Minggu, 02 Februari 2014

Tip Membawa Bayi Naik Air Asia

Tip Membawa Bayi Naik Air Asia


Dila bersama Baby K di dalam pesawat Air Asia

Guest post by The Tante*

Rencana terbang bareng Baby K sudah ada sebelum doi lahir. Niatnya kami mau mengunjungi rumah Oma Opanya di Malaysia, tepatnya di Negeri Perlis, Malaysia bagian utara yang berbatasan dengan Thailand. Dengan gegap gempita saya pun cari tiket murah AirAsia-idolaku jauh-jauh hari dengan rute Jogja-Kuala Lumpur-Alor Setar. Waktu itu lumayan dapat murah deh, Jogja-Kuala Lumpur sekitar 300ribu, trus Kuala Lumpur-Alor Setar cuma sekitar 90ribu. Aha! Saya pun mulai klak klik klak klik itu form booking. Trus pas bagian baby K, data yang diperlukan sama kok, cukup nama dan tanggal lahir. Setelah saya isi, tiba-tiba muncul keterangan: Invalid! Your baby have a future birthdate. Hakakaka, baru sadar saya Baby K belum punya tanggal lahir, alias waktu itu saya karang sendiri pakai hari perkiraan lahir, kekeke. Yaah, gagal deh booking tiket murah. Eh belakangan saya baru tahu, ternyata bisa booking dulu buat ortunya, lalu booking untuk baby-nya bisa ditambahkan di manage booking, seperti kalau kita mau nambah beli makanan di pesawat. Huhuhu, ndeso banget saya nggak tahu -_-“.  Akhirnya kami  beli tiket agak mepet waktu berangkat, saat itu Baby K berusia 2 bulan. Untung harganya tetep sama, hahaha, rejeki emang nggak kemana ya cyinski ;).


Menu 'tambah bayi' di halaman profil -> manage my booking
Biasanya, kami melakukan web check in sebelum berangkat agar hemat waktu dan biaya. Beberapa bandara biasanya nambah ongkos untuk cek in di counter. Tapi, ternyata kalau kita bawa baby, dilarang web check in. Duh, males kan yah harus cek in di bandara, tapi tetap kami patuhi. Ternyata disuruh cek in di bandara cuma untuk nge-tag stroller pakai tag Air Asia. Setahu kami sih begitu, nggak tahu deh apa alasan sebenarnya nggak boleh web check in, mungkin ada alasan keselamatan atau apa yang harus dicek dulu. Tapi, nyatanya surat keterangan dokter bahwa baby K sehat juga nggak ditanyain, bahkan sampai di dalam pesawat. Jadi, nggak usah khawatir ada larangan bayi terbang atau minimal boleh terbang usia 6 bulan atau apa itu. Sejauh pengalaman saya sih nggak ada aturan begitu, kalau pakai AirAsia-idolaku.

Pengaturan tempat duduk saat membawa baby di AirAsia-idolaku juga nggak ada. Maksudnya enggak terus diistimewain gratis ditempatin di depan sendiri. Kita harus tetap beli kursi hot seat kalau mau depan sendiri biar lebih lega. Tahu sendiri kan ya, meski idolaku, kursi Air Asia itu sempit banget dan bikin leher rasanya mau patah :D. Penting banget untuk bawa bantal leher kalau ingin merasa damai dan tentram di perjalanan. Apalagi dengan adanya pertumbuhan berat badan yang signifikan setelah melahirkan T.T. Berhubung kami keluarga yang hemat pangkal kaya *nyerempet ke pelit* kami nggak beli kursi baik hot seat maupun biasa, kekeke, bodo amat ntar pasrah dapetnya pas cek in.

