah tua. Big A yang paling semangat memasuki lorong menuju pesawat yang dihiasi dengan gambar alam New Zealand disertai suara cericit burung bersahutan. Sampai ketemu lagi, New Zealand :)

Formasi tempat duduk di Emirates kelas ekonomi adalah 3 - 4 - 3. Lorong di tengah lumayan sempit untuk jalan, sampai harus miring ketika berpapasan. Ketika pramugari mendorong troli makanan, praktis tidak ada sisa tempat lagi untuk jalan. Tapi toh kami tidak banyak menggunakan lorong itu. Kami memesan tempat duduk di tengah agar bisa duduk berempat, The Precils di tengah. Ruang untuk kaki lumayan lebar daripada Jetstar, atau mungkin karena kami pendek? :D Big A yang sudah menanti-nanti untuk main game dan menonton film sejak browsing tentang Emirates, segera mencoba fasilitas ICE yang ada di depannya. Fasilitas hiburan di Emirates ini memang cukup canggih. Dengan layar touch screen atau remote pribadi, kami bisa memilih untuk menonton film (banyak sekali pilihan, termasuk film baru), mendengarkan musik, membaca berita, berbelanja di toko Emirates, atau mengintip bagaimana pesawat ini lepas landas. Ada dua kamera yang bisa kita akses, kamera di bawah dan di depan pesawat. Seperti biasa, Big A yang lebih tahu cara mengoperasikan ICE ini daripada kami. Beberapa kali dia mengajari Si Ayah yang kesulitan memilih film :)



Sebelum lepas landas, anak-anak diberi mainan berupa boneka tangan berbentuk burung nuri dan macan. Little A mendapat mainan ekstra berupa majalah untuk mewarnai berikut pensil warnanya.
Pesawat berhasil lepas landas dengan mulus, tidak begitu terasa karena ini pesawat besar, Boeing 777. Little A yang kecapekan langsung tidur nyenyak di pesawat, dengan bantal yang disediakan Emirates dan selimut pink kesayangannya. Sepanjang penerbangan, Little A tidur, sehingga dia melewatkan makanan khusus untuk anak-anak yang tampak lebih 'yummy' daripada makanan dewasa :) Saya yang terbiasa naik pesawat budget, sudah lupa rasanya naik pesawat dari maskapai reguler. Jadi saya norak bahagia ketika menerima senampan makanan dengan menu lengkap: kue, camilan, salad, nasi kari dan air putih. Semua makanan di Emirates ini halal, jadi tidak perlu memesan makanan halal secara khusus. Kari ayamnya tidak begitu istimewa, tapi cukup untuk membuat perut kenyang dan melawan pusing akibat perubahan tekanan dan turbulence. Selesai makan, kami masih disuguhi minuman teh atau kopi.






Ketika kami memasuki pesawat, ada satu pramugari Emirates yang menyapa kami, "From Indonesia?" Mungkin tampang kami Indonesia banget ya, hehe. Ternyata dia orang Indonesia juga, tapi sudah lama tinggal di luar negeri. Dia sudah agak lupa bahasa Indonesia dan bertanya pada kami, apa bahasa Indonesianya "chicken" dan "beef" :) Saya senang melihat seragam pramugari Emirates yang khas banget dengan topi mereka yang dihiasi scarf. Pakaian mereka pun sopan, dengan celana panjang atau rok di bawah lutut, sehingga tidak mengganggu pemandangan :)

Secara umum, pengalaman naik Emirates ini menyenangkan. Big A sempat nonton film Smurf, sementara Si Ayah asyik menonton Transformer. Saya sendiri cukup mendengarkan musik dan memakan semua yang dihidangkan di depan saya :p Ketika akan mendarat, saya dan Big A nonton bareng aksi pesawat dari kamera di bawah dan depan pesawat. Dari jauh, kami bisa melihat daratan Sydney yang mulai nampak, sampai akhirnya pesawat mendarat di landasan dan parkir manis di tempatnya. Sydney, we're home!



