Senin, 04 Agustus 2014

Pengalaman Terbang Dengan Air New Zealand

Pengalaman Terbang Dengan Air New Zealand

Disclaimer:
This trip is paid by Tourism New Zealand. 
But all opinions expressed by me are 100% authentic and written in my own words.

Dulu, ketika kami sekeluarga jalan-jalan keliling Pulau Selatan Selandia Baru, saya menghindari perjalanan dengan pesawat domestik. Mengingat pengalaman naik pesawat domestik di Australia yang lumayan repot. Tapi, setelah saya mengalami sendiri selo-nya naik pesawat Air New Zealand dari Christchurch ke Nelson pp, saya nggak akan ragu mengajak Precils terbang antar kota-kota di New Zealand, lain kali kalau berkunjung ke sini lagi.

Bulan Juni lalu, saya memenangkan lomba foto dengan hadiah jalan-jalan ke New Zealand. Hadiahnya untuk satu orang, tapi saya ditemani jurnalis dari The Jakarta Post, penyelenggara lomba. Kami diundang oleh Tourism Nelson Tasman untuk mengeksplorasi kecantikan alamnya. Dari Jakarta ke Christchurch kami naik Singapore Airlines, transit di Changi, Singapura. Dari Christchurch ke Nelson, kami naik pesawat domestik Air New Zealand.

Transit di Christchurch Airport
Pesawat SQ yang saya tumpangi mendarat di Christchurch Airport jam 9.30 pagi waktu setempat. Saya masih punya waktu sekitar dua setengah jam sampai penerbangan berikutnya ke Nelson, jam 12.10. Imigrasi berhasil saya lewati dengan mulus. Seperti biasa, petugas menanyakan apa maksud kedatangan saya ke NZ: diundang Pemda Nelson untuk jalan-jalan. Saya perlihatkan itinerary dari mereka, dan si petugas menimpali, "Wah, asyik banget acaramu. Selamat jalan-jalan ya." Custom Selandia Baru yang ketat pun berhasil saya lewati. Saya hanya memperlihatkan beberapa oleh-oleh dari kulit dan kayu (wayang-wayangan kecil dan pembatas buku) yang tentu saja diloloskan. Saya tidak membawa makanan sama sekali, jadi gampang lolos.


Tidak ada yang menjemput saya di Christchurch. Teman jurnalis yang mestinya terbang bersama saya pun ketinggalan pesawat di Jakarta (haduh!). Jadi saya ngider sendirian di bandara Christchurch. Biar nggak ribet bawa-bawa koper besar, saya cek in dulu si bagasi ini. Dari Tourism New Zealand (TNZ) saya cuma dibekali e-ticket. Celingak-celinguk mencari konter cek in, ternyata tidak menemukan konter yang melayani penumpang kelas ekonomi. Pelayanan cek in untuk kelas ekonomi digantikan oleh mesin yang mirip-mirip mesin ATM ini.

Saya pun mencoba self check in dengan mesin. Ternyata gampang kok, tinggal memasukkan kode booking. Si mesin ini pintar, langsung tahu saya siapa, dari mana mau ke mana. Ya iya lah. Mesin ini kemudian mencetakkan stiker bagasi yang harus saya pasang sendiri di pegangan tas (ada petunjuknya). Setelah itu, tas harus saya taruh sendiri di ban berjalan (bag drop) yang langsung menuju pesawat. Di dekat mesin cek in juga ada timbangan. Awas, bukan buat orang, tapi buat menimbang bagasi. Mungkin kalau bagasinya kelebihan berat (maksimal 23kg), para penumpang diharapkan membayar sendiri atau bagaimana, saya kurang tahu. Tapi sistem cek in dengan mesin ini mengasumsikan penumpang jujur semua. Dan memang begitu sepertinya penduduk New Zealand ini.

Setelah sukses melepaskan beban berat alias si koper, saya cari-cari kamar mandi. Sebenarnya saya bukan orang yang hobi mandi. Tapi karena di itinerary dianjurkan mandi di bandara, saya manut-manut saja. Malu juga mau ketemu perwakilan turisme Nelson tapi masih muka bantal begini. Saya menemukan fasilitas mandi di toilet untuk orang difabel. Saya cari-cari di toilet perempuan tidak ada kamar mandinya. Untuk memastikan, saya pun bertanya ke petugas airport, boleh nggak mandi di situ. Si petugas malah tertawa, ya boleh-boleh saja, ditaruh di situ karena jarang dipakai orang kok. Saya pun berjanji akan mandi secepat mungkin, jaga-jaga kalau ada orang disabel yang perlu toilet.

Tapi susah berhenti ya kalau mandinya pakai air panas dengan pancuran yang kencang. Di sana juga telah disediakan sabun mandi gratis yang cukup wangi. Saya bawa handuk andalan saya: microfibre towel dari Kathmandu yang lembut tapi gampang kering kembali.

e-ticket dan boarding pass yang dicetak sendiri di mesin

Setelah seger kembali, saya tidak minder nongkrong di lounge keberangkatan yang penampakannya lebih mirip kafe itu. Omong-omong, tidak ada pemeriksaan keamanan apapun untuk penerbangan domestik. Hanya ada pernyataan bahwa penumpang tidak membawa barang-barang berbahaya ketika cek in di mesin. Orang sini baik-baik.