Alhamdulillah kami dapet jejeran bertiga *yeyeye lalalala*. Dan, ternyata kursi hot seatbanyak yang kosong. Bahkan, kami sempet pindah duduk di kursi hot seat dengan sembarangan waktu menghibur baby K biar nggak bosen. Pramugari juga nggak menegur, bener-bener kayak di angkot ya ;). Jejeran bertiga maksudnya saya terbang bareng suami, Uti-mama saya, dan baby K. Iya, baby nggak dapat seat tapi bayar 150 ribu per sektor. Jadi kalau terbang pakai transit di KUL seperti kami, ongkos bawa babynya 4x 150rb = 600 ribu. Padahal kan aturannya dipangku nggak bayar yah *angkot style*. Begitulah, jadi si baby K itu saya pangku sepanjang perjalanan Jogja-Kuala Lumpur selama 2 jam, lebih tepatnya digendong karena doi belum bisa duduk. Nggak ada sabuk pengaman khusus untuk bayi ya, jadi siap-siap aja deh tuh kalau take off, landing, turbulance pegangin erat-erat tuh baby biar nggak ngglundung :))).

Saking takutnya di pesawat superdingin, saya pun memberikan perlindungan ekstra kepada baby K. Pakai baju tebel, dibungkus bedong, selimut, dan gendongan, pakai topi. Nggak tahunya doi malah protes kepanasan alias kemringet -_-“, agak lebay emang emaknya. Akhirnya ya repot sendiri lepas-lepasin itu baju di kursi AA yang sempit.

Sepanjang perjalanan, saya berusaha nyusuin baby K, terutama pas take off dan landing. Mungkin karena itu juga, jackpot, si baby K pakai acara muntah segala di pesawat! Karena males harus bersih-bersih dan ganti di toilet pesawat yang juga sempit ribet berdiri goyang-goyang, saya ganti aja on the spot di kursi, dibantu Uti. Jadi, itu bayi taruh aja di meja makanan :))). Belakangan, pas perjalanan pulang Kuala Lumpur-Jogja, baby K saya taruh di meja makanan terus. Puegel Cyin gendongin terus sempit-sempitan. Tapi, tetep dijagain yah ;). Eh, tapi baiknya jangan dicontoh sih, cukup bahaya jika tidak terpaksa. Selain muntah, nggak ada masalah berarti buat baby K jagoanku. Doi nggak nangis sama sekali, nggak ngamuk juga, alhamdulillah. Pasti ini karena emaknya yang berprestasi ahaha, err maksudnya Utinya yang juga canggih sih.

Ada resep rahasia kenapa baby K anteng bersahaja *meski muntah sekali -_-“. Jadi, saya beli online earplug for kids, merknya Macks, harganya 65 ribu saja, Gan. Nggak tahu sih apakah memang itu yang bikin doi anteng, tapi saya memiliki keyakinan yang kuat bahwa sumpelan di kupingnya itu yang membuat doi lebih nyaman, selain karena dekapan hangat emaknya yang berprestasi ;). Lalu, pas take off dan landing baby K saya dekap erat-erat, kupingnya ditutup lagi pakai tangan, siapa tahu earplugcopot-copot, dibantu sama suami yang juara dan setia *penting.

Pas keluar pesawat juga nggak ada perlakuan khusus apapun, tetep antri berbondong-bondong sama penumpang lain yang pada nggak sabaran itu, hihihi. Turun dari pesawat, kami minta lagi stroller yang tadi dititipkan petugas, disimpan di bagasi pesawat, GRATIS ;). Jadi, kami nggak perlu beli bagasi untuk stroller. Cukup titipkan stroller ke petugas yang berjaga di bawah pesawat. Itu stroller nggak masuk ke kabin. Bener-bener idola kan AirAsia ini hehehe. Nah, baru deh pas di pengecekan dokumen di Kuala Lumpur LCCT karena kami bawa baby, kami diistimewain disuruh pakai counter flight attendant. Meski tetep antri, tapi nggak separah antrian di counter biasa.

Untuk rute Kuala Lumpur-Alor Setar, karena domestik jadi lebih simpel. Dan, pas cek in kami tetep disuruh web check in di mesin cek in. Petugasnya bilang, “kalau di counter bayar loh!” tentunya pakai bahasa Melayu yang sudah saya terjemahkan. Stroller juga nggak ditag lagi -_-“. Kayak naik bus. Atas dasar pengalaman inilah, pas perjalanan pulang Alor Setar-Kuala Lumpur-Jogja akhirnya kami web check in, dan tetep bisa tuh lenggang kangkung sampai di Jogja, ehehehe. Kami nekat karena waktu transitnya cukup mepet, takutnya kalau cek in di bandara nggak ngejar.