~ The Emak 

Catatan: 
Kurs dolar bulan Desember 2011
NZD 1 = AUD 0.76
NZD 1 = IDR 7200
AUD 1 = NZD 1.30
AUD 1 = IDR 9150

Rabu, 01 Februari 2012

[Penginapan] Tudor Court Motel Christchurch

[Penginapan] Tudor Court Motel Christchurch


Tudor Court motel di kota Christchurch adalah penginapan terakhir selama road trip kami menjelajah Pulau Selatan Selandia Baru. Kalau di Wanaka dan Lake Tekapo saya bingung mencari penginapan karena tidak banyak pilihan, di Christchurch ini saya bingung karena terlalu banyak pilihan :p Maklum, Christchurch memang kota terbesar di Pulau Selatan New Zealand, yang menjadi gateway jalan-jalan di negara Kiwi ini.

Dua kali gempa besar yang melanda Christchurch, September 2010 dan Februari 2011 mengakibatkan kerusakan pada bangunan-bangunan hotel. Beberapa hotel besar, terutama di tengah kota hancur. Sementara hotel-hotel yang lain belum layak huni karena bangunannya miring. Penginapan yang bisa survive di tengah gempa adalah motel-motel kecil (berlantai satu atau dua) yang ada di pinggiran kota.

Seperti biasa, saya mencari-cari penginapan di website Wotif. Ada beberapa motel bagus menurut review Trip Advisor, yang letaknya paling dekat dengan pusat kota, tapi harganya di atas NZ$ 200, di luar jangkauan kocek saya :) Akhirnya saya menemukan motel Tudor Court ini, yang bangunannya tampak menarik, dengan harga NZ$ 165 per malam, untuk 2 dewasa dan 2 anak-anak. Saya pesan dari Wotif yang tarifnya sedikit lebih murah daripada tarif di website resminya.

Motel ini hanya punya 1 kamar tidur berisi dua single bed untuk the precils. Ranjang utama ada di ruang serbaguna yang menjadi satu dengan sofa, meja makan dan dapur kecil. Kami mendapatkan kamar di pojok, tanpa pemandangan ke luar. Dari jendela yang bisa dibuka, tampak pepohonan dari motel sebelah. Nggak jauh beda dengan pemandangan dari apartemen kami di Sydney :)) Bangunan di motel ini tampak kuno, terlihat dari sofa, pemanas, dapur dan kamar mandinya. Mengingatkan saya pada motel tempat kami menginap di Snowy Mountain. Dapur kecilnya juga hanya ada kulkas kecil, microwave dan bak cuci piring, tanpa kompor. Fasilitas laundry umum ada di luar kamar, menggunakan koin. Saya tidak menggunakan laundry karena sudah puas cuci-cuci baju di Lake Tekapo Holiday Park. Nilai plus dari motel ini: kasurnya nyaman, dengan linen dan sprei berkualitas dari Sheridan. Kami bisa tidur nyenyak, dihangatkan oleh selimut listrik.

Lokasi motel Tudor Court ini di Bealey Avenue, utara pusat kota. Di sepanjang Bealey Avenue banyak terdapat motel. Lokasi tidak terlalu masalah kalau kita membawa mobil, hanya sekitar 5 menit ke pusat kota, Botanic Garden atau Museum. Sore hari setelah mengunjungi museum, Big A minta dibelikan buku karena buku yang saya belikan di Hobart sudah tamat ia baca. Big A akan bilang I am bored setiap menit kalau tidak punya bacaan. Dari penjaga museum kami diberi tahu kalau ada beberapa toko buku di Riccarton Mall. Daerah Riccarton ini terletak di sebelah barat Museum/Botanic Garden. Di kanan kiri jalan Riccarton berderet-deret toko, kafe, motel dan satu mal besar. Saya pikir, enak juga kalau motel kami ada di jalan Riccarton ini, tinggal menyeberang jalan kalau mau belanja ke Mal. Kalau kami punya kesempatan mengunjungi Christchurch lagi, pilihan pertama saya adalah Motel Kauri yang persis di seberang pusat perbelanjaan. Saya ingat kehabisan kamar di motel ini ketika memesan lewat Wotif dulu. Buku yang Big A cari tidak ada di Mal Riccarton. Capek keliling Mal mencari toko buku, kami makan di food court-nya, di bawah pengawasan tukang bersih-bersih karena sebentar lagi Mal tutup (jam 6 sore waktu setempat).

