Jumat, 18 Maret 2016

Pengalaman Memakai Grab Car di Bali

Pengalaman Memakai Grab Car di Bali


Disclaimer:
Cerita ini berdasarkan pengalaman kami ke Bali tanggal 5-6 Maret 2016. Kebijakan operasional Grab atau tarif mungkin berbeda di lain waktu. Cerita ini tidak disponsori oleh Grab, kami membayar sendiri semua pengeluaran kami :)

Ketika keluarga saya dan keluarga adik saya, @diladol, akhirnya memutuskan ke Bali bareng, kami mulai kasak-kusuk mengusahakan transportasi selama kami di sana. Enaknya gimana? Sewa mobil, sewa motor, naik taksi, pakai Uber, atau pakai Grab? Tadinya adik saya sekeluarga (anaknya baru satu, ponakan saya K yang keren, umur 2 tahun) mau sewa motor saja. Sementara dari bandara ke hotel mau numpang saya naik Uber, karena kabarnya Grab Car dilarang beroperasi di bandara Ngurah Rai.


Saya tadinya mau menyewa mobil. Browsing di internet dan nanya teman, sewa mobil selama 12 jam termasuk sopir dan bensin Rp 500 ribu. Tapi setelah saya pikir-pikir, rencana kami kan nggak mau keliling ke mana-mana, cuma mau ngendon di hotel aja, jadinya sewa mobil bakalan mubazir. Sayang uangnya. Fyi, meski liburan bareng, saya dan adik saya menginap di tempat berbeda. Adik saya di hotel bintang 3 di Kuta, sementara saya dan precils di hotel bintang 5 di Canggu. Yah, sesuai tingkat kesejahteraan lah, hahaha. Menjelang hari H, ponakan K malah sakit flu, jadinya mereka memutuskan nggak jadi sewa sepeda motor. Kami putuskan mau coba pakai Uber dan Grab Car aja, sambil lihat nanti di lapangan kayak apa.

Keluarga kami mendarat di Ngurah Rai airport lebih dulu dari keluarga Dila. Ya kan Surabaya lebih dekat dari Jogja :p Sembari menunggu Dila cs, saya iseng bertanya tarif transfer dari bandara di gerai Golden Bird yang ada di area kedatangan domestik. Tarif Golden Bird ke Kuta 200 ribu, dengan mobil Avanza, jadi muat untuk kami bertujuh. Oke deh, saya cek toko sebelah dulu ya, hehe.

Setelah kami semua ngumpul, saya sudah siap-siap pakai Uber, tapi saya ragu karena di apps saya tidak bisa memilih jenis mobil. Nanti kalau dapatnya mobil kecil bagaimana? Nggak muat untuk 4 dewasa dan 3 anak. Lalu Si Ayah mencoba pesan taksi bandara di booth resmi, dekat pintu keluar. Katanya tarif dari airport ke Hotel Gemini Star di Kuta 110 ribu. Glek! Itu pun untuk mobil sedan biasa yang cuma muat berempat. Walah, mihil bingits. Mana bapaknya yang jaga galak banget. Ini gimana mau laku ya taksinya? Ketika kami masih berunding, dia teriak-teriak, "JADI PESEN APA NGGAK? KALIAN MENGHALANGI ANTREAN!" Padahal nggak ada orang di belakang rombongan kami. Good bye lah, belum juga naik taksi udah dimarah-marahi.

Akhirnya adik saya yang pintar, cekatan dan tidak sombong mencoba membuka app Grab. Aplikasi ini sama dengan app Grab Taxi di kota lain, bisa diunduh di iOS atau android. Begitu dibuka, app ini langsung tahu posisi kita. Bagian pick-up langsung terisi Ngurah Rai Airport (DPS). Tinggal memasukkan drop-off, ke mana kita ingin diantar. Adik saya memasukkan Hotel Gemini Star dan memang langsung bener lokasinya di daerah Gg Poppies II Kuta sana. Begitu lengkap pick-up dan drop-off nya, langsung kelihatan kisaran tarifnya berapa. Di app muncul Rp 25K, dari airport ke Kuta. Setelah klik "Book GrabCar" si app ini akan tuing-tuing mencarikan driver untuk kita. Gak sampai semenit langsung dapat. Begitu dapat, Dila bersorak dan langsung menelepon Pak Driver. Ternyata mobil Pak Sopir ini sudah ada di bandara, dia memberi tahu agar kami menuju ke bagian keberangkatan domestik. Mobilnya APV warna putih, nomor polisinya sudah kelihatan di app. Rombongan kami bergegas berjalan ke departure. Begitu melihat mobil APV Pak-nya, kami melambai dan mobil menepi di tempat drop off keberangkatan. Pak-nya menyapa dengan ramah. Alhamdulillah kami bertujuh muat di mobil APV yang lapang dan bersih ini. To Kuta we go!