Karena masih kenyang dari sarapan di pesawat, saya nggak jajan apapun. Saya sempatkan jalan-jalan ke lounge keberangkatan internasional di lantai atas. Di sana ada toko Relay yang menjual buku, stasioneri, camilan dan suvenir termasuk kartupos. Bagusnya, toko ini juga menjual perangko, termasuk untuk tujuan internasional. Sebelum pulang kembali ke tanah air, saya sempat mengirim kartupos ke beberapa follower @travelingprecil. Tinggal cemplungin ke kotak pos yang ada di depan toko.

Lima belas menit sebelum jadwal pesawat berangkat, kami dipersilakan boarding, dengan berjalan langsung menuju pesawat, tanpa garbarata. Sepanjang jalan menuju pesawat, para penumpang saling sapa, tampaknya semua orang kenal semua orang. Seperti dengan tetangga yang pulang kampung bareng.


Untuk penerbangan selama 50 menit ini, kami naik pesawat Bombardier Q300  yang kursinya hanya ada 50. Ya, memang seperti naik bus karena penumpangnya juga saling kenal semua, kecuali saya. Pesawat ini punya dua baling-baling di kanan kiri. Saya yang duduk dekat jendela bisa melihat dengan jelas ketika roda pesawat meninggalkan landasan dan ketika nanti kembali mendarat di landasan. Tapi meski terbang dengan pesawat kecil, penerbangan tetap nyaman. Tidak ada guncangan yang berarti, meski kami harus selalu memakai sabuk pengaman. Lucunya, di bawah kursi tidak tersedia live vest. Sebagai gantinya, dalam keadaan darurat, kursi pesawat bisa diambil dan digunakan sebagai pelampung.

Pramugari di Air New Zealand ramah-ramah, seperti kebanyakan Kiwi lainnya. Di pesawat, kami hanya diberi air putih dan permen (kalau mau). Pramugari berkeliling membawa teko air putih dan menyelipkan permen serta gelas-gelas plastik kecil di kantung apronnya. Saya sebenarnya pengen menyimpang gelas plastik dengan tulisan Air New Zealand tersebut untuk kenang-kenangan. Tapi karena bule ganteng yang duduk di sebelah saya mengembalikan gelas miliknya ke pramugari, seraya menatap saya seolah bilang, "Balikin gih," saya jadi mengurungkan niat.
 
Karena tidak terbang terlalu tinggi, saya selalu bisa melihat pemandangan lanskap New Zealand dari balik jendela. Awalnya lanskap pesisir timur, kemudian dilanjutkan dengan gunung-gunung yang ujungnya berselimut salju, negeri middle earth yang indah.



Bandara Nelson lebih kecil, hanya punya satu boarding gate yang juga menjadi arrival gate. Bandara ini tidak punya ban berjalan, bagasi penumpang disajikan langsung dari troli besarnya di luar bandara. Area cek in juga kecil, hanya ada satu petugas dan dua mesin cek in. Tidak ada pemeriksaan apapun di bandara ini.

Ketika ada pengumuman bahwa pesawat terlambat, tidak ada kepanikan atau gerutu dari penumpang. Orang-orang sini memang santai ya? Ketika kami mendarat di Christchurch, dalam perjalanan pulang dari Nelson, pramugari dengan nada ceria mengumumkan: "Selamat datang di Christchurch. Bagi penumpang yang ingin melanjutkan perjalanan ke Queenstwon, ups, maaf, kalian ketinggalan pesawat. Sila menunggu penerbangan selanjutnya. Tapi buat yang ingin melanjutkan terbang ke Dunedin, selamat! Ini pesawat yang akan terbang ke sana, jadi sila menunggu di sini. Terima kasih sudah terbang dengan Air New Zealand." Hehehe, santai poool.

Tiket saya ini dibelikan oleh TNZ seharga NZD 398, untuk penerbangan CHC-NSN pp. Tentu saja itu tarif full price. Untuk mencari harga promo, Air New Zealand bagi-bagi tiket murah tiap hari di website Grab A Seat.

Untuk yang pengen naik Air New Zealand, bisa naik untuk penerbangan domestik NZ atau penerbangan internasional dari Australia. Cek rute terbang di website resmi mereka. Sayangnya, hanya ada penerbangan musiman dari Bali menuju Auckland, itu pun tidak bisa dipesan langsung ke website-nya. Saya intip untuk penerbangan Auckland - Denpasar pp, tarifnya sekitar NZD 1200, dengan lama penerbangan 8 sampai 9 jam. Yang tertarik naik pesawat ini atau sekedar membandingkan tarifnya, bisa menghubungi kantornya di Bali di nomor +62-361 7841659.

Setelah tahu selonya penerbangan domestik di NZ ini, saya jadi pengen segera ajak anak-anak kembali ke sini. Ya, keramahan dan indahnya New Zealand selalu bikin pengen balik lagi.

Cek in di bandara Nelson

~ The Emak

Baca juga: 
Berburu Tiket Pesawat Murah ke New Zealand 
Pengalaman The Precils Naik Emirates (Christchurch - Sydney) 
Terbang Ke New Zealand Dengan Singapore Airlines 
Tips Merencanakan Perjalanan Ke New Zealand

Rabu, 16 Juli 2014

Terbang Ke New Zealand Dengan Singapore Airlines

Terbang Ke New Zealand Dengan Singapore Airlines

Pesawat SQ di bandara Christchurch
Disclaimer:
This trip is paid by Tourism New Zealand. 
But all opinions expressed by me are 100% authentic and written in my own words.