Minggu, 11 Desember 2011, saya dibangunkan oleh The Precils dan Si Ayah. Perasaan saya waktu itu: bahagia yang sederhana. Ini adalah negara ketiga tempat saya merayakan ulang tahun, setelah Indonesia dan Australia. The Precils memberi saya kartu ulang tahun yang diam-diam mereka beli di supermarket di Wanaka. Saya terharu dengan perhatian mereka, tapi juga tertawa melihat gambar Barbie di kartu ultah saya, dengan latar belakang warna pink yang gemerlap. Ini pasti pilihan Little A :D Jam 10.30 kami cek out dari motel, kembali jalan-jalan ke museum dan Botanic Garden, kemudian merayakan ulang tahun saya dengan makan siang di restoran Malaysia di Papanui Road. Sorenya, kami harus mengejar pesawat Emirates yang akan membawa kami kembali ke Sydney.

~ The Emak

Sabtu, 28 Januari 2012

[Penginapan] Lake Tekapo Motels & Holiday Park

[Penginapan] Lake Tekapo Motels & Holiday Park

Mobil sewaan di belakang kabin kami di Lake Tekapo Holiday Park
Don't judge an accommodation by it's website! Website Lake Tekapo Motels & Holiday Park ini tidak begitu meyakinkan, namun kabin dan fasilitas yang kami dapatkan cukup lumayan, plus bonus pemandangan danau Tekapo yang bisa dilihat langsung dari dalam kabin :)

Ketika mencari akomodasi di Lake Tekapo, saya cukup bingung karena pilihan di Wotif sangat sedikit. Pilihan di website informasi lokal juga tidak ada yang cocok, terutama harganya :p Di Lake Tekapo ini banyak didirikan resort-resort mewah yang harganya tentu tidak sesuai dengan anggaran liburan kami. Ada satu hotel waralaba mewah yang terkenal di sini, yang harga vila untuk keluarganya di atas NZ$ 350. Not for us! Dengan anggaran maksimal NZ$ 150 per malam, akhirnya saya menemukan akomodasi yang sesuai untuk keluarga kami: kabin dengan kamar mandi dalam di Holiday Park.

Saya memesan langsung akomodasi ini di website mereka. Harga awal kabin ini adalah NZ$ 120 per malam untuk 2 orang. Anak-anak di bawah usia 14 tahun membayar tambahan NZ$10 per malam, sehingga total NZ$ 140 per malam untuk kami berempat. Ketika tiba di Holiday Park ini saya cukup was-was, takut akomodasinya tidak sesuai dengan yang kami harapkan. Berbeda dengan Holiday Park di Te Anau yang kelihatan baru dan terawat, bangunan-bangunan di Holiday Park ini tampak tua. Dari luar, kantor resepsionis tampak seperti gudang. Ketika masuk ke kompleks Holiday Park yang luas ini, kami melewati dua taman bermain, yang satu sudah rusak dan satunya tampak tua dan tidak terawat. Saya jadi semakin takut melihat kabin kami.

Ternyata yang saya khawatirkan tidak terjadi. Kabin kami yang kecil cukup bagus dan terawat. Ketika kami datang, kamar sudah bersih dan rapi, dengan sprei baru, berikut handuk dan sabun mandi baru. Ukuran kabin ini sekitar 4x7 meter, berisi satu ranjang dobel dan satu set ranjang susun (bunk bed). The Precils langsung excited mencoba naik turun ranjang susun ini. Ada dua set meja kursi seperti di kafe, yang juga bisa kami bawa ke teras. Ada satu TV kecil yang tidak pernah kami nyalakan. Di sudut lain ada fasilitas kulkas kecil, ketel listrik, pemanggang roti, dan bak cuci piring. Peralatan makan lengkap seperti piring, gelas, sendok, garpu juga disediakan di sini. Kamar mandi (pancuran), toilet dan wastafel yang lebih baru daripada kamar mandi di Te Anau, ada di dalam kabin di samping kamar.

Yang paling mengesankan dari penginapan ini adalah pemandangan luar biasa yang bisa kami lihat dari dalam kamar. Kabin kami terletak persis di pinggir Lake Tekapo, hanya dihalangi oleh padang bunga liar warna-warni. Setelah beres-beres barang bawaan kami, terutama bahan makanan, kami bisa santai sejenak di teras berlantai kayu, sambil memandang danau Tekapo dan gunung di belakangnya. Big A menyempatkan menulis jurnal perjalanan, dengan menyeret meja kursi kami keluar.

