Jumat, 12 September 2014

Review Hotel Meininger Amsterdam

Review Hotel Meininger Amsterdam


Berbeda dari hotel Novotel Brussels yang saya pilih karena lokasinya, Hotel Meininger Amsterdam City West ini saya pilih karena harganya yang relatif murah. Di Brussels, kami hanya punya waktu semalam, jadi memang harus memilih lokasi di tengah kota. Sementara di Amsterdam, kami bisa menginap dua malam, lokasi agak jauh dikit nggak papa asal harga murah :)

Ketika membayangkan jalan-jalan di Amsterdam, saya pengennya menginap di hotel pinggir kanal. Pengennya bisa sarapan dengan pemandangan sepeda berseliweran dan perahu yang menyusuri kanal. Tapi ternyata hotel-hotel di tengah kota untuk bulan Juli mihil bingiiits :D Apalagi kamar keluarga atau quadruple room yang bisa mengakomodasi dua dewasa dua anak. Dengan budget EUR 100 per malam cuma bisa dapat kamar quad hotel bintang dua di daerah red district, hahaha. Waktu itu ada sih promo Novotel Amsterdam, cuma EUR 72 per malam, tapi lokasinya juga tidak di tengah kota (perlu 20 menit naik tram), belum termasuk sarapan dan... waktu itu itinerary kami belum final, padahal promo hotel waktunya terbatas dan tidak bisa dibatalkan. Ya sudah, lewat deh.

Kalau budget dinaikkan sedikit ada beberapa pilihan hotel keluarga: Hotel Nadia EUR 138 (1 double bed + 2 single bed, bintang 3, lokasi strategis dekat museum Anne Frank, termasuk sarapan), Hostel StayOkay Zeeburg EUR 145 (private room, ensuite, termasuk sarapan), Mercure Arthur Former EUR 155 (dua kamar, tidak termasuk sarapan), Ibis Amsterdam City EUR 167 (dekat stasiun Central, dua kamar, tidak termasuk sarapan) dan Ibis Style Amsterdam City EUR 169 (kamar keluarga, dekat museum rijks, termasuk sarapan). Itu semua harga per malam untuk kamar yang cukup buat empat orang. Entah hotel di Amsterdam yang memang mahal atau saya yang miskin kurang beruntung.

Ketika mengajukan visa, kami tidak memasukkan itinerary menginap di Amsterdam. Kami hanya memasukkan pesanan hotel di Paris via airbnb dan pesanan hotel Brussels dari booking dot com yang akhirnya kami batalkan. Setelah visa di tangan, kami mulai serius mencari penginapan di Amsterdam. Saat itu kebetulan ada twit dari Claudia Kaunang yang numpang lewat di timeline saya dan merekomendasikan Hotel Meininger.

Lokasi Hotel Meininger memang tidak di tepi kanal di tengah kota, tapi cukup strategis karena ada di sebelah stasiun Sloterdijk, 5 menit naik kereta dari Stasiun Centraal Amsterdam. Setelah saya cek harganya, ternyata cocok dengan kantong kami. Meininger ini setengah hotel setengah hostel. Dia punya kamar-kamar pribadi, tapi juga menyediakan asrama yang berisi empat atau enam kasur. Tarif bermalam pun dihitung per orang. 

Saya memesan kamar Quadruple via website resmi mereka. Tarif per malam per orang dewasa adalah EUR 25,65, sementara untuk anak-anak usia 6-12 tahun EUR 12,83. Anak-anak umur 0-5 tahun gratis. Yay! Sarapan bisa ditambahkan seharga EUR 7,90 per orang untuk dewasa dan EUR 3,95 untuk anak-anak. Usia 0-5 tahun sarapan gratis. Double yay! Total yang saya bayar untuk kamar quad dua malam termasuk sarapan adalah EUR 167,75. Dengan kurs Rp 16.865 per Euro, total saya bayar IDR 2.829.134. Ketika kami datang, kami masih diminta untuk membayar city tax sebesar EUR 6,67 atau Rp 109.860. Karena lokasinya di luar kota, kami masih harus mengeluarkan uang lagi untuk transportasi lokal. Tiket dari AMS Sloterdijk ke AMS Centraal sebesar EUR 2,10 (satu arah) dan EUR 4,20 (pp). Tiket pp untuk anak-anak diskon menjadi EUR 2,50 saja. Dihitung-hitung, tarif hotel Meininger Amsterdam beserta transportasi lokalnya masih di bawah budget kami, EUR 100 per malam. 



Hotel Meininger ini mudah dicari. Keluar dari stasiun Sloterdijk, tinggal melipir ke kanan dan ikuti anak panah. Kira-kira lima menit jalan kaki. Kalau tidak ingin turun tangga, keluarlah lewat jalan belakang stasiun yang ada lift-nya menuju parkiran sepeda. Dari sana tinggal jalan terus lewat sisi belakang hotel Meininger.

Ketika kami datang, resepsionis cukup ramai dan hanya ada satu yang melayani. Tapi begitu dilayani, proses cek in cukup cepat. Kamar kami sudah tersedia di lantai 7. Kami bergegas naik lift ke lantai tujuh dan mendapati kamar kami di pojok. Sesuai yang ditawarkan di website, kami mendapat 1 double bed dan bunk bed. Precils tentu gembira melihat bunk bed, dan langsung menclok ke singgasana mereka. Kamar kami cukup luas. Kasur, bantal dan sprei tertata rapi. Tapi kok lantai kayu kamar kami rasanya nggak disapu dengan bersih, seperti ada remah-remah dan lengketnya. Kalau kamar mandinya bersih dan luas. Ada pancuran, tapi tanpa bak mandi. Handuk, sabun dan shampo disediakan. Di dekat pintu depan ada lemari baju yang bisa muat baju berkoper-koper, tapi tidak kami gunakan, takut ada yang ketinggalan :)) Di kamar juga disediakan meja dengan empat bangku yang bisa untuk makan.