Sudah lama saya pengin naik Singapore Airlines alias SQ, tapi ya tidak pernah kesampaian wong duitnya hanya cukup untuk budget airline saja. Ketika Si Ayah dibayari naik SQ ke Washington DC awal tahun ini, saya iri banget. Tapi alhamdulillah, rezeki nggak kemana. Keinginan saya mencoba SQ akhirnya kesampaian juga, gratis pula.

Mungkin ada yang belum tahu, saya memenangkan lomba #NZFoto yang diadakan oleh @JPlusSunday dari Jakarta Post, disponsori oleh Tourism New Zealand (TNZ). Hadiahnya  jalan-jalan gratis ke New Zealand, terbang dengan Singapore Airlines. Wuih, rasanya seperti mimpi, bahkan sampai itinerary SQ mampir ke inbox email saya.
Itinerary SQ
Tiket gratisnya memang hanya dari Jakarta. Dari Surabaya ke Jakarta harus saya usahakan sendiri. Saya berangkat bersama seorang jurnalis Jakarta Post. Untuk ke Christchurch, kota di Pulau Selatan New Zealand, kami transit dulu di Changi. Ketika mendapat itinerary ini, saya sempat deg-deg-an, memang bisa tuh waktu transit hanya 55 menit? Padahal ini kan penerbangan internasional, beda terminal lagi. Tapi percaya deh, SQ sudah mengatur semuanya. Transit di Changi mulus-mulus saja tanpa kendala apa-apa. Nanti akan saya tulis tersendiri.

Saya tidak tahu berapa harga tiket gratisan saya ini. Tapi iseng-iseng saya cek di website SQ, harga tiket pesawat dari Jakarta ke Christchurch mulai dari USD 1.400-an. Begitu juga tiket dari Surabaya ke Christchurch via Singapura, harga kurang lebih sama. SQ juga melayani penerbangan ke Auckland (kota di Pulau Utara Selandia Baru) dengan tarif yang mirip. Enaknya naik SQ, dari Singapura bisa langsung terbang ke Christchurch (CHC) atau Auckland (AKL), tidak perlu transit dulu di Australia. Cara lain untuk menghindari transit di Australia adalah naik Malaysia Airlines yang punya penerbangan langsung dari Kuala Lumpur ke Auckland (mulai USD 1000).

Agar transfernya mulus di terminal yang sama, saya naik Garuda dari Surabaya, mendarat di Terminal 2 bandara Soekarno Hatta. Pelayanan cek in oke, bisa tiga jam sebelum keberangkatan. Bagasi saya langsung dikirim ke Christchurch nantinya. Nomor Krisflyer saya bisa langsung dicantumkan untuk mendapatkan poin, meski saya belum punya kartunya dan hanya mendaftar online. Pelayanan imigrasi juga lumayan bagus, banyak petugas sehingga antrenya tidak lama banget. Ada juga auto-gate untuk pemegang e-paspor. 

Terminal 2 memang lebih bagus daripada terminal 1 dan 3, meski tetap ada kekurangan sana-sini. Waktu itu gate saya diganti, tidak sesuai dengan yang tertulis di boarding pass. Pengumumannya hanya dengan secarik kertas yang sobek-sobek di depan lorong menuju gate. Tapi ruang tunggu boarding-nya cukup bagus kok. Kursi dan sofanya nyaman dan cukup untuk semua orang. Toiletnya bersih banget. Ada pojok baca dengan buku dan majalah yang disponsori oleh perusahaan asuransi. Tapi yang paling mengesankan bagi saya adalah sistem boarding menggunakan kartu warna-warni. Ketika memasuki ruang tunggu, kita dicek tiketnya, lalu diberi kartu boarding dengan warna tertentu, sesuai prioritas: merah, kuning, biru dan hijau. Ketika siap boarding, penumpang dipanggil sesuai warna kartunya, dan wajib menyerahkan kartu tersebut ke petugas. Dengan begini, orang nggak rebutan untuk masuk ke pesawat, karena warna lebih mudah diingat daripada nomor tempat duduk. Saya heran, mengapa sistem seperti ini tidak diberlakukan untuk penerbangan lain? Atau jangan-jangan, sistem antre dengan kartu berwarna ini hanya bisa diterapkan untuk orang-orang yang mampu bayar tiket SQ saja? :p

Boarding pass di T2 bandara Soekarno-Hatta
Boarding room di Changi Airport
Pesawat yang saya naiki adalah Boeing 777-200 dan 777-300 dengan urutan kursi ekonomi 3-3-3. Kursi ekonomi SQ ini cukup lebar dan yang ternyaman yang pernah saya coba, lebih nyaman dari Garuda atau Emirates. Posisi awal kursi sudah ter-recline sedikit, disainnya pas untuk postur tubuh orang Asia. Ditambah lagi di depan kursi ada pijakan kaki, sangat membantu untuk yang bertubuh mini seperti saya, agar kaki tidak menggantung :D

Sayangnya bagasi kabin di atas tempat duduk tidak bersahabat dengan tinggi tubuh saya. Jangankan meletakkan sendiri tas saya di atas, lha wong membukanya saja saya nggak bisa. Ora nyandak. Untung ada mbak-mbak pramugari aka Singapore Girls yang siap membantu. Ya memang ada gunanya syarat tinggi minimal untuk jadi pramugari. 