Kalau ingin menyusui baby saat nunggu boarding, di LCCT ada ruangan menyusui dan ganti popok. Tapi, saya nggak pakai karena udah merasa canggih nyusuin baby K sambil digendong pakai gendongan baik duduk maupun berdiri, ditutupin jilbab. Saya sempat ke ruangan menyusui itu waktu mengganti popok baby K. Ruangannya nggak bagus, sempit, pengap, dan nggak begitu bersih. Daaaaan, saat saya ganti popok baby K, tahu-tahu ada pria India nyelonong masuk ngisi botol air pakai dispenser yang ada di dalam ruangan. Helooow, kalau ada yang lagi nyusuin piyeee? Gendeng juga tuh orang -_-“.

Berangkat dari rumah jam 10 pagi, sampai di rumah Perlis jam 12 malam. Lama ya? Sama aja kayak naik kereta. Habis waktu di persiapan, transit, dan perjalanan dari bandara Alor Setar ke rumah Perlis makan waktu 1 jam. Sangat amat tepar berjamaah! Saya nggak bisa bayangin kalau Utinya Kala nggak ikut. Pasti tobat berjamaah bersama suami saya, huhuhu. Sebagai pengalaman, lain kali kalau bawa baby ke Perlis, mending stay one night dulu deh di Kuala Lumpur.
bersama suami siaga :p
breasfeeding sambil berdiri #akurapopo #wesbiyasa


Tips bawa baby naik Air Asia

1.  Nggak usah rempong bawa-bawa tentengan, agar tangan kita bebas mengurus bayi. Atau kalau terpaksa bawa barang agak banyak, aturlah pembagian tugas sebelum berangkat. Misalnya, ayah bertanggung jawab atas tas dan koper, ibu bertanggungjawab atas bayi, dan seterusnya.

2.  Pilihlah suami yang juara dan bertanggungjawab, langkah ini bisa dilakukan jauh hari sebelum keberangkatan banget, hehehe. Jadi, acara pergi-pergi dengan baby akan selalu menyenangkan.

3.  Pastikan baby kenyang sebelum menginjakkan kakinya ke dalam pesawat biar nggak ngamuk.

4.  Pakailah bantal leher, sumpah ini penting banget untuk kursi Air Asia.

5.  Bersiaplah dengan earplug baby, terutama di lapangan terbang. Suara mesin pesawat di luar pesawat lebih memekakkan telinga. Jangan lamban bergerak, segeralah masuk pesawat atau masuk ke gedung bandara.

6.  Pastikan ibu pakai baju khusus menyusui, enggak perlu pesan ke desainer mahal, yang murah pun boleh. Ini biar nggak ribet menyusui di lahan sempit.

7.  Lakukanlah simulasi proses perjalanan di dalam otak, bersama suami atau yang menemani terbang, agar kebayang nanti apa yang harus dilakukan.

8.  Jika mampu, pilihlah kelas penerbangan yang lebih baik, ehehehe.

Enjoy your flight!
~ The Tante (@diladol)
* The Tante alias Tante Dila adalah adik The Emak yang baru saja melahirkan anggota terbaru keluarga Precils, baby K. Prestasi baby K: sukses terbang pertama kali ke luar negeri umur 2 bulan, naik pesawat low cost carrier, dengan anteng dan bersahaja :p 
Baby K, Tante Dila dan Suami Juara tinggal di Yogyakarta.

Baca juga:
Pengalaman The Emak Membawa Bayi Naik Garuda

Jumat, 12 April 2013

Quick Bali with Kids

Quick Bali with Kids

Senja yang mendung di Kuta
Kami sudah sering selalu transit di Bali setiap kali melakukan perjalanan dari Indonesia - Australia atau sebaliknya, tapi rasanya belum pernah mengunjungi Bali dengan 'baik dan benar'. Trip kali ini pun sekedar kabur sebentar, menginap dua malam di Bali.