Di Holiday Park ini tersedia sambungan internet via wifi yang bisa dibeli NZ$10 untuk 24 jam. Ketika laptop kami sudah tersambung dengan internet, Si Ayah langsung duduk manis di depan laptop :p

Kabin mungil kami tampak dari depan
The Precils menjelajah kabin
Little A menatap bebek-bebek yang bebas berkeliaran di depan kabin kami
The Precils bermain meniti kayu di samping kabin
Sayangnya, di sini taman bermainnya tidak sebagus yang ada di Te Anau. Lagipula, playground tersebut cukup jauh dari kabin. Namun The Precils tidak kalah akal. Little A dengan cepat menemukan permainan baru: meniti gelondongan kayu yang dia temukan di samping kabin. Selain bermain titian, Little A juga sibuk mengejar bebek-bebek yang berkeliaran dengan bebas di sekitar kabin. Pada awalnya, Little A hanya memandang bebek-bebek yang lewat. Tapi lama-lama, dia mulai mengejar bebek-bebek tersebut. "The duckies need to sikat gigi," kata Little A.

Sebelum menyiapkan makan malam, saya punya PR cucian yang menumpuk. Selama dua hari di Te Anau dan sehari di Wanaka kami tidak mencuci baju. Big A dengan senang hati membantu saya mencuci baju di laundry umum yang ada di belakang kabin kami. Little A tidak mau kalah membantu memasukkan koin ke dalam slot mesin laundry. Untuk sekali mencuci baju, kita perlu koin $2 dan untuk mesin pengering juga perlu $2. Deterjen juga dijual di mesin otomatis seharga $2 per bungkus. Cucian langsung kering dan bisa dipakai lagi. Tips ketika bepergian: jangan merepotkan diri sendiri dengan menyetrika ;)

Big A serius membaca sementara Si Ayah serius memasak
Makanan sudah siap tapi Big A masih asyik membaca
Jangan dilihat bentuknya, 'scramble' salmon ini enak banget!
Cucian beres, saatnya menyiapkan makan malam istimewa: barbekyu salmon dari Mt Cook Alpine Salmon Farm. Lagi-lagi kami beruntung karena tempat piknik dan mesin barbekyu letaknya tepat di samping kabin. Fasilitas barbekyu dengan gas ini disediakan gratis. Di samping kabin ada tiga mesin barbekyu dan beberapa bangku-bangku kayu. Ketika kami bersiap-siap, sudah ada beberapa orang yang makan malam. Saya lumayan kerepotan menyalakan mesin barbekyu ini. Untung ada traveler lain yang berbaik hati membantu saya. Ternyata saudara-saudara, barbekyu jenis ini harus dinyalakan dengan korek api :D 

Setelah berhasil nyala, saya letakkan dua potong salmon segar di atas aluminium foil. Bumbunya cukup mentega, garam dan lada hitam. Sementara itu, nasi, lalapan dan jus jeruk sudah siap. Ketika salmon mulai matang, saya tidak bisa membaliknya karena ikan ini lengket dengan foil. Si Ayah turun tangan memberi bantuan, berhasil membalik salmon ini sampai matang, tapi si salmon tidak berbentuk lagi. Alhasil, kami makan orak-arik salmon, bukan steak salmon :D Jangan salah, rasa salmon ini tidak dipengaruhi oleh bentuknya. Si Ayah berulang kali bergumam kalau ini salmon terenak yang pernah dia rasakan. The Precils pun makan sendiri dengan lahap. Kali ini benar-benar makan malam istimewa di tempat terbuka yang memesona.

Malamnya kami tidur dengan nyenyak. Pagi hari saya dikejutkan dengan pemandangan indah danau Tekapo yang bagaikan cermin memantulkan bayangan gunung di belakangnya. Rupanya bayangan  seperti ini hanya bisa didapatkan pagi hari ketika matahari belum tinggi. Saya pun membuat kopi dan menikmati sarapan sereal dengan bonus pemandangan danau Tekapo berkabut tipis ini. Pukul 10 pagi, kami menyelesaikan rutinitas berkemas, cek out dan melanjutkan perjalanan ke Christchurch.