Saya rasa pramugari SQ ini paling cekatan dibanding pramugrari maskapai lain. Layanan sebelum take off, pemberian handuk hangat, pemberian snack, makanan dan minuman cukup efektif dan efisien. Makanan cepat datang ketika saya mulai lapar. Minum hangat teh atau kopi juga tidak perlu menunggu lama. Begitu juga ketika mengambil kembali nampan makanan, tidak grusah-grusuh dan membuat sampah berhamburan. Sip lah pokoknya. Tambahan lagi, menurut saya, mbak-mbak ini cantik-cantik banget je. Kecantikan paras Asia, gitu. Tentu saja sangat subyektif karena saya juga cewek Asia, menilai kecantikan berdasar ras sendiri :)

Dalam penerbangan dari Singapura ke Christchurch, ada series of unfortunate events, yang belakangan menjadi fortunate events alias berkah terselubung buat saya. Rekan seperjalanan saya mengalami kecelakaan di tol Jakarta. Alhamdulillah tidak parah, tapi membuatnya ketinggalan pesawat dari Jakarta ke Singapura. Di ruang tunggu di Changi, saya cemas, berharap dia bisa menyusul ke Singapura entah bagaimana caranya. Tapi sampai pesawat mau lepas landas, dia belum tampak. Alhasil, saya terbang solo sampai New Zealand. Penerbangan malam itu tidak terlalu ramai, dan saya seperti mendapat durian runtuh mendapatkan tiga kursi di barisan saya kosong semua. Dengan ukuran tubuh mini begini, saya bisa tidur nyaman seperti di flat bed. Duh, kelas ekonomi berasa first class :D

Suasana kabin dan Singapore Girl yang cekatan

My economy seat
Dari Singapore, saya harus terbang hampir 10 jam nonstop sampai ke Selandia Baru, melewati (kembali) Surabaya dan Australia. Enaknya penerbangan dengan full airline, bukan low-cost carrier, di pesawat ada hiburannya. Sistem hiburan di Singapore Airlines ini cukup bagus, tapi masih di bawah entertainment system di Emirates. Pilihan film-nya ada yang baru-baru, tapi masih kalah banyak dengan pilihan di Emirates. Setiap penumpang ekonomi mendapatkan layar pribadi di depan tempat duduknya, tapi sayang belum sistem touch screen. Kadang saya kesulitan memakai remote, untuk bolak-balik pilih program. Akhirnya setelah kenyang makan, saya cuma khusuk mendengarkan lagu saja, sampai terlelap. Dalam perjalanan pulang, saya sempat nonton satu film Korea yang cukup menghibur atas rekomendasi teman seperjalanan saya (yang alhamdulillah tidak ketinggalan pesawat lagi).

Oh, ya, ada amenities yang dibagikan ke penumpang untuk penerbangan SIN-CHC dan sebaliknya. Setiap penumpang mendapat kaos kaki, sikat gigi dan pasta gigi yang dikemas dalam kantung cantik. Lumayan lah :)

Goody bag berisi kaos kaki, sikat dan pasta gigi
Yang paling membuat saya semangat naik maskapai ini terus terang adalah makanannya. Kata Si Ayah, makanan di SQ biasa aja. Padahal menurut saya, makanannya enak, apalagi disajikan lengkap dari makanan pembuka sampai pencuci mulut. Plus ada roti dan butter! Oh, mentega, sudah lama saya tidak makan mentega dengan baik dan benar.

Untuk penerbangan jarak pendek seperti dari Jakarta ke Singapura yang cuma 1,5 jam saja, SQ tetap menyediakan makanan berat. Menu yang saya dapat adalah nasi ikan dengan sayuran, dilengkapi jus jeruk dan pencuci mulut. Hidangan ketika pulang juga hampir sama, hanya pencuci mulutnya saja yang berbeda. Oh, banana bread!

Dari Singapura ke Christchurch masuk ke penerbangan long haul dan melewati dua jam makan, sehingga saya mendapat makan malam dan sarapan. Makan malamnya kembali nasi dengan ikan (nggak masalah, enak kok), disajikan lengkap dengan ubarampenya. Saya sangat menikmati makan di pesawat yang minim turbulence dan tanpa gangguan dari Precils atau Si Ayah. Sangat khusyuk ibadah makan saya dimulai dari makan hidangan pembuka (salad yang segar-segar kecut), menyobek roti dan mengisinya dengan mentega dari New Zealand, lalu pelan-pelan menaburkan lada hitam di atas nasi. Hidangan utama saya kunyah pelan-pelan dengan sendok stainless (bukan sendok plastik!), sambil sesekali menyesap air mineral. Selesai makan, saya minta teh dengan susu untuk pengantar tidur. Cracker dan keju saya simpan untuk keadaan darurat tengah malam, haha. Sayangnya saya tidak bisa menikmati pencuci mulut es krim karena semua rasanya cokelat dan saya alergi cokelat, hiks. Tapi semua yang masuk perut tadi membuat saya tidur nyenyak sampai fajar menyingsing.