Meininger juga menyediakan wifi gratis. Sayangnya sinyal wifi tidak sampai di kamar kami. Sinyal cuma bisa ditangkap kalau kami melipir ke selasar, depan pintu. Jadi kalau mau ngetwit kerja dengan internet, saya harus turun ke bawah. Televisi ada untuk hiburan, tapi hanya menayangkan siaran berbahasa Belanda, haha.



Begitu kami sampai di kamar, rasanya lega sekali. Bagaimana tidak, hari ini kami melintasi tiga negara: Belgia, Jerman dan akhirnya Belanda. Tapi rasa lega langsung diikuti oleh rasa lapar. Sementara hotel Meininger ini jauh dari mana-mana. Warung terdekat ada di stasiun Sloterdijk, itu pun pilihannya terbatas. Ketika mendarat di Stasiun Centraal, kami tidak sempat beli makan apa-apa karena pengennya cepat beristirahat di hotel. Akhirnya... rice cooker to the rescue! Untungnya saya sudah bawa beras sedikit (1kg) untuk jaga-jaga kejadian seperti ini. Saya masak nasi di kamar mandi, takut alarm kebakaran nyala kena asap :p Hotel budget Meininger ini memang nggak ada mini bar-nya, tanpa kulkas dan tanpa pemasak air.

Sebenarnya, kami bisa saja masak di dapur umum, fasilitas yang tersedia di lantai bawah, dekat resepsionis. Tapi malasnya minta ampun, sudah capek banget. Untuk lauk, saya cukup menghangatkan rendang kalengan yang dibawa dari Indonesia, langsung tuang ke dalam rice cooker ketika nasi sudah matang. Karena nggak punya piring, kami makan langsung dari kalengnya, haha. Tak lupa senjata andalan sambal sachet. Rasanya uenak banget, syedaaap! Mungkin karena kami udah kelaparan.

Penyelamat kelaparan :p
Dapur umum, mesin cuci dan pengering
Untungnya pagi hari kami tidak perlu ribet lagi memasak. Saya memang memilih membeli paket sarapan di sini. Menu sarapannya berbagai macam roti dengan banyak pilihan olesan dan daging asap, berbagai macam sereal, salad buah dan sayuran dengan banyak pilihan saus, macam-macam keju dan telur rebus. Tersedia juga kue-kue tradisional Belanda, dengan bumbu rempah-rempah dari Nusantara. Pilihan minuman hangatnya teh, kopi atau cokelat, dan minuman dinginnya jus jeruk, air mineral atau susu segar. Sebenarnya susu untuk dituang ke sereal sih, tapi terserah kita kan ya. Lucunya, di depan dispenser air ada larangan mengisi air mineral ke botol. Yang ingin isi ulang air botolan sila memakai air keran di dapur, yang juga sudah layak minum :)) Ada larangan lagi yang khas hostel: "Tamu dilarang membawa makanan ke luar selain untuk sarapan. Kalau ingin membeli bekal makan siang, sila hubungi kami." Hihihi, mungkin ada yang nakal menyelundupkan makanan biar irit ya? Kami sih nggak sampai begitu. Kami cuma ambil beberapa apel dan jeruk, memang masih jatah untuk sarapan kan? ;)

Yang saya ingat, rotinya enak-enak, ada roti gandum utuh dan sordough. Olesan favorit saya: cream cheese. Yummy banget. Favorit Big A: peanut butter dan butter. Favorit Little A: wild berry. Favorit Si Ayah: sambal ABC bawa dari rumah :D Kejunya aneh-aneh, saya coba semua dan tidak ada yang suka. Pilihan daging asapnya: ayam, daging sapi dan salami (yang ini ada pork-nya). Yang nggak makan daging tanpa sertifikat halal, pilihannya ada telur rebus yang bisa diiris-iris kecil untuk jadi sandwich, dicampur dengan cream cheese atau olesan lainnya. Atau... bawa aja lauk dari Indonesia: abon atau dendeng. Pengalaman kami di bandara CDG Prancis, tidak ada pemeriksaan sama sekali untuk barang bawaan :)




Di malam kedua, kami menggunakan fasilitas dapur untuk memanggang sosis yang kami beli di Cologne, Jerman. Makannya tetap dengan nasi dan sambal. Fasilitas lain yang saya gunakan adalah mesin cuci. Karena packing light, kami perlu mencuci baju di perjalanan. Selama dua minggu EuroTrip, saya mencuci baju dua kali: di Meininger Amsterdam dan di apartemen Paris. Sebenarnya di Meininger ini ada fasilitas mesin pengering. Tapi sayangnya sedang rusak ketika kami menginap di sana. Terpaksa baju-baju kami gantung di kamar mandi dan beberapa yang susah kering kami keringkan dengan hair dryer. Fyuh!

Dengan plus minusnya, Hotel Meininger Amsterdam City West bisa jadi pilihan akomodasi murah ketika jalan-jalan di Amsterdam. Terutama untuk yang masuk Belanda dari bandara Schiphol. Kereta dari Schiphol airport ke Centraal station melewati Sloterdijk, satu stasiun sebelum Centraal. Meininger juga punya banyak cabang, antara lain di Brussels dan kota-kota besar di Jerman.