"Untung aku tadi nyoba Grab ya," kata Dila dengan bangga. Ternyata Grab Car tetap bisa dipesan dari bandara, padahal dari berita dan blog yang saya baca, Grab dilarang beroperasi di bandara. Tapi pantas saja kalau taksi bandara merasa terancam dengan keberadaan Grab, mereka tidak bisa seenaknya sendiri melipatgandakan tarif. Saya selalu merasa dirampok dengan layanan taksi bandara. Selain kenaikan harganya sangat tidak wajar, pelayanannya pun buruk. Meski sudah membeli kupon di gerai resmi, sampai tempat tujuan masih dipalak oleh sopir. Ini terjadi tidak hanya di bandara Bali. Pinter banget ya cara Angkasa Pura menyambut turis? :|

Sementara dengan Grab Car, tarif dihitung per-kilometer, tidak terpengaruh dengan macetnya jalan. Sebelum naik, kita diberi kisaran tarif. Setelah sampai di tujuan pun, tarif tidak banyak berubah, dan driver tidak meminta uang lebih.

Dari bandara ke Kuta, kami bertujuh hanya diminta membayar 27 ribu. Murah banget kan hitungannya? Tentu kami memberi tip ke driver yang menyelamatkan kami dari taksi bandara yang overprice dan pelayanannya kasar.

Selanjutnya, saya memakai jasa Grab Car terus selama di Bali. Dari hotel Gemini Star di Kuta menuju Hotel Tugu di Canggu, saya cukup membayar 66 ribu, dengan lama perjalanan satu jam. Tentu saya memberi tip ke driver. Di rute ini, mobil yang kami naiki Avanza, masih cukup baru, bersih dan wangi. Driver ramah dan tidak banyak bicara, namun cukup pandai melewati jalan-jalan sempit di Bali, bahkan melewati jalan tembus berupa pematang sawah berkonblok menuju Canggu.

Dari Hotel Tugu sampai ke Potato Head di Seminyak, kami diantar mobil hotel. Sementara dari Seminyak ke bandara, kami kembali memakai Grab Car. Biayanya hanya 56 ribu. Kalau dihitung-hitung, total pengeluaran kami untuk Grab Car jelas lebih murah daripada kalau sewa mobil harian.

 

Di banyak tempat, saya melihat spanduk-spanduk yang menolak Grab Car dan Uber. Ada beberapa tempat yang melarang Grab dan Uber mengambil penumpang, meski mereka boleh menurunkan penumpang yang naik dari lokasi lain. Ketika saya memesan Grab di Potato Head, drivernya meminta agar tidak menyebutkan kalau dijemput Grab. Ya tinggal bilang aja dijemput driver sih, emang bener kan? Tapi nggak ada yang nanya juga :D Lagipula Grab Car nggak bisa dideteksi karena memang memakai mobil biasa.

Saya sendiri sebagai konsumen, sangat puas dan terbantu dengan adanya Grab Car. Tarifnya lebih murah dan pasti, bisa muat untuk keluarga atau rombongan, dan pelayanannya cukup bagus. Sekarang konsumen memang semakin punya pilihan, sudah waktunya perusahaan yang mengutamakan layanan ke penumpang yang menang.

Kalau kalian gimana, pakai transportasi apa selama di Bali? Ada yang punya pengalaman naik Grab Car atau Uber di Bali? Tulis di komentar ya ^_^

~ The Emak


Selasa, 15 Maret 2016

Luxury Stay at Hotel Tugu Bali

Luxury Stay at Hotel Tugu Bali


Dari dulu saya sudah ngincer pengen merasakan menginap di sini. Grup Tugu memiliki beberapa hotel yang cantik dan unik di Indonesia, yaitu Tugu Malang, Tugu Lombok, Tugu Blitar dan Tugu Bali ini. Saya pernah makan dan diajak tur di hotel Tugu Malang. Keren banget memang, jadi pengen mencoba semua properti Tugu.