Breakfast with a view
~ The Emak

Rabu, 25 Januari 2012

Di Tepi Lake Tekapo Kisah Kami Abadi

Di Tepi Lake Tekapo Kisah Kami Abadi

Foto Keluarga di tepi danau Tekapo
Saya masih ingat suasana senja di tepi danau Tekapo: tenang dan syahdu. Angin malam membelai halus di antara padang bunga liar warna ungu dan merah jambu, bulan menggantikan matahari menerangi danau berair biru turquoise, dengan gereja tua yang berdiri anggun di tepinya, dan di kejauhan tampak Mt John berselimut salju.

Lake Tekapo adalah kota kecil yang terletak di antara Christchurch dan Queenstown. Kota ini menjadi persinggahan utama traveler yang melakukan perjalanan dari Christchurch ke Queenstown atau sebaliknya. Dengan mobil, Lake Tekapo bisa dicapai 3 jam dari Christchurch atau 3,5 jam dari Queenstown.

Biasanya para pelancong hanya singgah sebentar dan melihat keindahan danau Tekapo ini di sekitar Church of the Good Shepherd saja. Gereja tua yang dibangun tahun 1935 ini merupakan atraksi utama yang wajib disinggahi di Lake Tekapo. Bangunan cantik ini cukup fotogenik diambil gambarnya dari berbagai sudut. Tidak heran kalau gereja ini menjadi gereja yang paling banyak difoto di seluruh New Zealand. Si Ayah yang baru saja belajar fotografi cukup antusias ingin mengabadikan senja di sekitar gereja yang juga populer disewa untuk prosesi pernikahan ini.

Jarak gereja tua sekitar 1 km dari tempat kami menginap di Lake Tekapo Motels and Holiday Park. Kami naik mobil menuju ke sana setelah kenyang dengan makan malam. Di musim panas, matahari baru terbenam sekitar jam 9 malam. Semburat jingga dan merah jambu bergantian memenuhi langit. Little A dan Big A saya ajak bermain-main di padang bunga liar yang tumbuh di tepi danau. Bunga Russell Lupines atau lebih populer disebut Lupin berwarna ungu dan merah jambu ini tumbuh di musim panas, dari akhir November sampai awal Januari. Ketika musim dingin tiba, bunga-bunga cantik ini menghilang dan akan muncul lagi begitu musim panas tiba. Kami beruntung mengunjungi New Zealand ketika bunga-bunga ini mekar. Pemandangan cantik padang Lupin ini bisa kami jumpai di mana-mana, di Queenstown, Glenorchy, Te Anau, Wanaka dan paling banyak di Lake Tekapo ini.
 
Sementara The Precils bermain, Si Ayah asyik memotret Church of the Good Shepherd. Kami pulang setelah langit gelap meskipun Si Ayah belum puas dan belum berhasil mendapatkan foto yang bagus karena 'peralatan perang' nya kurang memadai :p

Senja di Church of the Good Shepherd, Lake Tekapo
Church of the Good Shepherd sebelum gelap
Pagi harinya, setelah cek out dari penginapan, kami kembali mengunjungi gereja tua ini. Agenda utamanya adalah: foto keluarga :D Saya yang paling ngebet pengen punya foto keluarga yang lumayan, yang nantinya bisa dibingkai dan dipajang di ruang keluarga. Setelah gagal membuat foto keluarga di Milford Sound, saya ingin foto keluarga kali ini berhasil, dan sempurna. Pagi hari, saya berhasil membujuk anak-anak dan ayahnya untuk memakai 'seragam' foto keluarga kami: kaos putih dan celana jeans biru. Tidak ada alasan khusus untuk pilihan 'seragam' ini kecuali warna inilah yang kebetulan kami semua punya.

Sesi foto dimulai ketika The Precils asyik bermain di batu-batu di tepi danau. Setelah Si Ayah berhasil menyeting kameranya di tripod, kami berpose. Tuhan memberkati, Little A dan Big A sukarela tersenyum ketika difoto. Padahal semenit sebelumnya Big A manyun karena kepanasan. Kami ulangi foto sekali lagi di antara padang Lupin. Lagi-lagi saya cukup beruntung karena The Precils mau tersenyum. Begitu terdengar bunyi 'klik', anak-anak segera bubar sehingga foto keluarga tidak mungkin diulang lagi.

Hasilnya tidak begitu mengecewakan. Saya berani bilang hasil foto Si Ayah bisa diadu dengan tukang foto keluarga profesional :)


Foto Keluarga di tepi danau Tekapo
~ The Emak