~ The Emak

Baca juga:
Review Novotel Off Grand Place Brussels 
Review Apartemen Airbnb Paris

#EuroTrip 
Mengurus Visa Schengen Untuk Keluarga   
Membeli Asuransi Perjalanan Untuk Visa Schengen
Berburu Tiket Pesawat Murah ke Eropa 
Tip Membeli Tiket Kereta Keliling Eropa 
Terbang Ke Eropa Dengan Emirates
Pertama Kali ke Eropa? Ini Itinerarynya!

Mencari dan Memesan Penginapan dengan Airbnb   
Tip Packing Ke Eropa

Selasa, 09 September 2014

Review Novotel Off Grand Place Brussels

Review Novotel Off Grand Place Brussels

  
Dalam rangkaian EuroTrip, kami hanya punya waktu semalam menginap di Brussels, atau biasa juga disebut Bruxelles. Karena itu, dalam memilih hotel, lokasi menjadi pertimbangan utama. Tadinya saya bingung antara memilih hotel yang dekat dengan Stasiun Brussels Midi (stasiun utama untuk kereta antar negara), atau yang langsung dekat dengan Grand Place (Grote Markt), alun-alun yang menjadi atraksi utama kota ini. Akhirnya pilihan jatuh pada Novotel Off Grand Place yang letaknya paling strategis.

Sabtu sore, kami sampai di stasiun Midi Brussels (Gare de Bruxelles-Midi) dengan kereta TGV dari Lille, Prancis. Esoknya kami harus naik kereta Thalys menuju Cologne, Jerman, yang juga berangkat dari stasiun Midi ini. Tadinya, agar praktis, saya mencari-cari penginapan di dekat stasiun Midi. Pilihannya antara lain Ibis Brussels Centre Gare Midi, Novotel Brussels Midi Station dan Floris Ustel Midi. Tapi dari beberapa review, katanya daerah dekat stasiun Midi ini kumuh dan kurang nyaman. Kalau waktu kita terbatas, banyak traveler yang menyarankan kita mending menginap di tengah kota saja. Setelah tahu bahwa tiket kereta dalam kota, dari Stasiun Midi menuju Stasiun Central Brussels gratis, sudah termasuk dalam tiket TGV atau Thalys, saya semakin mantap mencari-cari hotel di tengah kota, antara stasiun Central dan Grand Place.

Novotel bukan pilihan penginapan keluarga yang paling murah. Ketika itinerary Eropa kami belum tetap, saya memesan kamar di Meininger Hotel Brussels City Centre dari website booking.com untuk kelengkapan pengurusan visa. Meininger ini punya kamar keluarga yang bisa untuk 4 orang, dengan tarif yang lumayan terjangkau. Saya juga menginap di cabang Meininger di Amsterdam dan cukup puas. Sayangnya lokasi Meininger Brussels kurang dekat dengan lokasi wisata yang ingin kami kunjungi, jadi budget harus ditambah dengan transportasi lokal.

Selain Novotel, di dekat Grand Place juga ada pilihan hotel lain, seperti Ibis Bruxelle Off Grand Place dan Best Western Premier. Saya pilih Novotel karena bisa mengakomodasi dua orang dan dua anak (sampai 16 tahun) dalam satu kamar.


Untuk mencapai Novotel, kami naik kereta (banyak pilihan) dari stasiun Midi ke stasiun Central, dengan lama perjalanan yang hanya lima menit. Dari stasiun Central, kami tinggal jalan kaki, kurang lebih tujuh menit untuk sampai hotel. Perlu dicatat, untuk yang membawa barang bawaan banyak, bakal cukup kerepotan karena jalanan di kota lama Brussels ini berbatu-batu. Pastikan kalian punya koper yang rodanya tangguh agar tidak jebol di jalan :)  

Saya memesan hotel ini langsung dari website Accor dengan tarif EUR 142, termasuk sarapan untuk dua dewasa (anak-anak sarapan gratis). Dengan kurs sebesar Rp 16.915 per Euro, saya membayar hotel ini semalam Rp 2.401.881 (ouch!). Ini masih ditambah city tax yang dibayarkan ketika kami cek in sebesar EUR 7,50 (IDR 126.511). Cukup mahal ya? Tapi kalau dibanding tarif go show di hari itu sebesar EUR 179, yang saya bayar lebih murah lah. Apalagi dengan memilih penginapan di dekat atraksi wisata, saya tidak mengeluarkan biaya transportasi lokal. Berdoa saja supaya pas kalian sampai di Eropa, kurs-nya nggak hancur-hancur amat :p Oh, ya, tarif sarapan prasmanan untuk dewasa sebesar EUR 17 kalau belum termasuk di harga kamar.


Tidak seperti gedung Novotel di Singapura, Sydney dan Canberra yang modern dan membosankan, tampak luar Novotel Brussels ini cukup cantik. Hotel ini menempati gedung kuno yang menyatu dengan bangunan sekitarnya. Tapi tentu saja bangunan di dalamnya sudah modern. Kamar kami cukup luas dan nyaman. Interiornya minimalis modern. Kamar cukup luas dengan satu queen bed dan sofa yang bisa diubah menjadi dua single bed. Kamar mandinya cukup bagus dengan interior modern yang mewah. Ada bath tub yang terpisah dengan pancuran. Amenities Novotel sama saja di mana-mana: sabun, shampo, dan shower gel. Perlu diingat, hotel di Eropa (dan juga Australia/New Zealand) jarang yang menyediakan sikat gigi dan pasta gigi, jadi harus membawa sendiri.