Makanya... ketika akun instagram @kartuposinsta mengadakan #KartuposAuction, saya sudah bertekad harus menang. Alhamdulillah berhasil :) Voucher hotel Tugu ini sebenarnya bisa digunakan sampai bulan Desember 2016, tapi akhirnya kami pakai awal Maret ini agar bisa bareng dengan Tante @diladol. Big A kebetulan juga punya tiket Garuda yang belum terpakai, jadi dia bisa mencoba terbang sendiri ke Bali, sementara saya, Si Ayah dan Little A naik pesawat yang lebih murah, hehehe. Cerita Big A, in her own words, bisa dibaca di sini.

Kami naik Grab Car sampai Canggu, dari Kuta sekitar 1 jam, melewati jalan-jalan tembus yang sempit, bahkan lewat pematang sawah yang hanya pas untuk satu mobil. Ngeri-ngeri sedaaap :))

Begitu masuk lobi hotel, kami disambut dengan ramah oleh Pak Pande dan staf hotel lainnya, yang langsung tahu nama saya. Saya sempat ge-er, sudah mulai terkenal nih saya. Tapi setelah bisa mikir dengan jernih, tentu saja mereka gampang menebak karena wajah saya paling Indonesia dibanding tamu-tamu bule lainnya :)

Antre cek in di hotel Tugu nggak perlu berdiri di depan konter. Kami bisa duduk-duduk di sofa empuk sambil menikmati welcome drinks, yang bisa dipilih sesuai selera masing-masing. Lobi hotel ini mengesankan sekali, bangunannya bergaya pendopo dengan pilar-pilar kayu dari pohon utuh. Di tengahnya ada panggung untuk pementasan tari. Dan di panggung tersebut terdapat patung garuda besar yang ikonik. Little A sampai bengong menatap patung ini.

Yang paling saya takutkan setiap kali membawa keluarga menginap di hotel adalah hotelnya nggak ramah sama anak-anak. Sempat ragu juga waktu mau bawa anak-anak menginap di Tugu, karena hotel ini lebih terkenal sebagai hotel mewah untuk honeymooner. Tapi ketakutan itu langsung lenyap dengan sambutan yang ramah dari staf di sini. Little A langsung merasa seperti di rumah sendiri dengan mengomentari banyak hal, tapi terutama jus apelnya yang menurut dia seger banget.




Ada dua pilihan kamar 'biasa' di hotel Tugu. Dedari Suite yang terletak di bawah, dengan kolam renang kecil dan kamar mandi semi terbuka. Satunya lagi Rejang Suite yang ada di lantai atas, dengan pemandangan ke laut, balkon terpisah dan spa pribadi. Si Ayah memilih kamar yang di atas biar bisa melihat laut. Saya setuju saja, karena saya lihat kolam renang pribadi yang di bawah hanya kecil, cuma cukup untuk celup-celup, bukan berenang beneran. Tapi, kalau boleh memilih sih, saya pengennya menginap dua malam dan bisa coba dua-duanya :) Kalau di kolam renang pribadi kan bisa pakai bikini, bukan burqini :p

Room boy mengantar kami ke kamar, naik melewati tangga berputar. Dia juga menjelaskan fasilitas yang ada di kamar, berikut cara kerja listrik, kunci dll. Saya manggut-manggut saja. Begitu room boy keluar, baru lah kami sekeluarga bebas mengekspresikan kekaguman kami pada kamar yang luasnya 75 meter persegi ini. Norak-norak bergembira seperti biasa, hahaha. Saya terpesona dengan dua lemari kayunya yang menjulang tinggi sampai langit-langit, yang dikunci dengan selot kayu juga. Big A langsung mencari posisi wuenak di day bed samping jendela, karena masih dalam tahap penyembuhan dari sakit batuknya, dia kurang begitu semangat. Sementara itu Little A main seluncuran di lantai kayunya yang licin mengilap. Si Ayah menginspeksi meja kerja di balkon untuk tempatnya mengerjakan PR nantinya.      