Waktunya sarapan! Ritual yang sama saya lakukan untuk menu sarapan kali ini: roti dengan mentega dulu, baru omelet dan hash brown (bukan perkedel ya), dan lanjut dengan irisan buah segar dan yoghurt. Muffin saya camil-camil setelah nampan dibereskan, sambil menikmati kopi pagi dengan susu, siap mendarat dengan perut kenyang dan wajah siaga di bandara Christchurch, hahaha.

Menu makan pulangnya tak kalah istimewa. Bagi yang belum pernah merasakan mentega, susu, keju dan daging domba New Zealand mungkin akan mengatakan saya melebih-lebihkan. Tapi itu lah yang saya rasakan. Semua jenis makanan produksi New Zealand jauh lebih enak daripada punya Australia (sorry!). Mungkin karena alamnya yang lebih murni ya?

Saya jadi membayangkan, kalau makanan di kelas ekonomi seenak ini, apa jadinya di kelas bisnis ya? Atau first class? Hohoho, saya catat dulu di Dream Book, semoga impian saya terkabul suatu saat nanti.

Sementara itu, monggo sila dicicipi, foto-fotonya :)
Camilan yang bisa dipesan setiap saat
Makan siang di penerbangan Jakarta - Singapura
Makan malam di penerbangan Singapura - Christchurch
Sarapan di penerbangan Singapura - Christchurch
Makan siang di penerbangan Christchurch - Singapura
Makan sore di penerbangan Christchurch - Singapura
Makan malam di penerbangan Singapura - Jakarta
~ The Emak

Baca juga:

Rabu, 18 April 2012

Tips Packing ke Australia dan New Zealand

Tips Packing ke Australia dan New Zealand

Tas keluarga The Precils. Foto oleh Radityo Widiatmojo.
Golden rule of packing: Take half of the clothes you were planning to bring and twice the money.

Aturan yang menurut saya bener banget itu saya baca dari artikel di website National Geographic. Barang bawaan seharusnya tidak membuat perjalanan menjadi merepotkan. Bagi kami, tambahan dua precils sudah cukup menyita perhatian, jangan ditambah dengan acara menyeret koper atau menggendong ransel yang berat. Tapi jangan khawatir, keahlian packing ini akan semakin meningkat seiring jumlah perjalanan yang dilakukan.

Prinsip saya: bawa sesedikit mungkin. Dari foto di atas terlihat 5 tas yang biasa kami bawa kalau bepergian. Anak-anak punya koper mereka sendiri. Ini membuat mereka belajar mengepak dan bertanggung jawab atas barang-barang mereka. Juga memudahkan kalau mereka mencari barang, selalu ada di koper mereka sendiri. Tas saya adalah ransel coklat kecil yang ringan digendong. Saya memilih ransel kecil karena dua tangan saya harus bebas untuk menjaga Little A sambil melakukan satu hal lagi, update status FB, misalnya :) Kadang Little A capek dan terpaksa saya harus menggendong sekaligus menyeret Trunki-nya. Big A sudah bisa mandiri mengurus barang bawaannya sendiri di koper Sammies dari Samsonite (foto koper di tengah). Koper ini mempunyai roda sehingga mudah diseret.

Apa isi ransel kecil saya? Jawabnya adalah barang-barang gawat darurat untuk The Precils. Yang sudah punya anak pasti tahu, banyak pernak-pernik yang harus dibawa kalau jalan-jalan sambil membawa precils. Daftar gawat darurat saya adalah: 1 set baju ganti masing-masing untuk Little A dan Big A, tas kresek untuk menampung muntah (sambil berdoa jangan sampai mereka muntah), satu botol kecil minyak telon, tisu basah dan tisu kering, susu Little A plus tempat minum kesayangannya, air putih dan permen/coklat (hanya dikeluarkan kalau Big A ada tanda-tanda pusing). Selebihnya adalah gadget, dompet dan notes pribadi saya.

Sementara itu, Si Ayah membawa ransel hijau dan koper hitam. Isinya adalah laptop, kamera, segala macam kabel charger, buku bacaan, baju, sepatu dan... rice cooker. Si Ayah juga yang bertanggung jawab terhadap dokumen perjalanan seperti paspor, tiket dan voucher hotel. Biasanya untuk perjalanan sampai dua minggu, kami hanya mengepak baju untuk 3 hari. Dalam perjalanan, kami menyempatkan mencuci baju di laundry koin. 

Agar tidak mati gaya, usahakan membawa baju yang bisa dipadu padankan. Ketika kami liburan ke Tasmania dan New Zealand, saya membawa 1 dress putih dengan corak garis-garis oranye, biru, abu-abu dan kuning, sehingga bisa dipadu-padankan menjadi 4 gaya! Untuk tidur, saya memilih celana yoga (yang tidak pernah dipakai yoga) yang nyaman. Sebenarnya celana seperti ini bisa juga untuk jogging, tapi saya selalu terlambat bangun pagi :) Sepatu, saya cukup bawa dua: sepatu kanvas warna navy blue dan sepatu olahraga yang 'rencananya' untuk jogging :p
Packing baju untuk Si Ayah lebih gampang, 3 atasan dan 3 bawahan sudah pasti menjadi 9 gaya :p Sementara The Precils saya suruh pilih sendiri baju-baju yang akan mereka bawa, yang cukup untuk 3 hari (termasuk dua pasang baju tidur) dan tambahan ekstra 2 stel. Tak lupa kami membawa rain coat (yang cukup bagus dan keren) untuk jaga-jaga kalau hujan.