Di sini tidak disediakan air mineral karena air kran sudah aman untuk diminum :) Tersedia ketel listrik dan kopi/gula/teh. Sayangnya tidak ada susu, hanya ada krim bubuk. Seingat saya memang hanyahotel-hotel di Australia dan New Zealand yang menyediakan susu cair dalam wadah kecil untuk teman minum kopi/teh. 

But no worries, we had fast internet connection here. Wifi tersedia gratis dan bisa tersambung dengan gadget dan laptop yang kami bawa. Di kamar juga ada TV yang menyiarkan pertandingan sepakbola Piala Dunia: Argentina vs Belgia! Hahaha, kebetulan banget, pas kami ada di Belgia, pas mereka main. Suasana di restoran hotel dan kafe-kafe di sekitar hotel ramai orang menonton bola. Teriakan-teriakan suporter sampai terdengar di kamar kami. Sayang banget Belgia kalah.  




Dari hotel, tinggal jalan kaki lima menit menuju Grand Place. Di depan hotel banyak kafe dan restoran untuk nongkrong. Saya senang dengan suasana yang ramai dan akrab, tapi tanpa bising kendaraan bermotor. Zona di dekat Grand Place ini tampaknya memang khusus untuk pejalan kaki. Sore hari, saya dan si ayah jalan-jalan berdua saja karena precils tidak mau keluar. Kami berdua jalan kaki sampai 'menemukan' Manneken Pis. Tidak lupa kami membeli wafel, camilan khas Belgia. Tentu saja kami memilih yang paling murah di dekat patung Manneken Pis :)) Di sepanjang jalan dari Grand Place menuju Manneken Pis juga banyak kios-kios souvenir. Kami membeli beberapa magnet, kartu pos dan... payung(!) karena mendadak turun hujan.

Sarapan di hotel ini cukup banyak pilihan. Kami turun ke restoran pagi-pagi benar agar waktunya cukup untuk mengejar kereta Thalys. Suasana masih sepi sehingga cukup nyaman dan tentu saja bebas ambil-ambil makanan. Big A senang menemukan makanan favoritnya: hash brown. Saya juga sempat mencoba wafel mereka yang tentu saja lebih enak dari wafel murah 1 Euro yang kami beli kemarin. Si Ayah memilih baked bean dan sayur-sayuran entah apa yang aneh-aneh. Kasihan, ngga ada nasi :p Buah-buahan dan jus jeruknya seger banget. Kopinya juga enak, bisa kita buat sendiri dari mesin esspreso yang tersedia. Tak lupa kami mengambil beberapa buah: apel, pisang, jeruk untuk bekal ganjal perut sampai siang nanti. Seusai sarapan, kami masih sempat menyeret Precils ke Grand Place sebelum akhirnya mengejar kereta Thalys menuju Koln. 

Bye Brussels. Next, Germany!


~ The Emak

Baca juga:
#Novotel
Review Novotel Clarke Quay Singapore
Review Novotel Sydney Olympic Park
Review Novotel Canberra 

#EuroTrip
Mengurus Visa Schengen Untuk Keluarga  
Membeli Asuransi Perjalanan Untuk Visa Schengen
Berburu Tiket Pesawat Murah ke Eropa
Tip Membeli Tiket Kereta Keliling Eropa 
Terbang Ke Eropa Dengan Emirates
Pertama Kali ke Eropa? Ini Itinerarynya!

Mencari dan Memesan Penginapan dengan Airbnb  
Tip Packing Ke Eropa
Review Hotel Meininger Amsterdam
Review Apartemen Airbnb Paris 

Senin, 28 Juli 2014

Terbang Ke Eropa Dengan Emirates

Terbang Ke Eropa Dengan Emirates

Kabin Emirates dan pramugari berseragam khas
Ketika mencari-cari tiket murah ke Eropa, saya tidak secara khusus memilih Emirates. Maskapai apa saja yang pelayanannya bagus, tapi tiketnya terjangkau. Untuk tanggal yang kami pilih di bulan Juli, memang Emirates-lah yang harganya paling murah waktu itu. Jodoh, akhirnya saya booking Emirates Singapura - Paris via Dubai pp seharga USD 875 per orang di website resminya.

Ini bukan pertama kalinya kami naik Emirates. Kami pernah terbang dengan Emirates dari Christchurch New Zealand ke Sydney, selama tiga setengah jam. Waktu itu anak-anak senang naik Emirates, terutama karena diberi mainan dan karena sistem hiburannya (ICE) yang keren. Ketika saya beritahu bahwa kami akan naik Emirates lagi ke Paris, Little A dan Big A serempak bilang, "Yay!"

Saya beli tiket ke Eropa dari Singapore karena tidak ada tiket yang langsung dari Surabaya. Dari Surabaya, saya membeli tiket terpisah (Air Asia dan China Airlines). Sebenarnya Emirates juga terbang dari Jakarta ke kota-kota di Eropa via Dubai. Tapi harganya lebih mahal (daripada yang berangkat dari SIN) dan pesawatnya bukan Airbus A380. Baru kemudian saya tahu bahwa tidak ada bedanya naik Airbus A380 (pesawat double decker) kalau kita duduknya di kelas ekonomi, hahaha.