Saya langsung mengkalkulasi ketersediaan kasur untuk malam nanti. Ada satu ranjang besar ukuran king, pastinya muat untuk kami bertiga, dengan Little A di tengah. Sementara Big A bisa tidur di day bed yang cukup nyaman, dengan tambahan selimut yang bisa saya mintakan ke housekeeping. Tapi pada praktiknya, kami berempat tidur di ranjang utama, cukup nyaman dan hangat dengan bantal yang empuk banget dari bulu angsa.

Di atas meja, ada rangkaian bunga khas Bali dengan kartu ucapan untuk saya dan juga sepiring buah-buahan tropis untuk camilan. Untuk minum ada empat botol air mineral dan beberapa kantung teh Dilmah dan kopi dari plantation mereka sendiri. Logistik aman sampai nanti.


Happy Little A in front of a mirror

Ketika saya tanya ke Little A, apa yang paling berkesan di hotel Tugu, dia bilang bath tub-nya. Saya setuju banget! Bak mandi yang ada di kamar Rejang ini sangat banget. Bentuknya bulat, cukup untuk nyemplung berempat sebenarnya. Kami bertiga berendam di bath tub setelah berenang sebentar di kolam renang hotel. Sementara Si Ayah masih sibuk dengan PR-nya di meja sebelah, hahaha. Sabun dan sampo yang disediakan hotel cukup wangi, bisa untuk bubble bath dua kali. Saya paling suka sabun batangan mereka yang beraroma sereh. Sabun cair dan sampo diletakkan di wadah seperti kendi dari tanah liat, jadinya nggak bisa dibawa pulang. Saya cuma bisa bawa pulang sabun serehnya doang. Emak-emak nggak mau rugi banget :p

Kamar mandi pancuran dan toilet ada di sisi satunya lagi, tidak jadi satu atau ada di dekat bath tub. Pertama kali masuk kamar mandi shower, saya sempat kaget karena ada penunggunya: patung Simbok Gemuk lambang kesuburan. Big A juga kaget dan kurang nyaman mandi bareng Simbok. Saya yang tadinya mikir bakalan terbiasa sama kehadiran Simbok ini, ternyata tetap 'mak tratap' juga waktu masuk kamar mandi, tetep kaget. Owalah simbok, simbok!

Toiletnya terpisah dari kamar mandi. Kebetulan di kamar saya ini toiletnya belum dilengkapi penyemprot air/bidet. Kami bisa akali sih, kan ada wastafelnya di dalam toilet. Lagipula sudah banyak latihan pas tinggal di Ostrali sono :D Sebenarnya, kata pihak hotel, di sebagian besar kamar yang ada, toiletnya sudah dilengkapi penyemprot air/bidet/washlet. Tinggal rikues aja sih, dijamin bakal dikasih. Saya nggak minta ganti kamar karena sudah pewe, posisi wuenak banget. Anak-anak juga udah susah diangkut, masing-masing udah mojok hepi.


Setelah leyeh-leyeh sebentar, kami turun untuk berenang. Lingkungan hotel ini cukup asri, enak dipandang mata. Kolam renangnya tidak besar, tapi cukup untuk membakar kalori dengan beberapa lap. Bagian dangkalnya 60 cm, sedangkan bagian dalamnya 150 cm. Little A bisa ditinggal bermain sendiri di bagian dangkal sementara balapan dengan Big A yang tentu saja dimenangkan dia yang sekolah renangnya di Sydney Uni.

Hotel ini hanya mempunyai 24 kamar, jadi suasananya tidak ramai dan hiruk pikuk seperti hotel besar. Ketika kami berenang, hanya ada sepasang Opa Oma yang leyeh-leyeh di tepi kolam, yang satu tiduran, satunya membaca buku. Untungnya anak-anak saya tipe yang kalem, jadi kegiatan kami tidak mengganggu mereka.