Berikut adalah pertanyaan yang sering diajukan ke saya melalui email tentang packing, dan jawabannya:

1. Baju apa yang harus dibawa?
Jenis baju yang dibawa ke Australia dan New Zealand harus disesuaikan dengan musim ketika kita berangkat. Aussie dan NZ adalah negara dengan 4 musim, dan karena berada di belahan bumi selatan, musim mereka berkebalikan dengan musim di Amerika dan Eropa. Di Australia dan NZ, musim dingin jatuh pada bulan Juni-Agustus dan musim panasnya dari bulan Desember sampai Februari. Bulan September-November adalah musim semi, dan bulan Maret sampai Mei adalah musim gugur. Ramalan cuaca dan suhu bisa dicek online di Badan Meteorologi Australia dan Met Service New Zealand.

Kalau jalan-jalannya pas musim dingin, jelas perlu jaket atau sweater tebal plus aksesori seperti syal, topi wool dan sarung tangan. Tak kalah penting adalah kaos kaki dan baju dalam thermal. Baju dalam thermal dari bahan polypropylene atau merino ini sangat membantu melindungi tubuh dari angin dingin yang menyusup ke kulit. Atasan baju dalam thermal seperti kaos dalam biasa tapi lengan panjang. Bawahannya seperti legging, dan untuk laki-laki ada istilah khusus yaitu long johns. Kalau sudah memakai thermal underwear, kita tinggal pakai baju biasa lengan panjang dan dilapisi jaket. Untuk the precils, saya membelikan thermal underwear ukuran anak-anak di Kathmandu. Sementara saya dan si ayah cukup membeli dari departemen store yang lebih murah :p Kalau susah mendapatkan thermal underwear di Indonesia, belanja saja di Australia, buka katalog online di Lasoo dan ketikkan kata kunci: thermal underwear. Lasoo akan memberi tahu toko mana yang sedang diskon :)

Traveling ketika musim panas tentu lebih mudah, bawaannya tidak seberat musim dingin. Tambahannya mungkin baju renang. Perlu dicatat bahwa suhu musim panas di New Zealand masih cukup dingin bagi orang Indonesia. Ketika kami jalan-jalan ke New Zealand musim panas tahun lalu, saya tetap membawa cardigan dan jaket untuk Si Ayah dan anak-anak. Suhu musim gugur dan musim semi di Australia pun kadang masih terasa dingin bagi orang Indonesia. Selalu cek suhu dan prakiraan cuaca sebelum berangkat di tautan yang saya tulis tadi.

Tips: bawa sarung bali yang bisa digunakan sebagai alas piknik, sarung, sajadah, selimut ekstra dan sprei cadangan.

2. Seperti apa colokan listrik di Australia?
Perkara ini penting banget: nggak lucu bawa gadget macam-macam kalau nggak bisa nge-charge. Colokan di Australia bentuknya berbeda dengan yang ada di Indonesia, sehingga kita perlu adaptor. Di Australia dan New Zealand, lubang colokannya tiga pipih. Kalau sering bepergian, belilah adaptor internasional yang bisa juga digunakan di negara-negara lain. Saran saya, belilah adaptor ini di Indonesia, di toko alat-alat listrik. Di Sydney, harganya lumayan mahal, sekitar $20.
3. Boleh Nggak Bawa Makanan?
Harga makanan di Australia memang mahal, sekitar 3 sampai 5 kali lipat harga makanan di Indonesia. Membawa makanan dari Indonesia sepertinya ide bagus, untuk menghemat dan tentu saja melawan home sick (kalau bepergiannya lama). Tapi sayangnya peraturan custom Australia lumayan ketat, beberapa barang makanan dilarang masuk ke negara ini. Australia dan New Zealand melarang kita membawa bahan-bahan mentah seperti telur, daging, ayam, ikan, sayuran dan buah-buahan. Australia juga melarang masuk susu (kecuali susu formula kalau kita membawa balita) dan produk turunan susu seperti krim dan keju. New Zealand memperbolehkan kita membawa susu, tapi melarang madu. Saya pernah menulis tentang barang-barang yang tidak boleh dibawa ke Australia dan New Zealand. Baca aturan custom Australia di sini dan aturan custom New Zealand di sini.

Kalau ingin mulus ketika melewati custom, saran saya jangan membawa makanan yang dilarang seperti abon, ikan teri, rendang dll. Pengalaman saya dulu membawa masuk sambal dan mi instant bisa lolos custom. Tapi kalaupun tidak membawa Indomie, di Australia, terutama di kota-kota besar dijual makanan Indonesia kesayangan kita semua itu. Mi instan ini dijual di supermarket umum seperti Coles dan Woolworth, harganya sekitar 50 sen, tiga kali lipat dari harga di Indonesia. Kalau ingin beli makanan khas Indonesia di Sydney, mampirlah ke supermarket IGA Thaikee di atas paddys market, Sydney. Di sana, ada satu lorong (isle) yang khusus menjual makanan Indonesia seperti sambal, kecap, bumbu instan, kerupuk, agar-agar dll.