Alasan lain, tentu saja karena kami lebih senang transit di Singapura daripada di Jakarta (maaf ya). Di bandara Changi, kami bisa early cek in, sekitar jam 3 sore kurang, padahal pesawat baru berangkat jam 9.25 pm. Sebelumnya, di website Emirates saya sudah memilih nomor tempat duduk agar kami berempat bisa duduk bersama. Saya juga sudah memesankan Kids Meal untuk Little A. Sayang banget Big A sudah tidak berhak pesan Kids Meal karena umurnya sudah 12 tahun. Makanan untuk dewasa tidak perlu pesan khusus karena semuanya halal. 

Cek in mulus, jatah bagasi kami yang 120 kg (glek!) cuma terpakai sekitar 30 kg karena kami memang pinter packing light. Perlu dicatat, kalau kita memesan tiket dengan kartu kredit secara online, mereka akan meminta kita memperlihatkan kartu kredit yang sama yang digunakan untuk memesan. Hal ini sudah diperingatkan sebelumnya ketika kita memesan di website. Sepertinya memang ada peraturan ini untuk kartu kredit dari negara-negera tertentu, termasuk Indonesia (sigh).

cek in di Changi airport
Setelah menunggu lama di Changi (kami tidak keberatan sih :p), akhirnya kami boarding juga. Interiornya masih sama dengan kabin Emirates yang kami tumpangi 3 tahun yang lalu. Seragam pramugarinya yang khas pun masih sama. Penataan kursinya 3-4-3, kami berempat duduk di tengah. 

Dibandingkan dengan kursi ekonomi Singapore Airlines, kursi Emirates kurang nyaman. Saya yang berukuran mini ini kakinya menggantung, dan tidak ada pijakan kaki. Akhirnya saya gunakan ransel Big A sebagai pijakan. Kursi baru terasa pas setelah di-recline. Sisi plusnya, ada bantalan kepala yang bisa diatur tinggi rendahnya, dan bisa ditekuk untuk menyangga kepala agar tidak 'jatuh' saat tertidur. Dengan begitu, kita tidak perlu repot-repot membawa bantal leher. 

Anak-anak sih nggak ada masalah dengan kursi. Little A perlu diganjel dengan beberapa bantal agar dia bisa melihat layar dengan jelas. Ketika tidur, kami harus menempatkan sabuk pengaman di luar selimut agar tidak 'dicurigai' pramugari ketika ada turbulence dan harus memakai sabuk. Karena ini pesawat besar, ketika lepas landas dan mendarat, tidak terasa sama sekali, mulus-mulus saja. Kami bisa melihat proses take off dan landing ini dari tiga kamera yang dipasang di pesawat dan ditayangkan di layar pribadi kita.

Seperti yang pernah saya ceritakan di sini, sistem hiburan Emirates paling baik di kelasnya. Mereka menamainya ICE (information, communication dan entertainment). Banyak sekali film-film baru yang bisa ditonton, serial tv dari berbagai penjuru dunia dan ratusan film dokumenter. Ada ratusan chanel radio, podcast, games, dan album musik terbaru. Big A paling mahir di antara kami, mengoperasikan ICE ini. Tapi memang ICE di Emirates lebih mudah dioperasikan daripada di Singapore Airlines, karena ada layar sentuhnya. The Precils sempat menonton film Rio 2, Lego Movie dan Tinkerbell. Saya sendiri sempat menonton The Book Thief, tapi lebih sering berbaring saja sambil mendengarkan Coldplay.

Toilet di Emirates desainnya cukup mewah. Ruangannya juga lebih luas (menurut saya). Mau tahu nggak apa bedanya naik pesawat double decker A380 dengan pesawat biasa? Sebenarnya tidak ada bedanya kalau kita duduk di kelas ekonomi. Tapi ketika saya berjalan ke toilet yang ada di ujung kabin, saya melihat ada tangga ke atas menuju kelas bisnis. Jalan masuknya ditutup. Saya mau fotoin tapi kok malu. Yo wes, yang penting pernah lihat pesawat 'tingkat'. Kapan-kapan aja deh nyobain kelas bisnis atau first class sekalian :p

touch touch touch
Transit di Dubai
Untuk penerbangan dengan Emirates ke Eropa, kami perlu transit di Dubai. Lama terbang dari Singapura ke Dubai sekitar tujuh setengah jam. Setelah transit selama tiga jam dan lima belas menit, kami melanjutkan perjalanan dari Dubai ke Paris selama tujuh jam dan dua puluh menit. Transit dalam penerbangan pulangnya lebih lama lagi, kami harus menunggu di Dubai sampai tujuh jam.

Dalam transit pertama, kami tiba di bandara Dubai jam 1 dini hari waktu setempat. Duh, rasanya masih ngantuk-ngantuknya. Begitu mendarat, kami langsung mencari stroller yang memang disediakan Emirates untuk dipakai gratis di airport. Lalu kami menyegarkan diri di toilet, sebelum akhirnya antre pemeriksaan keamanan. Mungkin waktu itu sedang jam sibuk (dini hari!), kami antre cukup lama sebelum akhirnya diperiksa melewati pintu detektor logam. Lolos dari security check, kami sempatkan istirahat sambil berusaha tidur di bangku. Ruang tunggu bandara Dubai saat itu cukup penuh. Saya juga tidak begitu terkesan dengan bandara ini, meskipun toko duty free-nya dibilang paling besar sedunia. Lha buat apa? Kami nggak suka dan butuh belanja soalnya. Kami tidak mengeluarkan uang di bandara ini. Untungnya air minum dari kran gratis :) 