Sebenarnya ini liburan spontan, tanpa rencana. Tahun lalu, ketika kami masih tinggal di Sydney, dan koneksi internet masih 10x lipat lebih cepat daripada di sini, saya berhasil mendapatkan tiket 'gratis' Air Asia untuk Surabaya - Bali seharga Rp 5000 per orang. Saya beli saja waktu itu tanpa berpikir, kalau pun nanti tidak jadi kami pakai juga tidak rugi-rugi amat, total tiket berempat pp cuma 40 ribu :D

Jadwal penerbangan kami: berangkat Minggu siang dan pulang Selasa pagi. Jadi kami cuma punya waktu satu setengah hari efektif untuk main-main di Bali. Karena tidak punya waktu banyak, saya putuskan untuk tinggal dekat dengan bandara dan rencananya memang cuma pengen leyeh-leyeh di hotel saja. Tak disangka, salah satu teman menawarkan untuk menginap di Vila barunya di daerah Canggu. Wah, rezeki nggak boleh ditolak kan? Lumayan, sponsor liburan kami bertambah: Air Asia dan teman pemilik Vila. #okesip

Saatnya #pengakuan: kami belum pernah naik Air Asia! Untuk pesawat murah domestik Australia kami mengandalkan Jetstar. Dilihat dari interiornya, kursi Air Asia ini mirip dengan Jetstar. Hampir tidak ada bedanya. Empat hari sebelum berangkat, saya sudah melakukan web check in dan mencetak sendiri boarding pass, jadi cepat banget waktu cek in di counter. Kami juga tidak membawa checked baggage, tas untuk dimasukkan bagasi. Cuma bawa ransel masing-masing udah cukup kok. (Alasan utama adalah malas beli biaya tambahan untuk bagasi :p) Ternyata memang lebih asyik traveling tanpa bawa bagasi :)

Karena skip ketika ada tawaran memilih kursi, saya sedikit khawatir tidak mendapatkan kursi berdampingan, kan repot kalau saya dan anak-anak duduknya terpencar. Tapi ternyata bisa diakali. Kalau tidak ingin membeli kursi, usahakan web check in awal. Komputer akan memberikan nomor kursi secara otomatis. Biasanya sih kalau beli tiketnya bareng bisa dapat kursi bersebelahan. Kalau kursinya terpencar, baru 'terpaksa' menggunakan pilihan untuk ganti kursi. Berangkatnya saya duduk bertiga dengan Little A dan Big A, sementara Si Ayah duduk sendiri di depan kami. Pulangnya kami duduk terpencar dua-dua, selisih dua baris. Saya dengan Little A dan Si Ayah dengan Big A. Penerbangan dengan Air Asia kali ini lumayan mulus, pilotnya jago kok. Dari SUB - DPS tidak ada penjualan makanan di pesawat, mungkin tidak ada yang pesan? Sementara di penerbangan sebaliknya jual makanan. Big A tampak senang dan motret-motret dengan kamera sakunya. Saya senang karena ini salah satu tanda kalau dia tidak bosan. Penerbangan cuma berlangsung 50 menit. Belum sempat 'mabuk', kami sudah disuruh siap-siap mendarat lagi :))

Kami tiba di bandara Ngurah Rai jam dua siang. Teman kami dan sopirnya sudah siap menjemput. Perjalanan dari bandara ke Canggu penuh horor, melewati jalan-jalan kecil yang kalau untuk berpapasan mobil, bisa cuma selisih satu senti. Untung sopir kami jago banget, meliuk-liuk dengan luwes di antara pengemudi Bali yang... tidak pakai aturan. Saya yang baru bulan Juni tahun lalu ke Bali tidak begitu kaget. Si Ayah yang terkaget-kaget melihat perkembangan Bali sejak dia tinggalkan empat tahun yang lalu. Memasuki daerah Petitenget menuju Canggu, sawah-sawah sudah berubah menjadi Vila. Kata teman saya, vila-vila ini 'dimiliki' warga negara asing, meskipun mereka sebenarnya dilarang punya properti di Indonesia, tapi ada aja caranya. Saya bertanya-tanya, kalau sawahnya habis, terus pemandangannya apa ya?