Tips: kalau memang ingin membawa makanan ke Australia, sebaiknya dijadikan satu tas tersendiri. ketika melewati custom untuk diperiksa, hanya satu tas tersebut yang perlu dibuka.

Dan, pertanyaan terakhir, the ultimate question from Indonesian traveler:
4. Perlu bawa rice cooker nggak?
Jawabannya tergantung apakah kamu tipe orang yang nggak kenyang kalau nggak makan nasi dan apakah anggaran kamu cukup untuk selalu beli makanan di Aussie dan NZ.
Saya termasuk orang yang tidak harus makan nasi. Roti jenis apapun, jagung dan kentang cukup mengenyangkan bagi saya. Begitu juga anak-anak yang sarapannya cukup senang makan dengan sereal dan susu saja. Sementara Si Ayah, bisa nggak makan nasi, tapi lebih mantap kalau ada nasi. Kami membawa rice cooker ketika liburan ke Melbourne selama lima hari dan Tasmania plus New Zealand selama dua minggu. Alasan sebenarnya adalah untuk menghemat biaya makan. Menu makanan tipikal kami adalah nasi, barbekyu daging, ayam (atau salmon!) dan lalapan mentimun, selada dan tomat. Kami membeli daging yang sudah dibumbui (marinade) di supermarket dan memanggangnya di alat BBQ yang biasanya disediakan di apartemen, motel atau Holiday Park. Ketika menginap di hotel, kami membeli lauk saja dan makan dengan nasi di kamar hotel.

Sebagai gambaran, harga seporsi makanan di restoran kelas menengah di Sydney sekitar $15-25, food court dan kafe sekitar $9-12, happy meal Mc Donald dan KFC meal $5. Harga beras satu kilo $2,50. Sila diputuskan sendiri mau bawa rice cooker atau tidak :)

Piknik di Glenorchy, South Island, NZ beralas sarung Bali. Look, that's our small rice cooker! :p
Baca juga tips packing dari website Dua Ransel: tips mengepak baju dan mencuci baju di wastafel ala Dina dan Ryan.

Yuk, siap berangkat?

~ The Emak

Rabu, 08 Februari 2012

Pengalaman The Precils Naik Emirates

Pengalaman The Precils Naik Emirates

Foto dari http://www.emirates247.com
Hari terakhir kami di Christchurch, New Zealand, Big A sudah tidak sabar ingin segera pulang ke Sydney. Dia penasaran banget ingin mencoba fasilitas ICE (information, communication, entertaintment) Emirates yang tersedia di setiap tempat duduk termasuk di kelas ekonomi.

Ketika merencakan liburan ke Selandia Baru, saya membeli tiket terpisah pergi dan pulangnya. Kami berangkat dari Melbourne ke Queenstown dengan Jetstar yang waktu itu promosi murah banget, hanya A$ 99 per orang sekali jalan dan separuhnya untuk anak-anak. Untuk pulangnya, saya menunggu ada tiket murah dari Queenstown ke Sydney, tapi tidak beruntung. Akhirnya kami putuskan pulang dari Christchurch. Keputusan yang tepat karena asyiknya menjelajah New Zealand adalah dengan road trip. Ada beberapa perusahaan penerbangan yang melayani rute Christchurch - Sydney, yang tarifnya rata-rata lebih murah daripada Queenstown - Sydney. Suatu hari, saya kaget (dan senang) menemukan tarif promosi Emirates di websitenya.

Harga tiket Christchurch - Sydney ini totalnya NZ$629,96 atau rata-rata NZ$157,49 per orang sekali jalan. Saya pikir, kapan lagi bisa naik Emirates dengan harga terjangkau? Lagipula harga segitu lebih murah daripada Jetstar, Virgin, Qantas atau Air New Zealand. Karena ini maskapai reguler, tiket sudah termasuk bagasi (30 kg!), pilih kursi, makan dan hiburan. Saya memesan tiket langsung dari website Emirates yang mudah digunakan ini. Untuk memesan, tidak perlu ribet memasukkan nomor paspor atau keterangan lain karena profil bisa diperbarui kemudian hari. Ketika akan terbang, kami melakukan cek-in online dengan mencetak sendiri boarding pass. Waktu itu, saya minta tolong resepsionis motel kami di Christchurch untuk mencetaknya. Ketika antri untuk cek in di bandara internasional Christchurch, kami mendapat antrian khusus yang jauh lebih pendek karena sudah cek-in online. Pesawat kami ini melayani rute Christchurch - Sydney - Bangkok - Dubai. Mungkin harganya bisa murah karena ada kursi-kursi kosong di leg Christchurch - Sydney ini. Selain dari Christchurch, Emirates juga terbang dari Auckland dengan rute Auckland - Melbourne/Sydney/Brisbane kemudian Dubai. Sayangnya Emirates tidak punya penerbangan langsung dari Indonesia ke Australia atau New Zealand. Yang ingin mencoba Emirates dari Indonesia, bisa transit dulu di Singapore/KL. Ada rute Singapore - Brisbane atau KL/Singapore - Melbourne.