Kondisi transit ketika pulang dari Paris ke Singapura jauh lebih baik. Mungkin karena jamnya bukan jam tidur (tengah malam). Kami tiba di Dubai jam 8 malam. Belajar dari pengalaman sebelumnya, agar tidak lama antre pemeriksaan keamanan, kami santai saja melipir ke toilet dulu, dan jalan pelan-pelan. Tak lupa kami meminta voucher makan gratis, yang diberikan Emirates untuk yang transitnya lebih dari 4 jam. Untuk mendapatkan voucher makan ini kita harus minta di meja informasi/resepsionis Emirates, tidak ada pengumuman apa-apa dari pihak mereka. Saya sendiri mengetahui hal ini dari blog orang.

Alhamdulillah pemeriksaan keamanan lancar, dibantu petugas yang rupanya cewek-cewek Filipina, yang langsung ngefans sama Little A. Voucher makan kami tukarkan di Mezzanine, buffet di lantai atas dekat gate A2. Ada beberapa pilihan makan sebenarnya, termasuk Starbuck dan Mc Donald, tapi pilihan terbaik sepertinya memang Mezzanine yang pilihan makanannya banyak dan tempatnya cukup luas dan nyaman untuk keluarga. Saya merasa sedikit pusing ketika kami istirahat di sini. Setelah makan sedikit nasi biryani, saya berbaring di sofa besar di pojok. Precils dan Ayahnya bisa tetap duduk dan makan dengan nyaman di sofa yang sama. Baru setelah kami cukup kenyang dan cukup istirahat, kami pindah mencari kursi-kursi panjang yang bisa untuk tidur. Sayangnya area ini ramai sekali oleh orang-orang. Meskipun fungsi utamanya sebenarnya untuk istirahat dan tidur, banyak yang berisik bicara keras-keras. Lampunya pun terang benderang. Saya berusaha tidur dengan meminjam sleeping mask Little A, tapi hanya berhasil tidur-tidur ayam karena 'tetangga' yang berisik banget. Dalam hal ini, bandara Changi jauh lebih pintar, mereka punya area khusus bagi yang ingin tidur. Suasananya dibuat senyaman mungkin, dengan lampu temaram dan tempatnya terpencil. Dubai harus belajar dari Changi soal ini.


Enakkah makanan yang dihidangkan Emirates? Menurut saya sih cukup enak, meski tidak seenak masakan Singapore Airlines. Di mana-mana, makanan untuk anak-anak lebih enak daripada pilihan makanan untuk dewasa, masih ditambah camilan seperti Kit Kat, Mars, permen dan Milo! Di kotak camilan Little A juga ada hadiah slap band piala dunia dan sikat gigi unyu beserta pasta mungil.

Saya senang makan di pesawat karena hidangannya lengkap, termasuk makanan pembuka, roti, makanan utama dan pencuci mulut. Oh, butter! Dear, cream cheese! Kegiatan mengunyah, makan di pesawat juga bisa untuk mengurangi sakit kepala akibat perbedaan tekanan udara. Sayangnya, menurut saya, pramugari Emirates ini kurang cekatan dalam menyiapkan makan. Sering saya sudah lapar tapi makanan belum datang. Padahal kami duduknya di bagian depan. Sering saya lihat mbak-mbak pramugari ini tergopoh-gopoh memberikan jatah makanan yang kurang untuk teman yang bertugas di bagian lain. Entahlah bagaimana mereka memenej pembagian makanan ini. Saya juga harus menunggu terlalu lama sampai minuman panas (teh atau kopi) dihidangkan setelah makan. Ini biasanya saya sudah keburu ngantuk. Bahkan ada bagian penerbangan yang minuman panasnya tidak datang sama sekali.

Kids meal
Kids meal
Normal meal
Sarapan normal
Little A senang sekali naik Emirates kemarin karena dia banyak mendapat goodies, hadiah dan mainan dari Emirates. Karena empat kali terbang, Little A mendapat empat goodies, isinya banyak banget. Ketika berangkat dia mendapat tas tempat makan siang, isinya ada buku Dr Seuss, dompet, dan kartu dari QuikSilver. Pulangnya Little A mendapat tas sekolah berisi agenda QuikSilver dan sleeping mask. Di penerbangan terakhir dia mendapat selimut dan boneka. Semua ditambah dengan buku mewarnai dan pensi warna. Biasanya ada pramugari membawa tas besar berisi mainan. Kita harus waspada karena dia mungkin tidak melihat ada anak kecil yang bersembunyi di kursi tengah. Saya dan Si Ayah bergantian mencegat mbak-mbak ini dan meminta goody. Lumayan lah untuk oleh-oleh, plus bisa dikasih ke tetangga sebelah setelah pulang (ngirit, hehe).

Overall, kami cukup senang naik Emirates. Kalau ada harga yang pantas, kami akan memilih naik maskapai ini lagi. Ke Istanbul mungkin? Atau sekalian ke Amerika Latin? ;)

Emirates A380 di bandara CDG Paris
~ The Emak

Baca juga: 
Pengalaman Naik Emirates dari Christchurch ke Sydney

serta tulisan lain tentang Eropa:
VISA
Mengurus Visa Schengen Untuk Keluarga 
Membeli Asuransi Perjalanan Untuk Visa Schengen

TRANSPORTASI
Berburu Tiket Pesawat Murah ke Eropa
Tip Membeli Tiket Kereta Keliling Eropa

ITINERARY
Pertama Kali ke Eropa? Ini Itinerarynya!