Setiap sore, tamu di Tugu hotels bisa menikmati afternoon tea dengan sajian kue-kue tradisional dan pilihan teh sesuai selera. Sajian teh sore ini bisa dinikmati di mana saja. Kami memilih menikmatinya di taman tepi pantai, sekaligus menikmati matahari terbenam. Saya mencoba teh melati sementara Si Ayah meminta teh jahe. Big A sedang ingin minum kopi flat white. Kue-kuenya kami bawa sebanyak mungkin, biar malamnya nggak kelaparan ;) Big A terutama suka kue klepon (kue bulat berwarna hijau dari tepung ketan yang digulingkan ke parutan kelapa, didalamnya ada gula merahnya) sampai harus berebut dengan jatah Little A.

Beach garden, properti milik hotel Tugu ini ada di tepi pantai Batu Bolong. Di sini terdapat kursi santai, meja kursi untuk makan dan juga bale-bale (dipan yang bisa dipesan untuk tempat makan malam romantis). Kami menikmati minum teh di bale-bale berhiaskan kain-kain merah yang cantik.

Di sebelah lapangan rumput milik Tugu ada The Lawn, tanah lapang untuk para bule jelata umum. Di sini sepertinya bisa membeli minum dan meminjam peralatan piknik. Ada ayunan, papan keseimbangan dari tali, dan bahkan ada yang berlatih juggling. Suasana cukup ramai tapi masih nyaman. Orang-orang yang ada di sini tipe yang pengen santai-santai menikmati pantai, bukan yang berisik dan mengganggu.

Tugu Beach Garden
The Lawn
Pantai yang ada di sebelah hotel Tugu ini namanya pantai Batu Bolong, terkenal sebagai pantai untuk berselancar karena ombaknya yang cukup besar. Pasirnya tidak putih, tapi cukup bersih. Menjelang sunset, Little A mulai berbasah-basahan di air, menemani Si Ayah yang asyik motret. Saya suka pantai yang tidak terlalu ramai seperti ini. Meski harus berbagi dengan pengunjung lain, Little A masih punya spot pribadinya. Tidak ada pedagang asongan yang terlihat. Tapi juga tidak ada penjaga pantainya. Untuk yang mau berenang di pantai ini perlu berhati-hati karena ombaknya cukup besar. Daerah Canggu yang yang terletak di antara Seminyak dan Tanah Lot ini bisa menjadi alternatif main ke Bali bagi yang sudah bosen ke Kuta yang ramai.

Yang mungkin bisa mengganggu adalah anjing-anjing yang berkeliaran di sekitar pantai. Bukan anjing kampung buduk sih, mereka tampak bersih dan tidak berbahaya. Tapi bagi yang takut anjing mungkin akan kurang nyaman juga karena mereka mengendus-endus setiap orang yang duduk-duduk di pantai, mungkin mencari makanan.

Menjelang magrib, para surfer mengangkut papan selancar mereka untuk pulang. Little A pun harus mengakhiri main-main di pantai meski belum puas.



Tadinya saya pengen jalan-jalan menyusuri pantai di pagi hari. Tapi setelah pagi datang kok jadi malas ya? Hahaha. Padahal kalau mau jalan sedikit bisa sampai di pura melihat keramaian umat Hindu yang beribadah melasti. Sejak subuh, sudah banyak orang Bali yang berbondong-bondong melewati jalan di samping hotel kami menuju pura. Melasti adalah upacara untuk menyucikan benda-benda sakral, yang dilakukan menjelang Hari Raya Nyepi.  

Akhirnya saya dan Si Ayah kencan sarapan saja di taman tepi pantai. Saya memesan paket sarapan tradisional (150K) untuk Si Ayah dan paket sarapan Babah (180K) untuk saya. Hotel Tugu tidak menyediakan sarapan buffet, semua menu bisa dipilih sendiri dan bisa diantarkan ke mana saja sesuka hati kita, mau di kamar, di lobi, di dekat kolam, atau di pinggir pantai juga bisa. Pagi itu di pantai, saya lihat sudah banyak yang mulai berselancar, sepagi itu. Si Ayah juga membawa peralatan berselancar... di internet :p

Makanan kami datang setelah satu jam, hiks. Ini mungkin salah saya juga sih. Saya memesan dua jenis sarapan, satu untuk kami di pantai, satunya lagi untuk anak-anak di kamar. Saya bilang yang untuk anak-anak tolong diantar satu jam lagi, karena waktu itu mereka masih tidur. Eh, mungkin mereka salah paham mengira sarapan kami juga mintanya satu jam lagi.