Mendekati Canggu, semakin banyak terlihat penjor yang daunnya mulai layu, terpasang di depan rumah-rumah penduduk, dihiasi sajen-sajen cantik. Payung dengan 'ekor' warna-warni melambai di tepi pematang. Masih terasa aroma hari raya Galungan dan Kuningan. Di satu ruas jalan kami harus memutar melalui gang kecil karena jalan ditutup untuk upacara. Teman kami bilang: "Yang pengen cepat-cepat ke bandara pasti nangis kalau ketemu upacara di sini." ^_^

Canggu adalah daerah di antara Kuta dan Tanah Lot. Pantai-pantai yang ada di sini antara lain: Berawa dan Echo beach yang ombaknya terkenal bagus untuk berselancar. Kami sempat melipir ke pantai Berawa di depan hotel Legong Keraton, tapi the precils tidak mau turun. Ya sudah, kami langsung ke vila yang kira-kira dua kilometer dari pantai.


Little A dan The Emak di kabin Air Asia
Foto oleh Big A. Canon Powershot S 95
Vila teman kami ada di tengah sawah yang hijau. Begitu masuk, kami langsung kesengsem sama kolam renangnya. Meskipun kecil, kolam ini cukup asyik untuk berenang. Karena tidak perlu berbagi dengan orang lain, serasa punya kolam renang pribadi. Lucu juga berenang sambil melihat hamparan sawah menghijau, ayam dan bebek yang mencari makan dan petani yang sibuk bekerja. Kalau untuk bule yang jarang-jarang lihat tanaman padi pasti eksotis sekali :)

Villa compound ini punya 3 vila: 1 vila dengan dua kamar tidur dan 2 vila masing-masing satu kamar tidur. Satu vila dihuni sendiri oleh teman kami dan istrinya yang sangat ramah menyambut kedatangan kami. Teman kami yang baik ini menyilakan kami menggunakan vila dengan dua kamar tidur. Wah, pengalaman menginap di vila ini asyik sekali. Nanti saya tulis tersendiri ya... Kami menutup hari dengan makan malam ikan bakar yang dibeli dari pasar ikan Jimbaran.

Budget Hari Pertama
Taksi ke bandara Rp 45.000
Tiket pesawat AA SUB-DPS, 4x 5000 = Rp 20.000
Pajak bandara 4x 40.000 = Rp 160.000
Roti Boy Rp 51.000
Total Hari Pertama = 276.000

Kolam renang di Vila Adem Ayem, Canggu
Big A ngelamun di bale bengong
Vila kami letaknya lumayan tersembunyi dari jalan besar, jadi suasananya tenang sekali, cocok untuk yang pengen menyepi. Paginya kami sarapan masakan rumahan yang dimasak sendiri oleh istri teman. Ngopi, sarapan sambil ngobrol di bale bengong pinggir kolam, rasanya tidak pengen pulang! Big A juga asyik ngelamun sambil kakinya kecipak-kecipuk di air kolam. Tenang dan damai. Saya ngobrol ngalor ngidul dengan istri teman yang sudah lama tinggal di Bali. Obrolannya mulai dari pergeseran gaya hidup anak-anak muda di sini yang menurutnya sudah seperti orang bule, sampai pemberantasan anjing-anjing liar di Bali dengan ditembak karena rabies. Jam 11.30 siang kami baru siap menuju Kuta. Hitungannya late check out ya kalau di hotel.

Perjalanan dari Canggu ke Kuta lebih horor lagi daripada kedatangan kami dari bandara. Di tengah jalan kami berpapasan dengan macam-macam tingkah manusia. Ada yang menaruh pasir bangunan sampai menutup setengah jalan, ada yang memarkir mobil besarnya sampai mengambil satu lajur, dan tentu saja banyak sepeda motor di kiri kanan yang melesat cepat, seolah pengemudinya punya nyawa dobel. Di Canggu, beberapa perempatan penting dan ramai tidak ada lampu lalu lintasnya. Kata sopir kami percuma saja, banyak yang tidak menaati. Jadi masyarakat sini mengatur dirinya sendiri. Ya sudah, kami menikmati saja sirkus jalan raya ini. Tipsnya: jangan nyetir sendiri di Bali, serahkan pada ahlinya.