PENGINAPAN
Mencari dan Memesan Penginapan dengan Airbnb  

Review Novotel Off Grand Place Brussels
Review Hotel Meininger Amsterdam


PACKING 
Tip Packing Ke Eropa

Rabu, 23 Juli 2014

Tip Packing Ke Eropa

Tip Packing Ke Eropa

Keluarga Precils dengan tas-tasnya di stasiun Brussel Centraal
Ketika mendapat konfirmasi booking Emirates ke Eropa, saya norak-norak bergembira melihat jatah bagasi masing-masing 30kg. Jatah total kami berempat 120kg. Edyan, lebih dari 1 kwintal! Bisa kulakan apa aja di Paris nanti? begitu pikir saya.

Tapi menjelang hari keberangkatan, saya makin realistis. Nggak mungkin lah kami bawa banyak koper, ngilu membayangkan bakal nyeret koper dari stasiun ke hotel, belum lagi naik turun tangga di stasiun-stasiun tua di Eropa. Saya juga ingat kerepotan kami membawa koper 'bedol desa' ketika naik campervan dari Adelaide ke Melbourne. Kapok! Akhirnya kami memang traveling light. Dua minggu di Eropa, kami 'hanya' bawa 1 koper kecil (bisa masuk kabin sebenarnya), 1 koper besar (apa aja bisa masuk) dan dua ransel sedang, satu yang biasa dibawa Si Ayah untuk kerja dan satunya yang biasa dibawa Big A sekolah. Oh, iya, bawaan kami tambah satu lagi: anak usia 6 tahun yang kadang minta digendong :p

Packing itu ketrampilan yang bisa dilatih, semakin sering traveling, akan semakin mahir. Lama-lama akan tahu sendiri apa barang-barang yang ngebet kita bawa tapi tidak pernah ada gunanya dalam perjalanan. Lama-lama akan sadar bahwa baju yang kita bawa cuma akan terpakai separuhnya. Standar packing saya sama untuk perjalanan seminggu, sepuluh hari atau dua minggu: bawa baju untuk tiga hari. Nanti cari laundry di perjalanan. Khusus yang hobi foto OOTD, tidak perlu mengikuti saran ini :D

Berikut barang-barang bawaan kami untuk traveling 14 hari ke Eropa, mungkin bisa memberi gambaran bagi yang sedang menyiapkan liburan juga. Karena kami pergi di musim panas (bulan Juli), kami tidak terlalu perlu pakaian hangat yang terlalu tebal. (Baca juga: Tip Packing ke Australia dan New Zealand)

BAJU
- baju empat stel
- Syal panjang 2, pashmina 1 (bisa utk cover bagi busui), jilbab kaos instan 1
- baju tidur 2 stel
- dalaman 5 stel, dipak sendiri dalam travel cell atau keranjang baju dalam
- jaket (tebal/tipis sesuaikan dengan musim)
- kaos kaki 2 pasang (penting untuk di pesawat)
- handuk kecil (dibawa di kabin)
- sepatu (kami cuma bawa yang dipakai)
- jas hujan (yang keren, biar tetep bagus difoto)
- baju renang (akhirnya tidak terpakai, hiks)
- mukena, sarung
- sarung bali (multifungsi utk sprei dadakan, sajadah, tirai, alas piknik, dll)

GADGET
- laptop (Si Ayah harus kerja di sana je)
- ponsel dan earphone
- powerbank
- kamera (kami bawa mirrorless Sony NEX 5N dan pocket Canon S95) 
- tripod
- iPad, atau tablet juga boleh :p
- charger untuk setiap gadget. (Colokan Eropa=Indonesia, tidak perlu konektor)
- notes & bolpen (harus selalu ada di tas yang dibawa/kabin)
- buku bacaan
- earmuff Peltor Little A (untuk melawan bising di airport, pesawat, stasiun)
- payung (ini saya lupa! terpaksa beli di Brussels EUR 5)

LAINNYA
- toiletries (sikat gigi, pasta, sabun, shampo kemasan kecil colongan dari hotel)
- kosmetik (sabun muka, pelembab, tabir surya, lip balm, deodorant)
- tisu basah, tisu wajah, tisu toilet 1 rol.
- tas kresek (tempat baju kotor, tempat sampah darurat, kantung muntah)
- deterjen sachet (beli di warung, supermarket nggak ada)
- obat pribadi (ventolin, parasetamol, minyak telon, handyplast)
- lensa kontak (cadangan kalo kacamata kenapa-kenapa)
- kacamata hitam

MAKANAN (untuk yang mau masak sendiri)
- mie instant untuk gawat darurat
- beras, sedikit aja untuk awal
- lauk-lauk kalengan (sarden, kornet, rendang dll)
- sambal (wajib!) dan kecap 
- bumbu instan nasi goreng
- susu formula Little A (soymilk protein)

PENTING
Dompet leher berisi: uang, kartu kredit/debit, paspor, tiket, boarding pass. 