Tapi gara-gara lapar, makannya jadi tambah nikmat. Paket Si Ayah terdiri dari nasi goreng, bubur ketan hitam, buah potong dan kopi. Paket saya terdiri dari bubur ayam, dimsum, buah potong dan kopi. Saya dari dulu selalu mewajibkan untuk mencicipi setiap bubur yang ada di hotel. Yang ini buburnya lumayan lah, cukup terasa enak kaldunya, tidak terlalu asin. Sementara untuk Si Ayah, nasgornya kurang pedas! Dia meminta sambal ulek, alhamdulillah segera datang sebelum nasgornya habis. Memang sih, kalau di hotel bintang 5, kalau ingin pedas harus bilang dari awal, karena biasanya bumbu makanannya mild, disesuaikan dengan lidah internasional.

Saya cukup senang dan puas dengan kencan pagi ini, bisa makan dan ngobrol sama Si Ayah tanpa gangguan anak-anak yang masih tidur di kamar. Hanya ditemani debur ombak di kejauhan, ish...

Untuk anak-anak, sarapannya saya pesankan bakery basket (75K) yang berisi empat potong roti pilihan dan 2 gelas susu segar. Saya pilihkan 2 toasted whole wheat bread, croissant dan danish. Untuk olesannya, kami diberi mentega dan homemade jam yang enak banget: selai nanas, selai jambu biji, dan satu lagi saya nggak tahu campurannya apa aja, tapi enak!


Sebelum cek out, kami sempat diantar keliling hotel oleh Mbak Retno, untuk melihat kamar-kamar yang lain, tempat spa, galeri koleksi benda antik dan pilihan tempat makan yang tersedia. Karena biasanya tamu yang menginap adalah honeymooner, Tugu punya tempat spa yang spesial. Ada paket lengkap spa selama 8 jam untuk pasangan, termasuk diselingi makan siang. Saya membayangkan kalau Si Ayah ikutan ini, pasti bakalan sukses tertidur begitu kepalanya mulai nempel di dipan :)

Kami juga dibawa melihat Bale Puputan, dining hall yang bisa dipesan untuk 
makan malam istimewa. Salah satu paket makan istimewa mereka adalah Royal Tugudom Dining. Tamu akan dibawa ke era majapahit, diperlakukan seperti raja, dengan makanan yang dibawakan oleh pelayan, penduduk desa, dan prajurit. Tamu juga akan disuguhi tarian di antara acara makan.

"Ya ada, Mbak, yang pesan paket ini?" tanya Si Ayah keheranan.
"Banyak, Pak," kata mbak Retno, "terutama tamu-tamu dari Eropa."


Saya nggak seheran itu sih, kalau memang uangnya ada, kenapa nggak dipakai untuk membeli pengalaman yang unik, yang nggak akan hilang kenangannya. Setelah melihat satu dining venue lagi yang atapnya memakai kuil Tiongkok yang sudah berusia ratusan tahun, tur hotel itu ditutup dengan mengunjungi galeri benda antik, koleksi Pak Anhar, pemilik hotel yang dijual untuk umum. Saya dan Si Ayah nggak ngerti apa-apa tentang benda antik, jadi kami cuma melihat-lihat saja dan kadang terbelalak membaca label harganya ;)






Bale Puputan
 Bale Puputan Dining venue
Keluarga Precils di depan Hotel Tugu
Saya senang mencoba hal-hal baru, termasuk menginap di hotel yang nggak biasa-biasa saja. Secara umum kami puas dengan pengalaman kami di Tugu hotel, terutama pelayanan para staf-nya yang excellent. We were impressed with their hospitality. Siang itu, setelah makan siang di Canggu Cafe di dekat hotel, kami diantar Pak Sopir ke Seminyak. Di dalam mobil, saya sudah memikirkan strategi untuk menginap di hotel Tugu lainnya.