Selanjutnya kami melewati jalan yang lebih lebar di Seminyak. Di kanan-kiri jalan banyak berdiri butik-butik kecil dan kafe-kafe lucu. Saya jadi teringat suburb-suburb di Australia yang suasananya seperti ini. Terutama di Byron Bay. Bule-bule yang berseliweran menambah suasana mirip kampung di Australia. Sepertinya Bali ini sudah diangkat menjadi kampung halaman kedua mereka. Sama mengamati beberapa bule sudah mahir mengendarai sepeda motor seperti orang lokal. Yang saya lihat, banyak yang memodifikasi sepeda motor mereka dengan besi pengait di samping. Tadinya Si Ayah mengira untuk membawa galon air mineral, hehe. Ternyata untuk membawa surf board. Saya cuma bisa tersenyum melihat seorang Ayah Bule yang melesat kencang dengan sepeda motor tanpa helm, membawa anak balitanya yang berdiri di depan. Indonesia banget! Kalau di negaranya sana, mana berani melakukan seperti itu. Membawa anak-anak di dalam mobil yang 'aman' saja harus 'diikat' di car seat. Mana istilah yang tepat: Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya atau Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung? Tanda bahwa akulturasi budaya sudah berhasil? :)

Ruas jalan yang paling ramah pejalan kaki menurut saya adalah Jalan Legian. Jalan sempit satu arah ini ditutup dengan paving, bukan aspal, sehingga kendaraan bermotor lebih pelan ketika lewat. Di sepanjang jalan ada toko-toko kecil, semua ada di sini: fashion, art, cafe. Saya juga mengeja deretan hotel-hotel yang kami lalui, yang namanya sudah saya hafal luar kepala saking seringnya mengintip Hotels Combined :D Sopir kami melambat ketika kami melewati Ground Zero, Monumen Bom Bali. Sopir bertanya apa kami mau berhenti dan singgah sejenak? Saya menggeleng, terlalu sedih bahkan untuk mengingatnya. Di pantai-pantai Sydney (Coogee, Bronte, Malabar, Maroubra dll) didirikan monumen kecil untuk mengenang warga lokal korban bom Bali. Biasanya setelah bermain di pantai, kami menghampiri monumen-monumen kecil ini sejenak, menatap bunga yang kadang diletakkan di sana, sambil mengeja nama-nama orang yang nyawanya diambil oleh pembunuh dari negeri kami.

Kami mampir sebentar untuk menitipkan tas di Hotel Hard Rock, dan diturunkan sopir di Mal yang terhitung baru: Beachwalk. Mal ini cukup asyik, konsepnya terbuka dan enak dibuat jalan-jalan. Karena kami ke sana hari Senin, Mal tidak ramai. Kami cuma belanja sebentar di Roxy dan langsung keluar lagi. Tadinya mau makan siang di sini. Tapi harga makanannya bikin niat kami menciut. Resto-resto yang buka di sini kelas menengah ke atas, dengan paket makan siang sekitar 125K - 150K per orang. Benar-benar harga Aussie, sayangnya dolar kami sudah habis.

Vending Machine sandal Havaianas
Mal baru, BeachWalk
Hore, ada trotoar!
Si busur kuning menyelamatkan kami dari kelaparan. Kenyang, kami jalan kaki ke hotel, sekitar 300 m dari Mal. Saya senang karena ada trotoar yang berfungsi sepanjang jalan. Trotoar ini mulus, nggak bolong, nyambung dan tidak dikuasai pedagang kaki lima (penting!). Kalau di sepanjang jalan dibuat trotoar seperti ini, kami tidak akan keberatan jalan kaki. 

Cek in di Hotel Hard Rock, kami disambut dengan kejutan yang menyenangkan: kamar kami di-upgrade jadi Kids Suite! Yay! Rupanya Hard Rock juga pengen menjadi co sponsor liburan kami, hehe. Big A tak bisa berhenti tersenyum, karena menginap di kamar Kids Suite ini sudah menjadi cita-citanya sejak dulu. Hanya saja Emaknya baru sanggup untuk booking kamar biasa.