MAHA PENTING: Rice cooker :D

Dompet traveling yang digantung di leher dan earmuff Little A
Dengan semua bawaan, di stasiun bandara CDG Paris
Menitipkan bagasi di stasiun Amsterdam
Ketika kami cerita ke teman dan saudara bahwa kami punya rencana traveling ke Eropa, mereka punya nasihat yang sama: hati-hati banyak copet! Mereka menyarankan kami membawa dompet/tas/kantong yang dikalungkan di leher seperti jamaah haji. Dompet tipis yang berisi paspor, uang, kartu kredit/debit dan tiket ini bisa dimasukkan ke dalam baju atau jaket. Saya anggap serius nasihat mereka karena memang sering mendengar cerita orang kecopetan di Eropa, terutama Paris! Saya bela-belain membeli travel neck pouch ini di toko Kathmandu ketika jalan-jalan di Christchurch, New Zealand seharga $15. Kantongan ini juga bisa dibeli di toko perlengkapan haji atau di departemen store di bagian perlengkapan traveling (cari bagian koper-koper). Alhamdulillah selama di Eropa aman. Tas pouch kecil ini sebagai ganti 'dompet biasa'. Apalagi kalau kemana-mana bawa ransel yang ditaruh di belakang, riskan menaruh dompet di sana.

Salah satu cara kami menghemat biaya makan di Eropa adalah memasak sendiri. Karena itu, kami memilih menginap di apartemen, bukan di hotel, yang ada fasilitas dapurnya. Enaknya mendarat di bandara Paris (CDG), tidak ada pemeriksaan custom sama sekali. Beda dengan aturan custom Australia yang ribet banget, ke Paris kita bebas bawa makanan apa saja. Bahkan tidak ada kartu kedatangan yang harus diisi. Setelah pemeriksaan imigrasi, cek paspor dan visa, kami mengambil bagasi dan bebas lenggang kangkung keluar dari bandara. Pemeriksaan custom hanya dilakukan secara random. Alhamdulillah kami tidak kena random check ini. Saya terbengong-bengong bahagia melewati petugas. Merci beaucoup!

Perlu juga diingat, kalau traveling ke beberapa kota di Eropa, entah dengan naik pesawat atau kereta, kita bakalan kerepotan kalau bawaannya terlalu banyak. Naik pesawat budget antar kota di Eropa mungkin biayanya murah, tapi tarif bagasinya sangat tidak ramah di kantong. Bandingkan dulu sebelum berangkat dengan tarif kereta yang tidak menarik biaya tambahan untuk tas

Di beberapa stasiun kecil dan tua di Paris tidak ada eskalator atau lift. Kalau stasiun besarnya biasanya ada fasilitas ini, namun tersembunyi. Carilah tanda disabilitas atau traveling dengan anak-anak (gambar kursi roda dan gambar keluarga dengan anak). Jalanan di kota di Eropa juga tidak selalu mulus. Kami harus menyeret koper-koper sejauh 400 meter di jalan konblok dari stasiun Lille Europe ke stasiun Lille Flandres. Pengalaman lain adalah menyeret koper dari stasiun Brussel Centraal ke hotel Novotel. Tidak jauh, hanya sekitar 300 meter, tapi jalannya berbatu. Saya sarankan menginvestasikan uang untuk membeli koper yang bagus. Koper kami merk American Tourister (adiknya Samsonite). Harganya sekitar 1 jutaan kalau sedang diskon. Lumayanlah daripada koper kami seharga $35 (beli di Sydney, merk abal-abal) yang langsung jebol sekali pakai.

Selama jalan-jalan, kami juga sempat menitipkan koper kami di stasiun Koln (Cologne), Jerman dan stasiun Amsterdam Centraal, Belanda. Di Koln, kami cuma punya waktu singgah tiga jam. Penitipan di stasiun Hbf Koln ini canggih banget, pake mesin otomatis seperti mesin ATM. Nanti saya tulis tersendiri. Di Amsterdam, kami perlu menitipkan koper karena di hari terakhir di sana, kereta kami baru berangkat jam 3, padahal kami sudah harus cek out dari penginapan. Penitipan tas di Amsterdam ini mirip sewa loker, kita operasikan sendiri dan membayar dengan kartu kredit.

Ada teman yang bilang, tidak perlu membawa rice cooker karena beras di Eropa sudah 'setengah matang' dan bisa dimasak dengan cara direbus sekali saja. Waduh, saya kok belum percaya ya. Saya ingat pengalaman pahit ketika campervanning, makan nasi gagal karena malas bawa rice cooker. Kami sangat bersyukur membawa rice cooker (dan sedikit beras) mengingat pengalaman kami di hotel Meininger. Hotel ini saya pilih karena murah, tapi memang di sekitarnya tidak ada apa-apa. Ketika kelaparan malam-malam, kami tinggal menanak nasi di kamar mandi, dan menghangatkan rendang daging sapi. Karena tidak bawa piring, kami terpaksa makan langsung dari kalengnya. Duh, syedapnya!

Bukan iklan :p
Bagaimana pengalaman kalian packing? Barang apa yang wajib dibawa?

~ The Emak 

 

Baca juga: Tip Packing ke Australia dan New Zealand

dan tulisan lain tentang Trip Eropa:VISA
Mengurus Visa Schengen Untuk Keluarga 
Membeli Asuransi Perjalanan Untuk Visa Schengen


TRANSPORTASI
Berburu Tiket Pesawat Murah ke Eropa
Tip Membeli Tiket Kereta Keliling Eropa
Terbang Ke Eropa Dengan Emirates
 
ITINERARY
Pertama Kali ke Eropa? Ini Itinerarynya!

PENGINAPAN
Mencari dan Memesan Penginapan dengan Airbnb  

Review Novotel Off Grand Place Brussels
Review Hotel Meininger Amsterdam