~ The Emak


Kamis, 14 Januari 2016

LOKAL, Hotel Kecil Nan Cantik di Jogja

LOKAL, Hotel Kecil Nan Cantik di Jogja


Nggak nyesel menginap di hotel Lokal Yogyakarta, mesti tarif hotel bintang tiga ini lebih tinggi dari rata-rata hotel dengan bintang yang sama. Kamarnya nyaman, desainnya keren, makanannya enak dan kami bisa renang-renang cantik seperti punya kolam renang pribadi.

Sudah lama saya pengen nginep di hotel kecil yang trendi ini. Impian baru kesampaian minggu lalu, pas kami ke Jogja menjenguk Ayah Ibu saya. Alhamdulillah saya punya tabungan kredit di Paypal, bisa buat nginep 'gratis'. Sempat bingung juga booking engine mana yang bisa dibayar pakai paypal. Biasanya saya pakai apps HotelQuickly di hp untuk pemesanan mendadak, bisa dibayar pakai paypal juga. Tapi sayangnya Lokal belum terdaftar di HQ. Padahal bisa dapat diskon 130 ribu kalau pakai kode promo: AKUMA72 :) Agoda katanya juga bisa bayar pakai Paypal, tapi ternyata untuk hotel-hotel tertentu saja. Akhirnya saya pesan lewat website Hotel Travel

Free minibar!
view kolam renang dari balkon
Tarif per malam untuk kamar suite (loft room) adalah USD 68,93 atau setara IDR 950.000, termasuk pajak 21%. Cukup mahal untuk ukuran hotel bintang tiga. Tapi saya sudah terlanjur penasaran sama loft room mereka, hehe. Daripada kredit paypalnya nganggur. Kalau mau lebih ngirit, bisa pesan kamar biasa (double atau twin) seharga Rp 580 ribuan. Harga yang saya bayarkan sudah termasuk sarapan pagi untuk berdua, welcome drinks dan minibar gratis!

Lokasi hotel Lokal agak tersembunyi, di daerah Gejayan, dekat dengan jembatan merah. Tempat ini juga agak jauh dari Malioboro atau Tugu. Tapi Jogja sih itungannya ke mana-mana dekat, bisa pesan taksi ber-argo via resepsionis. Keuntungan lokasi yang nylempit, suasananya relatif tenang, nggak dengar keramaian lalu lintas di tepi jalan besar. Pagi hari juga tidak dibangunkan suara TOA :)

Proses cek in cukup cepat. Petugas hotel juga ramah. Saya tinggal menyerahkan voucher dari Hotel Travel. Langsung dapat kunci, password wifi, voucher welcome drink dan voucher untuk sarapan esok harinya. Saya dan anak-anak langsung menuju kamar yang cuma beberapa langkah dari resepsionis mungil. Kamar kami B2, di lantai satu, berbentuk loft dan nyambung dengan balkon di lantai dua.

Seperti biasa kalau nemu hotel yang bagus, kami teriak-teriak kegirangan. Norak-norak bergembira pokoknya. Apalagi waktu itu kami diantar sama Tante Dila cs, dobel ramainya. Setelah inspeksi amenities dan foto-foto sebelum kamar berantakan, saya ngecek logistik. Di atas meja tersedia dua botol air mineral, kopi, teh, gula, krimer. Yang ini pasti gratis, standar lah. Di kulkas ada beberapa minuman dan camilan. Saya cari-cari daftar harganya kok nggak ada. Mosok gratis? Saya ingat di voucher hotel tertulis free minibar. Tapi saya belum percaya soalnya nggak biasanya ada minibar gratis. Akhirnya saya telpon resepsionis untuk memastikan. Dan memang gratis, yay! Adik saya langsung nyomot silverqueen. Hadeh, kayak dapat apa aja.


Welcome drink disajikan di restoran, yang terletak di depan hotel, berbatasan dengan jalan kampung. Kami dapat dua jus semangka yang seger banget. Kami nggak makan malam di resto karena sudah keluar makan di Pizza Panties dekat hotel, daerah Gejayan juga.

Interior restorannya trendi banget. Suasananya juga cozy. Pelayannya ramah. Kami sarapan pagi-pagi biar nggak terlalu ramai. Eh ternyata baru kami yang nyampai di resto. Menu sarapannya kami bisa milih, menu lokal atau western. Selain itu, kami bebas makan roti panggang, sereal, buah potong dan boleh minum teh, kopi, susu, jus buah, air mineral sepuasnya. 