Cek in kami sudah beres dua jam sebelum pesawat boarding. Big A sudah tidak sabar naik pesawat ini dan ribut karena menunggu terlalu lama di bandara. Kami sempatkan menunggu dengan ngopi di kafe, makan buah dan donat, dan akhirnya main-main di ruang tunggu setelah melewati pemeriksaan keamanan. Bandara Christchurch ini cukup nyaman, dengan beberapa pilihan tempat makan, toko-toko suvenir dan toilet yang super bersih. Ada juga fasilitas wifi gratis selama 30 menit. Sebenarnya saya ingin membeli baju-baju dari wool New Zealand yang terkenal, namun apa daya harganya mencekik leher :p Harus cukup puas dengan suvenir kartu pos, magnet dan gantungan kunci.

Di ruang tunggu, Little A tidak serewel kakaknya karena bisa bermain-main dengan koper Trunki-nya. Yang saya senangi dari bandara di New Zealand, kami dipersilahkan boarding lebih awal karena membawa anak-anak kecil. Begitu juga orang hamil atau orang yang sudah tua. Big A yang paling semangat memasuki lorong menuju pesawat yang dihiasi dengan gambar alam New Zealand disertai suara cericit burung bersahutan. Sampai ketemu lagi, New Zealand :)

Formasi tempat duduk di Emirates kelas ekonomi adalah 3 - 4 - 3. Lorong di tengah lumayan sempit untuk jalan, sampai harus miring ketika berpapasan. Ketika pramugari mendorong troli makanan, praktis tidak ada sisa tempat lagi untuk jalan. Tapi toh kami tidak banyak menggunakan lorong itu. Kami memesan tempat duduk di tengah agar bisa duduk berempat, The Precils di tengah. Ruang untuk kaki lumayan lebar daripada Jetstar, atau mungkin karena kami pendek? :D Big A yang sudah menanti-nanti untuk main game dan menonton film sejak browsing tentang Emirates, segera mencoba fasilitas ICE yang ada di depannya. Fasilitas hiburan di Emirates ini memang cukup canggih. Dengan layar touch screen atau remote pribadi, kami bisa memilih untuk menonton film (banyak sekali pilihan, termasuk film baru), mendengarkan musik, membaca berita, berbelanja di toko Emirates, atau mengintip bagaimana pesawat ini lepas landas. Ada dua kamera yang bisa kita akses, kamera di bawah dan di depan pesawat. Seperti biasa, Big A yang lebih tahu cara mengoperasikan ICE ini daripada kami. Beberapa kali dia mengajari Si Ayah yang kesulitan memilih film :)



Sebelum lepas landas, anak-anak diberi mainan berupa boneka tangan berbentuk burung nuri dan macan. Little A mendapat mainan ekstra berupa majalah untuk mewarnai berikut pensil warnanya.
Pesawat berhasil lepas landas dengan mulus, tidak begitu terasa karena ini pesawat besar, Boeing 777. Little A yang kecapekan langsung tidur nyenyak di pesawat, dengan bantal yang disediakan Emirates dan selimut pink kesayangannya. Sepanjang penerbangan, Little A tidur, sehingga dia melewatkan makanan khusus untuk anak-anak yang tampak lebih 'yummy' daripada makanan dewasa :) Saya yang terbiasa naik pesawat budget, sudah lupa rasanya naik pesawat dari maskapai reguler. Jadi saya norak bahagia ketika menerima senampan makanan dengan menu lengkap: kue, camilan, salad, nasi kari dan air putih. Semua makanan di Emirates ini halal, jadi tidak perlu memesan makanan halal secara khusus. Kari ayamnya tidak begitu istimewa, tapi cukup untuk membuat perut kenyang dan melawan pusing akibat perubahan tekanan dan turbulence. Selesai makan, kami masih disuguhi minuman teh atau kopi.






Ketika kami memasuki pesawat, ada satu pramugari Emirates yang menyapa kami, "From Indonesia?" Mungkin tampang kami Indonesia banget ya, hehe. Ternyata dia orang Indonesia juga, tapi sudah lama tinggal di luar negeri. Dia sudah agak lupa bahasa Indonesia dan bertanya pada kami, apa bahasa Indonesianya "chicken" dan "beef" :) Saya senang melihat seragam pramugari Emirates yang khas banget dengan topi mereka yang dihiasi scarf. Pakaian mereka pun sopan, dengan celana panjang atau rok di bawah lutut, sehingga tidak mengganggu pemandangan :)

Secara umum, pengalaman naik Emirates ini menyenangkan. Big A sempat nonton film Smurf, sementara Si Ayah asyik menonton Transformer. Saya sendiri cukup mendengarkan musik dan memakan semua yang dihidangkan di depan saya :p Ketika akan mendarat, saya dan Big A nonton bareng aksi pesawat dari kamera di bawah dan depan pesawat. Dari jauh, kami bisa melihat daratan Sydney yang mulai nampak, sampai akhirnya pesawat mendarat di landasan dan parkir manis di tempatnya. Sydney, we're home!



~ The Emak 

Catatan: 
Kurs dolar bulan Desember 2011
NZD 1 = AUD 0.76
NZD 1 = IDR 7200
AUD 1 = NZD 1.30
AUD 1 = IDR 9150