Kami sangat terkesan menginap di Hard Rock. Tadinya saya pilih hotel ini karena review yang bagus di Trip Advisor. Juga karena sesuai kriteria saya: dekat dengan bandara, pantai, dan ada kolam renang untuk anak-anak. Harganya pun masuk akal, satu kamar bisa untuk dua dewasa dan dua anak tanpa perlu extra bed. Review hotel selengkapnya akan saya tulis di postingan tersendiri ya.


Little A loooove her special room
Kids pool at Hard Rock hotel
Mengintip upacara
Selesai main-main air di kolam renang, kami melihat sunset di Pantai Kuta, yang tinggal menyeberang jalan dari hotel. Big A tidak ikut karena ingin mencoba PS3 yang disediakan di Kids Suite. Pantai Kuta sekarang lumayan rapi, lebih sedikit sampah, dan tidak terlalu ramai (mungkin karena hari Senin?). Pedagang yang berjualan di sana pun tidak terlalu mengganggu. Mereka punya kartu identitas dan mestinya sudah di-training cara berdagang yang tidak mengganggu. Little A gembira banget ketika Si Ayah setuju membelikannya kalung dan gelang dari pedangan asongan.

Sayangnya cuaca mendung, jadi kami gagal menikmati sunset yang berwarna di pantai Kuta. Saya dan Little A asyik bermain pasir, membuat sumur dan benteng untuk menghindari ombak. Sementara Si Ayah sibuk memotret orang-orang yang sibuk memotret :D Di sebelah-sebelah kami menggelar sarung Bali, banyak turis mancanegara. Dari obrolan mereka, saya tahu mereka dari Malaysia, Cina, Jepang, Amerika Latin dan tentu saja Australia.


penjaja di Kuta, pakai ID card
Little A pamer gelang dan kalung barunya :)
Little A cukup puas bermain di pantai. Sayangnya saya tidak menemukan tempat bilas di dekat pantai, seperti fasilitas standar di pantai-pantai di Australia. Mungkin disediakan, tapi saya tidak bisa menemukan karena hari sudah gelap. Kami kembali ke hotel dengan pasir yang menempel di kaki.  

Budget Hari Kedua
Tips Sopir Rp 100.000
Roxy rash vest Rp 345.000
Mc Donald  Rp 123.000
KFC Rp 117.000
Hotel Hard Rock Rp 1.204.764
Sandal 2x Rp 145.200
Gelang Kalung Rp 15.000
Total hari kedua Rp 2.049.964

Little A was trying to stop the wave
Can't catch meeee.... :p
Liburan yang benar-benar singkat. Pagi harinya kami harus early check out tanpa sarapan di hotel karena mengejar flight jam 7.35. Pihak hotel sudah mengantar empat box sarapan ke kamar kami jam 5 pagi. Concierge membantu kami mencari taksi (Blue Bird) di depan hotel. Perjalanan ke bandara cukup lancar karena masih pagi sekali, cukup 15 menit. Hanya saja kami perlu berjalan kaki cukup jauh sampai ke area boarding di bandara Bali yang baru ini. Benar-benar olahraga pagi.

The Precils sudah siap-siap dengan seragam sekolahnya. Rencananya, dari bandara Juanda, kami akan langsung naik taksi ke sekolah. Big A menyeletuk gembira, "Ma, kita berangkat sekolah naik pesawat, haha." Little A yang masih mengantuk, menyambut dengan sedikit merengut, "This is too short, Mommy. I want TEN DAYS holiday." Hehehe, "Me too, Darling."

Budget Hari Ketiga
Taksi ke bandara Rp 48.000
Tiket pesawat AA DPS - SUB 4x 5000 = Rp 20.000
Pajak bandara 4x 40 = Rp 160.000
Taksi dari Juanda Rp 101.000
Total hari ketiga Rp 329.000

Grand Total = Rp 2.654.964

~ The Emak

Baca Juga:
Review Hard Rock Hotel Bali