Seperti biasa, Big A memilih sarapan ala bule, dengan omelet dan hash brown. Little A juga berlidah bule, maunya roti panggang dan selai. Tinggal Emaknya yang pilih sarapan lokal, pesan nasi goreng. Tapi karena Emak mewajibkan diri mengecek semua rasa bubur ayam ala hotel, akhirnya pesan bubur ayam juga, hahaha. Kami lama banget nongkrong di resto ini sambil ngobrol-ngobrol tentang... kehidupan! Cuma ada dua keluarga lain yang akhirnya sarapan di resto. Baru kami ingat kalau ini hari Senin!

Tarif hotel sudah termasuk sarapan untuk dua orang. Untuk anak di bawah usia 5 tahun gratis, sementara anak usia 5-12 tahun bayar Rp 25.000 aja.



Setelah sarapan, kami masih punya waktu sampai jam 12 siang untuk cek out. Jelas kami memilih untuk berenang-renang cantik biar nggak rugi. Kolam renangnya kecil, tapi bisa lah untuk membakar kalori setelah makan buryam. Little A sudah bisa berenang, tapi perlu waktu lama untuk pemanasan, sampai dia nyaman di air. Big A memilih duduk di tepi kolam sambil membaca buku. Hanya kami bertiga yang menggunakan kolam renang waktu itu, serasa punya kolam pribadi.

Kedalaman kolamnya mencapai 160 cm, tapi ada area yang dangkal, bisa untuk main bayi-bayi. Di dekat area dangkal, kedalaman kira-kira 120 cm. Pokoknya saya nggak tenggelam lah, bisa berdiri sambil jaga Little A yang renang wira-wiri.


Selesai renang dan mandi air pancuran hangat, badan cukup segar. Kami mengepak kembali barang-barang kami (cuma dua ransel sih) dan siap-siap pulang dengan kereta kembali ke Surabaya. An overnight stay well spent.

Reading or swimming?
Renang pakai bando? Cuma Little A ;p
Overall, kami puas menginap di sini. Ranjangnya sangat nyaman dan cukup besar (ukuran king) untuk bertiga. Malahan sepertinya masih muat untuk berempat. Spreinya halus dan lembut, desainnya nggak norak :D TV-nya ada dua, di depan kasur dan di living room, di depan sofa. Saluran untuk anak-anak ada, jadi no problemo. Wifinya kenceng, mau minta apa lagi? :p

Yang paling saya suka dari hotel ini adalah desainnya. Lantai di bangunan hotel dan resto diplester biasa, tapi dihiasi dengan tegel warna-warni. Mereka juga memberi perhatian ke hal-hal kecil, misalnya desain rak TV yang ada tempat untuk menaruh remote. Saya sampai jatuh cinta sama mug dan piring yang ada di kamar dan resto. Koleksi mereka seperti piring/gelas seng vintage dengan pinggiran biru, tapi tentu bahannya bukan seng karena terasa berat dan mantap. Meski tidak merokok, saya terkesan sama area merokok mereka yang mungil dan tetap trend. Biasanya resto di hotel lain menempatkan area merokok di luar ruangan, tapi di Lokal, pengunjung yang tidak merokok pun bisa memilih duduk di dalam atau di luar resto tanpa terganggu asap rokok. Mereka membuatkan area merokok di dalam ruangan. Saya suka banget dengan penataan seperti ini, sama-sama nyamannya.

Tentu hotel ini juga punya kekurangan, tapi masalah kecil aja sih. Tidak ada hairdryer dan safety box di kamar. Sofa di ruang tamu juga nggak ada bantal-bantalnya. Trus pasta gigi yang diberikan dikit banget, kami pencet-pencet nggak ada yang keluar, hahaha. Udah itu aja sih.

Oh, ya, satu lagi, kamar suite kurang cocok untuk anak-anak kecil, antara usia 2-5 tahun. Mereka nanti terlalu excited untuk naik turun tangga yang lumayan curam. Yang punya anak kecil mending milih kamar biasa aja. Tetep lucu kok desainnya :) Saking senengnya sama hotel ini, Little A sempat bilang, "This hotel should be 4-star, not 3-star."


~ The Emak